Kajian Pustaka

d. Memenuhi Aturan Guru Lagu

Menurut Sri Hartati (1989:46), fungsi persandian selain untuk memenuhi aturan guru wilangan juga untuk memenuhi aturan guru lagu. Yang dimaksud dengan guru lagu yaitu “tibaning dhong-dhinging swara ing saben wekasaning gatra ” (bunyi vokal pada tiap akhir baris) (S. Padmosoekotjo, 1956:27). Dalam hal ini Sri Hartati (1989:47) memberikan contoh baris tujuh pada tembang Sinom, yaitu miwah kang pra dipatya „serta para Adipati‟. Menurut aturan guru lagu¸

bunyi akhir tembang Sinom baris ketujuh adalah bunyi [ O ]. Pada kata dipatya

commit to user

[ dipaty O ] „adipati‟, semula berasal dari kata dipati [ dipati ] „adipati‟ yang bersuara akhir bunyi [i]. Untuk memenuhi aturan guru lagu, maka kata dipati [ dipati ] „adipati‟ tersebut digabungkan dengan sufiks {-a}, sehingga bentukan tersebut

menjadi dipatya [ dipaty O ] „adipati‟. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi ini tidak sesuai dengan konsep dasar persandian dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena untuk memenuhi aturan guru lagu, jelas yang termasuk di dalamnya adalah

bentuk persandian yang merupakan gabungan kata dengan afiks. Adapun konsep dasar persandian yang digunakan dalam penelitian ini adalah proses bergabungnya kata dengan kata.

e. Menunjukkan Kesatuan Bentuk

Menurut Sri Hartati (1989:48), persandian juga sering berfungsi untuk menunjukkan kesatuan bentuk. Sri Hartati (1989:48) juga menambahkan bahwa fungsi ini umumnya dijumpai dalam bentuk prosa dan umumnya terdapat pada persandian yang terjadi pada gabungan kata dengan kata atau persandian luar.

Bahasa pedalangan juga mengenal bahasa prosa atau gancaran, yang mana di dalamnya banyak dijumpai bentukan-bentukan kata yang merupakan gabungan dua kata atau lebih dengan pertemuan dua bunyi vokal.

Contoh: satriyarga [ satriy argO ] „satria gunung‟

Kata satriyarga [ satriy argO ] „satria gunung‟ merupakan gabungan dari kata satriya [ satriy O ] „satria‟ dan arga [ argO ] „gunung‟ . Setelah bergabung dan mengalami proses persandian, bunyi [ O ] pada akhir kata satriya [ satriy O ] „satria‟ melebur, sehingga kata yang terbentuk menjadi satriyarga [ satriy argO ] „satria

commit to user

gunung‟. Jika bentukan tersebut disajikan tanpa menggunakan persandian, yaitu satriya arga [ satriy O argO ] „satria gunung‟, maka sifat bentukan ini terasa renggang. Namun dengan digabungkannya dua kata tersebut, maka sifat bentukan akan lebih terasa rapat dan tidak dapat disisipi bentuk lain.

f. Penyingkatan Bunyi

Menurut Sumadi (1990/1991:14), fungsi persandian untuk penyingkatan bunyi banyak ditemukan dalam karya sastra berbentuk prosa. Pada fungsi ini Sumadi memberikan contoh persandian yang terjadi pada gabungan kata dan

afiks, yaitu kata gegedhen [ g| g| .dEn ] „terlalu besar‟ yang merupakan hasil

penggabungan morfem gedhe [ g| .de ] „besar‟ dan DP- -an. Antara bunyi vokal [ e ] pada gedhe [ g| .de ] „besar‟ dan [ a ] pada sufiks [-an] disandikan menjadi [ E ]. Dengan kata lain, bunyi vokal [ E ] merupakan peluluhan bunyi vokal [ e ] dan [a].

Pada dasarnya, semua bentuk persandian mengalami proses penyingkatan bunyi. Hal ini dapat dilihat dari terjadinya proses pengurangan jumlah suku kata dalam persandian.

Contoh: sedyarsa [ s| dy arsO ] „niat‟

Kata sedyarsa [ s| dy arsO ] „niat‟ yang diturunkan dari kata sedya [ s| dy O ] „bersedia‟ dan arsa [ arsO ] „akan‟, setelah digabungkan dan mengalami proses persandian menjadi sedyarsa [ s| dy arsO ] „niat‟. Bunyi [ O ] pada sedya [ s| dy O ] „bersedia‟ dan bunyi [a] pada arsa [ arsO ] „akan‟ bergabung menjadi satu bunyi [a]. Dalam hal ini terjadi proses penyingkatan bunyi sekaligus proses pengurangan

jumlah suku kata dari empat suku kata menjadi tiga suku kata.

commit to user

5. Makna Persandian

Terdapat dua penelitian yang menyinggung mengenai makna persandian, yaitu “Persandian dalam Bahasa Jawa Suatu Studi Perbandingan” (1989) oleh Sri Hartati, bentuk skripsi dan “Bentuk Persandian dalam Bahasa Jawa (Suatu

Tinjauan Komparatif)” (1991) oleh Sumadi, bentuk laporan penelitian. Dalam penelitian Sri Hartati (1989:25), makna persandian tidak menjadi

bagian dari analisis data. Makna pesandian hanya disinggung dan dibahas secara singkat dalam landasan teorinya sebagai ciri-ciri persandian. Dalam penelitian Sumadi (1990/1991:11), makna persandian juga dibahas secara singkat dalam kerangka teorinya. Keduanya menjelaskan bahwa “persandian dapat menyebabkan makna komponen- komponennya lebur atau tetap” ( Sri Hartati, 1989:25; Sumadi, 1990/1991:11 ) .

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa bergabungnya dua kata dengan pertemuan dua bunyi vokal selain menyebabkan perubahan bunyi, juga menyebabkan perubahan makna komponen. Berikut contoh

persandian dengan kedudukan “makna komponen lebur” dan “makna komponen tetap”

a. Makna Komponen Lebur

Bergabungnya dua kata dengan pertemuan dua bunyi vokal yang menyebabkan makna komponen-komponennya lebur.

Contoh: Pawanatmaja [ pawanatmOjO ] „Bima‟ Kata Pawanatmaja [ pawanatmOjO ] „Bima‟ diturunkan dari kata Pawana [ pawOnO ] „dewa Pawana (angin)‟ dan atmaja [ atmOjO ] „putra‟. Setelah digabung

commit to user

dan mengalami proses persandian menjadi Pawanatmaja [ pawanatmOjO ], maka makna kedua komponen lebur dan menunjuk ke satu makna lain yaitu „Bima‟.

b. Makna Komponen Tetap

Bergabungnya dua kata dengan pertemuan dua bunyi vokal yang tidak menyebabkan perubahan makna komponennya, atau dengan kata lain makna komponennya tetap

Contoh: lagyantuk [ lagy antU? ] „sedang mendapat‟ Kata lagyantuk [ lagy antU? ] „sedang mendapat‟ diturunkan dari kata lagi [ lagi ] „sedang‟ dan antuk [ antU? ] „mendapat‟. Setelah digabung dan mengalami proses persandian menjadi lagyantuk [ lagy antU? ] „sedang mendapat‟, terlihat bahwa

makna komponen-komponenya tetap. Dengan demikian, persandian yang terjadi tidak mengubah makna komponen.

6. Ciri-Ciri Persandian

Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, dapat dideskripsikan ciri-ciri persandian sebagai berikut.

a) Persandian merupakan gabungan dua kata.

b) Persandian mengharuskan adanya pertemuan dua bunyi vokal, yaitu bunyi vokal pada akhir kata pertama dan bunyi vokal pada awal kata kedua.

c) Terjadi proses peleburan atau sintesis, semula terdiri dari dua bunyi vokal

cenderung berubah menjadi satu bunyi vokal.

d) Terjadi proses pengurangan jumlah suku kata dalam persandian.

e) Persandian dapat menyebabkan makna komponen-komponenya lebur atau

tetap.

commit to user

7. Bahasa Pedalangan Gaya Surakarta

Bahasa merupakan bahan baku yang digarap sebagai media ungkap dalam wujud wacana dan vocal dalang. Wacana dalang dalam dunia pedalangan biasa disebut dengan basa pedhalangan, yaitu bahasa Jawa yang digunakan khusus dalam seni pedalangan. Dalam seni pedalangan, ungkapan melalui bahasa ini dapat berupa deskripsi atau narasi (janturan, pocapan), dan dialog (ginem) ataupun monolog (ngudarasa) tokoh wayang. Selain itu bahasa juga digunakan sebagai media ungkap vocal dalam bentuk cakepan sulukan dan kombangan (Suyanto dalam Bambang Murtiyoso, dkk., 2007:4).

Dunia pewayangan Indonesia mengenal adanya gaya atau gagrag atau tradisi pedalangan seperti gaya Surakarta, Ngayogyakarta atau Mataram, gaya Jawa Timuran, gaya Pesisiran, dsb. Diantara gaya-gaya pedalangan tersebut, yang sangat populer di masyarakat pendukung pewayangan adalah gaya Surakarta dan Ngayogyakarta (Soetarno, 2005:17-18). Catur dalam pedalangan gaya Surakarta adalah susunan atau rangkaian bahasa yang diucapkan oleh dalang pada waktu penyajian wayang, yang berisi pelukisan sesuatu keadaan atau yang berupa percakapan wayang. Catur dalam pertunjukan wayang dapat dibedakan menjadi tiga: janturan, pocapan, dan ginem (Soetarno, 2005:78).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahasa pedalangan disebut juga dengan basa pedhalangan atau catur. Bahasa pedalangan gaya Surakarta adalah susunan atau rangkaian bahasa yang diucapkan dalang ketika mendalang, berisi pelukisan suatu keadaan (janturan dan pocapan) atau berupa percakapan (ginem), serta dapat berupa vocal (cakepan sulukan dan kombangan).

commit to user

a. Janturan

Janturan adalah wacana dalang berupa deskripsi suatu adegan yang sedang berlangsung, mencakup suasana tempat (negara), tokoh, dan peristiwa dengan diiringi sirepan gendhing. Janturan banyak menghadirkan leksikal arkhais: maksudnya dalam ungkapan janturan banyak menghadirkan kata-kata yang diambil dari bahasa Kawi atau bahasa kapujanggan (Suyanto dalam Bambang Murtiyoso, dkk., 2007:10-11). Menurut Sudarko (2003:243), janturan adalah susunan bahasa yang diucapkan dhalang pada waktu mendhalang, berisi pelukisan suatu adegan atau jejer, dan biasanya diiringi dengan gendhing sirep (lirih).

b. Pocapan

Pocapan adalah wacana dalang berupa narasi yang pada umumnya menceritakan peristiwa yang sudah, sedang, dan akan berlangsung, tanpa iringan gendhing sirepan. Bahasanya lebih sederhana dibanding janturan. Tidak banyak menggunakan leksikal arkhais atau bahasa Kawi yang rumit-rumit, dan penyampaiannya tanpa diiringi sirepan gendhing (Suyanto dalam Bambang Murtiyoso, dkk., 2007:14). Lebih singkatnya, pocapan adalah narasi yang dilakukan oleh dhalang tanpa diiringi dengan suara gamelan (Sudarko, 2003:251).

c. Ginem

Berasal dari basa ngoko gunem (Jawa) artinya berbicara. Berarti ucapan dalang yang mengekspresikan wacana tokoh wayang, baik dalam bentuk monolog maupun dialog (Suyanto dalam Bambang Murtiyoso, dkk., 2007:16). Menurut

commit to user

Sudarko (2003:243), ginem adalah dialog tokoh wayang satu dengan yang lain atau monolog.

d. Sulukan dan Kombangan

Dalam Kêtêg “Fleksibilitas Musikal Sulukan Gaya Surakarta” oleh Suyoto (2004:19-20), sulukan adalah suatu istilah untuk menyebut nyanyian dalang dalam pertunjukan wayang kulit. Sulukan ini selalu hadir pada setiap bagian pathêt. Pathêt adalah konsep tentang pembagian wilayah waktu pertunjukan wayang kulit Jawa semalam suntuk. Pembagian pathêt tersebut meliputi tiga wilayah waktu yaitu: (1) pukul 21.00 - 24.00 (pathêt nêm), (2) pukul 24.00 - 03.00 (pathêt sanga ), dan (3) Pukul 03.00 - 06.00 (pathêt manyura).

Kombangan secara etimologi berasal dari kata kombang mendapat akhiran - an , yang memiliki arti seperti kombang. Hal yang dimaksudkan adalah bersuara mirip suara kombang (mbrêngêngêng). Lima huruf vokal yang bisa menimbulkan efek sengau atau dengung adalah O atau E. Maka O atau E inilah yang digunakan untuk teks kombangan dalam sulukan maupun dalam gendhing (Suyoto, 2004:24).

commit to user