Oleh Andi Agussalim dan Alimuddin

Oleh Andi Agussalim dan Alimuddin

Bale, bahasa Bugis, berarti ikan. Bale bungo adalah sejenis ikan betutu (Oxyeleotris marmorata),

yaitu ikan yang hidup di air tawar berlumpur. Khusus di Danau Tempe, ikan ini ikan khas wilayah Kabupaten Soppeng. Memang tidak dapat dipungkiri, ikan ini hidup di wilayah lainnya, yaitu di Wajo dan Sidrap, namun populasinya tidak banyak. Boleh jadi, salah satu penyebabnya karena ikan ini terbilang kecil, panjangnya antara 10 – 13 cm dan lebar sekitar 3 - 4 cm. Karena ukurannya relatif kecil, maka kemampuan jelajahnya terbatas dan sangat rentan menjadi santapan ikan lain yang lebih besar ukurannya, seperti ikan nila dan ikan tawes.

Bungo, ikan kecil berwarna kuning-kecoklatan pucat. Bagian ekornya memiliki 3 – 4 garis hitam melintang

agak transparan. Penduduk lokal pada umumnya mengolah ikan itu secara utuh atau dibelah melebar, lalu dijermur untuk dijadikan ikan asin kering. Hasilnya disebut bale rakko (ikan kering). Para penikmat ikan ini menyebutnya ikan kerupuk karena tipis dan renyah.

Ikan betutu ini memiliki kandungan protein tinggi dan dipercaya memiliki banyak khasiat, antara lain, meningkatkan libido pria, dan memiliki kandungan omega tiga yang berfungsi untuk mengatasi pikun, menstabilkan kolesterol, serta mengatasi penyakit jantung dan asma. Itulah sebabnya, dahulu kala bungo hanya disantap oleh para raja dan para

petinggi negeri. Mahyuddin,

seorang nelayan di Kecamatan Marioriawa, Watan Soppeng, menuturkan bahwa pupolasi bale bungo kini sudah sangat berkurang, bahkan hampir punah bila dibandingkan dengan keadaan

5 – 10 tahun yang lalu. Hal tersebut dibenarkan oleh Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten

Watan Soppeng. Salah satu penyebabnya adalah permintaan pasar yang cukup tinggi, sementara populasinya tidak memadai, sehingga nelayan terkadang “membabi buta” menangkapnya. Perilaku tersebut membuat populasi ikan ini tidak pernah maksimal.

Ikan ini berpotensi sebagai sebagai salah satu sumber penghasilan daerah untuk kesejahteraan masyarakat, khususnya nelayan, maka Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Watan Soppeng sudah memberikan sosialisasi untuk merubah cara pandang para nelayan agar tidak menangkap ikan sebelum ukurannya layak untuk ditangkap. Selain itu sedang diupayakan membudi dayakan agar bale bungo ini dapat hidup berkembang biak dengan baik di Danau Tempe, khususnya di wilayah Kabupaten Watan Soppeng. ■

Penulis berasal dari Watan Soppeng. Sumber tulisan: Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Wt. Soppeng.

Danau Tempe adalah danau terbesar di Sulawesi Selatan. Luasnya 47.800 ha yang menempati tiga wilayah kabupaten, masing-masing Kabupaten Wajo 75 % total luas danau, Watan Soppeng (20 %), dan Sidenreng Rappang (Sidrap, 10 %). Danau ini melintasi 10 kecamatan dan 51desa. Masing-masing wilayah mempunyai kekhasan khayati yang dikandungnya. Hasil hayati wilayah danau yang masuk ke dalam wilayah Kabupaten Watan Soppeng menghasilkan ikan yang secara lokal dikenal dengan nama “bale bungo”.

mencapai 1.000 ha, dan pada kondisi normal, luasnya 15.000-20.000 ha. Sungai yang masuk ke dalam danau ini terdiri dari 23 sungai yang termasuk dalamnya dua DAS, yaitu DAS Bila dan DAS Walanae, sedangkan aliran sungai dari danau (outlet) hanya satu, yaitu DAS Salo Cenranae yang memiliki panjang sungai 70 km.

Aktivitas utama masyarakat Danau Tempe adalah menangkap ikan di danau. Keanekaragaman hayati Danau Tempe terlihat dari banyaknya jenis ikan yaitu antara lain: ikan mas (cyprinus corpio), ikan tawes (osteochillus hassellti), ikan gabus (ophiocephalus striatus), ikan sepatsiam (tricogaster pectoralis), ikan bungo (glosogobius guiris), ikan tambakang (helostoma temmicki), dan ikan nila (oreochromis niloticus).

Namun sayang, kerusakan Daerah Tangkapan Air (DTA), kerusakan daerah hulu Danau Tempe karena kehancuran ekologis, terjadi penebangan hutan yang tak terkendali, perambahan hutan, perladangan berpindah, sehingga menjadikan jumlah kawasan kritis yang terus bertambah luas, sehingga keadaan ini akan mengancam kelestarian danau.

Dengan laju sedimentasi sebesar 1-3 cm per tahun, mengkibatkan Danau Tempe mengalami pendangkalan, yang menyebabkan banjir di musim penghujan dan kekeringan saat musim kemarau. Apabila laju sedimentasi per tahun seperti saat ini, maka ke depan, Danau Tempe akan hilang pada musim kemarau. Pendangkalan yang terjadi di Danau Tempe secara alami diakibatkan oleh sedimentasi yang dibawa oleh sungai yang bermuara di danau ini, seperti Salo Lawo, Salo Batubatu, Salo Belokka, Salo Nila, dan Salo Walannae.

Total lumpur yang masuk ke Danau Tempe adalah 1.069.099 juta m 3 , sementara yang dikeluarkan melalui

Salo Cenranae adalah 550.490 juta m 3 . Dengan demikian

sisa sedimen yang mengendap di dasar danau sebesar

518.609 juta m 3 . Jika setiap tahunnya sedimen tidak keluar dan terus mengendap maka akan terjadi proses pendangkalan danau setinggi 1 - 3 cm per tahunnya. Di musim kemarau, danau hampir kering dengan rata-rata kedalaman air hanya 50 cm sampai 1 m.

Selain pendangkalan, masalah berat lainnya adalah pencemaran yang terjadi di Danau Tempe, disebabkan oleh buangan limbah domestik, pertanian, dan sisa pakan ikan. Zat pencemar ini merupakan penyebab terjadinya eutrofikasi air danau. Aktivitas pertanian dan perkebunan yang menggunakan pestisida menjadi sumber pencemar dan meningkatkan gulma air, seperti eceng gondok.

Kemudian pada badan air danau terdapat banyak tanaman air, baik yang tumbuh dari dasar danau maupun yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bungka toddo. Tanaman air ini menjadi perangkap sedimen dan mengendapkan sedimen ke dasar danau. Sepanjang musim hujan 80-90 persen permukaan danau ditutupi oleh tanaman air.

Menurunnya kualitas lingkungan perairan Danau Tempe mempengaruhi daya dukung organisme di dalamnya, sehingga keberadaan satwa liar dan biota air semakin terancam. Dan terdapat indikasi menurunnya populasi beberapa satwa liar dan biota air, khususnya yang jenis endemik, seperti burung cawiwi, burung lawase dan ikan bungo, belanak, sidat/masafi, saat ini sudah jarang didapat di danau.

Hujan masih deras mengguyur perkampungan terapung. Namun kami harus segera kembali ke Sengkang. Kilat dan halilintar menjadi irama yang menambah ketegangan berperahu di kegelapan. Cahaya lampu di perkampungan sepanjang sungai itu sudah menyala. ■

Penulis adalah anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Pemandangan jelang malam di Danau Tempe.

Digambar oleh: Hadianto.

Pertengahan Desember 2014 belum jauh lewat. Tanpa membiarkan terlebih dulu tubuh merebah letih di atas kasur busa dalam sebuah kamar inap sederhana seusai perjalanan panjang, saya sudah memutuskan untuk kembali bergerak menjauhi pusat kegiatan Baturaja. Padahal ibukota Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) tersebut baru saja menyampaikan selarik “selamat datang” di kisaran pukul sembilan.

Bagi kalangan penggemar batu mulia, Baturaja sudah tak asing di telinga. Kota yang berjarak sekitar 200 km arah barat daya Palembang tersebut (dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun transportasi umum berupa bus atau kereta api dalam waktu sekitar lima jam perjalanan) bahkan telah diperkenalkan sebagai Lumbung Batu Manikam Indonesia.

Tapi bukan pasal batu mulia itulah yang membawa saya jauh-jauh datang, menempuh perjalanan darat menggunakan bus dan laut dengan memanfaatkan kapal penyeberangan antar pulau, selama belasan jam. Sama sekali bukan.