Cerita Rakyat dan Konservasi Kars Melalui wawancara tidak terstruktur yang saya lakukan

Cerita Rakyat dan Konservasi Kars Melalui wawancara tidak terstruktur yang saya lakukan

selama berada di OKU dapat ditarik sebuah simpulan awal bahwa betapa masyarakat masih cukup memberi perhatian terhadap cerita rakyat yang ada, juga cerita rakyat yang berkaitan dengan keberadaan sebuah gua dan ornamen gua di dalamnya. Berbagai cerita rakyat yang ada di dalam masyarakat sekitar gua-gua di kawasan kars OKU sedikitnya memberi pengaruh terhadap sikap dan perilaku masyarakat dalam berinteraksi dengan gua-gua. Beberapa gua tidak lagi dimasuki oleh penduduk karena cerita mistisnya (gua-gua di Tanjung Lengkayap), selain itu juga dibangun sebuah museum untuk menegaskan keberadaan cerita mistis yang ada (Museum Si Pahit Lidah), serta daya tarik wisata ikut terangkat dengan menjadikan cerita rakyat sebagai komoditas yang bernilai jual (Gua Putri).

Adanya cerita rakyat dan mitos yang berhubungan dengan keberadaan gua mampu membentuk masyarakat sehingga memiliki kesadaran tertentu dan sedemikian rupa dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar. Namun keberadaan gua-gua dan cerita rakyat yang juga wujud dari kearifan lokal tersebut berada dalam dinamika dan perubahan zaman yang mungkin akan mengancam dan merusaknya. Padahal, kelestariannya sangat penting untuk kelangsungan hidup masyarakat dan ilmu pengetahuan. ■

Penulis adalah anggota Palawa Unpad, telah menyelesaikan studi Sastra Indonesia di Unpad dan kini bekerja sebagai editor pada perusahaan penerbitan.

Ranau terdapat kuburan Si Pahit Lidah. Ada kabar lain yang menyebutkan bahwa Si Pahit Lidah disebut juga sebagai Serunting Sakti, diyakini berasal dari Kerajaan Majapahit. Ihwal mengapa Si Pahit Lidah sampai ke Sumatra konon karena dianggap terlalu nakal sehingga Si Pahit Lidah, yang bernama asli Raden Sukma Jati, oleh raja diusir ke Sumatra. Akhirnya, dia menetap di Bengkulu, Pagaralam, Lampung, dan OKU.

Si Pahit Lidah memiliki kelebihan, yakni setiap apa yang dikutuk olehnya niscaya akan menjadi batu. Demikianlah cerita rakyat, selalu saja memiliki banyak varian dengan kembang cerita yang beraneka ragam. Lalu seolah ingin menegaskan keberadaan cerita rakyat tersebut, di dalam kompleks wisata alam Gua Putri dibangunlah sebuah museum mungil yang diberi nama “Museum Si Pahit Lidah”. Museum tersebut menyimpan berbagai temuan arkeologis dari lokasi gua-gua di kawasan kars Padang Bindu, antara lain dari Gua Putri, Gua Pondok Selabe I, Gua Pandan, dan yang paling fenomenal dari Gua Harimau.

Secara arkeologi, wilayah kars Baturaja juga menarik untuk didalami. Sebagaimana dinyatakan oleh Harry Octavianus Sofian dari Balai Arkeologi Palembang, kawasan kars Baturaja perlu dijadikan fokus penelitian arkeologi, terutama masa prasejarah. Tiada lain, karena di kawasan Baturaja ditemukan gua-gua dengan tingalan arkeologi, seperti Gua Harimau. Di gua ini terdapat lukisan gua bukti budaya lukisan dinding gua (rock art) yang pertama kali ditemukan di Pulau Sumatra. Menurut Harry, penelitian gua-gua prasejarah di Sumatra diharapkan dapat memberikan bobot yang seimbang dari hasil-hasil penelitian gua arkeologi di Jawa, Sulawesi, Papua bahkan Asia Tenggara Daratan sehingga diperoleh kronologi penghunian prasejarah yang cukup lengkap.

Di arah yang lain, yaitu di tepian Sungai Lengkayap, kita akan menemukan banyak gua yang oleh masyarakat dimanfaatkan sebagai lokasi “bermatapencaharian”. Nama tersebut diberikan karena di dalam gua-gua tersebut kerap ditemukan sarang burung walet. Beberapa gua

Gua Putri Baturaja. Foto: Ayu Wulandari.

Dia mempelajari hal sama. Keduanya kulit. Kulit yang pertama milik manusia dan yang kedua milik bumi. Keduanya menjadi perbendaharaan bagi dr. Robby R.K.T. Ko - dokter spesialis kulit dan kelamin, pionir dan ahli speleologi, pemerhati kars, konsultan ekowisata dan konservasi alam.

Sejak masuk pintu samping itu, semua pandangan agaknya tertuju kepada deretan buku yang tertata rapi di rak. Bisa dikatakan kami dikepung buku sebenarnya, saat diajak tuan rumah berbincang di ruang makan itu. Dua- tiga langkah di depan, ada rak berisi buku-buku ekologi, biologi, sejarah, dan kajian lisan Indonesia dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Indonesia, dan bahasa daerah Sunda dan Jawa.

Ke kanan, memasuki ruang baca, kian terlonjak. Betapa tidak. Di situ, berderet rak-rak yang dipenuhi buku, seolah berkeliling membatasi meja persegi panjang.

Ada koleksi buku-buku kedokteran, ilmu alam, dan rak khusus mengenai Hindia Belanda yang ada di pojok. Di antara deretan itu, ada satu rak yang nampak menonjol, karena didominasi jejeran bundel putih. Setelah dilihat lekat-lekat, itu merupakan kumpulan karya tulis tuan rumah, berupa makalah mengenai karsologi, speleologi, wisata alam, dan lain-lain. Jelaslah tuan rumah sangat erat bertaut dengan hal-ihwal itu. Tuan rumah itu adalah dr. Robby K.T. Ko, dokter kulit dan kelamin, ahli speleologi, pemerhati kars, dan penggiat wisata alam.

Kami beruntung bisa mengenal lebih jauh dengan sosok serba bisa itu di rumahnya di Jalan Babakan Bunga No. 11, RT 3 RW 3, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Dari perbincangan dalam dua kesempatan disertai tinjauan pustaka itu, kami dapat mengetahui dan memahami sepak terjang dr. Ko, termasuk latar belakang kehidupannya.