Indonesia Sebagai Negara Kepulauan
C.3. Indonesia Sebagai Negara Kepulauan
C.3.1. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Perairan Nasional Indonesia
Potensi wilayah pesisir dan lautan Indonesia dipandang dari segi fisik, terdiri dari Perairan Kepulauan seluas 2,8 juta km 2 , Laut Teritorial
2 seluas 0,3 juta km 2 , luas ZEE sekitar 3,0 juta km , panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan jumlah pulau 17.504 pulau. Dalam mengelola potensi
laut, kiranya dapat dibedakan tiga jenis laut yang penting bagi Indonesia, yaitu:
(1) Laut yang merupakan "wilayah Indonesia" dan yang berada di bawah "kedaulatan Indonesia". Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial;
(2) Laut yang merupakan kewenangan Indonesia di mana Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat atas sumber daya alamnya serta kewenangan untuk mengatur hal-hal tertentu, yaitu jalur tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen serta;
81 Ibid., h. 360.
(3) Laut yang merupakan kepentingan Indonesia, di mana keterkaitan Indonesia cukup erat walaupun Indonesia tidak mempunyai kedaulatan kewilayahan atau pun kewenangan dan hak-hak berdaulat atas laut tersebut. Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah laut
lepas dan kawasan dasar laut internasional. 82 Kepentingan nasional yang diperjuangkan dan sangat penting
adalah pengakuan dalam UN Convention on the Law of the Sea terhadap konsep Negara Kepulauan (Archipelagic State). Berdasarkan konsep tersebut, laut tidak lagi menjadi alat pemisah pulau-pulau besar Indonesia. Ide yang secara sepihak dideklarasikan oleh mantan Perdana Menteri Djuanda sebagai wawasan nusantara pada tahun 1957 kini diakui oleh masyarakat internasional. Secara internal ada sejumlah kewajiban yang harus dilakukan oleh suatu negara setelah turut serta dalam perjanjian internasional. Indonesia harus menerjemahkan atau mentransformasikan kewajiban dalam perjanjian internasional ke dalam hukum nasional.
Praktik Indonesia dalam implementasi Konvensi Hukum Laut 1982 mencerminkan pola pikir dualisme yang umumnya dianut oleh Departemen Kehakiman pada waktu itu. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 dianggap bukan merupakan undang-undang dalam arti material (substantif) melainkan hanya penetapan (prosedural), sehingga masih dibutuhkan suatu undang- undang lain yang mentransformasikan norma konvensi ke dalam hukum nasional, yaitu Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 yang pada hakikatnya sebagian besar merupakan penulisan kembali (copypaste) pasal-pasal dalam
82 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit.,
h. 51.
Konvensi Hukum Laut 1982. Undang-Undang inilah yang mencabut Undang- Undang No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. 83
C.3.2. Peraturan Perundang-undangan Mengenai Penarikan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
Penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia diatur dalam Undang- Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Sebelum sampai pada pembahasan mengenai penetapan garis pangkal, perlu diuraikan terlebih dahulu latar belakang lahirnya Undang- Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Pertimbangan- pertimbangan yang mendorong Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan undang-undang tersebut adalah:
(1) Bahwa berdasarkan kenyataan sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia, Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, sebagai negara kepulauan dengan Deklarasi tanggal 13 Desember 1957 dan Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia telah menetapkan wilayah perairan Negara Republik Indonesia;
(2) Bahwa bangsa Indonesia telah berhasil memperjuangkan konsepsi negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan
83 Damos Dumoli Agusman, “Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan Praktik Indonesia”, Penerbit PT Refika Aditama, 2010, h. 106.
rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea;
(3) Bahwa pengaturan hukum negara kepulauan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan rezim hukum negara kepulauan sebagaimana dimuat dalam Bab IV Konvensi tersebut pada huruf b;
(4) Bahwa sehubungan dengan itu, serta untuk memantapkan landasan hukum yang mengatur wilayah perairan Indonesia, kedaulatan, yurisdiksi, hak dan kewajiban serta kegiatan di perairan Indonesia dalam pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara, maka perlu mencabut Undang-Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia dan mengganti dengan undang-undang yang baru.
Bahwa pertimbangan yang menjadi dasar tindakan tersebut adalah segi sejarah dan cara pandang bangsa Indonesia yang merupakan aspek yang penting sekali daripada dikeluarkannya undang-undang mengenai Perairan Indonesia. Keberhasilan Indonesia dalam memperjuangkan konsepsi negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Hukum Laut 1982 juga merupakan aspek penting lainnya. Selain dari kedua hal itu, ketentuan-ketentuan Undang-
Undang Nomor 4 Prp. Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan Bab IV Konvensi tersebut.
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Pasal 1 ayat 3 menetapkan bahwa kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, dan perairan di antara pulau-pulau tersebut dan wujud alamiah lainnya yang hubungannya satu sama lain demikian eratnya, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap demikian.
Ketentuan-ketentuan di atas dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa: (1) Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan; (2) Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-
pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Nampak bahwa pengertian negara kepulauan Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam pembahasan selanjutnya terlihat ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam peraturan Nampak bahwa pengertian negara kepulauan Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam pembahasan selanjutnya terlihat ketentuan-ketentuan lain yang diatur dalam peraturan
Pasal 3 ayat 1 menetapkan bahwa Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Batasan yang diberikan oleh ayat 4 Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah dari pantai-pantai indonesia, termasuk ke dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup.
Dalam ayat 3 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. Berdasarkan ayat 2 Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 dan Pasal 49 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982, Pasal 4 menentukan bahwa di perairan Indonesia tersebut, Indonesia mempunyai kedaulatan penuh yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber daya alam yang tekandung di dalamnya.
Yang dimaksud dengan sumber daya alam, khususnya sumber daya ikan, yang langkah-langkah pengelolaan, konservasi dan pemanfaatannya harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Meskipun perumusan ketentuan mengenai kedaulatan dalam Undang-Undang No. 6
Tahun 1996 sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982, namun secara umum dapat dikatakan pengaturan mengenai pengelolaan sumber daya ikan tidak tercermin dalam ketentuan pasal-pasal dari undang-undang ini. Pengaturan mengenai perikanan yang terkait dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 mengacu pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996, dan berlakunya Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang diratifikasi melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985, maka salah satu prioritas utama bagi Indonesia sebagai negara kepulauan dalam rangka mengimplementasikan Konvensi tersebut adalah penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga. Selain diamanatkan oleh Konvensi, Undang- Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia juga mengatur tentang perlunya secara jelas menetapkan batas-batas wilayah perairan Indonesia dan zona maritim lainnya, termasuk batas-batas yang berkaitan dengan negara-
negara tetangga. 84 Ketentuan tersebut di atas terdapat dalam Pasal 9 yang menyebutkan bahwa:
(1) Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 4, Pemerintah Indonesia menghormati persetujuan dan perjanjian yang ada dengan negara lain yang menyangkut bagian perairan yang merupakan perairan kepulauannya;
(2) Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 termasuk sifat, ruang lingkup, dan daerah berlakunya hak dan kegiatan dimaksud, atas permintaan dari salah
84 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit.,
h. 55.
satu negara yang bersangkutan, harus diatur dengan pesetujuan bilateral.
Ada pun persetujuan bilateral di atas adalah persetujuan mengenai batas laut. Dalam hal batas laut ini, paling tidak ada 4 komponen, yaitu, 1) Batas Teritorial, di mana Indonesia memiliki kedaulatan; 2) Batas Yurisdiksional, artinya Indonesia tidak mempunyai perbatasan wilayah tetapi Indonesia mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu; 3) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan 4) Batas Landas Kontinen.
Perlu dicatat bahwa Indonesia telah memiliki 15 Perjanjian Batas Maritim yang mengatur berbagai zona yakni batas laut teritorial, batas landas kontinen dan batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan tujuh negara tetangga Indonesia belum mempunyai batas dengan 3 negara yakni Filipina, Palau, dan Timor Leste. Hal ini disebabkan karena Filipina baru menyelesaikan survei titik dasar sebagai negara kepulauan pada akhir tahun 2002, sedangkan Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Palau, dan Timor Leste adalah negara baru yang lahir secara resmi pada tahun 2000. Dalam kaitan tiga negara ini, Indonesia tengah berunding dengan Filipina, dan akan segera membuka hubungan diplomatik dengan Palau serta menyepakati dimulainya perundingan batas maritim dengan Timor Leste
setelah perundingan semua segmen batas darat diselesaikan. 85 Di samping itu, masih ada segmen batas maritim yang belum diselesaikan dengan Malaysia,
dan Singapura misalnya di Selat Singapura dan perairan Tanjung Berakit.
85 Arif Havas Oegroseno, “ Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia”, Jurnal Hukum Internasional, Volume 6 Nomor 3 April 2009, h. 312-313.
Belum ditetapkannya batas laut teritorial Indonesia dengan beberapa negara tetangga, khususnya Malaysia dan Singapura telah menimbulkan sengketa perbatasan dan pelbagai kerawanan serta masalah- masalah keamanan, sehingga perlu segera ditetapkan. Masalah-masalah tersebut akan diuraikan dalam pembahasan mengenai peraturan perundang- undangan mengenai hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia.
Penetapan batas maritim dengan negara-negara tetangga tersebut pada dasarnya diperlukan untuk memberikan kepastian hukum tentang wilayah, batas kedaulatan, dan hak-hak berdaulat Republik Indonesia, memudahkan kegiatan penegakan hukum di laut, serta menjamin kepastian hukum kegiatan pemanfaatan sumber daya alam laut. Penetapan batas maritim ini juga mempunyai fungsi sebagai penegasan kepemilikan pulau-pulau kecil terluar Republik Indonesia, karena Indonesia menggunakan pulau-pulau kecil terluar tersebut sebagai penentuan batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen Indonesia. Yang dimaksud dengan pulau-pulau kecil terluar adalah pulau-pulau kecil terdepan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pulau-pulau kecil terluar juga digunakan untuk menentukan Jalur Tambahan Indonesia, yaitu perairan yang berdampingan dengan Laut Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan. Sepanjang yang berkaitan dengan batas jalur tambahan ini, belum ada satupun batas yang ditetapkan oleh Indonesia dengan negara- negara tetangga. Indonesia sampai sekarang belum lagi mengumumkan dan Pulau-pulau kecil terluar juga digunakan untuk menentukan Jalur Tambahan Indonesia, yaitu perairan yang berdampingan dengan Laut Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan. Sepanjang yang berkaitan dengan batas jalur tambahan ini, belum ada satupun batas yang ditetapkan oleh Indonesia dengan negara- negara tetangga. Indonesia sampai sekarang belum lagi mengumumkan dan
Selanjutnya, Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 mengatur cara penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 1. Ayat
2 menyatakan bahwa apabila garis pangkal lurus kepulauan seperti tersurat dalam ayat 1 tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus. Berdasarkan ketentuan ayat 6, garis pangkal biasa sebagaimana tersurat dalam ayat 2 adalah garis air rendah sepanjang pantai. Pengaturan mengenai garis pangkal lurus seperti dimaksud dalam ayat 2 termuat dalam ayat 7, yang menyatakan bahwa garis pangkal lurus adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pangkal yang menjorok jauh dan menikung.
Menurut ketentuan ayat 3 garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana ditetapkan dalam ayat 1 adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982, panjang garis pangkal lurus kepulauan Indonesia tersebut, menurut ayat 4 tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah Menurut ketentuan ayat 3 garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana ditetapkan dalam ayat 1 adalah garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari kepulauan Indonesia. Sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat 1 Konvensi Hukum Laut 1982, panjang garis pangkal lurus kepulauan Indonesia tersebut, menurut ayat 4 tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah
Dalam perundingan batas maritim peran pulau-pulau terluar adalah sebagai lokasi penetapan titik dasar penarikan garis pangkal dan titik dasar proyeksi klaim wilayah ke laut. Setelah penentuan titik-titik ini dilakukan, maka sebenarnya peran pulau-pulau terluar bersifat statis. Hal ini disebabkan karena berbagai aspek yang mempengaruhi pergerakan garis batas dalam perundingan, yakni apakah garisnya lebih ke atas atau ke bawah, apakah lebih ke kiri atau ke kanan, apakah ada lekukan tertentu, atau tidak, sangat tergantung kepada hal-hal lain yang sifatnya lebih makro seperti panjang pantai, arah pantai, bentuk pantai, geologi dasar, lokasi sumber daya alam di
dasar laut, lokasi ikan dan lain sebagainya. 86 Ayat 5 memuat syarat yang harus diperhatikan di dalam
menggunakan penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia. Ada pun syarat tersebut adalah garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat
3 tidak boleh ditarik dari dan ke di antara elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah didirikan mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan air atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
Garis pangkal kepulauan diatur lebih lanjut oleh Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-
86 Ibid., h. 313.
Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. 87 Pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 ini menyatakan bahwa Pemerintah menarik
garis pangkal kepulauan untuk menetapkan lebar laut teritorial. Dalam ayat 2 ditetapkan bahwa penarikan garis pangkal kepulauan tersebut dilakukan dengan menggunakan: a) garis pangkal lurus kepulauan; b) garis pangkal biasa; c) garis pangkal lurus; d) garis penutup teluk; e) garis penutup muara sungai, terusan dan kuala; dan f) garis penutup pada pelabuhan.
Dari pelbagai cara penarikan garis pangkal kepulauan di atas dapat dikemukan di sini bahwa, pertama, ketentuan mengenai garis pangkal lurus kepulauan terdapat dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002. Dalam Pasal 3 ayat 1 ditentukan bahwa garis pangkal lurus kepulauan merupakan garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, di antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan tersebut, menurut ayat 2 merupakan garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada garis air rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang lainnya yang berdampingan. Dalam ayat 6 ditegaskan bahwa perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tersebut di atas adalah perairan kepulauan dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal lurus kepulauan adalah laut teritorial.
Bertalian dengan syarat penarikan garis pangkal lurus kepulauan Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 4 Undang-Undang No. 6
87 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Tahun 1996, maka ketentuan ayat 3 pada hakekatnya tetap sama. Hal penting diutarakan di sini adalah ketentuan ayat 4 yang menetapkan tentang syarat mengenai penarikan garis pangkal kepulauan tersebut di atas dilakukan dengan tidak terlalu jauh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan.
Berdasarkan ayat 5, penarikan garis pangkal lurus kepulauan seperti tersurat dalam ayat 2 di atas dapat dilakukan dengan memanfaatkan titik-titik terluar pada garis air rendah pada setiap elevasi surut yang di atasnya terdapat mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan air atau apabila elevasi surut yang sebagian atau seluruhnya terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari garis air rendah pulau terdekat.
Kedua, Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang penarikan garis pangkal biasa menyatakan bahwa garis pangkal biasa digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial dalam hal bentuk geografis pantai suatu pulau terluar menunjukkan bentuk yang normal. Pengecualian terhadap ketentuan ini diatur dalam Pasal 5, 6, 7 dan 8. Menurut ayat 2, garis pangkal biasa tersebut adalah garis air rendah sepanjang pantai yang ditetapkan berdasarkan Datum Hidrografis yang berlaku.
Sebagaimana diatur dalam ayat 3, garis pangkal biasa berupa garis air rendah pada sisi atol atau karang-karang tersebut yang terjauh ke arah laut yang juga dapat digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, pada pulau terluar yang terletak pada atol atau pada pulau terluar yang mempunyai karang-karang di sekitarnya. Dalam ayat 5 ditetapkan bahwa perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal biasa tersebut di atas adalah perairan Sebagaimana diatur dalam ayat 3, garis pangkal biasa berupa garis air rendah pada sisi atol atau karang-karang tersebut yang terjauh ke arah laut yang juga dapat digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial, pada pulau terluar yang terletak pada atol atau pada pulau terluar yang mempunyai karang-karang di sekitarnya. Dalam ayat 5 ditetapkan bahwa perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal biasa tersebut di atas adalah perairan
Ketiga, Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 mengatur cara penarikan garis pangkal lurus. Pasal 5 ayat 1 menetapkan bahwa garis pangkal lurus digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial pada pantai di mana terdapat lekukan pantai yang tajam. Garis pangkal lurus tersebut, menurut ayat 2 adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah yang menonjol dan berseberangan di mulut lekukan pantai tersebut.
Berdasarkan ayat 3 garis pangkal lurus digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial pada pantai di mana terdapat delta atau kondisi alamiah lainnya. Garis pangkal lurus yang dimaksud ayat 3 ini, sesuai dengan ayat 4, adalah garis lurus yang ditarik antara titik-titik terluar pada garis air rendah yang menjorok paling jauh ke arah laut pada delta atau kondisi alamiah lainnya tersebut.
Menurut ayat 5 perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus seperti tersurat dalam ayat 1 dan ayat 3 di atas adalah perairan pedalaman dan perairan yang terletak pada sisi luar garis pangkal lurus tersebut adalah laut teritorial.
Dalam konteks nasional, Indonesia masih perlu menetapkan Perairan Pedalamannya di dalam Perairan Kepulauan melalui apa yang oleh Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan sebagai closing lines. Sampai sekarang, Indonesia belum lagi menetapkan Perairan Pedalaman tersebut. Padahal Pasal 12 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 Dalam konteks nasional, Indonesia masih perlu menetapkan Perairan Pedalamannya di dalam Perairan Kepulauan melalui apa yang oleh Konvensi Hukum Laut 1982 disebutkan sebagai closing lines. Sampai sekarang, Indonesia belum lagi menetapkan Perairan Pedalaman tersebut. Padahal Pasal 12 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002
Sementara itu, cara-cara lain dalam penarikan garis pangkal kepulauan juga terdapat dalam Pasal 6 yang mengatur garis penutup teluk, Pasal 7 tentang garis penutup muara sungai, terusan, dan kuala, dan Pasal 8 yang menetapkan garis penutup pelabuhan.
Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Pertimbangan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 adalah Keputusan Mahkamah Internasional mengenai kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan Provinsi Timor Timur telah menjadi negara tersendiri.
Kedua hal tersebut mempunyai implikasi hukum terhadap koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik- Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 dinyatakan bahwa beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 ayat 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: "Satu mil laut adalah 1.852 meter."
2. Di antara ayat 1 dan ayat 2 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat 1a sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
(1) Pemerintah melakukan pembaharuan secara rutin untuk memperbaiki dan melengkapi kekurangan-kekurangan dalam penetapan Koordinat Geografis Titik-Titik Terluar untuk menarik Garis Pangkal Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 8.
(1a) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan tugas di bidang survei dan pemetaan, di bawah koordinasi kementerian yang membidangi Politik, hukum dan keamanan. (2) Apabila di kemudian hari ternyata terdapat pulau-pulau terluar,
atol, karang kering terluar, elevasi surut terluar, muara sungai, terusan atau kuala dan pelabuhan, yang dapat digunakan untuk penetapan titik-titik terluar dari Garis Pangkal Kepulauan, maka diadakan perubahan.
(3) Apabila di kemudian hari Koordinat Geografis Titik-Titik Terluar, pulau-pulau terluar, atol, karang kering terluar, elevasi surut (3) Apabila di kemudian hari Koordinat Geografis Titik-Titik Terluar, pulau-pulau terluar, atol, karang kering terluar, elevasi surut
Hak lintas alur-alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan Indonesia juga diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996. Dalam pasal ini ditetapkan bahwa Pemerintah menentukan alur-alur laut termasuk rute penerbangan di atasnya yang cocok digunakan untuk pelaksanaan lintas alur laut kepulauan tersebut dengan menentukan sumbu-
sumbunya yang dicantumkan pada peta-peta laut yang diumumkan. 89 Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 ini telah
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas
Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan. 90
Perlu dicermati bahwa Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 memuat ketentuan-ketentuan yang harus ditaati dan dihindari oleh kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur kepulauan melalui alur laut kepulauan yang ditetapkan. Selanjutnya, harus diperhatikan juga ketentuan mengenai penetapan alur laut kepulauan yang dapat digunakan untuk hak lintas alur kepulauan sebagaimana termuat dalam Pasal 11. Menurut Pasal 11 bahwa terdapat 3 (tiga) alur laut kepulauan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan.
88 Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia. 89 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
90 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang
Ditetapkan.
Pertama, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I sebagaimana ditetapkan dalam ayat 1, yang garis sumbunya merupakan garis yang menghubungkan titik-titik penghubung 1-1 sampai dengan 1-15, dapat dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda.
Kedua, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II yang ditetapkan dalam ayat 3, yang garis sumbunya merupakan garis yang menghubungkan titik-titik penghubung II-I sampai dengan II-8, dapat dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok.
Ketiga, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) III A seperti ditetapkan dalam ayat 4, yang garis sumbunya merupakan garis yang menghubungkan titik-titik penghubung IIIA-1 sampai dengan IIIA-13, dapat dipergunakan untuk melaksanakan hak lintas alur kepulauan untuk pelayaran dari samudera lain ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai dan Laut Sawu.
Atas dasar uraian di atas, nampak bahwa secara internasional, Indonesia telah berhasil menetapkan aksis (sumbu) dari tiga Alur Kepulauan Indonesia melalui perairan Nusantara (perairan kepulauan) dan laut teritorialnya yang bersangkutan, setelah mengadakan konsultasi-konsultasi yang intensif dengan negara-negara maritim dan Organisasi Maritim
Internasional di London. Indonesia belum lagi menentukan sikap mengenai penetapan ALKI-ALKI lainnya melalui perairan Nusantara Indonesia yang dipakai buat pelayaran internasional, khususnya dalam rute timur-barat melalui Laut Jawa dan Laut Flores. Pelbagai pelanggaran perlu dikaitkan dengan permasalahan yang diutarakan sebelumnya, karena ketiadaan ketentuan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 menetapkan hak dan kewajiban negara kepulauan terhadap kegiatan pesawat udara dan kapal asing di alur-
alur laut kepulauan. 91
Selain itu, Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 menyatakan bahwa kapal semua negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial dan perairan kepulauan. Ketentuan ayat 2 (a) mendefinisikan lintas sebagai navigasi melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia untuk keperluan melintasi laut tersebut tanpa memasuki perairan pedalaman atau berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman. Pengertian lintas menurut ayat 2 (b) meliputi pula navigasi melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia untuk keperluan berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut. Akan tetapi ayat 3 mensyaratkan bahwa lintas damai tersebut harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin, mencakup berhenti atau buang jangkar sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang normal, atau perlu dilakukan karena keadaan memaksa, mengalami
91 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia (Edisi Revisi), Op.Cit., h. 67.
kesulitan, memberi pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam bahaya atau kesulitan.
Nampak bahwa ketentuan-ketentuan di atas merupakan penulisan kembali Pasal 18 Konvensi Hukum Laut 1982 dengan memasukkan pula perairan kepulauan Indonesia sebagai laut yang dapat dilayari secara damai oleh kapal-kapal asing. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 Undang- Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, pada tanggal 28 Juni 2002, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan
Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia. 92 Menurut Pasal 1 ayat 2 dan 3 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 bahwa pengertian hak lintas damai
(innocent passage) bagi kapal-kapal asing melalui laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia ini merujuk kepada pengertian lintas dan lintas damai dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Sehubungan dengan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, perlu dicatat ketentuan dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1996. Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 memuat ketentuan bahwa semua kapal dan pesawat udara asing mempunyai kebebasan pelayaran dan penerbangan semata-mata untuk tujuan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin melalui laut teritorial Indonesia di selat antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan bagian dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia lainnya.
92 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing Dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.
Banyak kasus yang menunjukkan bahwa belum ditetapkannya batas laut teritorial Indonesia dengan Malaysia dan Singapura dan telah menimbulkan masalah-masalah keamanan di laut teritorial Indonesia. Untuk mengatasi pelbagai kasus di atas, maka perlu segera ditetapkan batas maritim Indonesia di bagian-bagian laut tertentu dari laut teritorialnya dengan Malaysia dan Singapura. Penyelesaian masalah-masalah keamanan ini harus benar-benar menjadi prioritas dari pemerintah, sebab kasus di atas terjadi pula di ALKI. Sebagai negara kepulauan dan negara tepi Selat Malaka, Indonesia harus menjaga keamanan dan keselamatan di perairan nasional dan di selat tersebut.