Menyambangi Jejak Peradaban Purba di Gua Harimau
Menyambangi Jejak Peradaban Purba di Gua Harimau
Oleh: Ayu Wulandari Garis-garis penanda keberadaan sinyal telekomunikasi satu demi satu menghilang.
Kalau sudah begitu artinya pergerakan saya semakin menjauhi peradaban. Aroma hutan lekat. Suara sunyi memadat. Sebentar sempat saya menengadah dan matahari terlihat samar disembunyikan awan. Tidak, itu tidak sama artinya dengan pertanda untuk berbalik arah dan pulang. Udara yang mengalir malah terasa semakin hangat. Sepasang telapak kaki yang telah berbalut merah coklat lumpur semakin mantap saja terus saya langkahkan ke arah aliran Aek Kaman Basah yang sudah terlihat di depan. Air sungai kecil itu akan menyucikan sebelum lebih dari belasan anak tangga dilalui untuk sampai di gerbang Gua Harimau.
Penggalian arkeologi di Gua Harimau. Foto: Ayu Wulandari.
beralih ke arah lain. Pemandu saya dan Bang Wawan, seorang pelajar Sekolah Menengah Pertama, memberi tanda untuk mendekat ke arah lain sudut gua. “Kak, di sini yang ada gambarnya,” katanya.
Perlu sedikit usaha menaiki batuan sebelum dapat dengan jelas melihat keberadaan gambar cadas berwarna merah di sisi timur laut dinding gua. Kabarnya warna merah tersebut berasal dari getah tumbuhan. Namun, berbeda dengan apa yang pernah saya lihat di beberapa gua prasejarah di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) Provinsi Sulawesi Selatan, bukan gambar telapak tangan atau binatang yang ditemukan; melainkan beberapa kelompok guratan perpaduan garis lurus dan lengkung beraturan, membentuk semacam motif geometris. Jika dugaan bahwa jejak-jejak itu benar adanya merupakan penanda ritual penguburan yang berlangsung berkali-kali di Gua Harimau, maka sungguh itu jejak yang menurut saya tak hanya cerdik tetapi juga sangat cantik.
Bagaimanapun perlu tetap diingat, sebelum manusia mengenal dan semakin intens berkomunikasi dengan aksara, gambar sudah terlebih dulu menjadi media untuk menyampaikan ide atau gagasan. Dan temuan gambar cadas di kawasan Sumatra Selatan tersebut telah meruntuhkan anggapan bahwa Indonesia barat tidak mengenal tradisi lukisan gua yang merupakan warisan budaya gambar manusia paling tua sebagaimana halnya
kawasan Indonesia timur dan tengah. Garis-garis penanda keberadaan sinyal telekomunikasi
tetap tak menampakkan kemungkinan saya bisa bersentuhan dengan peradaban. Aroma bebatuan tua dengan sedikit campuran guano yang samar menguasai ruang pernafasan. Saya merasa perlu berdiam sebentar, duduk menelan bermenit-menit waktu sembari memuaskan hati mendengarkan suara sunyi yang ditimpali gemericik air sungai. Rasanya ada sebuah sonata yang digemakan dan terlalu sayang untuk dilewatkan. Di sini, di ruang Gua Harimau. ■
Penulis, peminat perjalanan dan fotografi.
Lukisan purba di gua kars. Foto: Ayu Wulandari.
Penggalian arkeologi di mulut gua. Foto: Ayu Wulandari
dijajakan di beberapa sudut Jalan Lintas Sumatra menuju Padang Bindu.
Jalan setapak menuju Gua Harimau dapat ditemukan setelah berbelok ke arah kiri dari jalur utama Lintas Sumatra mengikuti papan penanda hijau bertuliskan ‘Objek Wisata Gua Puteri’ yang terlihat jelas. Jembatan pertama yang dilalui membentang di atas aliran Sungai Ogan. Ada baiknya berhenti sebentar di lajur kiri dan perhatikan dengan saksama sebuah batu (dugaan: batu kapur) tegak bermahkota tumbuhan liar. Batu tersebut dikenal sebagai Batu Dayang Merindu, seorang puteri yang dikutuk oleh Pangeran Serunting atau lebih dikenal dengan julukan si Pahit Lidah, salah satu tokoh legenda tanah Sumatra.
Dari jembatan besar tersebut, teruslah berjalan hingga bertemu dengan jembatan kedua yang berukuran lebih kecil. Berbeloklah ke arah kiri, ke arah jalan tanah, ikuti hingga dalam kisaran 100-200 meter menemukan rumah kayu yang berada di sebuah pertigaan.
Meski Gua Harimau bukanlah destinasi pilihan wisatawan yang pada umumnya singgah ke Padang Bindu, ternyata penghuni rumah kayu tersebut sudah biasa disinggahi, ditanyai, dan dititipi motor oleh sesiapa saja yang hendak bertandang ke sana. Bahkan anak-anak pemilik rumah tersebut pun sudah dibiasakan untuk mengantarkan para pengunjung agar jangan sampai tersesat selama sekitar 20 menit berjalan.