Pengertian Etos Kerja dan Perbuatan Manusia
A. Pengertian Etos Kerja dan Perbuatan Manusia
1. Pengetian Etos Kerja
Pembicaraan tentang etos kerja bukanlah sesuatu hal yang baru dikalangan para intelektual, ilmuan, cendikiawan dan kalangan lainnya. Dengan demikian terdapat banyak interpretasi dari para tokoh-tokoh tersebut sehingga tidak ada satu kebulatan tentang pengertian etos kerja itu sendiri.
Dilihat dari katanya, etos kerja terdiri dari dua kata yaitu etos dan kerja. Dalam Websters World University Dictionary dijelaskan etos ialah sifat dasar atau karakter yang merupakan kebiasaan dan watak bangsa atau ras. Koentjaraningrat mengemukakan pandangannya bahwa etos merupakan watak khas yang tampak dari luar, terlihat oleh orang lain. 1 Etos berasal dari kata Yunani, ethos, artinya
ciri, sifat kebiasaan, adat istiadat atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dimiliki seseorang, suatu kelompok orang atau bangsa. Dalam Hand Book Of Psychology Term , etos di artikan sebagai pandangan khas suatu kelompok sosial, sistem nilai yang melatarbelakangi adat istiadat dan tata cara suatu komunitas. Menurut Geertz, etos merupakan sikap mendasar manusia terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Soerjono Soekanto mengartikan etos antara lain: a. Nilai-nilai dan ide-ide dari suatu kebudayaan, dan b. Karakter
1 Koentjaraningrat, Rintangan-Rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: LIPI 1980), h. 231. lihat Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami, (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2004), h. 25 Muhammadiyah University Press, 2004), h. 25
sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap, serta persepsi terhadap nilai kerja. Jadi etos adalah norma, serta cara dirinya mempersepsi, memandang dan meyakini sesuatu. 3
Nurcholis Madjid dalam bukunya Islam Dan Doktrin Peradaban juga mengatakan bahwa etos berasal dari bahasa Yunani (ethos), artinya watak atau karakter. Secara lengkap etos adalah karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang individu atau sekelompok manusia dan dari kata etos terambil pula perkataan “etika” yang merujuk pada makna “akhlak” atau bersifat akhlaqy, yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok manusia termasuk suatu bangsa. Etos juga berarti jiwa khas suatu kelompok manusia yang dari padanya berkembang pandangan
bangsa itu sehubungan dengan baik dan buruk, yakni etika. 4 etos kerja adalah respon yang dilakukan oleh seseorang, kelompok, atau masyarakat terhadap
kehidupan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap keyakinan mempunyai sistem nilai dan setiap orang yang menerima keyakinan tertentu berusaha untuk bertindak sesuai dengan keyakinannya.
Kerja merupakan kata dasar dari bekerja, dalam kamus besar bahasa Indonesia kerja berarti kegiatan melakukan sesuatu; yg dilakukan (diperbuat),
2 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi, (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 174. Lihat Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), h. 26
3 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 25 4 Ahmad Janan Asifudin, op.cit, h. 26 3 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 25 4 Ahmad Janan Asifudin, op.cit, h. 26
gerak dar pada badan dan pikiran orang untuk melangsungkan hidup badaniah maupun rohaniah. Kedua, dari segi kemasyarakatan, bekerja merupakan melakukan sesuatu untuk memuaskan kebutuhan masyarakat. Ketiga, dari segi spiritual, bekerja merupakan hak dan kewajiban manusia dalam memuliakan dan
mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa. 6
Menurut Mochtar Buchori etos kerja dapat diartikan sebagai sikap dan pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja, ciri-ciri atau sifat-sifat mengenai cara
kerja yang dimiliki seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu bangsa. 7 Etos kerja adalah pancaran dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadap kerja. 8
Etos kerja merupakan bagian dari tata nilai individual seseorang, jadi setiap orang memiliki etos kerja yang berbeda-beda ada yang memilki etos kerja yang tinggi, sedang dan bahkan ada yang memiliki etos kerja yang sangat rendah karena etos kerja berhubungan dengan watak, sifat, moral, gaya dan sesuai dengan kualitas batin seseorang yang direfleksikan dalam kehidupan nyata.
Dari penjelasan di atas, terdapat banyak tafsiran mengenai etos kerja. Namun dapat diambil benang merahnya bahwa pada dasarnya etos kerja
5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 428
6 Nanat Fatah Natsir, Etos Kerja Wirausahawan Muslim, (Bandung: Gunung Djati Press, 1999), h. 76
7 Mochtar Buchari, Penelitian Pendidikan dan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press, 1994), h. 6. Lihat Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami,
(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), h. 27 8 Musa Asy’ari, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta:
Lesfi, 1997), h. 34. Lihat Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), h. 27 Lesfi, 1997), h. 34. Lihat Ahmad Janan Asifudin, Etos Kerja Islami, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), h. 27
2. Pengertian Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia merupakan salah satu wujud dari eksitensi manusia itu sendiri karena manusia yang berbuat dan bekerja berarti manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya. Perbuatan manusia adalah susunan dari dua buah kata yaitu perbuatan dan manusia. Perbuatan adalah sesuatu yang diperbuat yang
(dilakukan) oleh manusia atau tindakan. 9 Perbuatan atau pekerjaan yang dimaksud merupakan tindakan manusia yang mengarah pada suatu tujuaan yang hendak
dicapai dari pekerjaan yang dilakukan. Tujuan tersebut mengandung nilai dan makna sehingga memberikan dampak positif baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Namun, perbuatan terbagi dua, perbuatan baik dan perbuatan buruk. Perbuatan baik inilah yang penulis maksud disini. Orang yang berprilaku baik tergambar saat ia bertutur kata, sopan, sehingga setiap pekerjaan apapun yang ia lakukan maka akan tergambarkan dari gerak gerik tubuhnya.
Secara garis besarnya, para teolog sejak periode klasik hingga kini terbagi kedalam dua aliran, yaitu aliran Qadariah dan aliran Jabariah. Pandangan aliran
9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 129
Muktazilah tentang perbuatan manusia ini dilandasi oleh aliran Qadariah, sedangkan aliran Asy’ariyah yang merupakan reaksi dari Muktazilah lebih
melandasi pemikirannya pada paham Jabariyah. 10 Aliran Qadariah merupakan suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diintervensi Tuhan. Tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas
kehendaknya sendiri. 11 Menurut aliran Qadariyah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah Inggrisnya free
will dan free act 12 . Seperti diungkapkan al-Syahrastani bahwa menurut paham Qadariah, manusia memiliki kehendak dalam perbuatan, disamping itu manusia
merupakan pelaku dalam perbuatan baik atau buruk, iman dan kufur serta taat atau berbuat maksiat. 13
Dalam pandangan Jabariah manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. paham inilah yang disebut dengan predestination atau fatalisme dalam istilah
Inggrisnya 14 , yaitu paham bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qada dan qadar Tuhan. 15
10 Syakirman M. Noor, Pemikiran Pembaharuan Muhammadiyah: Refleksi Konseptual Aspek Teologi, Syari’ah Dan Akhlak , (Padang: Baitul Hikmah, 2001), h. 46
11 Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Kamus Istilah Teologi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 161
12 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), h. 9
13 Syakirman M. Noor, op.cit, h. 47 14 Harun Nasution, op.cit, h. 9
15 Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, op.cit, h. 77
Aliran Muktazilah yang menempatkan posisi akal pada peringkat tertinggi setelah al-Quran memandang bahwa manusia menurut Muktazilah melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas untuk melakukan
pilihan perbuatannya baik atau buruk. 16 Atribut Tuhan yang dijunjung tinggi kaum Muktazilah ialah kemahaadilan-Nya. Menurut Wasil bin Atha’ salah satu tokoh Muktazilah mengatakan bahwa Tuhan bersikap bijaksana lagi adil dan tidak dapat berbuat jahat dan berlaku zalim. Paham kemahaadilan Tuhan menghendaki agar manusia sendirilah yang yang melakukan perbuatan dalam arti kehendak dan daya yang diperlukan untuk mewujudkan perbuatan, haruslah kehendak dan daya
manusia sendiri dan bukan kehendak dan daya Tuhan. 17 artinya, perbuatan manusia tidak diciptakan Tuhan, yang diciptakan Tuhan adalah daya dan
kehendak manusia mempergunakan daya itu dalam mewujudkan perbuatannya. Daya yang diciptakan Tuhan itu telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan dan daya itu bersifat efektif, dalam artian daya tersebut berpengaruh dan berfungsi dalam mewujudkan perbuatan. Dengan demikian, Muktazilah memandang bahwa manusia adalah pemegang peran utama dalam mewujudkan perbuatannya karena
perbuatan bukanlah ciptaan Tuhan. 18 Dari penjelasan diatas terlihat bahwa aliran Muktazilah memberikan
kebebasan yang besar terhadap manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Meskipun begitu, bukan berarti berbuat sebebas-bebasnya tentu ada batasan dan
16 Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 83 17 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pembaharuan, (Bandung: Mizan,
1995), h. 130 18 Syakirman M. Noor, op.cit, h. 48 1995), h. 130 18 Syakirman M. Noor, op.cit, h. 48
Berbanding terbalik dengan Muktazilah, aliran Asy’ariyah lebih dekat dengan aliran Jabariah. Menurut aliran Asy’ariyah manusia dalam kelemahannya banyak bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan. untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-Kasb (asquisition, perolehan). 19 Segala sesuau terjadi dengan perantaraan daya yang
diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasb untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersifat pasif dalam perbuatan-
perbuatannya. 20 Kasb yang dimaksud adalah berbarengnya qudrat (daya) dan kehendak manusia dengan perbuatan Allah. Maksudnya apabila seseorang hendak
mewujudkan suatu perbuatan, maka pada saat itu juga Allah menciptakan daya padanya. Namun daya itu bukanlah untuk menciptakan perbuatan, tetapi untuk memperoleh perbuatan yang telah diciptakan Allah. Dengan adanya kasb inilah
manusia mendapat taklif untuk mempertanggung jawabkan pelaksanaannya. 21
Menurut pandangan ulama Salaf 22 seperti Imam Ahmad Ibn Hanbal mengemukakan bahwa perbuatan dapat dipandang dari dua sisi, yaitu dari sisi
19 Harun Nasution, Teologi Islam, op.cit, h. 107 20 Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, op.cit, h. 165 21 Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, op.cit, h. 94
22 Salaf artinya ulama terdahulu yang merujuk pada generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in pada abad ke-3 H. Menurut al-Syahrastani ulama salah adalah ulama yang tidak menggunakan
Tuhan disebut dengan ikhtisab. Ikhtisab sebagai perbuatan diciptakan Tuhan dalam diri manusia sedangkan manusia hanya diberi kebebasan untuk perbuatannya yang bersifat pilihan (ikhtiar). Dengan demikan dalam pandangan ulama salaf, manusia tidak memilki kebebasan untuk menentukan perbuatannya
karena perbuatan tersebut diciptakan Tuhan dalam dirinya. 23 Jika dibandingkan dengan aliran teologi lainnya terlihat ada kemiripan ulama salaf tentang perbuatan manusia, yaitu mirip dengan Asy’ariyah dan Jabariyah yang meyakini bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan.
Selain itu, Ibnu Taimiyah juga berpandangan bahwa manusia memiliki masyi’ah (kemauan), qudrah (kekuatan), dan iradah (kehendak), manusia adalah pelaku hakiki bagi perbuatannya, ia berbuat dengan masyi’ah, rida dan mahabbah yang dimilikinya, ia bukan majbur (terpaksa atau bukan tanpa iradah). Tuhanlah yang menciptakan semuanya itu, yaitu menciptakan kemauan, kekuatan, kehendak dan perbuatan yang menjadi milik manusia. 24
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa ulama Salaf mengatakan bahwa perbuatan manusia itu merupakan ciptaan Allah. Tuhan tidak hanya menciptakan perbuatan tapi juga menciptakan daya dan kehendak dalam diri manusia. Daya yang diciptakan itu bersifat efektif, jadi perbuatan apapun yang dilakukan oleh manusia merupakan perwujudan dari perbuatan Tuhan sehingga manusia tidak memiliki kebebasan dalam melakukan perbuatannya.
takwil (dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai paham tasybih (antrophomorfisme). Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, op.cit, h. 178
23 Syakirman M. Noor, op.cit, h. 53 24 Abdul Aziz Dahlan, Teologi dan Akidah dalam Islam, (Padang: IAIN IB Press, 2001),
h. 156
Berbeda dengan pendapat-pendapat diatas, al-Maturidi sebagai tokoh dari aliran Maturidiyah Samarkand yang lebih dekat dengan Muktazilah mengatakan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. Maturidi menyebut ada dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakaan bersama-sama dengan perbuatan. Atas dasar itulah dikatakan bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan dalam arti yang sebenarnya dan
bukan dalam arti kiasan. 25 Menurut al-Maturidi manusia memiliki kebebasan dalam mewujudkan perbuatannya namun skala kebebasan tersebut tidak sebesar
kebebasan yang terdapat dalam aliran Muktazilah. Dalam aliran Maturidiah, baik golongan Samarkand maupun golongan Bukhara, kemauan manusia sebenarnya adalah kemauan Tuhan, ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia sehingga mengandung arti paksaan atau fatalisme dan bertentangan dengan paham al-Maturidi tentang kebebasan memilih. Tetapi sebagai pengikut Abu Hanifah, al-Maturidi membawa hal ini kedalam paham masyi’ah atau kemauan dan rida atau kerelaan. Manusia melakukan segala perbuatan baik dan buruk atas kehendak Tuhan tetapi tidak selamanya dengan kerelaan hati Tuhan. Tuhan tidak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya manusia berbuat baik atas kehendak Tuhan dan dengan kerelaan hati Tuhan, sebaliknya
25 Harun Nasution, Teologi Islam, op.cit h. 113 25 Harun Nasution, Teologi Islam, op.cit h. 113
Jadi kehendak dalam paham al-Maturidi bukanlah kehendak bebas yang terdapat dalam paham Muktazilah. Kebebasan kehendak disini bukanlah kebebasan untuk berbuat sesuatu yang yang tidak dikehendaki Tuhan, tetapi kebebasan untuk berbuat sesuatu yang disukai Tuhan. Dengan demikian, kebebasan kehendak manusia merupakan kebebasan dalam memilih antara apa yang disukai dan apa yang tidak disukai Tuhan. Jadi kebebasan dalam paham al – Maturidi porsinya lebih kecil dari kebebasan yang ada dalam paham Muktazilah.
Adapun Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa untuk perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk menciptakan. Daya yang ada pada manusia bisa untuk melakukan perbuatan. Hanya Tuhan yang dapat mencipta dan dalam ciptaannya termasuk perbuatan manusia. Dengan demikian, manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya. Bazdawi mengatakan bahwa dalam perwujudan perbuatan terdapat dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan adalah penciptaan perbuatan manusia bukan penciptaan daya. Perbuatan ini disebut maf’ul. Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan
yang diciptakan itu. Perbuatan ini disebut fi’il. 27 Jadi kebebasan manusia menurut paham ini meskipun ada tapi kecil sekali.
26 Ibid , h. 114 27 Ibid , h. 115