2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 ini menggantikan Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1950. Dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 2002
maka UU No. 3 Tahun 1950 dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 terdiri dari atas enam Bab, dan 17 tujuh belas pasal, mengatur
mengenai ketentuan Umum, Ruang Lingkup permohonan dan pemberian grasi, serta Tata Cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi, dan ketentuan
lain-lain. Pasal 1 UU No. 22 Tahun 2002 memberikan pengertian dari Grasi dan
terpidana. Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh Presiden. Sedangkan yang dimaksud dengan terpidana adalah seseorang yang
dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Grasi adalah hak dari semua terpidana, seperti yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat 1 UU No. 22 Tahun 2002. Pasal 2 ayat 1 berbunyi:
“1 Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden”
UU No. 22 Tahun 2002 dalam bagian Penjelasan menjelaskan kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 2 ayat 1 dimaksudkan untuk memberikan
kebebasan kepada terpidana untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak untuk mengajukan grasi sesuai dengan Undang-Undang.
Yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah:
1. putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau
kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
2. putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam
waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
3. putusan kasasi.
Didalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembatasan terhadap putusan yang dapat diajukan grasi adalah putusan pidana mati, penjara seumur
hidup, dan penjara paling rendah 2 tahun Pasal 2 ayat 2, dan ditegaskan bahwa permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan, kecuali pidana mati.
Permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 satu kali, kecuali untuk pidana tertentu dan dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat diajukan 1
satu kali lagi. Pengecualiannya terbuka bagi terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2 dua tahun sejak tanggal
penolakan permohonan grasi tersebut, atau bagi terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup dan telah lewat waktu 2 dua
tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.
Mengenai tata cara pengajuan permohonan grasi diatur dalam Bab III, Bagian Kesatu Pasal 5 sampai dengan Pasal 8. Hak untuk mengajukan grasi
diberitahukan terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang memutus pada tingkat pertama, atau diberitahukan secara tertulis oleh panitera apabila terpidana
tidak hadir waktu putusan pengadilan dijatuhkan. Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau
keluarganya secara tertulis kepada Presiden Pasal 8 ayat 1. Apabila terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasinya dapat diajukan oleh keluarga terpidana
tanpa persetujuan dari terpidana. Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu. Artinya tidak ada pembatasan waktu pengajuan grasi, hal ini dapat
menimbulkan permasalahan kepastian hukum dan menyebabkan tertundanya eksekusi atau pelaksanaan hukuman misalnya hukuman mati sampai dengan
waktu yang tidak terbatas. Perbedaan UU No. 22 Tahun 2002 dengan UU No. 3 Tahun 1950 adalah
diaturnya mengenai percepatan tata cara penyelesaian permohonan grasi dengan menentukan tenggang waktu dalam setiap tahap proses penyelesaian permohonan
grasi. Terpidana langsung mengajukan permohonan grasi dan salinannya kepada Presiden melalui Kepala Lembaga Permasyarakatan tempat terpidana menjalani
pidana. Kepala Lembaga Permasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan salinan permohonan grasi dikirimkan kepada
pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama paling lambat 7 tujuh hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi Pasal 8 ayat 3.
Proses penyelesaian permohonan grasi kini tidak terlalu banyak melibatkan instansi-instansi peradilan. Pengadilan tingkat pertama mengirimkan
salinan permohonan dan berkas perkara untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung dalam jangka waktu paling lambat 20 dua puluh hari sejak diterimanya
salinan permohonan grasi. Selanjutnya Mahkamah Agung akan mengirimkan pertimbangan tertulisnya kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 3
tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara.
Presiden akan memberikan keputusan atas permohonan grasi berupa pengabulan pemberian atau penolakan permohonan grasi setelah mendapat
pertimbangan Mahkamah Agung. Jangka waktu pemberian keputusan paling lambat 3 tiga bulan sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung Pasal
11. Pasal 13 menentukan bahwa eksekusi pidana mati tidak dapat
dilaksanakan ditunda sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.
Ketentuan mengenai grasi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 nyatanya masih memiliki beberapa kelemahan yang menyebabkan penyelesaian
permasalahan grasi tidak kunjung terselesaikan. Kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002
antara lain: 1.
pasal-pasal yang memuat tentang hak untuk pengajuan tentang permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal terpidana telah ditolak
permohonannya dan telah lewat waktu selama dua tahun sejak tanggal penolakan dan seterusnya.
Kata kecuali mengandung makna bahwa grasi dapat diajukan lebih dari satu kali. Klausul yang menyatakan bahwa terpidana telah ditolak permohonannya
dalam terdahulu dan telah lewat waktu dua tahun sejak penolakan dan atau karena alasan tertentu memungkinkan terpidana dapat mengajukan kembali
permohonan grasi untuk yang kedua kalinya kepada Presiden. Pada sisi lain bahwa membuka peluang tertundanya bagi pelaksanaan eksekusi bagi
terpidana mati yang telah mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap. Ketentuan itu dianggap tidak memberikan kepastian hukum dan berpotensi
pada tindakan diskriminatif dalam pelaksanaannya. 2.
Jangka waktu selama 3 tiga bulan yang diberikan kepada Mahkamah Agung untuk memproses permohonan grasi dan penyerahan pertimbangan kepada
Presiden dirasakan sangat lama dan dan dapat memberikan pertimbangan baru bagi terpidana karena salah satu haknya sebagai terpidana tidak cepat
mendapatkan kepastian. 3.
Tidak memberikan batasan waktu pengajuan permohonan grasi Oleh karena hal tersebut maka diusulkanlah untuk diadakan perubahan
terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 sehingga diundangkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 yang berlaku
pada tanggal 23 Agustus 2010.
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010