Tinjauan Yuridis Terhadap Kebijakan Moratorium Remisi kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi

A.3. Tinjauan Yuridis Terhadap Kebijakan Moratorium Remisi kepada Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Sebagaimana diuraikan di atas pada prakteknya walaupun telah ditetapkan peraturan yang lebih ketat (berat) terhadap narapidana tindak pidana korupsi untuk mendapatkan remisi, tindak pidana korupsi masih sering terjadi dan bahkan muncul berbagai tindakan curang untuk memanipulasi data guna memperoleh remisi.

Ironi pemberantasan korupsi semakin memprihatinkan dalam mana terhadap pelaku tindak korupsi divonis dengan masa pidana yang singkat dan kemudian dengan mudahnya memperoleh remisi. Hal sedemikian tentu saja semakin menguatkan keraguan publik terhadap efektifivitas pemberantasan korupsi utamanya proses pembinaan di lembaga pemasyarakat. Dengan kata lain patut diragukan timbulnya efek jera sebagaimana diharapkan dari upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Ironi pemberantasan tindak pidana korupsi di atas agaknya mengusik Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan evaluasi terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi. Melalui suatu kebijakan moratorium remisi (pada akhirnya diklarifikasi sebagai kebijakan pengetatan pemberian remisi), Kementerian Hukum dan HAM memerintahkan pejabat di Ironi pemberantasan tindak pidana korupsi di atas agaknya mengusik Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan evaluasi terhadap pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi. Melalui suatu kebijakan moratorium remisi (pada akhirnya diklarifikasi sebagai kebijakan pengetatan pemberian remisi), Kementerian Hukum dan HAM memerintahkan pejabat di

Tentu saja kebijakan tersebut sontak menimbulkan berbagai pro kontra di banyak kalangan khususnya bagi pihak narapidana tindak pidana korupsi itu. Mempertentangkan antara hak asasi manusia dalam rangka pembinaan dengan efek jera adalah bagian dari pro kontra tersebut. Remisi dipandang sebagai hak dari narapidana tindak pidana korupsi dan sejalan dengan filosofi pelaksanaan pidana penjara yang memasyarakatkan kembali terpidana dengan melakukan pembinaan, sehingga jika terpidana telah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sudah sewajarnya memperoleh hak-hak yang ditentukan peraturan perundang-undangan tanpa kecuali termasuk terpidana korupsi. Namun di sisi lain ada pandangan dalam masyarakat bahwa pemberian remisi bagi terpidana korupsi dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap rasa keadilan bagi masyarakat. Lamanya masa pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan serta lamanya pidana yang dijalani oleh terpidana korupsi dipandang tidak sebanding dengan kerugian yang diakibatkan

perilaku korupsi yang ditanggung masyarakat Indonesia. 46 Kebijakan Menteri Hukum dan HAM RI terkait Moratorium

Pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal

46 Nyoman Serikat Putra Jaya, Loc.cit, hlm. 2.

Pemasyarakatan dengan Surat Nomor : PAS – HM.01.02-42 tertanggal 31 Oktober 2011 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM RI c.q Kepala Divisi Pemasyarakat yang isinya sebagai

berikut 47 : Sejalan dengan kebijakan Menteri Hukum dan HAM RI

terkait Moratorium Pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat terhadap narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme, bersama ini dengan hormat kami sampaikan agar Kepala Divisi Pemasyarakatan untuk memerintahkan kepada Kepala UPT Pemasyarakatan supaya segera menindaklanjuti Moratorium Pemberian Remisi dan Pembebasan Bersyarat dengan mengsmbil

langkah – langkah sebagai berikut 48 :

1. Bagi Kepala UPT Pemasyarakatan yang telah menerima Salinan Keputusan Pembebasan Bersyarat Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme, akan tetapi belum dilaksanakan, diperintahkan untuk menangguhkan pelaksanaanya.

2. Memerintahkan kepada Kepala UPT Pemasyarakatan untuk tidak mengusulkan Remisi, Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme.

3. Memerintahkan kepada Kepala UPT Pemasyarakatan untuk tidak melanjutkan usulan atau memberikan Remisi Khusus Natal tahun 2011 bagi Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme.

47 Ibid.,hlm.2. 48 Ibid., hlm. 2.

4. Langkah – langkah sebagaimana dimaksud dalam angka 1,2, dan 3 berlaku sampai adanya ketentuan lebih lanjut yang mengatur mengenai Pemberian Remisi, Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi dan Terorisme.

Moratorium remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM sebagaimana telah disebut di atas menimbulkan berbagai pro dan kontra. Namun Menteri Hukum dan HAM menegaskan bahwa kebijakan yang diambil tidaklah bertentangan dengan hak asasi manusia, terlebih lagi kebijakan tersebut didasarkan pada pijakan hukum yang kuat . Kebijakan tersebut menurut Menteri Hukum dan HAM tidak hanya didasarkan pada alasan sosiologis semata yakni memenuhi rasa keadilan masyarakat, tetapi juga memenuhi aspek yuridis karena rumusan “memenuhi rasa keadilan masyarakat” juga tercantum dengan jelas dalam konsideran Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Dengan kata lain rumusan “memenuhi rasa keadilan masyarakat” telah memenuhi aspek sosiologis dan aspek yuridis.

Kebijakan moratorium (pengetatan) pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi tersebut merujuk pada Pasal 30 ayat 5 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa – Bangsa Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) yang menyatakan demikian :

Article 30 : 5 Each State Party shall take into account the gravity of the offences concerned when considering the eventuality of early release or parole of persons convicted of such offences.

Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat 5 di atas diketahui bahwa setiap negara pihak harus mempertimbangkan beratnya pelanggaran yang dilakukan pelaku tindak pidana pada saat mempertimbangkan pembebasan awal (dini) atau pembebasan bersyarat atas orang yang dihukum karena kejahatan tersebut. Dengan kata lain ketentuan pasal ini mengamanatkan dilakukan perlakuan atau hak hukum yang berbeda terhadap berbagai pelaku tindak pidana sesuai dengan kejahatannya masing – masing. Dalam hal ini kejahatan yang dimaksud adalah tindak pidana korupsi, sehingga kepada pelaku tindak pidana korupsi harus diberikan ketentuan yang berbeda (lebih berat) terkait pemberian remisi. Dengan demikian kebijakan moratorium pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi menurut Menteri Hukum dan HAM telah memiliki dasar hukum yang kuat.

Kebijakan Menteri Hukum dan HAM untuk melakukan moratorium pemberian remisi ditinjau dari semangat pemberantasan korupsinya patut diapresiasi. Namun banyak pihak menilai kebijakan Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan moratorium pemberian remisi kepada pelaku tindak

pidana korupsi tidak didasarkan pada landasan hukum yang kuat . Ditinjau dari aspek yuridis landasan hukum kebijakan moratorium remisi yang hanya didasarkan pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan tidak cukup kuat bahkan bertentangan dengan peraturan di atasnya yakni Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 juntco Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, karena di dalam peraturan pemerintah tersebut telah diatur secara khusus ketentuan pemberian remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi. Lebih lanjut melalui Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 ditegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang remisi diatur dengan Peraturan Presiden. Dengan demikian menurut penulis pengaturan kebijakan moratorium tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena hanya didasarkan pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang selanjutnya dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.HH- 07.PK.01.05.04 Tahun 2011 atau dengan kata lain ditinjau dari hirarki peraturan perundang – undangan diperlukan peraturan setingkat peraturan pemerintah tersebut untuk membatalkan atau mengubah ketentuan pemberian remisi kepada tindak pidana korupsi.

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa kebijakan moratorium pemberian remisi menurut Menteri Hukum dan HAM didasarkan pada Pasal 30 ayat 5 Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi

Perserikatan Bangsa – Bangsa Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) bahwa besarnya sanksi pidana yang diterima menjadi bahan pertimbangan untuk memberikan pembebasan awal (dini) atau pembebasan bersyarat. Menurut analisa penulis ketentuan ini tidak mengatakan bahwa beratnya sanksi pidana yang diterima menjadi alasan bagi pejabat terkait untuk tidak memberikan pembebasan dini atau bersyarat, melainkan beratnya sanksi pidana menjadi alasan untuk “memperberat” syarat untuk memperoleh hak hukum tersebut. Selanjutnya menurut penulis, jika dilihat dari gradasi hak hukum tersebut hak memperoleh remisi tidaklah sesulit memperoleh pembebasan awal atau bersyarat. Hal ini menjadi logis karena dengan memperoleh remisi narapidana tidak menjadi keluar dari penjara, namun dengan memperoleh pembebasan awal atau bersyarat narapidana menjalani sisa masa pidananya di luar penjara. Berdasarkan hal tersebut jika dilakukan perbandingan berdasarkan gradasi tersebut maka adalah keliru jika menyatakan bahwa beratnya sanksi pidana menjadi alasan untuk tidak memberikan remisi, karena terhadap hak hukum yang gradasinya lebih tinggi (pembebasan awal atau bersyarat) pun tidak menyatakan bahwa beratnya sanksi pidana menjadi alasan untuk tidak memberikan pembebasan awal atau bersyarat. Dengan demikian menurut penulis Kebijakan Moratorium Pemberian Remisi oleh Kementerian Hukum dan HAM sejatinya telah bertentangan dengan Pasal 30 ayat (5) Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi

Perserikatan Bangsa – Bangsa Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption.

Selanjutnya kebijakan untuk tidak memberikan remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi menurut penulis sejatinya telah bertentangan dengan konsep pemasyarakatan itu sendiri atau dengan kata lain kebijakan tersebut seolah mengembalikan lagi sistem pemidanaan di Indonesia ke dalam sistem penjara. Remisi adalah instrument dari konsep pemasyarakatan itu sendiri yang bertujuan untuk merangsang atau memotivasi narapidana untuk senantiasa berbuat baik. Maka dengan kebijakan untuk tidak memberikan remisi kepada pelaku tindak pidana korupsi adalah bertentangan dengan filosofi pemidanaan yakni preventif, rehabilitatif dan reintegrasi sosial yang keseluruhannya tercakup dalam konsep pemasyarakatan.

Remisi adalah hak narapidana yang diberikan dalam rangka pembinaan narapidana tersebut. Mencabut hak memperoleh remisi tersebut sama saja dengan mengulang kembali proses pemidanaan kepada narapidana tersebut karena sejatinya proses pemidanaan telah selesai dengan dijatuhkannya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, selanjutnya adalah proses pembinaan narapidana tersebut dan hak memperoleh remisi adalah bagian dari proses pembinaan tersebut.