Persandian dengan Kedudukan Kata Pertama Berakhir Bunyi [ u ]

Tabel 4. Persandian dengan Kedudukan Kata Pertama Berakhir Bunyi [ u ]

No.

Bunyi Akhir

Kata I

Bunyi Awal

Kata II

Bentuk Persandian

Bentuk persandian [ wa ] terjadi apabila kata pertama diakhiri dengan bunyi [ u ] dan kata kedua diawali bunyi [ a ]. Berikut data-data yang menunjukkan bentuk

persandian ini. (46) ..., pisowane Raden Rama Wijaya lan Raden Lesmana Widagda

maring ngarsane ratwagung Prabu Janaka . (V/J/5)

„..., kedatangan Raden Rama Wijaya dan Raden Lesmana Widagda dihadapan ratu b esar Prabu Janaka.‟

(47) ..., nenggih kanjeng ratwalit garwanata angka loro Dewi Kekayi, ...

(V/P/14) „..., yaitu yang mulia permaisuri kedua Dewi Kekayi, ...‟

commit to user

Pada data (46), kata ratwagung [ ratwagUG ] „ratu besar‟ merupakan gabungan dari kata ratu [ ratu ] „ratu‟ dan agung [ agUG ] „besar‟. Kata ratu [ ratu ] „ratu‟ berkedudukan sebagai kata pertama yang diakhiri dengan bunyi [ u ] dan kata

agung [ agUG ] „besar‟ berkedudukan sebagai kata kedua yang diawali bunyi [ a ].

Dari pertemuan dua bunyi vokal tersebut, terjadi proses peleburan yang menyebabkan munculnya bunyi [ wa ].

Proses yang terjadi di atas juga terjadi pada bentukan kata ratwalit [ ratwalIt ] „permaisuri kedua‟ pada data (47). Kata tersebut diturunkan dari kata

ratu [ ratu ] „ratu‟ sebagai kata pertama berakhir bunyi [ u ] dan alit [ alIt ] „kecil‟ sebagai kata kedua berawal bunyi [a]. Adanya pertemuan dua bunyi vokal tersebut, terjadi proses peleburan yang menyebabkan munculnya bunyi [ wa ].

2) [ u ]+[ I ]=[ wE ]

Bentuk persandian [ wE ] terjadi apabila kata pertama diakhiri dengan bunyi [ u ] dan kata kedua diawali bunyi [ I ]. Berikut data-data yang menunjukkan bentuk

persandian ini. (48) ..., ywang kanang pinujweng Ari, ...

(II/S/1/2/4) „..., tepatnya pada hari ini, ...‟

(49) ..., rupepeh-rupepeh panda (pen: pinda) sata manggih karma (pen:

krama ) malbweng pandhapi agung. (V/P/4) „..., berjalan menunduk dengan penuh hormat masuk di balai agung.‟

(50) ... jeneng sira sun wisuda kumadeg ratweng Ayodya. (V/G/13)

„... kamu saya wisuda menjadi ratu di Ayodya.‟

commit to user

Kata pinujweng [ pinujwEG ] „tertuju di‟ pada data (48) merupakan gabungan dari kata pinuju [ pinuju ] „tertuju‟ yang berkedudukan sebagai kata

pertama dan preposisi ing [ IG ] „di‟ berkedudukan sebagai kata kedua. Bunyi [ u ]

pada akhir kata pertama yang bertemu dengan bunyi [I] pada awal kata kedua mengalami proses peleburan atau sintesis, dari proses tersebut menghasilkan bunyi [ wE ]. Kata yang terbentuk menjadi pinujweng [ pinujwEG ] „tertuju di‟.

Pada data (49), kata malbweng [ malbwEG ] „masuk di‟ apabila diurai terdiri dari kata malbu [ malbu ] „masuk‟ sebagai kata pertama berakhir bunyi [ u ] dan

preposisi ing [ IG ] „di‟ sebagai kata kedua berawal bunyi [I]. Kata malbu [ malbu ]

„masuk‟ sebenarnya berasal dari kata malebu [ mal| bu ] „masuk‟, setelah mengalami proses synkop menjadi malbu [ malbu ] „masuk‟. Sebagaimana proses persandian pada data (48), bunyi [ u ] pada akhir kata pertama yang bertemu dengan bunyi [I] pada awal kata kedua mengalami proses peleburan yang

menyebabkan munculnya bunyi [ wE ]. Kata yang terbentuk menjadi malbweng [ malbwEG ] „masuk di‟.

Contoh lain dari bentuk persandian ini seperti pada data (50), kata ratweng [ ratwEG ] „ratu di‟ diturunkan dari kata ratu [ ratu ] „ratu‟ dan ing [ IG ] „di‟. Bunyi

[ u ] pada akhir kata ratu [ ratu ] „ratu‟ bertemu dengan bunyi [I] pada awal kata ing

[ IG ] „di‟ mengalami proses peleburan atau sintesis yang menyebabkan munculnya bunyi [ wE ]. Kata yang terbentuk menjadi ratweng [ ratwEG ] „ratu di‟.

commit to user

2. Fungsi Persandian

Fungsi persandian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah fungsi berdasarkan penggunaan bahasa untuk suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai oleh penggunanya atau pemakainya. Dalam hal ini mencakup dalang, penyusun naskah, dan para pakar bahasa pedalangan yang sekaligus menjadi informan dalam penelitian ini. Berikut beberapa pendapat informan mengenai fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta.

Karena nanti ada beberapa pengaruh ya, ada karena pengaruh tembang, jadi pengaruh tembang itu jelas saja mempengaruhi bentuk janturan maupun bentuk gineme, satu itu, yang kedua itu karena setiap orang mempunyai pernapasan yang berbeda-beda, jadi panjang pendeknya nafas itu juga mempengaruhi, susilarja susila arja, kemudian itu adalah variasi, untuk membuat sebuah variasi, kemudian ada unsur untuk mencari aspek estetis, jadi kan lebih estetis daripada susila arja, jadi fungsinya adalah

macam-macam itu. 1

Dari pendapat Sumanto di atas, fungsi persandian yang terlihat antara lain untuk menyingkat bunyi, hal ini berkaitan dengan pernyataan Sumanto mengenai panjang pendek nafas setiap orang yang berbeda-beda sebagaimana tersebut di atas. Fungsi persandian untuk menyingkat bunyi ini juga diutarakan oleh

Bambang Murtiyoso. 2 Fungsi berikutnya yaitu untuk membuat sebuah variasi dan untuk mencari aspek estetis. Fungsi persandian lain juga dijelaskan oleh Endang Supadma sebagai berikut. Kersanipun luwes, kersanipun endah, kersanipun ekspresinipun langkung

menjiwai, bahasa pedalangan menika bahasa yang indah yang menarik, indah dalam arti menarik perhatian dan mempunyai kekuatan makna,

lebih mengena. 3

1 Sumanto, wawancara tanggal 19 Juli 2011, di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. 2 Wawancara tanggal 19 Juli 2011, di Baturono. 3 Wawancara tanggal 18 Oktober 2011, di SMKN 8 Surakarta.

commit to user

(Supaya halus, supaya indah, supaya ekspresinya lebih menjiwai, bahasa pedalangan adalah bahasa yang indah yang menarik, indah dalam arti menarik perhatian dan mempunyai kekuatan makna, lebih mengena.)

Penjelasan Endang Supadma di atas menunjukkan adanya fungsi untuk membuat kata lebih halus, untuk keindahan bahasa, dan untuk mengungkapkan ekspresi. Berkaitan dengan fungsi persandian untuk membuat kata lebih halus, Sumanto juga menjelaskan: “untuk mermperhalus dan itu membuat bahasanya

lebih estetis ngono rasane (seperti itu rasanya)” 4 . Kemudian berkaitan dengan “ekspresi”, Bambang Murtiyoso juga menjelaskan sebagai berikut.

Iya untuk ekspresi, kadang makna itu tidak menjadi penting kok, makna itu kedua, yang penting ndakik-ndakike 5 , semakin ndakik semakin lancar

ekspresi ucapannya ya semakin bagus. 6

Berdasarkan pendapat masing-masing informan sebagaimana tersebut di atas, macam-macam fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta antara lain sebagai berikut.

a. Memunculkan Kesan Estetis

Fungsi persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta salah satunya adalah untuk memunculkan kesan estetis, Bambang Suwarno menyebutnya

dengan “endahing basa” 7 (keindahan bahasa). Berikut contoh data yang menunjukkan fungsi ini. (15) Busana kadewatan sarwendah datan kuciwa, ...

(I/J/113/6/1) „Busana kebesaran dewa serba indah tidak mengecewakan, ...‟

4 Wawancara tanggal 19 Juli 2011, di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. 5 Ndakik-ndakike berarti berbicara dengan diksi yang indah penuh makna. 6 Wawancara tanggal 19 Juli 2011, di Baturono. 7 Wawancara tanggal 23 Februari 2011, di Sangkrah.

commit to user

Kata sarwendah [ sarwEndah ] „serba indah‟ diturunkan dari kata sarwa [ sarwO ] „serba‟ dan endah [ endah ] „indah‟. Setelah bergabung dan mengalami

proses persandian muncul bunyi [ E ] menjadi sarwendah [ sarwEndah ] „serba

ind ah‟. Jika bentukan tersebut disajikan tanpa menggunakan persandian, yaitu sarwa endah [ sarwO endah ] „serba indah‟, maka tidak ditemui kesan estetis di

dalamnya. Lain halnya dengan bentukan sarwendah [ sarwEndah ] „serba indah‟,

kata tersebut dirasa lebih memunculkan kesan estetis. (17) ..., patinireku wus pareg, ...

(II/S/6/1/7) „..., kematiannya itu sudah dekat, ...‟

Kata patinireku [ patinirEku ] „kematiannya itu‟ pada data (19) merupakan gabungan dari kata patinira [ patinirO ] „kematiannya‟ dan iku [ iku ] „itu‟. Setelah

bergabung dan mengalami proses persandian muncul bunyi [ E ] menjadi

patinireku [ patinirEku ] „kematiannya itu‟. Apabila bentukan tersebut disajikan tanpa menggunakan persandian, yaitu patinira iku [ patinirO iku ] „kematiannya itu‟, maka terlihat kurang estetis atau kurang indah. Namun jika bentukan tersebut

disajikan dengan menggunakan persandian, yaitu menjadi patinireku [ patinirEku ] „kematiannya itu‟, maka kata tersebut dirasa lebih memancarkan kesan estetis.

b. Mengungkapkan Ekspresi

Fungsi persandian kedua yaitu untuk mengungkapkan ekspresi dalang. Bahasa sebagai media ungkap dalam seni pedalangan tidak lepas dari ekspresi seorang dalang. Bagaimana ekspresi seorang dalang ketika melukiskan suatu

commit to user

keadaan atau percakapan antar tokoh wayang tidak lepas pula dari diksi yang digunakan. Sebagai contoh dapat dilihat pada data (44) dan (45) berikut.

(44) Bimanyuputra ya Sang Utaryatmojo (pen: Utaryatmaja), ... (I/J/3/1/4) „Bimanyuputra juga Sang Utryatmaja, ...‟

Kata Utaryatmaja [ utary atmOjO ] „Utaryatmaja‟ pada data (44) diturunkan dari kata Utari [ utari ] „Utari‟ dan atmaja [ atmOjO ] „putra‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian, kata yang terbentuk menjadi Utaryatmaja

[ utary atmOjO ] „Utaryatmaja‟. Ketika kata Utaryatmaja [ utary atmOjO ] „Utaryatmaja‟ diucapkan oleh seorang dalang, maka akan lebih berekspresi karena terjadi penekanan suara dengan pelafalan lebih cepat dimana sang dalang

menjelaskan bahwa Parikesit adalah putra Abimanyu juga putra Dewi Utari. Akan terasa berbeda jika bentuk tersebut diucapkan tanpa menggunakan persandian

seperti Utari atmaja [ utary atmOjO ] „Utaryatmaja‟. Terdapat jeda dalam pelafalan bentuk tersebut, sehingga dalam pelafalan terkesan kurang berekspresi.

(45) ..., Senayoga, Arimbyatmojo (pen: Arimbyatmaja), Gurundoyo,

inggih Raden Purbaya. (I/J/106/1/3) „…, Senayoga, Arimbyatmaja, Gurundoyo, juga Raden Purbaya.‟

Kata Arimbyatmaja [ arimby atmOjO ] „Arimbyatmaja‟ pada data (45) merupakan gabungan dari kata Arimbi [ arimbi ] „Arimbi‟ dan atmaja [ atmOjO ] „putra‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian menjadi

Arimbyatmaja [ arimby atmOjO ] „Arimbyatmaja‟. Dalam pelafalannya, bentukan tersebut akan lebih mendukung ekspresi seorang dalang daripada bentuk sebelum disandikan, yaitu Arimbi atmaja [ arimbi atmOjO ] „Arimbyatmaja‟. Dalam kutipan

commit to user

data tersebut di atas menjelaskan bahwa Raden Gathotkaca mempunyai nama lain atau dalam istilah Jawa disebut dengan dasanama, yaitu seperti Senayoga, Arimbyatmaja, Gurundoyo, dan Raden Purbaya.

c. Menyingkat Bunyi

Dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta, persandian juga berfungsi untuk menyingkat bunyi. Bagi seorang dalang yang memiliki pernapasan pendek, persandian akan banyak digunakan dalam pemilihan kata. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan contoh data sebagai berikut.

(21) Satriya gagah prakosa birawa tur sentosa, dhasar sembada

prawireng jurit.

(I/J/65/3/5)

„Satria gagah perkasa disegani dan juga sentosa, memang pemberani di peperangan.‟

Kata prawireng [ prawirEG ] „pemberani‟ pada data (21) merupakan gabungan dari kata prawira [ prawirO ] „berani‟ dan ing [ IG ] „di‟. Setelah bergabung

dan mengalami proses persandian, bentukan tersebut menjadi prawireng [ prawirEG ] „pemberani‟. Terjadi proses penyingkatan bunyi sekaligus proses pengurangan jumlah suku kata dari empat suku kata menjadi tiga suku kata.

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa setiap dalang mempunyai pernapasan yang berbeda-beda, maka dengan persandian yang menyebabkan penyingkatan bunyi ini akan membantu dalang ketika dalam catur-nya menemui masalah pernapasan.

(49) ..., rupepeh-rupepeh panda (pen: pinda) sata manggih karma (pen:

krama ) malbweng pandhapi agung. (V/P/4) „..., berjalan menunduk dengan penuh hormat masuk di balai agung.‟

commit to user

Kata malbweng [ malbwEG ] „masuk di‟ di atas apabila diurai terdiri dari kata malebu [ mal| bu ] „masuk‟ yang disynkopkan menjadi malbu [ malbu ] „masuk

dan preposisi ing [ IG ] „di‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian,

bentukan tersebut menjadi malbweng [ malbwEG ] „masuk di‟. Dalam proses persandian tersebut juga terjadi proses penyingkatan bunyi dan proses

pengurangan jumlah suku kata dari tiga suku kata menjadi dua suku kata. Bentukan kata malbweng [ malbwEG ] „masuk di‟ dapat digunakan oleh seorang dalang ketika dalam catur-nya menemui masalah pernapasan.

d. Variasi Bentuk

Fungsi persandian yang lain yaitu untuk variasi bentuk. Konsep micara dalam estetika catur memberikan gambaran bahwa seorang dalang harus memiliki perbendaharaan kata yang banyak. Pandai dan terampil dalam memvariasi bentuk kata agar tidak terkesan monoton. Sebagai contoh dapat dilihat pada data di bawah ini.

(8) Risang Rama bangkit lir sardulantuk bayangan, ...

(V/P/8) „Sang Rama bangkit seperti harimau mendapat mangsa, ...‟

Kata sardulantuk [ sardulantU? ] „harimau mendapat‟ pada data di atas

merupakan bentuk persandian. Apabila kata tersebut disajikan tanpa menggunakan persandian, maka menjadi sardula antuk [ sardulO antU? ] „harimau mendapat‟. Tidak ada keharusan bahwa seorang dalang harus menggunakan

persandian dalam catur-nya. Variasi bentuk lebih dikedepankan agar tidak terkesan monoton. Dengan kata lain, seorang dalang bebas menggunakan

commit to user

bentukan kata yang akan disajikan, apakah bentukan sardulantuk [ sardulantU? ] „harimau mendapat‟ atau sardula antuk [ sardulO antU? ] „harimau mendapat‟.

(50) ... jeneng sira sun wisuda kumadeg ratweng Ayodya. (V/G/13) „... kamu saya wisuda menjadi ratu di Ayodya‟

Kata ratweng [ ratwEG ] „ratu di‟ diturunkan dari kata ratu [ ratu ] „ratu‟ dan ing [ IG ] „di‟. Apabila seorang dalang ingin menyajikan kata tersebut dengan

bentuk persandian, maka bentukan yang digunakan adalah kata ratweng [ ratwEG ] „ratu di‟. Namun untuk variasi bentuk, kadang seorang dalang juga menyajikannya secara lugas, yaitu dengan bentukan ratu ing [ ratwEG ] „ratu di‟.

e. Memperhalus Bentukan Kata

Fungsi persandian yang lain yaitu untuk memperhalus bentukan kata. Bahasa pedalangan adalah bahasa yang literer, arkhais, serta estetis. Untuk mendukung kesan tersebut, pasti dibutuhkan penggunaan kata atau diksi yang tepat, seperti bentukan kata yang halus, tidak kaku, dan menunjukkan kesatuan bentuk. Sebagai contoh dapat dilihat pada data di bawah ini.

(24) ... Kang Murbeng Gesang, ...

(I/J/96/1/7) „... Yang Menguasai Hidup, ...‟

Kata murbeng [ mUrbEG ] „menguasai‟ diturunkan dari kata murba [ mUrbO ] „menguasai‟ dan ing [ IG ] „di‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian muncul bunyi [ E ] menjadi murbeng [ mUrbEG ] „menguasai‟ Jika

bentukan tersebut disajikan tanpa menggunakan persandian, yaitu murba ing [ mUrbO IG ] „menguasai‟, maka bentukannya terkesan kurang halus atau kaku. Lain

commit to user

halnya dengan bentukan murbeng [ mUrbEG ] „menguasai‟, bentukan kata tersebut lebih dirasakan halus dan terasa lebih estetis, sebagaimana pendapat Sumanto di

bawah ini. Dalam komposisi seperti ini berarti „ing‟ tidak selalu berarti „di‟, hanya

sebagai penghalus supaya katanya lebih mempunyai kesan tertentu, untuk mermperhalus dan itu membuat bahasanya lebih estetis ngono rasane

(seperti itu rasanya). 8

(32) ..., sukeng tyas Sri Kresna, ...

(II/S/21/1/6) „..., senang hati Sri Kresna, ...‟

Kata sukeng [ sukEG ] „senang‟ merupakan gabungan dari kata suka [ sukO ] „senang‟ dan ing [ IG ] „di‟. Setelah bergabung dan mengalami proses persandian

muncul bunyi [ E ] menjadi sukeng [ sukEG ] „senang‟. Seperti pada data (24) di atas,

jika bentukan tersebut disajikan tanpa menggunakan persandian, yaitu suka ing [ sukO IG ] „senang‟, maka bentukannya kurang halus atau kaku. Akan lain jika bentukan tersebut disajikan dengan menggunakan persandian, yaitu sukeng [ sukEG ] „senang‟, bentukan kata tersebut terasa lebih halus dan tidak kaku.

3. Makna Persandian

Persandian dapat menyebabkan makna komponen-komponenya lebur atau tetap. Berdasarkan ciri persandian tersebut, maka pengklasifikasian makna persandian didasarkan atas persandian dengan makna komponen lebur dan persandian dengan makna komponen tetap. Berikut penjelasan mengenai makna persandian dalam bahasa pedalangan gaya Surakarta.

8 Wawancara tanggal 19 Juli 2011, di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

commit to user