Latar Belakang Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum adalah keseluruhan norma-norma yang hidup, berkembang, dan berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah dan larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat. Tidak hanya memuat aturan tetapi hukum juga harus memiliki unsur paksaan. Unsur paksaan mendorong semua orang agar dapat menaati hukum yang berlaku. Ketika seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum maka ia harus dikenai sanksi. Hukum dibuat dengan tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu orang-orang dan untuk menciptakan ketertiban, rasa aman dan nyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Demi tercapainya tujuan tersebut, hukum diberlakukan secara adil dan memiliki kepastian hukum dalam penerapannya. Artinya setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama dalam hal perlindungan hukum dan seseorang wajib dikenai hukum apabila ia terbukti melakukan kesalahan. Hukum harus diperundangkan oleh negara dan pengaturannya harus jelas dan tegas sehingga dalam pelaksanaannya dapat tercapai kepastian hukum. Negara sebagai organisasi sosial yang terkuat dan tertinggi, maka hanya negara saja yang memegang hak penegakan hukum pidana baik dalam hak untuk menuntut pidana terhadap barang siapa yang telah diduga melanggar aturan pidana yang telah dibentuk oleh badan pembentuk Undang-Undang maupun hak untuk menjalankan pidana terhadap barangsiapa yang oleh negara telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana atas kesalahannya itu 1 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan dalam Pasal 28 D bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Perwujudan dari Pasal 28 D UUD 1945 ini memungkinkan setiap orang tidak terkecuali para pelaku pidana untuk bisa mendapatkan perlakuan yang baik, adil, dan kepastian hukum dalam proses hukum yang mereka jalani. Mulai dari para tersangka memiliki hak-hak asasinya tersendiri hingga sampai berubah status menjadi terdakwa dan terpidana tetap memiliki hak-hak sesuai peraturan yang berlaku. . Penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk mengamankan hasil-hasil pembangunan serta meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat yang berkeadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sehingga rakyat merasa diayomi dan dilindungi hak-haknya. Negara membentuk lembaga- lembaga hukum yang dapat membantu proses penegakan hukum di dalam masyarakat seperti Mahkamah Agung, Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian. Lembaga-lembaga hukum tersebut memiliki tugas dan perannya masing-masing dengan tujuan yang sama yaitu untuk menegakkan hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia. Setiap orang yang terlibat dalam suatu kasus hukum memiliki hak-haknya dalam menjalani proses pencarian kebenaran materil. Kitab Undang-Undang 1 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal 151 Hukum Acara Pidana KUHAP telah mengatur hak-hak seseorang baik kedudukan statusnya sebagai tersangka maupun sebagai terdakwaterpidana. Hak untuk segera diperiksa, hak untuk melakukan pembelaan, hak untuk mendapatkan bantuan hukum adalah beberapa hak yang disebutkan dalam KUHAP. Setiap terdakwa juga diberi hak untuk mengajukan upaya hukum, baik yang berupa upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP maupun upaya hukum diluar KUHAP. Upaya hukum adalah hak yang diberikan hakim kepada para pihak dalam suatu perkara untuk dapat tidak setuju dengan suatu putusan pengadilan 2 Tidak hanya itu, upaya yang dapat dilakukan terdakwa ada juga yang diatur di luar KUHAP antara lain grasi, amnesti, dan abolisi. Dasar hukum grasi, . Upaya hukum biasa yaitu berupa pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi dan pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, adalah upaya yang ditempuh terdakwa ketika putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila putusan sudah berkekuatan hukum tetap, terpidana masih mempunyai kesempatan mengajukan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa. Upaya ini diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, dimana upaya hukum biasa tidak dimungkinkan lagi. Upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi demi kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali PK. Upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa diatur tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. 2 Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana: Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2002, hal 76 amnesti, dan abolisi termuat dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi: 1 Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung 2 Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Grasi, amnesti, dan abolisi merupakan hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara dalam bidang yudikatif. Grasi, amnesti dan abolisi juga dapat dimasukkan sebagai dasar penghapus penuntutan maupun dasar penghapus pemidanaan. Amnesti dapat diartikan dengan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara untuk menghentikan proses peradilan pidana di semua tahapan sehingga akibat hukum terhadap orang yang telah melakukan suatu tindak pidana menjadi dihapuskan. Sedangkan abolisi dapat diartikan sebagai hak prerogatif presiden sebagai kepala negara untuk memerintahkan kepada penuntut umum agar menghentikan tindakan penuntutan kepada seseorang 3 3 Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, hal 119 . Hak untuk memberikan suatu pengampunan terhadap suatu hukuman yang telah dijatuhkan dengan suatu putusan pengadilan, merupakan bagian dari salah satu hak yang dimiliki oleh Presiden sebagai kepala negara. A. Hamzah dan Irdan Dahlan menyebutkan grasi sebagai upaya non hukum sebab grasi adalah wewenang Kepala Negara untuk memberikan ampunan kepada warganya yang dijatuhi pidana 4 Grasi mungkin tampak seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya grasi bukan merupakan upaya hukum. Sebenarnya upaya hukum sudah berakhir ketika Mahkamah Agung menjatuhkan putusan kasasi atau putusan peninjauan kembali. Grasi dapat dikatakan sebagai hak yang diberikan kepada terpidana untuk dapat meminta pengampunan kepada Presiden, namun hak ini sendiri tidak diberikan kepada seluruh narapidana ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan grasi dan dapat ditolak. Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang memuat aturan grasi secara tersendiri pertama kali yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Saat ini Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 sudah tidak berlaku lagi karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga dibentuklah Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 masih berlaku namun ada beberapa pasal yang diubah ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. . 4 A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum dalam Perkara Pidana, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987, hal 134 Walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi telah mengalami perubahan dalam beberapa ketentuan, tetap terdapat pro dan kontra atas pemberian grasi misalnya grasi yang diberikan kepada Syaukani dan Schapelle Leigh Corby. Banyak orang yang mempersoalkan mengenai alasan dari pemberian grasi Syaukani dan Schapelle Leigh Corby. Pada tahun 2010 istilah grasi sering muncul diperdebatkan ketika timbul kasus yang sangat kontroversial dan menyita perhatian publik yaitu kasus Syaukani Hasan Rais. Kasus ini menjadi kontroversial karena pemberian grasi kepada Syaukani dianggap tidak tepat dan kurang memenuhi rasa keadilan. Syaukani Hasan Rais adalah Mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. 5 Pada 18 Desember 2006, ia ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Loa Kulu yang diduga merugikan negara sebesar Rp 15,36 miliar, namun segera setelah itu Syaukani langsung menjalani perawatan rumah sakit selama sekitar 3 bulan dan tidak kembali ditahan setelah selesai menjalani perawatan. Pada 16 Maret 2007, Syaukani akhirnya dijemput paksa dari Wisma Bupati Kutai Kertanegara di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan di KPK. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tipikor pada 14 Desember 2007, memvonis Syaukani dengan hukuman penjara dua tahun enam bulan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi selama 2001 hingga 2005 dan merugikan negara Rp113 miliar. Tindak pidana korupsi yang dilakukan 5 http:id.wikipedia.orgwikiSyaukani_Hasan_Rais, diakses pada 18 April 2012 Syaukani adalah menyalahgunakan dana perangsang pungutan sumber daya alam migas, dana studi kelayakan Bandara Kutai, dana pembangunan Bandara Kutai, dan penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat. Yang membuat masyarakat Kutai kecewa adalah beliau merupakan orang Kutai yang menyalahgunakan uang rakyatnya sendiri untuk membangun daerah sendiri dan hukuman yang beliau jalankan tidak sebanding dengan hak masyarakat yang telah dia rampas 6 Pada Juli 2008, Mahkamah Agung memperberat hukuman Syaukani menjadi enam tahun penjara dan mewajibkannya mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 49,367 miliar . 7 Syaukani pernah mengajukan grasi dan ditolak, setelah menjalani hukuman 3 tahun ia mengajukan grasi dengan alasan mengalami sakit dan permohonan grasi ini dikabulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan pemotongan hukuman tiga tahun. . Beberapa pihak menganggap bahwa pemberian grasi kepada Syaukani tidak tepat karena beliau adalah pelaku tindak pidana korupsi. Korupsi adalah tindak pidana yang tidak tepat untuk mendapatkan pengampunan karena telah merugikan rakyat Indonesia. Seharusnya para pelaku korupsi diberikan hukuman yang berat dan hukuman pemiskinan agar mereka jera untuk tidak melakukan korupsi sehingga korupsi dapat diberantas. Namun Menteri Hukum dan Hak Asasi 6 Ibid 7 http:www.tempo.coreadnews20100819063272502KPK-Pertanyakan-Grasi- Syaukani, diakses pada 19 Agustus 2010 Manusia, Patrialis Akbar menyatakan bahwa Syaukani pantas menerima grasi atas dasar alasan kemanusiaan 8 Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana extra ordinary jadi perlakuan yang diberikan pun harus berbeda dari pelaku tindak pidana biasa. Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jo. UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi tidak menyebutkan adanya pengecualian terhadap jenis pidana yang dilakukan. Undang-undang hanya memberikan batasan dari segi hukum yang dijatuhkan, hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau penjara minimal 2 dua tahun. . Syaukani dianggap tidak layak menjalani hukuman karena kondisi kesehatan yang memburuk akibat penyakit parah yang dideritanya. Oleh karena itu, banyak pihak yang kontra atas pemberian grasi Syaukani, banyak usulan yang mengharapkan pemberian grasi pengampunan kepada para pelaku korupsi dan tindak pidana extra ordinary lainnya harus dibuat peraturan khusus mengenai hal ini agar tidak menyakiti perasaan masyarakat, yang dirasakan selama ini penjatuhan hukuman kepada para pelaku korupsi tidak dijatuhi hukuman berat dan malah dengan mudah dapat menerima grasi dan pengurangan hukuman 9 Kasus yang menjadi sorotan berikutnya adalah kasus Corby. Schapelle Leigh Corby adalah seorang mantan pelajar sekolah kecantikan dari Brisbane, Australia yang ditangkap membawa obat terlarang di dalam tasnya di Bandara . 8 http:www.beritabatavia.comdetail2010082022800grasi.syaukani.demi.kemanu siaan, diakses pada tanggal 20 Agustus 2010 9 http:infokorupsi.comidkorupsi.php?ac=7039l=kpk-minta-perketat-syarat-remisi- koruptor, diakses pada tanggal 24 Agustus 2010 Ngurah Rai, Denpasar, Indonesia pada tanggal 8 Oktober 2004. Dalam tasnya ditemukan 4,2 kg ganja. Corby dinyatakan bersalah dan divonis hukuman penjara selama 20 tahun dan denda Rp 100 juta 10 Corby mendapatkan pengurangan hukuman 5 lima tahun setelah grasinya dikabulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasan pemberian grasi terhadap Corby adalah alasan kemanusiaan . 11 Sama halnya seperti kasus Syaukani, pemberian grasi kepada Corby dianggap melukai rasa keadilan masyarakat ketika dihubungkan dengan jenis pidana yang ia lakukan. Corby sangat dianggap tidak layak menerima grasi karena ia adalah terpidana narkotika. Narkotika dan korupsi merupakan tindak pidana extra ordinary crime dan pemberian grasi terhadap Syaukani serta Corby dianggap melemahkan perjuangan pemberantasan terhadap korupsi dan narkotika di Indonesia. . Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka perlulah kiranya penulis membahas lebih jauh mengenai pemberian grasi terhadap terpidana di Indonesia, maka dari itu penulis mengambil judul skripsi “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana di Indonesia”

B. Perumusan Masalah