Fungsi Pulau dalam Penentuan Wilayah Laut
B.3. Fungsi Pulau dalam Penentuan Wilayah Laut
Pertanyaan yang terkait dengan hak pulau untuk memiliki ruang laut khususnya landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif menjadi subyek perundingan negosiasi. Selama Konferensi Hukum Laut III, isu-isu ini dibahas di tiga bidang:
a) bersamaan dengan definisi pulau;
b) bersamaan dengan lokasi pulau tersebut sehubungan dengan pantai negara lain; dan
c) dalam hubungannya dengan status politik pulau, apakah pulau itu berada di bawah kekuasaan asing atau kolonial.
Wilayah perairan atau disebut juga perairan teritorial adalah bagian perairan yang merupakan wilayah suatu negara. Ini berarti bahwa, di samping perairan yang tunduk pada kedaulatan negara karena merupakan bagian wilayahnya ada pula bagian perairan yang berada di luar wilayahnya atau tidak tunduk pada kedaulatan negara. Perairan seperti ini contohnya adalah laut lepas (high sea). Tidak semua negara di dunia ini memiliki wilayah perairan. Misalnya negara-negara yang seluruh wilayah daratannya dikelilingi oleh wilayah daratan negara lain. Negara-negara seperti ini dikenal dengan sebutan negara tak berpantai atau negara buntu (land lock states). Seperti misalnya negara Afganistan, Laos, Nepal, dan Bhutan di Asia, negara Afrika Tengah, Uganda, Niger, dan Chad di Afrika, negara Swiss, Austria, Hungaria dan Luxemburg di Eropa, negara Paraguay di Amerika Latin.
Dalam konteks hukum nasional Indonesia, Wilayah Perairan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Wilayah Perairan atau Perairan Teritorial (Territorial Waters) Indonesia meliputi Laut Teritorial (Territorial Sea), Perairan Kepulauan (Archipelagic
Waters), 56 dan Perairan Pedalaman (Inlands waters). Sedangkan Perairan Pedalaman (Inland Waters) terdiri atas Laut Pedalaman (Internal Sea) dan
Perairan Darat (lnlands Waters). 57
Wilayah Perairan Indonesia adalah segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian-bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia yang berada di bawah
kedaulatan Negara Republik Indonesia. 58 Lebih lanjut, berkaitan dengan kedaulatan negara, melalui Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996
dikatakan bahwa kedaulatan Negara Republik Indonesia di Perairan Indonesia meliputi Laut Teritorial, Perairan Kepulauan, dan Perairan Pedalaman, serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. 59
B.3.1. Laut Teritorial
Laut Teritorial (territorial sea) adalah bagian laut atau jalur laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal (base line) dan sebelah luarnya dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit). Yang dimaksud dengan garis pangkal adalah garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut. Ditetapkannya pada waktu air laut surut disebabkan oleh karena garis air laut surut adalah merupakan batas antara daratan dan perairan (laut). Garis
56 Pasal 1 butir 4 dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
57 Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 58 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 59 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
tersebut merupakan titik-titik atau garis pertemuan antara daratan dengan air laut.
Berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982), lebar laut teritorial maksimum negara-negara disepakati sejauh 12 mil laut dari garis pangkal. Selanjutnya menurut hukum internasional dikenal 3 (tiga) macam garis pangkal, yaitu:
(1) Garis Pangkal Normal (Normal Base Line) Garis Pangkal Normal (Normal Base Line) adalah garis pangkal
yang ditarik dari pantai pada saat air laut surut dengan mengikut lekukan- lekukan pantai. Dengan demikian, arah dari Garis Pangkal Normal sejajar dengan arah atau lekukan pantai tersebut. Untuk menentukan dan mengukur lebar laut teritorial, ditarik garis tegak lurus dari garis pangkal normal ke arah luar/laut sesuai dengan lebar laut teritorial masing-masing negara.
Titik-titik atau garis pada bagian luar itulah yang disebut dengan garis luar atau batas luar (outer limit) laut teritorial. Garis luar atau batas luar ini merupakan garis yang selalu sejajar dengan garis pangkal, karena ditarik pada titik-titik yang ada pada garis pangkal secara tegak lurus ke arah luar/laut. Dalam sejarah pengukuran lebar laut teritorial, garis pangkal ini merupakan garis pangkal normal (Normal Base Line) tertua.
Gambar 1.1 Normal Base Line
(2) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) merupakan garis
pangkal yang ditarik di pantai pada saat air laut surut, dengan menghubungkan titik-titik atau ujung-ujung terluar dari pantai. Oleh sebab itu metode ini disebut juga dengan Garis Pangkal Lurus Ujung ke Ujung (Straight Base Line Point to Point). Penarikan Garis Pangkal Lurus dilakukan pada pantai-pantai yang berliku atau jika di depan pantai tersebut terdapat pulau, deretan pulau atau gugusan pulau.
Dalam Konvensi Hukum Laut 1958 (UNCLOS 1958) 60 maupun Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) 61 Garis Pangkal Lurus
(Straight Base Line) digunakan sebagai salah satu garis pangkal yang
60 Pasal 4-5 Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 (UNCLOS I). 61 Article 7 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
dapat diterapkan dalam pengukuran lebar laut teritorial selain Garis Pangkal Normal (Normal Base Line).
Gambar 1.2 Straight Base Line Point to Point
Namun demikian dalam implementasinya, penggunaan Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) terdapat pembatasan-pembatasan sebagai berikut:
(a) Penarikan Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai, kecuali karena alasan-alasan hak-hak sejarah (historis right) dan hak-hak ekonomi (economic right) yang memang sudah dinikmati jauh sebelumnya oleh negara yang bersangkutan;
(b) Bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari Garis Pangkal Lurus harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk (b) Bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari Garis Pangkal Lurus harus cukup dekat ikatannya dengan daratan untuk
(c) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh ditarik dari elevasi surut (low tide elevation) 62 , kecuali jika di atas elevasi
surut tersebut didirikan mercusuar atau instalasi yang serupa yang secara permanen selalu tampak di atas permukaan air laut;
(d) Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) tidak boleh diterapkan dengan cara sedemikian rupa sehingga memotong hubungan laut teritorial negara lain dari laut lepas atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
(3) Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line) Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line) mulai
dipergunakan sebagai salah satu cara untuk pengukuran laut teritorial mulai diberlakukan sejak ditandatanganinya Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982), yang secara tegas tertuang dalam Pasal 46-54 UNCLOS 1982. Menurut TALOS sebagaimana dikutip oleh
Arsana 63 , Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line) ditarik untuk menghubungkan titik terluar dari pulau terluar dan karang, dalam
sebuah kepulauan.
62 Elevasi Surut (Low Tide Elevation) adalah bagian dasar laut yang tampak di permukaan air laut pada saat air laut surut, tetapi tidak tampak (berada di bawah permukaan air laut) pada saat air
laut pasang atau normal. 63 I Made Andi Arsana, Batas Maritim Antarnegara (Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis), Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2007, h. 16.
Dalam implementasinya, penggunaan Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line) menurut Pasal 47 UNCLOS 1982 harus memenuhi 4 (empat) syarat sebagai berikut:
(1) Seluruh daratan utama dari negara yang bersangkutan harus
menjadi bagian dari sistem Garis Pangkal Kepulauan;
(2) Perbandingan antara luas perairan dan daratan di dalam sistem garis pangkal harus berkisar antara 1:1 dan 9:1;
(3) Panjang segmen Garis Pangkal Kepulauan tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali hingga 3 persen dari keseluruhan jumlah garis pangkal meliputi suatu negara kepulauan boleh melebihi 100 mil laut hingga panjang maksimum 125 mil laut;
(4) Arah Garis Pangkal Kepulauan yang ditentukan tidak boleh menjauh dari konfigurasi umum kepulauan.
Penggunaan Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line) tidak serta merta mengakibatkan negara-negara peserta konvensi tidak boleh menggunakan Garis Pangkal Normal (Normal Base Line) ataupun Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line). Dalam arti suatu negara kepulauan selain menerapkan Garis Pangkal Kepulauan (Archipelagic Base Line) dapat saja menggunakan Garis Pangkal Normal (Normal Base Line) maupun Garis Pangkal Lurus (Straight Base Line) dalam pengukuran lebar laut teritorialnya.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, Laut Teritorial merupakan Jalur Laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan di sebelah luar dibatasi oleh garis atau batas luar (outer limit) atau jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia. 64 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor
6 tahun 1996 menetapkan bahwa Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan Garis Pangkal Lurus Kepulauan, sedangkan dalam Pasal 5 ayat (2) dijelaskan bahwa apabila Garis Pangkal Lurus Kepulauan tidak dapat digunakan sebagai acuan dalam penetapan batas, maka digunakan Garis Pangkal Biasa atau Garis Pangkal Lurus.
Ketentuan mengenai Garis Pangkal Kepulauan Indonesia juga tertuang dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa Garis Pangkal Lurus Kepulauan adalah garis- garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis rendah pulau-pulau dan karang-karang kering terluar dari Kepulauan
Indonesia. 65 Lebih lanjut melalui Pasal 5 ayat (4) dinyatakan bahwa Garis Pangkal Lurus Kepulauan tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut,
kecuali 3% dari jumlah keseluruhan garis-garis pangkal yang mengelilingi Kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut.
64 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 65 Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
B.3.2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Water)
Perairan Kepulauan (archipelagic water) merupakan zona maritim yang tidak dimiliki oleh semua negara pantai, namun hanya dimiliki oleh negara-negara pantai yang dikategorikan sebagai negara kepulauan. Menurut Pasal 49 UNCLOS 1982 yang dimaksud dengan Perairan Kepulauan adalah perairan yang dilingkupi oleh Garis Pangkal Kepulauan (archipelagic base
line) 66 tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya dari garis pantai. Sebuah negara yang dikategorikan sebagai negara kepulauan memiliki
kedaulatan penuh di dalam wilayah perairan kepulauannya, ruang udara di atasnya, dalam dasar laut di bawahnya, di bawah tanah dan juga atas kekayaan yang terkandung di dalamnya.
Gambar 1.3 Perairan Kepulauan
66 Article 49 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982.
Seperti halnya di Perairan Pedalaman dan Laut Teritorial, di Perairan Kepulauan juga berlaku Hak Lintas Damai (right of the innocent passage) bagi kapal niaga asing. Namun demikian, apabila berkaitan dengan aspek keamanan dan pertahanan, sebuah negara kepulauan dapat menghentikan pemberlakuan Hak Lintas Damai di Perairan Kepulauannya tanpa ada pengecualian.
Dalam konteks Indonesia, Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi Garis Pangkal Lurus Kepulauan tanpa
memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai. 67 Perairan Kepulauan Indonesia yaitu perairan yang terletak pada sisi dalam dari Garis Pangkal
Lurus (berupa garis-garis lurus) yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau Indonesia terluar di mana lebar Laut Teritorial Indonesia diukur secara tegak lurus selebar 12 mil, kecuali bagian perairan yang berada di sisi dalam dari Garis-Garis Penutup (closing line). Berkaitan dengan hak lintas damai, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Alur Lintas Kepulauan Indonesia (ALKI) yaitu jalur pelayaran kapal di dalam perairan kepulauan Indonesia.
B.3.3. Perairan Pedalaman
Perairan Pedalaman ini terjadi sebagai akibat dari penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Dengan penerapan garis pangkal lurus ini pada pantai yang berliku-liku atau pada pantai yang di depannya terdapat pulau atau gugusan pulau, maka akan mengakibatkan adanya bagian perairan
67 Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
atau laut yang terletak di sebelah dalam dari garis pangkal lurus tersebut. Perairan inilah yang disebut dengan perairan pedalaman. Sebagaimana halnya dengan laut teritorial, perairan pedalaman inipun merupakan bagian dari wilayah negara. Pada perairan pedalaman inipun juga diakui adanya hak lintas damai (right of innocent passage) bagi kapal-kapal asing.
Secara teoritis, perairan pedalaman yaitu perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal lurus. Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari Garis Pangkal air terendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk di dalamnya semua bagian dari
perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu Garis Penutup. 68 Di dalam Perairan Kepulauan, untuk menetapkan batas Perairan Pedalaman, Pemerintah
Indonesia dapat menarik Garis-garis Penutup pada mulut sungai, kula, teluk, anak laut dan pelabuhan. 69 Lain daripada itu, Parthiana menyatakan bahwa
Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan pada sisi dalam Garis Pangkal Normal. Apabila pada pantai yang garis pangkalnya hanya diterapkan Garis Pangkal Normal, maka tidak akan terdapat Laut Pedalaman, yang ada hanyalah Perairan Darat, yaitu bagian perairan yang terletak di sebelah dalam
Garis Pangkal Normal. 70
Jadi secara garis besar, Perairan Pedalaman terdiri atas: Pertama, Laut Pedalaman yaitu bagian laut yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal lurus dan sisi luar dari bekas garis pangkal normal. Kedua, Perairan Darat yaitu bagian perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal normal
68 Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. 69 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
70 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Op.Cit., h. 139.
maupun bekas garis pangkal normal. Perairan darat ini bisa terdiri atas perairan sungai, danau, terusan, waduk, dan perairan pada pelabuhan. Ketiga, Perairan Kepulauan (archipelagic water) yaitu perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal kepulauan. Perairan Kepulauan ini khusus bagi Negara Kepulauan (archipelagic state) sebagaimana diatur dalam pasal 46
sampai dengan Pasal 54 Konvensi Hukum Laut 1982. 71 Seperti halnya Laut Teritorial, pada Perairan Pedalaman (internal water) ini juga diakui adanya
Hak Lintas Damai (right of the innocent passage) bagi kapal-kapal niaga asing.
Gambar 1.4 Zona Maritim
71 Simela Victor Muhamad, Batas Wilayah Negara Dalam Perspektif Hukum Internasional, dalam Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia: Ancaman Terhadap Integritas Teritorial, Tiga
Putra Utama, Jakarta, 2004, h. 31-32.