Perbuatan Manusia menurut Muhammadiyah

A. Perbuatan Manusia menurut Muhammadiyah

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia juga membahas persoalan perbuatan manusia dalam kaitannya dengan qada dan qadar Tuhan yang terdapat dalam muktamar majelis tarjih yang pertama. Hasil muktamar tersebut dimuat dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih dalam bab Iman qada dan qadar.

“Adapun segala yang dilakukan manusia itu semuanya atas qadha dan qadharNya(65). Sedang manusia sendiri hanya dapat berikhtiar. Dengan demikian maka segala ketentuan adalah bagian manusia . perbuata manusia ditilik dari segi kuasanya dinamakan hasil usaha sendiri(66). Tetapi ditilik dari segi kekuasaan Allah, perbuatan manusia itu adalah ciptaan Allah(67). Manusia hanya dapat mengolah bagian yang Allah karuniakan padanya berupa rizki dan

lain-lain(68). 1 Ada tiga poin yang dapat di ambil dari pernyataan diatas:

1. Perbuatan manusia bergantung pada qada dan kadar atau ketentuan Allah

2. Manusia tidak berhak menentukan perbuatannya, ia hanya dapat berusaha

3. Perbuatan ditinjau dari sisi manusia adalah merupakan kasb baginya, sedangkan dari sisi Tuhan ia merupakan ciptaan.

1 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan Yogyakarta, 1969), h. 19

Dari pernyataan diatas terlihat bahwa perbuatan manusia menurut Muhammadiyah bergantung pada ketentuan Allah, Allah menciptakan segala sesuatu. Tidak ada sesuatupun dalam alam ini melainkan ciptaanNya. Tidak ada sekutu bagiNya. Kebijaksanaan dan keadilan Allah menghendaki tidak akan ada pahala kecuali ada ikhtiyar manusia untuk memperolehnya, demikian pula halnya dengan siksaan. Maka perbuatan manusia diciptakan Allah.

Dalam Putusan Majelis Tarjih diatas dinyatakan bahwa segala perbuatan manusia tergantung kepada qada dan qadar Allah. Dari pernyataan tersebut terkesan memakai paham Asy’ariyah, yaitu segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia Tuhanlah yang menentukan, manusia hanya dapat berikhtiar. Disini tergambar manusia lemah dan tidak berdaya, meskipun ada usaha atau ikhtiar yang dilakukan manusia namun tidak berpengaruh kepada ketentuan Tuhan karena semua bergantung atas izinNya.

Perbuatan manusia berkaitan dengan qada dan qadar Tuhan, yaitu apakah qada dan qadar Tuhan diartikan sebagai kehendak mutlak Tuhan dalam menentukan setiap perbuatannya ataukah kehendak mutlak Tuhan itu dalam menetapkan sunnatullah. Dalam aliran-aliran teologi Islam terdapat perbedaan pandangan dalam masalah ini. aliran Muktazilah membahas qadar yang dikaitkan dengan perbuatan manusia. Para tokoh-tokoh Muktazilah, seperti Wasil, al-Jahizh dan Mu’ammar, tidak memahami qadar sebagai ketentuan dan ketetapan Tuhan terhadap perbuatan manusia melalui kehendak mutlakNya. Bagi mereka, baik, buruk, taat dan maksiat manusialah yang menentukannya berdasarkan kebebasan memilih yang diberikan Tuhan kepadanya. Abu Hasyim berpendapat bahwa orang Perbuatan manusia berkaitan dengan qada dan qadar Tuhan, yaitu apakah qada dan qadar Tuhan diartikan sebagai kehendak mutlak Tuhan dalam menentukan setiap perbuatannya ataukah kehendak mutlak Tuhan itu dalam menetapkan sunnatullah. Dalam aliran-aliran teologi Islam terdapat perbedaan pandangan dalam masalah ini. aliran Muktazilah membahas qadar yang dikaitkan dengan perbuatan manusia. Para tokoh-tokoh Muktazilah, seperti Wasil, al-Jahizh dan Mu’ammar, tidak memahami qadar sebagai ketentuan dan ketetapan Tuhan terhadap perbuatan manusia melalui kehendak mutlakNya. Bagi mereka, baik, buruk, taat dan maksiat manusialah yang menentukannya berdasarkan kebebasan memilih yang diberikan Tuhan kepadanya. Abu Hasyim berpendapat bahwa orang

kafir. 2 H.A.R. Gibb sebagaimana yang dikutip oleh Arbiyah Lubis, 3 ia mengatakan bahwa ada yang menghubungkan qada dan qadar dengan teori al- thab yang memandang adanya natur setiap benda yang diciptakan Tuhan. al- Jahizh, al-Nazham dan Mu’ammar dalam hal ini sependapat bahwa setiap benda mempunya naturnya sendiri yang bersifat laten yang diberikan Tuhan ketika ia menciptakan suatu benda. Dari itulah setiap peristiwa yang baru, kata al-Nazham bukan berarti penciptaan natur yang baru, tetapi merupakan peristiwa aktualisasi natur yang berupa potensi yang terdapat dalam setiap benda. Pada manusia, kata Mu’ammar potensi tersebut adalah kebebasan memilih perbuatan. Jadi setiap peristiwa yang terjadi berdasarkan hukum sebab akibat. Dengan demikianlah tampaknya mereka menghubungkan teori al-thab tersebut dengan qada dan qadar Tuhan, sehingga menghilangkan arti qada dan qadar tersebut sebagai ketentuan Tuhan atas perbuatan manusia yang ditetapkanNya melalui kehendak mutlakNya.

Abd al-Jabbar tokoh Muktazilah lainnya berpendapat bahwa takdir merupakan ilmu atau pengetahuan Allah terhadap semua yang akan terjadi yang ditulis di lauh al-mahfuzh sebelum diri manusia tersebut diciptakan. Dengan demikian jika seseorang yang taat sepanjang umurnya, kemudian melakukan dosa besar, hal itu bukanlah karena sudah ditentukan atau ditetapkan Allah, melainkan Allah mengetahui hal itu akan terjadi. Sedangkan yang dituliskan di lauh a-

2 Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Studi Perbandingan , (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 48

3 Ibid, h, 48 3 Ibid, h, 48

Kedua pendapat di atas tidak menggambarkan kehendak mutlak Tuhan dalam menetapkan perbuatan manusia. Pendapat pertama mengatakan bahwa tuhan menciptakan potensi bagi manusia untuk bebas memilih perbuatannya. Dengan demikian terlihat jelas adanya keadilan Tuhan dalam alam semesta ini. Tuhan menetapkan sesuatu bukan atas kehendakNya, tetapi manusia lebih berperan dalam memilih perbuatannya dalam bertindak ataupun bersikap dalam suatu masalah. Konsep keadilan Tuhan inilah yang dipakai dan dijunjung tinggi oleh aliran Muktazilah. Selain untuk menerapkan keadilan tersebut tapi juga untuk melepaskan Tuhan dari tanggung jawab terhadap semua kejahatan yang terjadi di dunia ini. Dengan prinsip tersebut, aliran Muktazilah memahami qada dan qadar Allah adalah sebagai penciptaan potensi dalam setiap benda dan ilmu Tuhan tentang segala yang ada di alam sesuai dengan sunnatullah.

Berbeda dengan Muktazilah, aliran Asy’ariyah yang dikenal sebagai aliran tradisional juga memiliki pengertian tentang qada dan qadar, yaitu: “Qadar adalah kehendak dan kemauan Allah Swt, sedangkan qada adalah

terjadinya semua yang dikadar, dimaui dan dikehendaki Allah” . 5

Qada dan qadar dipahami sebagai kemauan dan kehendak Allah, sedangkan qadar merupakan wujud dari keinginan dan kehendak Allah. Jadi tidak satu peristiwapun yang terjadi di alam semesta ini terlepas dari kehendak dan ketetapan Allah karena semuanya berlaku atas kehendak mutlakNya. Al-Ghazali

4 Syakirman M. Noor, Pemikiran Pembaharuan Muhamadiyah: Refleksi Konseptual Aspek Teologi, Syariah dan Akhlak , (Padang: Baitul Hikmah Press, 2001), h. 58

5 Ibid, h. 48 5 Ibid, h. 48

terbakar. 6 Penyebab dari api membakar adalah Tuhan. mereka juga menolak hukum kausalitas sebagai adat dan kebiasaan. Jika dihubungkan dengan

kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yaitu api membakar apabila atas kehendak Tuhan dan tidak membakar jika Tuhan tidak menghendakinya. Jadi tidak ada yang bersifat pasti karena semuanya tergantung pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.

Pendapat al-Asy’ari bahwa tidak ada potensi benda yang bersifat laten pada benda karena semua peristiwa adalah kejadian baru bukan pengulangan. Tuhan terus menerus mencipta, Tuhan hadir dalam setiap peristiwa. Dengan demikian tampaklah kekuasaan mutlak Tuhan. Jadi dengan kekuasaan mutlak Tuhan dan penciptaan yang berulang bisa saja terjadi keajaiban, penyimpangan dari kebiasan yang ditemukan sehari-hari. Dengan demikian peranan manusia dalam arti qada dan qadar menjadi kecil karena hakikatnya ia hanya sebagai penelusur dari perbuatannya yang telah ditetapkan Tuhan berdasarkan kehendak mutlakNya.

Muhammadiyah juga memiliki pandangan tentang qada dan qadar sebagaimana yang terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih, yaitu:

6 Arbiyah Lubis, op.cit, h. 51

َسﯾ َﻟ َو ( 65 ) ِه ِر َد َﻗ َو ِﷲ ِء ﺎ َﺿ َﻘ ِﺑ ﺎ َﮭ ﱡﻠ ُﻛ ِدﺎ َﺑ ِﻌ ْﻟا ِن َﻋ ُة َر ِدﺎ َﺻ ﻟ ا ُل ﺎ َﻌ ْﻓ َﻻ ْا َو ( 64 ) ِﮫ ِﺗا َد َر ِا َو ِﮫ ِﺗ َﻣ ْﻛ ِﺣ َو . ِر ﺎ َﯾ ِﺗ ْﺧ ِﻻ ْا ﱠﻻ ِا ِدﺎ َﺑ ِﻌ ْﻠ ِﻟ

“Kita wajib percaya bahwa Allah lah yang menciptakan segala sesuatu (61) dan dia telah menyuruh dan melarang (62) dan perintah Allah adallah kepastian yang telah ditentukan (63) dan bahwasannya Allah telah menentukan segala sesuatu sebelum Dia menciptakan segala kejadian dan mengatur segala yang ada dengan pengetahuan, ketentuan, kebijaksanaan dan kehendakNya (64) adapun segala yang dilakukan manusia itu semuanya atas qada dan qadarNya (65) sedang manusia

sendiri hanya dapat berikhtiar”. 7 Kata qada dan qadar dalam Himpunan Putusan Tarjih hanya disebutkan

secara umum tanpa memberikan pengertian yang jelas. Muhammadiyah mengartikan qada dan qadar sebagai ketentuan. Allah menetapkan ketentuan terhadap semua yang diciptakanNya sebelum ia menciptakan segala sesuatu. Semua makhluk mempunyai qadarnya masing-masing. Penjelasan yang demikian bersifat sangat umum sekali.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Verslag Pengoeroes Besar Muhammadijah , diungkapkan bahwa : “Iman perkara qadar harus senantiasa ingat, yakni tidak ada sengsara

yang datang kepada dirinya jika memang belum dikarang oleh Allah, demikian juga qadar yang jatuh pada dirinya tidak dapat ditolak”. 8

Dari penjelasan di atas dapat dimengerti bahwa qadar yang dimaksud adalah ketentuan dari Tuhan. Pendapat Muhammadiyah tersebut mengandung makna yang sejalan dengan kehendak mutlak Tuhan dalam menentukan setiap perbuatan yang ingin dilakukan oleh manusia karena sesuai dengan pernyataan

7 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, op.cit, h. 19 8 Pengoeroes Besar Muhammadiyah, Verslag Moehammadijah di Hindia Timoer, Tahoen

ke X, (Djogdjakarta: PB Moehammadijah, 1923), h. 42

dari Himpunan Putusan Tarjih yang mengatakan bahwa semua yang terjadi berdasarkan qada dan qadar Tuhan sedangkan manusia tidak memiliki bagian kecuali ikhtiar. Pernyataan tersebut menggambarkan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dalam menentukan segala sesuatunya di alam semesta ini. Manusia hanya dapat berikhtiar, namun yang berlaku adalah kehendak mutlakNya. Jadi yang dikatakan oleh Verslag tersebut lebih mengarah pada paham kehendak mutlak Tuhan. Selain itu, tidak ditemukan pandangan Muhammadiyah yang menghubungkan dengan sunnatullah. Dengan demikian, dalam masalah perbuatan manusia ini yang menyangkut qada dan qadar, Muhammadiyah lebih cenderung kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dalam menentukan atau menetapkan perbuatan manusia sebagaimana yang dianut oleh aliran Asy’ariyah.

Persoalan tentang qada dan qadar ini terdapat pula perbedaan antara persyarikatan dengan tokoh Muhammadiyah, seperti A.R Sutan Mansur, H. Malik Ahmad dan Hamka lebih cenderung kepada teologi rasional. Malik Ahmad menghubungkan qadar dengan sunnatullah yang ada dalam alam semesta. Menurutnya semua hal berlaku menurut sunnah yang ada, tunduk kepada hukum sebab akibat. Qadar adalah ketentuan, ketetapan, perundang-undangan dan peraturan yang telah dibuat oleh Tuhan untuk seluruh alam ini. Hukum dan ketentuan Allah yang terdapat dalam undang-undang semesta itulah selanjutnya yang memegang peranan dan segala sesuatunya berlaku menurut ketentuannya. Malik Ahmad mendefinisikan qadar dengan nizam tetap yang diadakan oleh Tuhan untuk segala yang wujud, peraturan, undang-undang umum, sunnah

(ketentuan) hukum sebab akibat. 9 Qada diartikan sebagai akibat, yaitu akibat atau balasan yang diterima seseorang dari perbuatan yang dipilihnya. Qadar bagi

manusia dalam bentuk penetapan perbuatan. Oleh karena itu manusia bebas memilih perbuatannya dan manusia akan menerima balasan sesuai dengan hukum sebab akibat yaitu Tuhan akan memberi balasan orang yang berbuat baik dengan

yang baik dan yang buruk akan menerima balasan yang buruk pula. 10 Dari uraian tersebut tergambar bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan merupakan

potensi yang dimiliki Tuhan, sedangkan pelaksanaannya dibatasi oleh sunnatulllah berupa hukum sebab akibat yang diciptakanNya. Hamka juga sependapat dengan Malik Ahmad. Qadar diartikan sebagai sunnatullah yang ada di alam semesta ini dan sunnatullah merupakan undang-undang Allah yang wajib dituruti dan dilaksanakan.

K.H. Mas Mansur juga mengemukakan qada dan qadar, sesuai dengan ungkapannya: “Gerak hati manusia yang mewujudkan rasa berkehendak, betapapun

kecil dan halusnya kehendak itu, tidak mungkin ada, bilamana bukan Allah yang menghendakiNya. Ditangan kekuasaan Allah jua adanya segala kejadian. Setinggi-tingginya puncak kekuatan manusia dan sehabis-habis tenaganya akan mencapai sesuatu yang tidak dkehendaki oleh Allah, maka akan sia-sia juga semuanya itu. Maksudnya tidak pula akan tercapai. Hanya Allah itulah satu-satunya zat yang teramat

bijaksana, yang teramat berkuasa”. 11 Ungkapan di atas menggambarkan bahwa adanya kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan dalam setiap perbuatan manusia, dari ungkapan tersebut tak berlaku

9 Ibid, h, 42 10 Ibid , h. 164

11 Soebagijo, KH. Mas Mansur: Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h. 155 11 Soebagijo, KH. Mas Mansur: Pembaharuan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h. 155

Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam bidang teologi tampak diwarnai oleh pandangan ulama dari golongan tua. Hal ini tampak dalam pandangan KH. Mas Mansur ketua pimpinan pusat Muhammadiyah periode 1936- 1942, sebagaimana ungkapan yang telah disebutkan diatas. Paham yang terdapat dalam Himpunan Pututan Tarjih cenderung kepada paham Asy’ariyah seperti yang dianut oleh KH. Mas Mansur karena ia sangat berpengaruh di dalam Majelis Tarjih tersebut. H. Ahmad Azhar Basyir, ketua pimpinan pusat Muhammadiyah periode 1990-1995, menyatakan bahwa keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai pemikiran teologi Islam dalam persyarikatan ini yang dituangkan dalam buku Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah hasil muktamar

tarjih yang pertama di bawah pimpinan KH. Mas Mansur. 12 Jadi tidak mengherankan jika teologi Muhammadiyah tentang perbuatan manusia masih

memakai paham yang cenderung kepada aliran Asy’ariyah sebagaimana yang dianut oleh KH. Mas Mansur ketika itu dan sampai sekarang belum ada dilakukan muktamar yang baru tentang pembahasan perbuatan manusia. Maka boleh dikatakan perbuatan manusia menurut Muhammadiyah cenderung pada aliran Asy’ariyah.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa masalah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan merupakan penafsiran dari qada dan qadar Allah yang ditafsirkan secara umum di dalam al-Quran. Dalam buku Himpunan Putusan

12 Tesis, M. Mawangir, Corak Teologi Islam Muhammadiyah, (Padang: IAIN IB Padang, 2002), h. 59

Tarjih, Muhammadiyah tampaknya cenderung memiliki pemahaman kepada teologi tradisional karena bagi Muhammadiyah manusia tidak berhak menentukan perbuatannya yang dapat ia lakukan adalak berikhtiar sedangkan beberapa tokoh Muhammadiyah sendiri tidak seluruhnya sependapat dengan Himpunan Putusan Tarjih.

Dalam Putusan Majelis Tarjih dikatakan bahwa ada dua bentuk perbuatan. Pertama adalah dilihat dari segi kekuasaan Tuhan, perbuatan manusia merupakan ciptaanNya. Kedua dilihat dari segi manusia, perbuatan merupakan hasil usaha sendiri atau kasb baginya. Jadi perbuatan menurut Muhammadiyah adalah

diciptakan dan perbuatan tersebut adalah makhluk atau ciptaan Tuhan. 13 penulis melihat daya yang ada pada manusia menurut Muhammadiyah sama dengan kedudukan daya yang ada di dalam paham Asy’ariyah yaitu mengenai daya untuk mewujudkan perbuatan-perbuatan, al-Asy’ari berpendapat bahwa daya itu adalah lain dari diri manusia sendiri karena diri manusia terkadang berkuasa dan terkadang tidak berkuasa. Daya tidak terwujud sebelum adanya perbuatan, daya ada bersama-sama dengan adanya perbuatan dan daya itu ada hanya untuk

perbuatan yang bersangkutan saja. 14 Jadi menurut al-Asy’ari, orang yang dalam dirinya tidak diciptakan daya oleh Tuhan, tidak bisa berbuat apa-apa.

Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan Dalam konsep al-Asy’ari dikenal dengan istilah kasb, yaitu sejalannya perbuatan manusia dengan perbuatan Tuhan. Atinya apabila seseorang ingin melakukan sesuatu perbuatan, maka perbuatan itu baru akan terlaksana jika sesuai dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan. Dengan

13 Ibid , h. 42 14 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:

Universitas Indonesia, 1986), h. 111

kata lain, apabila ada keinginan dari seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, pada saat itulah Allah menciptakan kemampuan kepadanya untuk mewujudkan perbuatan tersebut. Dengan kemampuan itulah ia menghasilkan perbuatannya, tetapi ia tidak menciptakan perbuatan itu, yang menciptakan perbuatan tersebut adalah Tuhan. kasb yang dipakai oleh Asy’ariyah terlihat bahwa yang berpengaruh dan efektif dalam perwujudan perbuatan manusia adalah Tuhan, bukan manusia itu sendiri. Perbuatan manusia baru efektif jika sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan demikian perbuatan manusia tidak bersifat efektif karena perbuatannya dikendalikan oleh Tuhan.

Muhammadiyah juga memakai istilah kasb, sesuai dengan firmanNya:

Artinya: Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (Q.S ash-Shaffat: 96)

Makna penciptaan perbuatan yang terdapat dalam ayat di atas terlihat bahwa menghilangkan peran manusia dalam perbuatannya, Tuhanlah pemegang peran yang sebenarnya dalam segala bentuk perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Maka tergambar bahwa adanya kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan

didalamnya. 15 Kata kasb yang digunakan oleh Muhammadiyah dilandasi dengan dalil

yang berbunyi:

15 Arbiyah Lubis, op.cit, h. 42

Artinya: Pada hari Ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya. (Q.s al-Mukmin: 17)

Kata kasb disini tidak dijelaskan artinya, apakah ia menunjuk pada istilah paham Asy’ariyah atau dalam pengertian lain. Tidak diketahui pula apakah daya yang terdapat dalam kasb bersifat efektif atau tidak. penjelasan yang ada hanya menyebutkan bahwa perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan. penciptaan tersebut berdasarkan pilihan dan kehendak mutlak Tuhan. Dalil yang menguatkan adalah:

Artinya: Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). (Qs. al- Qashash: 68)

Dilihat dari ayat di atas daya dan kehendak yang terdapat dalam kasb tidak bersifat efektif karena kalau bersifat efektif maka perbuatan yang terwujud harus lah berdasarkan daya dan kehendak manusia itu sendiri bukan atas pilihan dan kehendak Tuhan. Dengan demikian, ketidak efektifan daya dan kehendak manusia dalam mewujudkan perbuatannya maka manusia tidak memiliki peranan penting dalam perbuatannya karena daya dan kehendak Tuhanlah yang berlaku dan memainkan peran dalam perbuatan manusia tersebut. Sejalan dengan itu, KH. Mas Mansur pimpinan pusat Muhammadiyah (1936-1942) juga sependapat dengan putusan majelis tarjih, ia mengatakan kehendak manusia sebenarnya Dilihat dari ayat di atas daya dan kehendak yang terdapat dalam kasb tidak bersifat efektif karena kalau bersifat efektif maka perbuatan yang terwujud harus lah berdasarkan daya dan kehendak manusia itu sendiri bukan atas pilihan dan kehendak Tuhan. Dengan demikian, ketidak efektifan daya dan kehendak manusia dalam mewujudkan perbuatannya maka manusia tidak memiliki peranan penting dalam perbuatannya karena daya dan kehendak Tuhanlah yang berlaku dan memainkan peran dalam perbuatan manusia tersebut. Sejalan dengan itu, KH. Mas Mansur pimpinan pusat Muhammadiyah (1936-1942) juga sependapat dengan putusan majelis tarjih, ia mengatakan kehendak manusia sebenarnya

Artinya: Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Qs. al-Anfal:17)

Dari ayat tersebut terlihat bahwa sebenarnya bukan manusia yang melakukan perbuatan tetapi Tuhanlah yang melakukannya, sejalan dengan Putusan Tarjih yang menyatakan bahwa manusia hanya dapat berikhtiar dan berusaha, sedang Tuhan dengan kehendakNya menentukan perbuatan yang diciptakanNya. Dengan demikian, dari ungkapan teologis yang ada dalam Himpunan Putusan Tarjih mengenai perbuatan manusia, cenderung kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan seperti yang dipakai dalam aliran Asy’ariyah.

Manusia dalam mewujudkan perbuatannya menurut Muhammadiyah tergantuang kepada masyi’ah atau kemauan dari Allah. Kemauan yang dimaksud adalah tergantung kepada kekuasaan dan kehendak Tuhan sebagai pemberi daya dalam perbuatan manusia. Jadi, apabila seseorang ingin melakukan suatu perbuatan, jika tidak ada masyi’ah dari Allah maka perbuatan itu tidak akan terwujud.

16 Soebagijo, op.cit , h. 156