Pengaturan Hukum Laut Internasional tentang Negara Kepulauan

C.2. Pengaturan Hukum Laut Internasional tentang Negara Kepulauan

Selanjutnya perlu diperhatikan ketentuan Pasal 47 ayat 1 yang menetapkan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus

73 Etty R. Agoes, “ Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum Internasional, Volume 1 Nomor 3 April 2004, h. 455-456.

kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar dan karang-karang kering terluar dari kepulauan dengan syarat perbandingan antara wilayah laut dan wilayah darat, termasuk pulau karang adalah 1:1 sampai 9:1. Dalam ayat 2 ditegaskan bahwa panjang garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal dapat melebihi 100 mil laut hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.

Kemudian, ayat 3,4 dan 5 memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal lurus kepulauan dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa garis-garis pangkal lurus demikian tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum pantai (ayat 3).

Syarat kedua adalah garis-garis pangkal lurus tidak boleh ditarik di antara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di waktu pasang surut atau elevasi surut (low-tide elevations), kecuali apabila di atasnya telah didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupa yang setiap waktu ada di atas permukaan air dan penarikan garis-garis lurus dari elevasi ini atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau

yang terdekat (ayat 4). 74 Ketentuan ini hampir serupa dengan ketentuan Pasal 7 ayat 4 yang

berlaku untuk penarikan garis pangkal lurus, namun penggunaan elevasi surut

74 Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Op. Cit., h. 131-132.

sebagai titik pangkal dikenakan persyaratan letak atau jarak yang harus kurang dari atau tidak melebihi laut teritorial, diukur dari pulau terdekat. 75

Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal lurus kepulauan tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut teritorial negara lain dengan laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ayat 5).

Syarat lain yang harus diperhatikan dalam penarikan garis pangkal lurus kepulauan terhadap negara tetangga yang berdekatan termuat dalam ayat

6 yang berbunyi: (6) If part of the archipelagic waters of an archipelagic State

lies between two parts of an immediately adjacent neighbouring State, existing rights and all other legitimate interests which the latter State has traditonally exercised in such waters and all rights stipulated by agreement between those States shall continue and be respected.

Ketentuan ayat 5 dan 6 di atas ditetapkan untuk mengurangi dampak penarikan garis-garis pangkal lurus kepulauan terhadap hak dan kepentingan negara tetangga, khususnya agar tidak menyebabkan tertutupnya akses dari laut teritorial negara tetangga. Dampak lain bagi negara tetangga yang dilindungi oleh Konvensi Hukum Laut 1982 adalah terhadap kemungkinan putusnya komunikasi melalui laut antara dua bagian wilayah dari suatu negara tetangga terdekat, atau hapusnya hak-hak dan kepentingan sah lainnya yang secara tradisional telah dilaksanakan oleh negara tersebut di bagian laut yang

sekarang menjadi perairan kepulauan. 76

75 Etty R. Agoes, “ Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan”, Jurnal Hukum Internasional,

Op., Cit., h. 447. 76 Ibid., h. 448.

Selanjutnya, ayat 8 menyatakan bahwa hasil penarikan garis-garis pangkal tersebut harus digambarkan dalam peta, atau sebagai gantinya dapat dibuat daftar dari titik-titik koordinat geografis yang secara tegas memerinci datum geodetik. Peta tersebut harus dibuat dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Ayat 9 mewajibkan negara kepulauan untuk mengumumkan sebagaimana mestinya peta-peta atau daftar-daftar koordinat geografis demikian serta menyerahkan satu salinan peta atau daftar demikian dan didepositkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa. Ketentuan-ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 16 yang menetapkan kewajiban negara pantai untuk penarikan garis-garis pangkal laut teritorial.

Berdasarkan ketentuan Pasal 48 garis-garis pangkal lurus yang ditarik menurut Pasal 47 di atas akan merupakan titik awal atau garis pangkal untuk pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen bagi suatu negara kepulauan. Ketentuan Pasal 48 tersebut menguatkan bahwa garis-garis pangkal lurus kepulauan memiliki fungsi yang sama dengan garis- garis pangkal biasa, atau garis-garis pangkal lurus. Penarikan garis-garis pangkal lurus kepulauan tidak menghilangkan hak negara kepulauan untuk menetapkan bagian dari perairannya sebagai perairan pedalaman. Untuk itu Pasal 50 Konvensi Hukum Laut menetapkan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis-garis penutup dalam perairan kepulauannya untuk penetapan batas perairan pedalaman sesuai dengan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11. Istilah penetapan (delimitation) biasanya digunakan dalam ketentuan- ketentuan yang mengatur tentang garis batas antar negara. Dalam ketentuan di Berdasarkan ketentuan Pasal 48 garis-garis pangkal lurus yang ditarik menurut Pasal 47 di atas akan merupakan titik awal atau garis pangkal untuk pengukuran lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen bagi suatu negara kepulauan. Ketentuan Pasal 48 tersebut menguatkan bahwa garis-garis pangkal lurus kepulauan memiliki fungsi yang sama dengan garis- garis pangkal biasa, atau garis-garis pangkal lurus. Penarikan garis-garis pangkal lurus kepulauan tidak menghilangkan hak negara kepulauan untuk menetapkan bagian dari perairannya sebagai perairan pedalaman. Untuk itu Pasal 50 Konvensi Hukum Laut menetapkan bahwa negara kepulauan dapat menarik garis-garis penutup dalam perairan kepulauannya untuk penetapan batas perairan pedalaman sesuai dengan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11. Istilah penetapan (delimitation) biasanya digunakan dalam ketentuan- ketentuan yang mengatur tentang garis batas antar negara. Dalam ketentuan di

akan memisahkan perairan pedalaman dari perairan kepulauan. 77 Mengenai status hukum dari perairan kepulauan, Pasal 49 menetapkan

bahwa: (1) Kedaulatan negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal

47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai; (2) Kedaulatan ini selain meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, khususnya sumber daya ikan;

(3) Kedaulatan negara kepulauan ini harus dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan Bab IV dari Konvensi Hukum Laut 1982; dan (4) Rezim hak lintas alur-alur laut kepulauan tidak akan mempengaruhi status hukum perairan kepulauan, termasuk alur-alur laut dan pelaksanaan kedaulatan negara kepulauan atas perairan kepulauan, dan ruang udara di atas perairan kepulauan, dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya.

Bertitik tolak dari ketentuan di atas, dapat dikatakan bahwa berbeda dengan akibat penarikan garis-garis pangkal biasa dan garis-garis pangkal lurus dimana status hukum dari perairan yang tertutup oleh garis pangkal menjadi perairan pedalaman, dalam penarikan garis-garis pangkal lurus

77 Ibid., h. 450-452.

kepulauan perairan yang tertutup oleh garis-garis pangkal tersebut akan memiliki status sebagai perairan kepulauan. 78

Perlu diperhatikan bahwa kedaulatan negara kepulauan di perairan kepulauan tidak dapat disamakan dengan di laut teritorial, karena perairan kepulauan merupakan suatu konsep yang sui generis, yang menurut Pasal 49 ayat 3 harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Bab IV dari Konvensi. Meskipun bukan perairan pedalaman, perairan kepulauan mempunyai sifat laut teritorial karena diakuinya lintas damai bagi kapal-kapal asing. Yang perlu diperhatikan dari ketentuan-ketentuan Bab IV ini adalah bahwa wewenang eksklusif negara kepulauan di perairan kepulauannya tersebut harus diimbangi dengan pengakuan atas hak-hak negara lain. Berbeda dengan negara pantai biasa di perairan pedalaman, Konvensi membatasi kedaulatan negara di perairan kepulauannya, dengan kewajiban-kewajiban untuk memberikan jaminan atas hal-hal sebagai berikut:

Pertama, negara kepulauan menurut Pasal 51 ayat 1 wajib menghormati perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku dan mengakui hak perikanan tradisional dan juga kegiatan-kegiatan lainnya yang sah dari negara tetangga yang langsung berdampingan, di bagian tertentu dari perairan kepulauannya.

Kedua, negara kepulauan menurut ayat 2 harus menghormati kabel- kabel laut yang ada yang dipasang oleh negara lain, dan mengijinkan pemeliharaan dan penggantian kabel-kabel tersebut.

78 Ibid., h. 448.

Ketiga, negara kepulauan menurut Pasal 52 ayat 1 wajib menghormati hak lintas damai kapal-kapal dari semua negara untuk melewati perairan kepulauannya sesuai dengan Bab II, Seksi 3 Konvensi.

Keempat, negara kepulauan menurut Pasal 53 ayat 2 berkewajiban menghormati hak lintas alur laut kepulauan bagi semua jenis kapal dan pesawat udara negara asing melalui perairan kepulauannya dan rute penerbangan di atas alur tersebut.

Meskipun demikian, kewajiban-kewajiban tersebut di atas diimbangi dengan pelbagai kewenangan negara kepulauan sebagaimana diatur dalam ketentuan 52 ayat 2 dan Pasal 53 ayat 1, yaitu untuk:

1. Menangguhkan lintas damai bagi kapal asing di bagian tertentu dari perairan kepulauannya apabila penangguhan demikian sangat diperlukan untuk perlindungan keamanan negaranya. Tindakan penangguhan itu tidak boleh membedakan antara kapal-kapal asing yang satu dengan yang lainnya, dan hanya berlaku setelah dilakukan pengumuman;

2. Menetapkan alur-alur laut pada perairan kepulauannya dan rute penerbangan di atas alur-alur laut kepulauannya yang cocok digunakan untuk lintas pelayaran dan penerbangan yang terus menerus dan secepat mungkin yang diperuntukkan bagi kapal, dan pesawat udara asing jenis apa pun melalui atau di atas perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan.

Dilihat dari hal-hal tersebut di atas, Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization) tidak memiliki kewenangan dalam Dilihat dari hal-hal tersebut di atas, Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization) tidak memiliki kewenangan dalam

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. 79 Permasalahan lainnya adalah Konvensi Hukum Laut 1982 tidak

menetapkan hak dan kewajiban negara pantai/negara kepulauan dan negara- negara lainnya berkaitan dengan kegiatan pesawat udara asing di alur-alur laut kepulauan, misalnya bagaimana kalau ada kegiatan lintas udara asing di alur- alur laut kepulauan yang dapat menimbulkan gangguan bagi negara yang bersangkutan, pengangkutan bahan berbahaya nuklir oleh kapal asing. Bagaimana apabila kebetulan pada jalur alur-alur laut kepulauan tersebut tiba- tiba perlu dikembangkan usaha untuk kepentingan ekonomi, yaitu pengeboran minyak, perikanan, industri agro di laut dan lain-lain. Menjadi permasalahan apakah negara kepulauan dapat menetapkan larangan dilakukannya pelbagai kegiatan tersebut di atas, dan hal ini akan dibahas dalam praktik Indonesia.

79 Etty R. Agoes, “Upaya Diplomatik Indonesia dalam Penetapan Alur-Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)”, Jurnal Hukum Internasional, Volume 6 Nomor 3 April 2009, h. 357-358.

Hal lain yang patut diperhatikan adalah mengenai pengertian tentang lintas alur kepulauan yang dijelaskan dalam Pasal 53 ayat 3 sebagai pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan dalam cara normal semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.

Berbeda dengan lintas transit yang merupakan pelaksanaan kebebasan pelayaran dan penerbangan (freedom of navigation and overflight), lintas alur kepulauan diartikan sebagai pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan dalam cara normal (rights of navigation and overflight in the normay mode). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa meskipun tidak sebebas seperti lintas transit, lintas alur laut kepulauan tidak terlalu terbatas seperti lintas damai,

atau berada di antara kedua jenis hak lintas tersebut. 80 Menurut ayat 4 bahwa alur-alur laut kepulauan dan rute penerbangan

di atas alur-alur laut kepulauan tersebut digunakan untuk melintasi perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan, termasuk semua rute yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional dan penerbangan melalui atau di atas perairan kepulauan. Berdasarkan ketentuan ayat 5 bahwa alur-alur laut dan rute penerbangan tersebut ditentukan oleh rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute hingga keluar melalui perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan. Kapal dan pesawat udara asing dalam melaksanakan lintas alur kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis

80 Ibid., h. 359.

sumbu alur laut kepulauan dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10% (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepuluan tersebut.

Untuk menunjang pelaksanaan lintas alur kepulauan, negara kepulauan berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat 6 dan 7 mempunyai wewenang untuk:

1. Menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk keperluan lintas kapal yang aman melalui jalur yang sempit di dalam alur-alur laut tersebut; dan

2. Apabila keadaan menghendaki, mengganti alur-alur laut kepulauan dan skema pemisah lalu lintas yang telah ditetapkan sebelumnya dengan alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang lain.

Sekalipun negara kepulauan mempunyai pelbagai wewenang tersebut di atas, namun ia juga dibebani dengan kewajiban untuk:

1. Memilih alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang sesuai dengan peraturan-peraturan internasional yang diterima secara umum (ayat 8);

2. Mengajukan usul alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas kepada organisasi internasional yang berwenang untuk mencapai kesepakatan bersama (ayat 9); dan

3. Mengumumkan peta-peta secara jelas menunjukkan letak poros atau sumbu alur-alur laut kepulauan dan skema pemisah lalu lintas yang ditetapkannya (ayat 10). Apabila semua persyaratan tersebut telah 3. Mengumumkan peta-peta secara jelas menunjukkan letak poros atau sumbu alur-alur laut kepulauan dan skema pemisah lalu lintas yang ditetapkannya (ayat 10). Apabila semua persyaratan tersebut telah

skema pemisah lalu lintas tersebut. 81 Menurut ketentuan Pasal 53 ayat 12 bahwa apabila negara kepulauan

tidak menetapkan alur-alur laut kepulauan dan rute penerbangan demikian, maka kapal dan pesawat udara asing tetap dapat melaksanakan haknya dengan menggunakan rute-rute yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 20

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 3 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 2 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 17

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 11

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

1.1 Isi Buku Tuhan Maha Asyik - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

1 3 47

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 12