Media interaktif prasejarah Garca sebagai karya komunikasi rupa

Media interaktif prasejarah Garca sebagai karya komunikasi rupa

mencerminkan perpaduan beragam kejadian yang dilakoni pembuatnya. Proses komunikasi timbal-balik tidak hanya terjadi pada penggambar dan pemirsa, tapi juga pada tingkat individu dan kolektif. Garca dibuat pada waktu-waktu khusus, sehingga nanti ketika gambar itu dilihat menjadi mempunyai makna khusus bagi yang mengikuti proses pembuatannya. Proses pembuatan garca itu terkait erat dengan kejadian-kejadian penting dari tradisi mata pencaharian masyarakat pendukungnya.

Proses penciptaan garca melatih manusia untuk mengkoordinasikan mata-tangan, memberi nama dan makna pada kejadian di sekitar kehidupannya. Garca memegang peranan penting dalam proses pewarisan pengetahuan kepada generasi berikutnya. Kedua proses tersebut (proses penciptaan dan pewarisan) dilakukan dengan cara wirupa-wirama. Sejarah kemudian mencatat, pada satu titik evolusi budayanya, manusia menemukan tulisan. Hanya saja bila tidak melalui tahapan olah kata, wirupa atau wirama, bisa jadi dunia ‘tulis’ akan sangat berbeda, atau bahkan mungkin tidak pernah tercipta.

Perbedaannya dengan masa kini tentunya adalah multimedia: media wirupa-wirama yang interaktif. Media interaktif zaman prasejarah baru berupa pikiran di benak ‘semata’, misalnya menyentuh dinding dengan cap tangan serasa ‘berinteraksi’ dengan alam gaib atau makhluk perkasa. Berdasarkan penelitian, manusia prasejarah

Pagi di tepian Sungai Jele, situs bergambar mendaki terjal setinggi 90 meter dari tepian ini. Foto: Pindi Setiawan.

memang tidak membedakan apakah suatu kejadian itu nyata atau khayali.

Pemilihan gua atau ceruk untuk hunian, secara akal sehat adalah tempat yang nyaman, karena dekat sumber air, tidak mudah longsor, tidak miring, tidak berbatu, dapat ditinggali sepanjang tahun karena tidak kebanjiran, serta dapat melindungi dari gangguan cuaca dan binatang. Namun, para pembuat garca prasejarah lebih dari sekadar itu. Mereka telah mampu mengoptimalkan distribusi situs: ada bagian untuk bergambar kegiatan sosial, samanik, atau perburuan. Manusia pembuat garca tidak sekadar menggunakan gua atau ceruk sebagai hunian, tapi seperti yang menciptakan ’kerajaan prasejarah’ pada bukit-bukit kars Indonesia. ■

Penulis adalah peneliti gambar cadas, Pusat Penelitian Produk Budaya dan Lingkungan, dosen di FSRD, ITB, dan International Commition of Rock Art Protection Charta.

paling banyak meneliti garca Sulawesi adalah Ramli dan Budi, arkeolog Indonesia. Mereka masih aktif meneliti garca Sulawesi sampai sekarang.

Lama diyakini, garca Indonesia paling Barat hanya sampai Maros, tetapi penemuan satu situs garca di Kalimantan oleh Fage dan Chazine (1994) membuka wacana baru sebaran garca Indonesia. Penemuan garca di Gua Mardua tersebut, dilanjutkan tahun berikutnya dengan melibatkan saya. Selama sepuluh tahun bersama-sama menemukan

30 situs garca prasejarah di kawasan Sangkulirang. Kisah penemuan di Kalimantan itu sudah dibukukan dalam Borneo, menyingkap gua prasejarah.

Pada 2009, Wahyu, arkeolog Indonesia menemukan garca di Gua Harimau, yang sedang diteliti situs kuburnya. Situs-situs garca baru di Indonesia masih terus ditemukan, di kawasan Lindu (Sultra), di Bone (Sulsel), bahkan di Maros dan di Sangkulirang pun masih ditemukan situs-situs baru sampai tahun 2014.

Lubang Terusan, cap tangan jejer. Foto: Pindi Setiawan.

Lubang Terusan Ham. Foto: Pindi Setiawan.

Dilaporkan pula indikasi keterdapatan garca di daerah Ketapang, Kalimantan. Situs itu sudah dikunjungi Lutfi, arkeolog dari Indonesia.

Hal yang juga menarik, cara laporan itu ditulis. Para peneliti pendahulu gambar cadas Nusantara tampaknya juga banyak yang hanya melakukan pengamatan sekilas pada gambar cadas, mereka lebih disibukkan meneliti lapisan- lapisan arkeologis. Parahnya lagi, Bednarik mengatakan ketidakakuratan ini banyak terjadi di belahan dunia lain, yaitu melaporkan sesuatu yang salah atau terkadang palsu (Bednarik, 1996).

Beberapa kesalahan yang paling sering adalah melaporkan nama situs yang tidak ada di lapangan, misalnya nama Dudunwahan pada laporan Ballard. Biasanya kesalahan karena rujukannya berdasar pada peta saja. Peta juga sering kali salah mencantumkan nama. Kesalahan pencantuman nama khususnya terjadi pada daerah yang masyarakatnya tidak terbiasa menulis. Mereka bisa menyebut nama lokasi, tapi tidak bisa menuliskan huruf latinnya.

Pembahasan garca dalam latar kesenirupaan Indonesia pertama kali dipaparkan oleh Claire Holt

(1967) dalam Art in Indonesia: Continuities and Change. Dalam pembahasannya Holt—mungkin terpengaruh oleh konsepnya Abbé H. Breuil tentang perwujudan magis dan pembedaan gender—mengaitkan gambar cadas géko dengan ragam hias géko di lumbung-lumbung padi suku Toba. Kemudian gambar lir-manusia (antropomorfik) yang bertopeng di Fakfak dihubungkan dengan tarian kematian dan kesuburan yang dilakukan para dukun dari suku Batak dan Dayak Iban. Sayangnya pemaparannya tidak dilengkapi keterangan pendukung.

Dari sisi etnografi, penyepadanan pola pikir orang Sumatra atau Kalimantan dengan orang Maluku atau Papua Barat perlu dilihat secara kritis. Keterangan Holt juga merujuk laporan Röder (1959) yang menerangkan bahwa gambar cadas géko adalah tempat arwah leluhur menurut adat orang Polinesia yang menganggap arwah leluhur suka memasuki géko hijau atau ikan tertentu. Hal ini juga perlu sejumlah keterangan lain yang menerangkan keterkaitan antara tradisi Papua dengan Polinesia.

Sudah diketahui oleh umum bahwa kars memiliki banyak potensi, selain tambang. Di wilayah Baturaja, pemanfaatan sumber daya alam tersebut baru di bidang pertambangan (eksploitasi) guna memenuhi bahan baku industri semen yang dilakukan sejak akhir dekade 1970-an. Sementara itu, banyak tuntutan dari masyarakat agar kawasan kars di sana dapat dilestarikan atau dikembangkan dengan pola konservasi.

Dalam hal tersebut, tulisan ini memberikan perhatian pada keberadaan kawasan kars yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan, khususnya wilayah Padang Bindu, Baturaja, dan Tanjung Lengkayap, serta kaitannya dengan cerita rakyat yang hidup di tengah masyarakat setempat. Cerita rakyat ini, sampai batas tertentu, telah berkontribusi pada konservasi kawasan kars bagian dari Formasi Baturaja tersebut.