Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Undang-Undang Mengenai Grasi

4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010

Pembahasan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi dilatarbelakangi oleh kegagalan pemerintah dalam menjalankan amanat ketentuan peralihan UU No. 22 Tahun 2002 yang mengatur bahwa penyelesaian pengajuan permohonan grasi yang diajukan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi harus dilakukan dalam jangka waktu dua tahun sejak UU disahkan. UU No. 22 Tahun 2002 diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002. Dengan demikian, penyelesaian pengajuan grasi sebagaimana diatur dalam ketentuan peralihan harus sudah selesai pada 2004. Namun, hingga 2010 atau delapan tahun sejak UU itu disahkan, pemerintah tidak dapat menyelesaikan pengajuan permohonan grasi. Bahkan, sampai dengan Agustus 2010, jumlah tunggakan pengajuan grasi mencapai 2106 berkas. Masalahnya bukan hanya terletak pada kegagalan pemerintah, tetapi lebih besar permasalahannya pada pelaksanaan keadilan dan kepastian hukum para terpidana. Tak bisa dibayangkan apabila seorang terpidana harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan jawaban dari presiden apakah grasi yang diajukan ditolak atau dikabulkan 37 Di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 disebutkan pula bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tidak memberikan batasan waktu pengajuan permohonan grasi bagi terpidana mati, sehingga dalam pelaksanaannya menyebabkan eksekusi atau pelaksanaan pidana mati menjadi . 37 Berharap Pada 560, Catatan Kinerja DPR 209-2010, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2011, hal 104 tertunda sampai dengan waktu yang tidak terbatas. Demi kepastian hukum, maka perlu diatur mengenai batasan waktu pengajuan permohonan grasi bagi terpidana mati. Ketentuan mengenai jangka waktu tiga bulan yang diberikan kepada Mahkamah Agung untuk memberikan pertimbangannya kepada Presiden, jangka waktu tiga bulan itu dirasakan sangat lama dan dapat memberikan penderitaan baru bagi terpidana karena salah satu haknya sebagai terpidana tidak cepat mendapatkan kepastian. Bahkan, dalam praktiknya, sering kali proses itu melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Tunggakan penyelesaian permohonan grasi menjadi bukti berjalan lambatnya mekanisme untuk memberikan hak seorang terpidana. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 hanya terdiri dari 2 dua pasal. Pasal 1 menyebutkan mengenai beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 yang diubah. Ketentuan Pasal 2 ayat 2 dan ayat 3 diubah, sehingga seluruhnya berbunyi menjadi: 1 Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden. 2 Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 dua tahun. 3 Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 hanya dapat diajukan 1 satu kali Didalam Penjelasan UU No. 5 Tahun 2010 menyebutkan pembatasan pengajuan permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 satu kali dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan pengajuan permohonan grasi dan menghindari pengaturan yang diskriminatif. Perubahan ketentuan UU No. 22 tahun 2002 lainnya yaitu dengan penyisipan 1 satu pasal diantara Pasal 6 dan Pasal 7 yaitu Pasal 6A. Pasal 6A berbunyi: 1 Demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan pemerintahan dibidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 untuk mengajukan permohonan grasi. 2 Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 6A ayat 1 dan menyampaikan permohonan dimaksud kepada Presiden. Pengaturan mengenai kewenangan Menteri Hukum dan HAM untuk memproses pengajuan grasi ini masih kurang jelas. Ketentuan ini memerlukan pengaturan yang lebih lanjut secara rinci dalam peraturan dibawah Undang- Undang. Karena penerapannya berpotensi untuk menimbulkan praktik pelaksanaan hukum yang tidak adil kepada semua terpidana ketika setiap terpidana tidak memproleh perlakuan yang sama terlebih jika Menhumkam mengambil langkah tebang pilih. Jadi hal yang perlu diperhatikan adalah pengaturan lebih lanjut dan rinci agar kewenangan itu tidak disalahgunakan. Perubahan berikutnya mengenai penetapan jangka waktu paling lama 1 satu tahun suatu permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap Pasal 7 ayat 2. Ketentuan Pasal 10 juga diubah mengenai jangka waktu Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulisnya kepada Presiden yang dalam UU No. 22 Tahun 2002 ditentukan paling lambat 3 tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, kini diubah menjadi paling lambat 30 tiga puluh hari terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 menetapkan untuk menyisipkan 1 satu pasal yakni Pasal 15A diantara Pasal 15 dan Bab IV yang menyatakan bahwa permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasarkan Pasal 15 UU No. 22 Tahun 2002 diselesaikan paling lambat 22 Oktober 2012. Kepada terpidana mati yang belum mengajukan permohonan grasi berdasarkan UU No. 22 tahun 2002, jangka waktu 1 satu tahun yang dimaksud pasal 7 ayat 2 dihitung sejak UU ini mulai berlaku. Undang-Undang yang saat ini berlaku dalam pengaturan grasi di Indonesia adalah UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 5 Tahun 2010. C. Perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Grasi Ketentuan yang berlaku saat ini di Indonesia mengenai mekanisme dan prosedur tata cara pengajuan permohonan grasi diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 Tentang Grasi. Perbandingan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi adalah sebagai berikut: 1 Batasan Pengajuan Permohonan Grasi Undang-Undang No. 22 tahun 2002 dalam Pasal 2 ayat 3 menyebutkan bahwa pengajuan permohonan grasi tidak terbatas dengan syarat tertentu. Sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 menetapkan batasan pengajuan permohonan grasi hanya satu kali. 2 Jangka waktu Pengajuan Grasi Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 menetapkan tidak adanya jangka waktu pengajuan grasi, sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 menetapkan jangka waktu pengajuan grasi dibatasi sampai satu tahun sejak putusan berkekuatan hukum tetap. 3 Kewenangan Menteri Hukum dan Ham Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tidak mengatur adanya wewenang Menteri Hukum dan Ham dalam Proses pengajuan grasi, sedangkan Undang- Undang No. 5 Tahun 2010 menetapkan ketentuan baru yaitu memberikan kewenangan kepada Menteri Hukum dan Ham untuk memproses pengajuan permohonan grasi. 4 Jangka waktu Pemeriksaan oleh Mahkamah Agung Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jangka waktu Mahkamah Agung memberikan pertimbangan kepada Presiden adalah 3 tiga bulan sedangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 menetapkan percepatan dalam hal pemeriksaan permohonan grasi yaitu menjadi 30 tiga puluh hari. D. Penerapan Pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 Tentang Grasi Penerapan pemberlakuan Undang-Undang mengenai grasi meskipun telah dilakukan beberapa ketentuan perubahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tidak melepas masih adanya pro dan kontra dalam penyelenggaraan pemberian grasi khususnya kepada terpidana yan melakukan tindak pidana extra ordinary seperti tindak pidana korupsi, terorisme, dan narkotika. Kasus pemberian grasi kepada Syaukani Hasan Rais terpidana kasus korupsi dan Schapelle Leigh Corby terpidana kasus narkotika merupakan contoh masih adanya kelemahan dalam penerapan pemberian grasi. Grasi dapat diajukan oleh semua terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terbatas dalam putusan pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara minimal 2 dua tahun tanpa mempersoalkan jenis tindak pidana yang dilakukan oleh terpidana. Kontroversi yang akhir-akhir ini timbul akibat pemberian grasi kepada Corby, yang mengingatkan kembali kepada kita kontroversi yang pernah terjadi kepada grasi yang diberikan untuk Syaukani Hasan Rais, seharusnya menjadi peringatan kepada pemerintah untuk meninjau ulang kembali peraturan perundang-undangan mengenai grasi saat ini. Peninjauan ulang ini diharapkan untuk memperbaiki substansi hukum agar lebih efektif, serta untuk menjawab tuntutan masyarakat dan lebih memberikan perlindungan pada masyarakat yang merasa rasa keadilannya terusik, terkait dengan keberadaan narapidana yang melakukan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat atau menimbulkan korban yang banyak. Hak untuk mengajukan grasi dijamin oleh UUD 1945, KUHP, KUHAP, dan dalam UU No. 22 Tahun 2002 jo UU No. 5 Tahun 2010. Alangkah lebih baik lagi, jika dasar pertimbangan yang digunakan Presiden untuk mengabulkan permohonan grasi itu jelas, tegas, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak melukai rasa keadilan dalam masyarakat. Pemerintah diharapkan konsisten dalam menerapkan peraturan- peraturannya, seperti pemberantasan terhadap koruptor dan narkoba. Terutama apabila pemberian grasi dikaitkan dengan jenis pidana yang dilakukan, akan menjadi sangat tidak adil bila seorang terpidana yang melakukan tindak pidana extra ordinary crime seperti korupsi dan narkoba mendapat kemudahan dalam pengurangan hukuman. Keputusan untuk memperberat syarat grasi terhadap kejahatan luar biasa tidak terlepas dari peran putusan hakim. Putusan hakim diharapkan mempunyai dimensi keadilan yang dapat dirasakan oleh semua pihak yaitu terhadap pelaku itu sendiri, masyrakat, korban akibat tindak pidananya dan kepentingan negara. Tegasnya, vonis yang dijatuhkan oleh hakim merupakan keseimbangan kepentingan antara kepentingan para pelaku disatu pihak serta kepentingan akibat dan dampak kesalahan yang telah diperbuat para pelaku di lain pihak. Mengenai kewenangan Menteri Hukum dan HAM untuk mengajukan serta memproses permohonan grasi diharapkan dapat diatur lebih lanjut mengenai pengaturannya. Karena penerapannya berpotensi untuk menimbulkan praktik pelaksanaan hukum yang tidak adil kepada semua terpidana ketika setiap terpidana tidak memproleh perlakuan yang sama terlebih jika Menhumkam mengambil langkah tebang pilih. Jadi hal yang perlu diperhatikan adalah pengaturan lebih lanjut dan rinci agar kewenangan itu tidak disalahgunakan. Menteri Hukum dan HAM juga diharapkan lebih berhati-hati dalam menyeleksi siapa narapidana yang benar-benar patut mendapat grasi, dan siapa yang tidak, tanpa mengabaikan perasaan masyarakat dan tanpa mengabaikan hak dari narapidana tersebut. Sebagai contoh dalam hal pemberian grasi kepada Syaukani Hasan Rais, yang disebut sebagai Bupati Terkaya di Indonesia karena melakukan korupsi sehingga merugikan negara sebesar 113 milyar, mendapatkan reaksi berupa penolakan besar dari masyarakat yang merasa keadilannya terganggu. Untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat, diharapkan Presiden memberikan grasi kepada orang yang benar-benar layak untuk mendapatkannya. Contoh Kasus Hukum Syaukani Hasan Rais Syaukani Hasan Rais lahir di Tenggarong, Kutai Kertanegara pada 11 November 1948. Beliau adalah Bupati Kutai yang ke-9 bila dihitung dari Daerah Istimewa Kutai, dan Bupati pertama dari Kutai Kertanegara sejak pemekaran menjadi Kabupaten Kutai Kertanegara, yaitu periode 1999 sampai dengan 2004, dan kembali menjabat sebagai Bupati setelah memenangkan Pemilihan Kepala Daerah Kutai Kertanegara pada tanggal 1 Juni 2005. Syaukani Hasan Rais bersama pasangannya Samsuri Aspar dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kertanegara periode 2005 sampai dengan 2010 pada tanggal 13 Juli 2005 38 Sejak otonomi daerah diberlakukan, Kutai Kertanegara Kukar berkembang pesat. Kutai Kertanegara membangun taman wisata berkelas internasional di Delta Sungai Mahakam. Kabupaten Kutai Kertanegara tampak sangat bersemangat melakukan pembangunan dan memajukan daerahnya. Semangat untuk menjadi daerah tujuan wisata berkelas internasional di Kalimantan terus digaungkan para pejabat pemerintahan setempat, bahkan ada beberapa kejuaraan tingkat internasional yang pernah diselenggarakan di Kukar, seperti dua kali pergelaran tinju dunia dan Big Japan Pro Wrestling yang dipentaskan di Tenggarong. Semangat itu disebarkan ke segenap masyarakat Kutai Kertanegara, namun di tengah semangat menggebu tersebut, ada kabar tidak sedap berhembus, Bupati Kukar diduga melakukan korupsi . 39 38 www. wikipedia.com . 39 http:bataviase.co.idnode427802. Terakhir kali diakses pada tanggal 16 Desember 2010 Syaukani Hasan Rais, diindikasikan menyelewengkan dana APBD. Tidak tanggung-tanggung, Syaukani dituduh melakukan 2 dua tindakan penyelewengan terhadap dana APBD, yakni dana pembangunan Bandara Samarinda-Kukar dan mempergunakan dana kesejahteraan rakyat atau bantuan sosial. Tuduan terhadap Syaukani tidak berhenti sampai disitu, beliau juga diduga menyelewengkan dana atas penerimaan daerah terhadap migas serta penunjukan langsung pekerjaan studi kelayakan pembangunan Bandar Udara Samarinda-Kutai Kertanegara Kukar. Setiap tindakan Syaukani menggunakan modus yang berbeda-beda. Saat melakukan penyelewengan dana penerimaan daerah terhadap migas. Syaukani mengubah secara sepihak aturan tentang dana perangsang atas penerimaan daerah terhadap migas 40 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah, besarnya dana perangsang adalah 1,5 satu setengah persen. Aturan ini lalu diubah secara sepihak menjadi 100 seratus persen, yang ditetapkan dengan surat keputusan tentang pembagian uang perangsang atas penerimaan daerah terhadap migas. Akibat perbuatan Syaukani, negara dirugikan RP. 93.200.000.000,- sembilan puluh tiga milyar dua ratus juta rupiah. Jumlah ini merupakan akumulasi selama 4 empat tahun Syaukani berkuasa. Syaukani sendiri mendapatkan Rp. 27.800.000.000,- dua puluh tujuh milyar delapan ratus juta rupiah. . Perihal pembangunan Bandara Kukar, Syaukani melakukan tindakan yang dinilai memperkaya diri sendiri dan orang lain. Kasus ini bermula dari niat 40 Diana Ria Winanti Napitupulu, KPK in action. PT. Niaga Swadaya, 2010, hlmn 125 pemerintah Kabupaten Kukar untuk membuat bandar udara yang dapat menghubugkan Kukar dengan wilayah lain secara lebih mudah. Pembangunan bandara diharapkan dapat memajukan perekonomian daerah dan memperkenalkan budaya serta potensi daerah Kukar. Syaukani lalu melakukan penunjukan langsung terhadap PT. Mahakam Diaster Internasional MDI. Syaukani menyerahkan proyek studi kelayakan feasibility study kepada PT. MDI dengan nilai proyek Rp. 2.222.000.000,- dua milyar dua ratur dua puluh dua juta rupiah 41 Perbedaan sebesar Rp. 4.047.000.000 empat milyar empat pulu tujuh juta rupiah ini masuk ke kantong Direktur PT. MDI, Vonni A. Panambunan. Pada saat proyek berjalan, Syaukani lalu membuat lelang fiktif, mengenai semua dokumen yang terkait mulai dari undangan lelang hingga daftar negosiasi harga. Masih dari proyek bandara, Syaukani juga melakukan penyelewengan dana APBD sebesar Rp. 15.250.000.000,- lima belas milyar dua ratus lima puluh juta rupiah. Dana sebanyak itu direkayasa sebagai dana pembayaran atas tanah milik anak Syaukani yang tergusur akibat pembangunan bandara, padahal tidak ada tanah milik anak Syaukani yang tergusur. Berbeda lagi dengan penyelewengan dana kesejahteraan rakyat atau bantuan sosial, dalam kasus ini Syaukani merekayasa pencairan dana bantuan sosial sehingga mengalir ke kantung pribadi Syaukani, yaitu sebesar Rp. 7.075.000.000,- tujuh milyar tujuh puluh lima juta rupiah . 42 41 Ibid . 42 Ibid Akibat dari tindakannya ini, Syaukani diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 113.000.000.000,- seratus tiga belas milyar rupiah. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 14 Desember 2007, menjatukan vonis 2,6 dua tahun enam bulan penjara, yang jauh lebih ringan daripada permintaan jaksa, yakni 8 delapan tahun penjara. Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya kemudian menambah 3,5 tiga setengah tahun penjara dari vonis sebelumnya, sehingga masa pidana yang harus dijalani Syaukani menjadi 6 enam tahun penjara dan denda sebesar Rp. 250.000.000,- dua ratus lima puluh juta rupiah, serta dengan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp. 49.600.000.000,- empat puluh sembilan enam ratus juta rupiah 43 Pada saat Syaukani menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Syaukani mulai mengeluhkan sakit, sehingga suatu saat mendadak pingsan dan tak sadarkan diri. Syaukani lantas mulai menjalani perawatan intensif di ICU Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan. Setelah menjalani pemeriksaan kesehatan ole tim dokter, termasuk dokter kepresidenan dr. Djoko Rahardjo, SpU., didapatkan informasi bahwa Syaukani mengidap komplikasi dari penyakit jantung, diabetes melitus, paru-paru, sampai urat syaraf yang terjepit di bagian tulang belakang. Syaukani kemudian mengalami koma, sehingga harus menjalani perawatan intensif di ICU RSPP tersebut. Pada Hari Ulang Tahun RI ke-64, tanggal 17 Agustus 2009, Syaukani Hasan Rais yang telah . 43 www.infokorupsi.com , dalam : “KPK Terima Pelunasan dari Eks Bupati Kutai Kertanegara”. Terakhir kali diakses pada tanggal 17 Desember 2010 menjalani 13 satu per tiga masa pidananya memperole remisi selama 5 lima bulan 44 Tahun berikutnya, pada 15 Agustus 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi dengan nomor 7G Tahun 2010 kepada Syaukani Hasan rais. Menteri Sekretaris Negara, Sudi silalai menyatakan bahwa pemberian grasi ini adalah murni karena pertimbangan dari sisi kemanusiaan, yaitu karena kondisi Syaukani telah buta, lumpuh kaki dan tangan, serta mengalami kerusakan memori paska gagal nafas pada awal Januari 200. Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar juga menyatakan bahwa pemberian grasi didasarkan pada pertimbangan kemanusiaan, karena kondisi Syaukani yang sudah sangat parah . 45 Berdasarkan uraian diatas, dapat dilihat bahwa Grasi yang diberikan Presiden kepada Syaukani Hasan Rais dengan Keputusan Presiden tertanggal 15 Agustus 2010 ini merupakan grasi pertama dalam sejarah yang pernah diberikan kepada seorang koruptor. Melalui grasi tersebut, hukuman Syaukani dikurangi dari 6 enam tahun penjara menjadi 3 tiga tahun penjara. Akibatnya, Syaukani bisa langsung bebas karena telah menjalani masa pidana selama lebih dari 3 tiga tahun. Pemberian grasi ini dikecam banyak pihak, misalnya dari Indonesia Corruption Watch ICW dan bukan dari Dewan Perwakilan Rakyat, karena dianggap menghilangkan kerja keras dari Kejaksaan, pengadilan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah mengusut tuntas kasus ini. Pemberian grasi kepada Syaukani Hasan Rais adalah tindakan yang tidak patut, karena . 44 www.forum.net, dalam : “Akhir Kejayaan Syaukani Hasan Rais”. Terakir kali diakses pada Minggu, 22 Januari 2011 | 12.06 45 http:nanlimo.blogspot.com. Wawancara dengan Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Hukum dan HAM, dalam: “Syaukani Hasan Rais Akhirnya Dapat Grasi Presiden”. bertentangan dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi. Maka seharusnya dalam pemberian keputusan pengabulan dan penolakan suatu permohonan grasi haruslah tidak hanya mempertimbangkan keadilan dari sisi terpidana melainkan juga harus dilihat dari sisi keadilan untuk orang banyak. Schapelle Leigh Corby Schapelle Leigh Corby adalah seorang mantan pelajar sekolah kecantikan dari Brisbane, Australia yang ditangkap membawa obat terlarang di dalam tasnya di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Indonesia pada 8 Oktober 2004. Dalam tas Corby ditemukan 4,2 kg ganja, yang menurut Corby, bukan miliknya. Dia mengaku tidak mengetahui adanya ganja dalam tasnya sebelum tas tersebut dibuka oleh petugas bea cukai di Bali, namun pernyataan ini ditentang oleh petugas bea cukai yang mengatakan bahwa Corby mencoba menghalangi mereka saat akan memeriksa tasnya. Bapak kandung Schapelle Corby, Michael Corby, sebelumnya pernah tertangkap basah membawa ganja pada awal tahun 1970-an 46 Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang, Pengadilan Negeri Denpasar akhirnya menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara kepada Corby pada 27 Mei 2005. Tak hanya itu, Corby juga dikenakan denda Rp 100 juta. Corby dikenakan Pasal 82 Ayat 1 a UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika . 47 46 . http:id.wikipedia.orgwikiSchapelle_Corby, terakhir diakses pada 01.34, 6 Juni 2012. 47 http:www.shnews.codetile-2761-ada-apa-dengan-corby.html, diakses pada 4 Juni 2012 Pada 20 Juli 2005, Pengadilan Negeri Denpasar kembali membuka persidangan dalam tingkat banding dengan menghadirkan beberapa saksi baru. Kemudian pada 12 Oktober 2005, setelah melalui banding, hukuman Corby dikurangi lima tahun menjadi 15 tahun. Pada 12 Januari 2006, melalui putusan kasasi, MA memvonis Corby kembali menjadi 20 tahun penjara, dengan dasar bahwa narkotika Melalui kuasa hukumnya Corby mengajukan grasi untuk dapat mengurangi hukumannya karena Corby mulai mengalami penyakit. Presiden pun mengabulkan permohonan grasi Corby. Grasi Corby tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 22G Tahun 2012. Keputusan itu ditetapkan pada tanggal 15 Mei 2012. Presiden memberikan pengampunan terhadap Corby dari vonis hukuman 20 tahun menjadi 15 tahun penjara, sedangkan pidana denda Rp100 juta tetap harus dibayar yang diselundupkan Corby tergolong kelas I yang berbahaya. 48 Keputusan grasi terhadap Corby mendapat kecaman dari masyarakat. Presiden dikecam atas keputusannya yang tidak konsisen atas penegakan hukum memberantas narkoba. Keteguhan dan ketegasan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korupsi, terorisme, dan kejahatan narkotika harus dibuktikan dengan tidak ada toleransi sedikit pun terhadap semua pelaku tiga modus kejahatan itu, baik penjahat lokal maupun WNA penyelundup narkoba. . 48 http:www.hukumonline.comberitabacalt4fbfb7690f500tiga-alasan-grasi-corby, diakses pada 25 Mei 2012 Mahkamah Agung menyebutkan tiga alasanpertimbangan yang diberikan Mahkamah Agung kepada Presiden terkait permohonan grasi Corby adalah Corby mengalami depresi berat sehingga perlu didampingi psikiater, Corby hingga kini masih merasa tidak bersalah karena narkotika yang ditemukan adalah disisipkan orang yang tak dikenal, dan polisi Australia tidak memiliki cacat Corby terkait dengan narkoba. Apabila pun dikatakan grasi yang diberikan memang karena alasan kemanusiaan. Sebagai seorang terpidana Corby layak diperlakukan secara menusiawi jika ia mengalami sakit, tidak harus dengan mendapat grasi. Undang- Undang pun menyebutkan bahwa seorang terpidana berhak untuk mendapatkan perawatan medis. Yang dikhawatirkan dari kebijakan grasi Corby adalah hilangnya atau menurun efek jera bagi pelaku kejahatan narkoba. BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan