Kategori Pulau

B.2. Kategori Pulau

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka untuk mendalami kategori pulau, baiknya kita lebih mengenal apa yg dimaksud dengan “pulau alami” dan “pulau buatan”. Dalam uraian berikut akan dijelaskan kategori dalam “pulau” yang dimaksud tersebut.

B.2.1. Pulau Alami

Sehubungan dengan karakteristik pulau, menurut hukum internasional paling tidak ada 7 karakteristik tradisional yang harus dipenuhi oleh suatu pulau, yaitu:

1. Suatu wilayah daratan;

2. Dibentuk secara alamiah;

3. Ukurannya cukup luas;

4. Dikelilingi oleh air;

5. Ada di atas permukaan air pada waktu air pasang;

6. Untuk dapat didiami oleh manusia; dan

7. Mempunyai kelangsungan hidup di bidang ekonomi. Pasal 10 ayat 1 Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan hanya memuat kriteria nomor 1, 2, 4 dan 5,

44 Pasal 1 butir (b) Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.

sedangkan Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982 memuat kriteria nomor 1,

2, 4, 5, 6 dan 7. Kriteria nomor 3 tentang "ukurannya cukup luas" tidak dikenal dalam ketentuan Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982.

Hal ini berarti bahwa keenam kriteria yang ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan kriteria yang mengikat masyarakat internasional untuk menentukan suatu pulau. Dalam uraian berikut ini akan dijelaskan secara singkat mengenai karakteristik-karakteristik yang

disebutkan di atas. 45

1. Suatu Wilayah Daratan

Agar suatu pulau dapat menjadi pengertian yuridis, maka syaratnya harus memenuhi dua unsur. Pertama, daratan yang terbentuk harus tersambung dengan dasar laut agar mempunyai karakteristik sebagai pulau. Kedua, daratan tersebut harus merupakan terra firma (wilayah daratan luas) yang stabil.

Berdasarkan uraian di atas, maka dasar laut itu merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan. Harus diakui bahwa wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah itu merupakan pondasi untuk mendirikan bangunan-bangunan di atasnya untuk berbagai aktivitas manusia.

2. Dibentuk Secara Alamiah

Pencantuman kalimat "dibentuk secara alamiah" dalam definisi pulau menurut Pasal 121 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982 (kursip

45 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit.,

h. 221.

peneliti) berarti bahwa kriteria pulau ini tidak mencakup pulau buatan dengan kapasitasnya untuk membentuk zona-zona maritim. Menurut doktrin yang dianut bahwa laut teritorial tidak dapat dibentuk oleh instalasi-instalasi buatan, seperti mercusuar, menara, dan lain-lain.

Dalam sejumlah tulisan pakar hukum laut internasional acapkali dicantumkan istilah “insular formations” yang tidak ditemukan dalam Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pakar hukum laut internasional "insular formations" diartikan sebagai “those formations which are included by treaty law as legal terms, namely islands and low- tide elevations" (elevasi surut). Istilah ini mencakup pulau-pulau, batu karang, karang dan segala bentuk elevasi surut, sehingga penerjemahan format pulau-pulau dari "insular formations" dianggap kurang tepat. Karena istilah "pulau" itu sendiri merupakan terjemahan dari island menurut Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982. Hanya saja ketentuan Pasal 121 tidak menjelaskan mengenai elevasi surut dan kedudukan hukumnya dalam konteks delimitasi maritim.

3. Ukuran Wilayahnya Cukup Luas

Kriteria ukuran luasnya pulau ini tidak ditetapkan dalam definisi pulau yang dikemukakan di atas. Oleh karena itu, baik Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1930 maupun Pasal 10 (1) Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan tidak menetapkan kriteria ukuran besar atau kecilnya suatu pulau. Namun demikian, sejumlah pakar hukum laut internasional menggunakan kriteria ukuran pulau sebagai salah satu syarat untuk menentukan status pulau Kriteria ukuran luasnya pulau ini tidak ditetapkan dalam definisi pulau yang dikemukakan di atas. Oleh karena itu, baik Konferensi Kodifikasi Den Haag Tahun 1930 maupun Pasal 10 (1) Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan tidak menetapkan kriteria ukuran besar atau kecilnya suatu pulau. Namun demikian, sejumlah pakar hukum laut internasional menggunakan kriteria ukuran pulau sebagai salah satu syarat untuk menentukan status pulau

Dikaitkan dengan wilayah sebagai salah satu unsur negara menurut Konvensi Mentevideo 1933, memang tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap oleh rakyat itu besar atau kecil. Dapat saja wilayah yang berupa pulau (kursip peneliti) tersebut hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan suatu negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak.

Unsur wilayah dan unsur rakyat tidak ada batas tertentu, baik jumlah penduduk maupun luas daerahnya. Sebagai contoh, Tuvalu hanya mempunyai penduduk 10.000 orang (tahun 2002), dan luas negerinya

hanya 26 Km 2 . Negeri kecil ini disebut dengan negara „mini‟, „mikro‟, atau sarjana lain menyebut juga sebagai very small state. 46

Pengaturan penting dalam hukum internasional dewasa ini mengenai kriteria ukuran pulau adalah ketentuan Pasal 121 Konvensi Hukum Laut 1982 yang tidak menetapkan syarat mengenai ukuran besar atau kecilnya suatu pulau. Ketentuan pasal inilah yang mengikat negara- negara dalam menentukan kriteria ukuran luasnya pulau.

4. Dikelilingi oleh Air

Definisi pulau ini sesungguhnya dianggap lebih penting daripada persyaratan suatu pulau harus dikelilingi oleh air. Apabila sebuah pulau

46 Ibid., h. 223.

tersambung ke daratan dengan tanah tandus atau melalui pembangunan dam, maka tanah tandus tersebut tidak dianggap sebagai sebuah pulau. Walaupun demikian, tanah atau fitur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari garis pantai, yang dapat dipergunakan oleh Negara pantai untuk menetapkan garis pangkalnya dan membentuk zona maritim yang berada di dalam fitur tersebut.

5. Ada di atas Permukaan Air Pada Waktu Air Pasang

Berdasarkan pada definisi pulau yang dikemukakan di atas, maka pulau harus berada di atas permukaan air baik pada waktu air pasang maupun pada waktu air surut. Berdasarkan hal itu, maka perbedaan antara pulau dan bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air di waktu pasang surut menjadi penting. Karena hanya pulau yang tetap berada di atas permukaan air yang mempunyai status pulau penuh menurut hukum internasional, sehingga mempunyai kapasitas untuk membentuk zona maritim.

6. Tempat Untuk Didiami oleh Manusia

Kriteria pulau yang dapat didiami oleh manusia tidak dibicarakan dalam pembahasan Pasal 10 dari Komite Pertama Konferensi Hukum Laut tahun 1958 di Jenewa. Hal ini berarti bahwa kriteria tersebut bukan merupakan kriteria penting untuk dicantumkan dalam ketentuan Pasal 10 (1) Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan. Hal yang penting adalah wilayah yang layak didiami oleh manusia harus merupakan wilayah yang dapat mendukung Kriteria pulau yang dapat didiami oleh manusia tidak dibicarakan dalam pembahasan Pasal 10 dari Komite Pertama Konferensi Hukum Laut tahun 1958 di Jenewa. Hal ini berarti bahwa kriteria tersebut bukan merupakan kriteria penting untuk dicantumkan dalam ketentuan Pasal 10 (1) Konvensi Hukum Laut Jenewa I 1958 mengenai Laut Teritorial dan Jalur Tambahan. Hal yang penting adalah wilayah yang layak didiami oleh manusia harus merupakan wilayah yang dapat mendukung

7. Mempunyai Kelangsungan Hidup di Bidang Ekonomi

Acapkali kriteria kelangsungan hidup di bidang ekonomi di suatu pulau terkait dengan kriteria pulau apakah dapat didiami atau tidak oleh manusia. Karena banyak pulau kecil yang terisolasi dan pulau tandus yang terbentuk di atas permukaan air tidak memiliki kriteria demikian. Rockall merupakan salah satu contoh penting pulau tandus. Rockall merupakan batu karang yang sangat kecil dengan ketinggian 70 kaki dan

80 kaki dalam bentuk lingkaran yang menjorok dan berada di atas Samudra Atlantik. Batu karang ini merupakan suatu bentukan geologi yang terisolasi yang jaraknya 226 mil laut dari daratan terdekat, yaitu Country Donegal di Republik lrlandia. Memperhatikan hal di atas, maka batu karang tersebut selain tidak dapat dihuni oleh manusia, juga tidak mempunyai nilai ekonomis, dan sangat membahayakan bagi pelayaran. Kondisi ini hanya berlaku untuk daerah ini dan belum tentu berlaku untuk batu karang di daerah lainnya.

Pandangan di atas kiranya sejalan dengan ketentuan Pasal 121 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mendiskualifikasi batu karang yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia atau tidak memiliki kehidupan ekonomi yang mandiri untuk tidak dapat mempunyai ZEE atau landas kontinennya sendiri. Bagaimana pun kriteria kelangsungan Pandangan di atas kiranya sejalan dengan ketentuan Pasal 121 ayat 3 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mendiskualifikasi batu karang yang tidak dapat mendukung kehidupan manusia atau tidak memiliki kehidupan ekonomi yang mandiri untuk tidak dapat mempunyai ZEE atau landas kontinennya sendiri. Bagaimana pun kriteria kelangsungan

B.2.2. Pulau Buatan

Sebagai istilah yang paling menentukan apa yang membedakan "pulau buatan" dari "pulau alami" dalam ketentuan hukum laut, adalah satu-satunya hasil atau efek dari aktivitas manusia. Itu bisa menjadi bagian dari tanah, ditumpuk atau dikeraskan, atau bisa juga berupa konstruksi (terbuat dari beton, logam, plastik atau kaca). Tidak ada kasus yang berpengaruh pada situasi hukumnya.

Meskipun baik Konvensi 1982 tentang Hukum Laut maupun Konvensi Jenewa 1958 di Landas Kontinen mencakup definisi tentang pulau buatan, instalasi atau struktur, upaya definisi semacam itu bisa sama, mengingat komponen yang ada dari definisi pulau. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa "pulau buatan adalah konstruksi buatan manusia atau bagian dari tanah yang berada di laut dan dikelilingi oleh air, yang berada di atas air pada saat air pasang dan keduanya dipasang pada atau dipasang di dasar laut atau mengapung permukaan air ".

Mengingat kemajuan teknis dan persyaratan baru, definisi sebelumnya harus diperluas untuk mencakup, bersama dengan konstruksi stasioner yang dipasang secara permanen, atau dipasang di dasar laut, juga konstruksi yang mengambang atau tergantung pada permukaan air. Sebuah "pulau buatan" juga harus terletak di dan dikelilingi oleh laut, dan tetap berada di atas permukaan laut pada saat air pasang. Konstruksi yang tidak dikelilingi oleh

47 Ibid., h. 225.

air merupakan bagian dari fasilitas pelabuhan atau pelabuhan dan, jika gagal tetap berada di atas permukaan laut, maka hal itu dianggap sebagai "konstruksi bawah laut atau instalasi" sehingga kehilangan status "pulau

alami". 48 Karena menyangkut klasifikasi pulau-pulau buatan dari sudut pandang

konstruksi mereka, harus diterima bahwa yang penting di sini bukanlah ukuran pulau atau bahan yang digunakan untuk pembangunannya tapi pertanyaan apakah pulau itu adalah pulau yang permanen, atau unit mengambang. Di sini pulau buatan tampaknya terbagi dalam empat kategori:

a) pulau-pulau yang didirikan dan dipasang secara permanen ke dasar laut;

b) pulau-pulau tetap ke bawah saat beroperasi namun dapat bergerak;

c) pulau mengapung atau agak berkelanjutan di permukaan laut (berlabuh, diderek atau digerakkan oleh arus laut atau angin);

d) pulau yang membawa peralatan navigasi (self-propulsion atau peralatan lainnya).

Dari sudut pandang lokasi mereka, orang harus membedakan antara:

a) pulau-pulau di perairan dalam dan laut teritorial (dalam kedaulatan teritorial suatu Negara);

b) pulau-pulau di zona ekonomi dan landas kontinen;

c) pulau-pulau di laut lepas.

48 Pasal 11 dari Konvensi Hukum Laut 1982 mengatakan bahwa pekerjaan pelabuhan permanen terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian dari

pantai, berisi sebuah kalimat tambahan yang mengatakan bahwa instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak boleh dipertimbangkan. sebagai pelabuhan permanen.

Klasifikasi ini sangat penting dalam menentukan siapa yang memiliki hak untuk mendirikan pulau-pulau buatan dan menjalankan yurisdiksi atas mereka. Dalam Hukum Laut, masalah pulau buatan menimbulkan beberapa masalah namun saya membahas hanya status hukum mereka.

Demikian juga dengan Konvensi di Landas Kontinen, UNCLOS III dalam Pasal 60 (8) mengatakan:

“Artificial islands, installations and structures do not possess the status of islands. They have no territorial sea of their own, and their presence does not affect the delimitation of the territorial sea, the exclusive economic zone or the continental shelf.”

Istilah “pulau buatan” tidak hanya meliputi pulau-pulau buatan dalam arti sebenarnya, tetapi juga termasuk setiap instalasi lainnya untuk maksud eksplorasi dan eksploitasi zona ekonomi eksklusif serta setiap instalasi yang mempengaruhi pelaksanaan hak-hak negara pantai di ZEE-nya. Hal yang

sama berlaku juga untuk pulau-pulau buatan di landas kontinen. 49

Pulau-pulau buatan tunduk kepada yurisdiksi eksklusif negara pantai. 50 Pendirian pulau-pulau buatan harus diumumkan dan keberadaan

instalasi tersebut harus disertai dengan tanda peringatan, pulau-pulau buatan yang tidak digunakan lagi harus dibongkar, pulau-pulau buatan tidak boleh didirikan pada alur laut yang diakui dan sangat penting bagi pelayaran

internasional. 51 Negara pantai harus menetapkan zona keselamatan yang

49 Albert W. Koers, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (Suatu Ringkasan), Konsorium Ilmu Hukum, Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Nederlandse Raad voor Juridische

Samenwerking met Indonesie, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, h. 41. 50 Article 60 para. (2) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

51 Article 60 para. (3) and (7) United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.

ditetapkan berdasarkan standar internasional, dan kecuali untuk situasi tertentu yang diatur dalam standar internasional atau yang direkomendasikan oleh organisasi, zona tersebut seharusnya tidak melebihi 500 meter di sekeliling pulau buatan, dan zona tersebut harus dilakukan tindakan-tindakan

untuk menjamin keselamatan pulau tersebut maupun pelayaran. 52 Semua kapal harus menghormati zona keselamatan dan standar internasional yang

berlaku mengenai navigasi di sekitar pulau buatan. 53 Pulau-pulau buatan tidak memiliki laut teritorial dan keberadaannya tidak mempengaruhi penetapan

batas laut teritorial, ZEE maupun landas kontinen. 54 Dalam kasus pelanggaran zona keamanan di dalam zona ekonomi atau landas kontinen, Negara pantai

memiliki hak untuk melakukan pengejaran seketika. 55

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 20

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 3 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 2 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaruh Tayangan Drama Korea “Goblin” terhadap Interaksi Sosial Mahasiswa Fiskom Universitas Kristen Satya Wacana

0 0 17

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 11

BAB III METODE PENELITIAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

1.1 Isi Buku Tuhan Maha Asyik - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

1 3 47

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar Indonesia dalam Perspektif Hukum Laut Internasional

0 0 12