Memasyarakatkan Speleologi Maret 1983, beberapa peminat penelusuran gua dari

Memasyarakatkan Speleologi Maret 1983, beberapa peminat penelusuran gua dari

Yogyakarta, Malang, dan Bogor berniat membentuk organisasi pelestari gua di Indonesia. Mereka memohon kesediaan dr. Ko untuk menyusun program pelatihan teknik serta keilmuan mengenai gua. Dr. Ko dipercaya sebagai instruktur tunggal, mengingat baru pulang dari observasi Pusat Pendidikan Teknik Caving di Vercors (Prancis) dan mengajar di Sekolah Pendidikan Caving di Whernside Manor (Inggris). Kursus itu terlaksana antara 1-10 April 1983, dengan praktek lapangan ke Gua Pawon (Bandung). Kursus yang disebut Klinik Speleologi ini diikuti sebelas peserta.

Pada 21 Mei 1983, dr. Ko diundang meninjau potensi wisata Cilacap, terutama wisata gua. Ia ditemani tim lulusan kursus speleologi ditambah dua pegawai Dirjen Pariwisata. Pada 23 Mei 1983, atas rembukan malam sebelumnya yang tidak dihadiri dr. Ko, berdirilah Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (Hikespi) atau Federation of Speleological Activities (Finspac) di Hotel Delyma Cilacap. Dr. Ko diminta menjadi ketua organisasi itu.

Untuk mengembangkan organisasinya, ia meminta nasihat antara lain kepada dua ahli geologi senior Indonesia, yaitu Prof. Sartono dan M.M. Purbo- Hadiwidjoyo. “Saya pertama kali menghubungi almarhum Prof. Sartono untuk minta beliau jadi penasehat Hikespi. Komentar beliau (Prof. Sartono-red) pada waktu itu, ‘Apa dr. Ko gak salah untuk mengembangkan speleologi di Indonesia? Ada sekitar 10 ilmu yang terkait ... bukan ilmu geologi saja!’ Jawaban spontan saya ‘Kalau tidak berani dimulai sekarang, kapan lagi Prof? Di negara maju kan sudah berkembang jauh.’” ujar dr. Ko.

Sementara mengenai M.M. Purbo-Hadiwidjoyo, ia berkomentar: “Beliau adalah geologiwan kedua penasihat

Ekspresi saat wawancara. Foto: Deni Sugandi.

Kiri: Berbincang di taman. Foto: Deni Sugandi, Kanan: Museum Theo Jans Belanda. Foto: Koleksi keluarga.

untuk wisatawan mancanegara dan murid-murid sekolah internasional dan ekspatriat di Jakarta. Rekam jejaknya bisa kita baca, antara lain, sebagai berikut: Sejak 1994-1998 mengadakan kunjungan ke Gunung Anak Krakatau-Baduy- Gunung Gede-Gunung Pangrango- Gunung Merapi-Gunung Bromo-Gunung Tengger-Gunung Semeru-Taman Wisata Alam Baluran-Kawah Ijen.

Kemudian sejak 1989-1998, mengadakan kunjungan ke Gua Cipining, Cipicung, Waduk Cirata, Gunung Puntang, Kebun Teh Malabar, Teluk Citirem, Gua Lalay. Sejak 1989 bekerja sama dengan American Boyscouts membantu Geoff Bennet, dan British Boyscouts membantu Fred Norton dalam penyelenggaraan kegiatan berkemah di Cisarua, trekking di pegunungan sekitarnya, dan mengarungi anak Sungai Ciliwung. Sejak 1990, bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam III Jawa Barat mengembangkan pantai Citirem (Cikepuh) untuk observasi burung dan penyu. Antara 1996-1997, dr. Ko dengan beberapa pihak mengadakan tiga kali West Java Bike Hash yang banyak diikuti oleh penggemar olahraga bersepeda gunung dari mancanegara, Jakarta, Bogor, dan Bandung.

Berbuah Anugerah Atas dedikasinya untuk memuliakan bumi ini, dr. Ko

dianugerahi beberapa penghargaan. Ia mendapatkan penghargaan dari Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya atas prestasi Kepeloporan Pengembangan Ekokarsologi/Wisata Gua, pada 1999. Kemudian pada tahun 2001, ia dianugerahi Penghargaan Lingkungan Hidup “Kalpataru” sebagai Pembina Lingkungan Hidup dari Presiden RI dan Kementerian Lingkungan Hidup. Pada tahun yang sama, ia dianugerahi penghargaan dari Walikota Bogor atas prestasinya meraih Kalpataru. Pada 2006, ia juga mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Barat sebagai Pelopor Pengembangan Daya Tarik Pariwisata Jawa Barat.

Pada 2014, dr. Ko menjadi salah seorang yang dianugerahi Penghargaan Satya Lencana Pembangunan Bidang Lingkungan Hidup Tahun 2014 oleh Presiden Jokowi. Ia dinilai sebagai dokter peneliti gua dan kars, Penerima Kalpataru tahun 2001 yang menyelamatkan Kars Gombong, mengembangkan ekowisata dan pendidikan di Goa Petruk.

Di masa senjanya sekarang, dr. Ko tetap memperlihatkan nyala semangat yang berkobar demi mengenal dan melestarikan keragaman bumi yang ada di Indonesia ini. Gairahnya tetap menggebu seperti dulu waktu ia mempelajari dasar-dasar geologi dan menemukan kenyataan bahwa semua itu dirumuskan dan

dikembangkan oleh dua dokter, yaitu Nicolas Steno (1638-1687) dari Denmark, dan James Hutton (1726- 1797) dari Inggris.

Yang membuatnya juga bersemangat adalah koleganya, spesialis penyakit dalam dari AS, dr. Bill Haliday. Ia adalah orang yang pertama kali mengembangkan Vulkano-Speleologi. Katanya, “Spesialis penyakit dalam AS juga baru mengembangkan Ilmu Vulkano-Speleologi, cabang terbaru Speleologi yang mempelajari gua-gua yang terbentuk dalam lava basal tipe Pahoehoe di Pulau Hawaii.”

Hingga sekarang, dr. Ko masih membuka praktik di Kota Bogor. Sebagian besar pasiennya tentu saja berkonsultasi ihwal penyakit kulit dan kelamin, termasuk penggunaan kosmetika. Di luar kerja praktiknya, ia terbiasa menghabiskan waktunya untuk membaca dan menulis. Apalagi ia dianugerahi kemampuan untuk menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jawa, dan Sunda. Untuk urusan bahasa ini memang sangat ditekankannya. Menurutnya, “Satu bahasa itu membuka satu perpustakaan. Karena bahasa itu mengandung kekayaan realitas yang diacu di dalamnya.”

Pasti itulah sebabnya, koleksi bukunya sangat banyak dan beragam subjek. Terngiang pernyataannya bahwa “Saya berusaha untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan, karena sesungguhnya semuanya saling kait-mengait satu sama lainnya.” Itulah sebabnya bidang ilmu bumi yang dipikirkan, dituliskan, dan diamalkannya sangat luas dan beragam. ■

Penulis: Atep Kurnia | Editor: Oman Abdurahman | Pewawancara: Oman Abdurahman, T. Bachtiar, Ronald

Agusta, Atep Kurnia | Fotografer: Deni Sugandi

dan Puslit Kehutanan dan Vokasi Pariwisata, UI. Di lembaga-lembaga tersebut, ia mengajar manajemen objek wisata kars dan gua, manajemen objek wisata alam dan ekowisata, dan manajemen ekowisata. Dan sejak 1984 hingga kini, ia sering menjadi pembimbing atau narasumber penulisan skripsi, tesis, dan disertasi mengenai lingkungan kars dan pariwisata di BPLP Bandung, UGM, ITB, IPB, dan UI.

Di lingkungan Hikespi sendiri, antara tahun 1983-2006, dr. Ko terlibat aktif menyusun bahan-bahan kuliah perihal teknik menelusuri gua untuk kursus dasar dan lanjutan serta menjadi sebagai tenaga pengajar mengenai Cave and Kars Science and Conservation, Teknik Eksplorasi Gua, Introduksi Pengelolaan Gua Alam sebagai Objek Wisata. Semuanya dilakukan dalam 42 kali kursus. Setelah digantikan Cahyo Alkantana pada 2005, dr. Ko ikut bergabung dengan Lembaga Kars Indonesia (LKI), bahkan menjadi ketuanya.

Dalam lingkungan organisasi speleologi, ia tergabung sebagai Wakil Resmi Union Internationale de Speleologi (UIS) untuk Indonesia (sejak 1984), Anggota Delegasi Indonesia pada setiap pertemuan UIS, dan pernah menjadi Adjoining Secretary of the UIS untuk kawasan Asia-Australia (1998-2003).