Penetapan Bentang Alam Kars Di luar dua konsep di atas, saat ini solusi bagi pengelolaan

Penetapan Bentang Alam Kars Di luar dua konsep di atas, saat ini solusi bagi pengelolaan

wilayah kars adalah dengan regulasi. Inisiasi regulasi dimulai dengan munculnya Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia No. 1456 K/20/MBM/2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Kars (selanjutnya Kepmen 1456). Kepmen ini membagi kawasan kars ke dalam tiga kelas. Kelas

1 adalah kawasan kars yang, singkatnya, mempunyai sumber air bersih (sungai bawah tanah), gua aktif, dsb., sehingga menjadi kawasan lindung. Kelas 2 adalah kars yang mempunyai gua-gua tetapi tidak aktif dan tidak mempunyai sumber air, sehingga boleh dieksploitasi atau tambang asal melalui kajian Amdal. Adapun Kelas 3 adalah kawasan kars yang boleh ditambang karena tidak mempunyai kriteria seperti kars Kelas 1 dan Kelas 2.

Sejalan dengan berlakunya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya UU 26/2007), Kepmen 1456 akhirnya harus diganti. Dalam turunan UU tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN; selanjutnya PP 26/2008), dinyatakan bahwa bentang alam kars adalah kawasan lindung nasional yang harus ditetapkan. Akhirnya pedoman penetapan bentang alam kars terbit sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM

Tambang batugamping, Pangkep, Sulawei Selatan. Foto: Deni Sugandi.

Kawasan kars dicirikan oleh batuan penyusunnya berupa batuan karbonat atau batuan sedimen yang mengandung mineral karbonat atau mineral dengan komposisi kimia utama

berupa senyawa CO 3 lebih dari 50%, yaitu batugamping dan dolomit. Kelakuan air bawah tanah (air tanah) pada batuan karbonat atau pada kawasan kars, sangatlah berbeda dibandingkan air pada batuan sedimen lainnya, seperti batupasir.

Air mengalir dalam batuan umumnya melalui dua media, yaitu ruang antar butir (porous media) dan media rekahan (fractured media). Kemampuan media atau batuan, dalam mengalirkan air, berkaitan dengan besaran porositas batuan itu. Porositas adalah volume ruang antar butir atau rongga dibandingkan dengan volume keseluruhan batuan tersebut. Pada media pori seperti batupasir, porositasnya disebut sebagai porositas primer, yaitu porositas yang terbentuk selama proses pengendapan batuan itu.

Di dalam media rekahan seperti batugamping pembentuk kars, air dalam jumlah yang signifikan mengalir melalui rongga-rongga yang terbentuk oleh pelarutan batuan tersebut. Inilah yang disebut porositas sekunder, yaitu porositas yang diperbesar oleh pelarutan batuan tersebut di dalam air yang melaluinya. Dimensi rongga semakin besar hingga berupa gua-gua.

Terbentuknya rongga-rongga porositas sekunder itu berkaitan dengan air hujan dan kimia penyusun batugamping. Air hujan berinteraksi dengan karbon dioksida di atmosfir dan ketika masuk ke dalam tanah menjadi semakin agresif karena mengandung asam

karbonat (H 2 CO 3 ). Selanjutnya, air asam ini berinfiltrasi melalui rekahan atau celahan dan melarutkan batuan karbonat (CaCO 3 ) yang dilaluinya sehingga membentuk rongga saluran air. Di tempat lain, karbonat yang terlarut ini ini diendapkan kembali dalam bentuk stalaktit dan lain gua.

Awalnya, celahan itu terbentuk oleh gejala struktur geologi seperti perlipatan atau sesar. Celahan menjadi zona lemah tempat air masuk ke dalam sistem kars yang selanjutnya melarutkan batuan karbonat penyusun kars. Dengan berjalannya waktu, pelarutan ini menyebabkan berkembangnya lubang di permukaan tanah, runtuhan, sungai yang menghilang, lembah sungai kering, gua-gua, sungai bawah tanah, mata air, dan perbukitan denudasi dengan relief yang umum dijumpai di daerah kars.

Domenico dan Schwartz (1990) membagi komponen aliran di akuifer kars menjadi hanya dua, yaitu komponen aliran rembesan atau difusi (diffuse flow system) dan komponen aliran saluran (conduit flow system). Perilaku air tanah pada sistem aliran rembesan bersifat lambat dan laminar dengan gerakan fluida yang konstan melalui jaringan porositas batuan mengikuti hukum Darcy. Porositas ini terbentuk akibat rekahan atau kekar yang

halus yang cukup rapat akibat struktur, jadi merupakan porositas sekunder.

Sedangkan pada sistem aliran saluran, aliran air tanah bersifat cepat dan turbulen atau tidak mengikuti hukum Darcy, tetapi mengikuti perilaku aliran dalam pipa yang diprediksi oleh bilangan Reynold yang memperhitungkan ciri fluida seperti kerapatan, kekentalan, dan kecepatan; serta karakteristik media yang dilaluinya. Secara sederhana, perbedaan aliran laminar dan aliran turbulen dapat diketahui dengan membayangkan air yang mengalir dari keran ke bak cuci piring hingga masuk ke pembuangannya. Aliran laminar adalah air yang keluar dari keran, sedangkan aliran turbulen adalah air yang masuk menuju pembuangannya.

Peneliti lain, sebagaimana disebutkan oleh Adji (2011), berpendapat bahwa ada jenis aliran ketiga yang terjadi pada kawasan kars, yaitu aliran celahan yang mengalir melalui celah-celah (fissure) yang terbentuk. Namun, secara prinsip, celahan ini sebenarnya bagian dari saluran, yaitu saluran pada tahap awal terbentuknya. Selanjutnya, Adji (2011) menyimpulkan bahwa aliran rembesan merupakan pemasok penting aliran dasar (baseflow) pada kawasan kars. Aliran dasar adalah aliran air yang tetap mengalir meski musim kemarau sekalipun.

Pada kars yang sudah sangat berkembang, aliran air melalui sistem saluran begitu dominan sehingga aliran air sangat merespon cuaca dan iklim. Banjir atau genangan berbentuk danau di sekitar mata air kars (daerah keluaran, outlet), biasanya terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah di bagian hulunya (daerah masukan air, inlet) terjadi hujan. Namun, sebagaimana hasil penelitian Adji (2011) di Gua Gilap, Gunungsewu, aliran dasar atau aliran rembesan itulah justru yang berperan dan menjadi air andalan pada musim kemarau, karena air tidak terpengaruh oleh fluktuasi musim.

Beberapa daerah yang sudah memanfaatkan potensi air dari sungai bawah tanah kawasan kars, mungkin masih memiliki banyak potensi air yang mengalir lewat sungai atau saluran air bawah tanah lainnya yang mengalir ke laut. Untuk memanfaatkan sumber daya air kars secara lebih optimal, juga guna menghindari bencana seperti kematian para penelusur gua akibat banjir tiba-tiba, kita perlu lebih memahami kelakuan air pada kawasan kars. ■

Munib I. Iman adalah Peneliti Pertama pada PAG, Badan Geologi, KESDM. Oman Abdurahman adalah Pemimpin Redaksi Geomagz, Kepala Bagian Rencana dan Laporan, Sekretariat Badan Geologi.

Kawasan Kars