Dampak Gempa Nias 2005 Kejadian gempabumi 28 Maret 2005 telah mengakibatkan

Dampak Gempa Nias 2005 Kejadian gempabumi 28 Maret 2005 telah mengakibatkan

bencana di Pulau Nias dan sekitarnya. Kerusakan melanda daerah Singkil, Meulaboh & Sibolga. Korban jiwa tercatat lebih dari 1.000 orang meninggal, lebih dari 2.391 orang luka-luka di Pulau Nias, dan 18 orang meninggal di Pulau Simeulue. Terjadi retakan tanah, likuifaksi. Diperkirakan sekitar 65% bangunan roboh di Gunung Sitoli. Terjadi tsunami di pantai Lagundri, Sirombu dan Lahewa dengan ketinggian tsunami (run up) sekitar 170 cm. Menurut Tarigan (2005), semua korban di Pulau Nias diakibatkan karena tertimpa oleh runtuhan bangunan dari bangunan lantai satu hingga lantai empat.

Akibat gempa 2005 ini, terjadi kenaikan tanah di pantai barat dan Utara Pulau Nias sekitar 3 hingga 4 m, penurunan tanah di Nias selatan, dan gerakan tanah atau longsoran di beberapa tempat. Kejadian gerakan tanah diakibatkan oleh kondisi geologi (morfologi, batuan, struktur geologi), keairan, dan tata guna lahan. Adapun faktor pemicunya adalah curah hujan dan goncangan gempa. Berdasarkan peta zona kerentanan gerakan tanah dari PVMBG, Badan Geologi (2009), beberapa lokasi di Pulau Nias menempati zona kerentanan tinggi dan menengah. Artinya zona-zona tersebut berpotensi untuk terjadi gerakan tanah.

Berdasarkan pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh tim tanggap darurat gempabumi Badan Geologi, goncangan gempa di Kota Gunung Sitoli berada pada skala intensitas VIII MMI. Hal ini dicirikan dengan fakta pengemudi mobil terganggu, kerusakan atau runtuhnya

Peta pusat gempabumi merusak Pulau Sumatra (Supartoyo dkk., 2014).

Kerusakan jembatan di daerah Muzoi, Nias Utara (Tofani dkk., 2005).

Peta zona pecah kejadian gempabumi tanggal 28-3-2005 berdasarkan data gempabumi susulan. Sumber: USGS.

Dalam bahasa Indonesia sebuah buku yang merupakan terjemahan dari karya Bernice de Jong Boers telah diterbitkan oleh Penerbit Ombak di Yogyakarta pada tahun 2012. Terjemahan ini dipadukan dengan karya Helius Sjamsuddin dan dilampiri dengan tulisan sejarawan Universitas Indonesia Adrian B. Lapian tentang Krakatau. Buku setebal 118 halaman ukuran A4 ini telah berhasil memukau pembacanya dengan lebih dalam membahas dampak letusan dahsyat Tambora pada bulan April 1815. Sumber terjemahan disebutkan yaitu “Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath” yang ditulis oleh Bernice de Jong Boers dalam

Jurnal Indonesia yang terbit pada volume 60 tahun 1995. Tulisan kedua, judul aslinya adalah “Letusan Gunung Tambora tahun 1815: Caesure Sejarah”, terbit pada 2006.

Bernice de Jong Boers bercerita tentang dampak luas yang diakibatkan aerosol (abu gunung api) di Eropa dan daratan Amerika. Pada intinya dampak yang timbul adalah kelaparan yang menyebabkan perubahan tingkah laku manusia. Pada kondisi buruk itu wabah kolera menyebar dari Gangga di India ke seluruh dunia. Penulis kedua menekankan bagaimana letusan Tambora 1815 telah mengubah perjalanan sejarah, khususnya di Sumbawa. Hilangnya kerajaan dan munculnya kekuasaan baru dengan teritorinya yang berubah.

Pada 2013 muncul buku The Year Without Summer: 1816 yang disusun oleh William dan Nicholas Klingaman. Secara panjang lebar, bahkan terasa bolak-balik, isinya menguraikan penderitaan dan kelaparan yang menimpa penduduk Eropa dan Amerika sebagai dampak letusan Gunung Tambora 1815. Udara dingin dan badai salju sepanjang tahun dari 1816 hingga 1818

telah menyebabkan kelaparan, kematian, keresahan sosial yang mendorong perubahan politik. diceritakan bagaimana penduduk Amerika merambah makin ke Barat dan menekan terus bangsa Indian. Negara ini segera mengalami malaise. Harga roti melambung dan perampokan yang merajalela di mana-mana. Semua peristiwa itu diungkap dari catatan-catan lama yang dahulu mungkin tidak menarik perhatian. Buku berukuran 24 x 16 cm dengan ketebalan 335 halaman ini diterbitkan oleh San Martin’s Griffin, New York. Karena berulang-ulang menceriterakan penderitaan, buku ini membosankan.

Tahun berikutnya (2014) terbit buku yang berjudul, Tambora, The Eruption that Changed the World” yang ditulis oleh Gillen d’Archy Wood. Buku 293 halaman dengan ukuran 24 x 16 cm ini diterbitkan oleh Princeton University Press. Buku ini berkutat lagi dengan penderitaan, dengan menambahkan cerita tentang penderitaan yang menimpa penduduk Cina di Yunan. Diceritakan bahwa sebuah keluarga menjajajakan anak bayinya di pasar untuk mendapatkan uang buat membeli makanan. Semua ini terungkap dari puisi-puisi kuno yang ditulis antara tahun 1816 sampai 1820. Pada musim yang terus-menerus dingin ini terpaksa penduduk Yunnan mengubah pola tanaman ke tanaman heroin yang lebih menguntungkan. Dampaknya adalah meningkatnya peredaran candu yang kemudian diberantas melalui perang candu. Buku ini juga membosankan karena berulang kali bercerita tentang penderitaan.

Ada kelebihan buku ini jika dibandingkan dengan buku sebelumnya. Dalam buku ini dimunculkan pertanyaan atau tantangan akan kemungkinan merekayasa aerosol seperti dikeluarkan oleh Tambora untuk mengatasi global warming. Tambora mampu menurunkan suhu dunia

hingga 3 0 selama 3 tahun. Apakah mungkin manusia meniru Tambora dengan menyuntikan aerosol ke stratosfera? Suatu pertanyaan yang mungkin akan dijawab setelah manusia terdesak pada waktunya nanti.

Sebelum menyadari bahwa letusan gunung api dapat mempengaruhi iklim bumi, sajak-sajak dan berbagai catatan tentang penderitaan, kelaparan, keresahan sosial, penyakit, migrasi besar-besaran orang Amerika ke arah Barat, malaise dan banyak hal lagi, tidak mendapat perhatian, dan berlalu begitu saja. Dengan dipastikannya bahwa letusan gunung api dapat mempengaruhi pola iklim dunia seperti dibuktikan oleh letusan Krakatau 1883, semua arsip tua itu diungkap kembali, bahkan dihubung-hubungkan dengan peristiwa letusan gunung api. Buku Tambora, The Eruption that Changed the World rupanya diilhami oleh buku-buku sebelumnya yang membahas Tambora seperti Volcanoes in Human History (2002) karya Jelle Zellinga de Boer dan Donald Theodore Sanders. Penerbitnya pun sama, yaitu Princeton University Press. ■

Penulis adalah guru besar vulkanologi, Universitas Padjadjaran