Berdasarkan ketentuan Pasal 33a KUHP diatas terlihat bahwa pengaturan mengenai grasi tidak diatur secara jelas. Namun hanya mengatur mengenai waktu
menjalani hukuman bagi yang mengajukan permohonan grasi, dalam hal yang berkepentingan dijatuhi hukuman pidana penjara atau hukuman pidana kurungan.
4. Grasi dalam KUHAP
Selain diatur dalam KUHP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP pun mengatur mengenai hak grasi ini, yaitu diatur dalam Pasal 196 ayat
3. Pasal 196 ayat 3 KUHAP berbunyi: “Segera setelah putusan, hakim ketua sidang wajib memberitahukan terdakwa
tentang haknya, yaitu: menerima dan menolak putusan, mempelajari putusan, meminta grasi, mengajukan banding dan lain-lain”
B. Undang-Undang Mengenai Grasi
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi
Grasi diadopsi dari undang-undang Belanda yang diatur dalam Art 68 UUD Kerajaan Belanda, yang meliputi hukuman-hukuman atau dasar keputusan
pengadilan. Penggunaan terhadap grasi adalah hak terhukum untuk mendapatkan keseluruan atau debagian dari hukuman, tapi tidak statusnya, dimana ia tetap
sebagi terpidana. Awalnya grasi diberikan sebagi kemurahan hati penguasa atau Raja, kini telah mengalami perubahan dari sifatnya yang dapat diberikan tanpa
ditanyakan terlebih dahulu dan tidak dapat ditolak. Ketentuan mengenai grasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1950 tentang Permohonan Grasi Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat
Tahun 1950 Nomor 40. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang grasi dibentuk dengan tujuan bahwa perlu diadakannya Undang-Undang yang akan
mengatur tentang permohonan grasi untuk menggantikan peraturan Belanda yang sudah ada sebelumnya.
Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 terdiri dari 15 lima belas pasal yang berisi mengenai persyaratan dan mekanisme tata cara pengajuan serta
penyelesaian permohonan grasi. Persyaratan yang diatur adalah grasi dapat diajukan oleh semua terpidana yang dijatuhi hukuman yang tidak dapat diubah
lagi. Baik yang dijatuhi hukuman mati, penjara, kurungan, tutupan dan hukuman kurungan serta denda dapat mengajukan grasi, dan hukuman tersebut dapat
dilakukan penundaan atas pelaksanaannya apabila dimohonkan oleh si terhukum untuk tidak dijalankan. Permohonan grasi dapat diajukan oleh pihak lain selain
terpidana tanpa persetujuan terpidana, kecuali terhadap hukuman mati, pihak lain yang mengajukan permohonan grasi harus mendapat persetujuan dari si terhukum.
Permohonan grasi dapat diajukan dalam jangka waktu 14 empat belas hari mulai hari setelah keputusan menjadi tetap. Sedangkan yang dijatuhi hukuman mati
dapat memajukan grasi dalam jangka waktu 30 tiga puluh hari. Permohonan grasi diajukan secara tertulis melalui Panitera pengadilan
yang memutus pada tingkat pertama atau kepada pembesar di daerahnya. Permohonan grasi lalu langsung dikirimkan kepada Presiden dan Hakim atau
ketua pengadilan yang bersangkutan. Setelah menerima surat permohonan grasi Panitera meneruskan surat permohonan, surat pemberitaan dan salinan surat
keputusan yang bersangkutan kepada Hakim atau Ketua Pengadilan. Hakim atau
Ketua Pengadilan meneruskan surat-surat tersebut dan pertimbangannya kepada Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus pada tingkat pertama. Jakssa
atau Kepala Kejaksaan pada peradilan tingkat pertama meneruskan surat tersbut beserta pertimbangannya kepada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung pun
meneruskan surat-surat dan pertimbangannya kepada Menteri Kehakiman dan Menteri kehakiman meneruskan surat dan pertimbangannya kepada Presiden.
Setelah itu Presiden akan memberikan keputusan atas permohonan grasi tersebut. Namun dalam UU No. 3 Tahun 1950 tidak menetapkan jangka waktu
Presiden harus memberikan keputusannya atas suatu permohonan grasi. Keputusan Presiden atas permohonan grasi dengan segera diberitahukan oleh
Menteri Kehakiman kepada pegawai yang diwajibkan menjalankan kehakiman dan kepada yang berkepentingan Pasal 11 UU No. 3 Tahun 1950. Kemudian,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 ini dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
Alasan penggantian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 menurut konsiderans huruf b UU No. 22 tahun 2002, karena UU No. 3 Tahun 1950,
dibentuk berdasarkan konstitusi RIS, 31 Januari 1950. Oleh karena itu dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum
masyarakat. Alasan itu, dikemukakan lagi pada alinea kedua Penjelasan Umum. Dikatakan, selain UU No. 3 Tahun 1950 bersumber dari Konstitusi RIS serta tidak
sesuai lagi dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku sekarang, substansinya pun
tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Dalam alinea ketiga Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 2002 disebutkan kelemahan yang terkandung dalam UU No. 3 Tahun 1950 yaitu sebagai berikut:
1 Tidak mengenal pembatasan putusan pemidanaan pengadilan mana yang
dapat diajukan permohonan grasi. Menurut Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1950, grasi dapat diajukan terhadap semua putusan pemidanaan. Ketentuan ini
menyebabkan banyaknya pengajuan permohonan yang diajukan oleh para terpidana sehingga menimbulkan penumpukan berkas.
2 Melibatkan beberapa instansi yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana
criminal justice system: a.
melibatkan Ketua Pengadilan Negeri membuat pertimbangan yang dikirimkankan kepada Kepala Kejaksaan Negeri KAJARI,
b. KAJARI mengirimkannya kepada Mahkamah Agung dan selanjutnya
Mahkamah Agung meneruskannya kepada Menteri Kehakiman, yang akan mengirimkannya kepada Presiden. Sedemikian rupa panjang dan
berbelitnya birokrasi yang harus dilalui penyelesaian permohonan grasi. Benar-benar tidak efektif dan efisien. Terjadi pemborosan waktu yang
merugikan kepentingan penegasan hukum dan kepentingan terpidana. 3
Menunda pelaksanaan putusan pidana jika terhadapnya diajukan permohonan grasi.
Akibat dari berbagai kelemahan yang terkandung dalam UU No. 3 Tahun 1950 banyak permohonan grasi memakan waktu penyelesaian yang sangat lama
karena prosesnya terlalu birokratis.
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002