BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ide awal dari penelitian ini adalah seputar bagaimana sebuah negara mengalami pertumbuhan dan perubahan sejak mereka bergabung dalam organisasi
Dana Moneter Internasional IMF yang seperti diketahui bahwa organisasi ini merupakan organisasi keuangan terbesar di dunia yang memberikan pengaruh
secara ekonomi maupun politik terhadap negara yang menjadi anggotanya. Indonesia sebagai sebuah negara yang sejak awal kemerdekaannya merupakan
sebuah negara yang memulai segala aktivitas ekonomi dan politik dimulai dari sebuah pembangunan di bidang politik pada zaman Sukarno dan berubah
kemudian menjadi sebuah pembangunan ekonomi setelah naiknya presiden Suharto.
Setelah kejatuhan presiden Sukarno pada tahun 1966, Suharto mulai mengubah kiblat politik Indonesia yang selama masa presiden Sukarno disinyalir
bahwa Indonesia lebih terpengaruh kepada politik negara – negara Uni Soviet, Cina, dsb. Terlihat melalui beberapa kerjasama di bidang politik ataupun militer
yang dibangun presiden Sukarno pada pemerintahan komunis tersebut pada saat itu meskipun Sukarno juga menjadi cikal bakal Gerakan Non Blok yang
beranggotakan negara – negara Asia Afrika yang belum merdeka. Akan tetapi, Presiden Suharto memiliki anggapan ataupun tehnik
membangun pemerintahan yang cenderung berbeda dengan presiden Sukarno. Suharto menilai bahwa perkembangan politik akan mengikut kemana arah
pertumbuhan ekonomi itu menuju, apakah bertumbuh, stagnan, atau justru malah tidak bertumbuh. Suharto memperkenalkan arah baru dengan membalikkan urutan
prioritas Sukarno, yang menempatkan politik di depan ekonomi.
1
1
Michael Leifer diterjemahkan oleh Ramlan Surbakti, Politik Luar Negeri Indonesia, Jakarta, P.T. Gramedia, Anggota Ikapi, 1986, hal. 163.
Dengan
demikian Suharto menjadikan dasar ekonomi sebagai alat untuk mencapai tujuan politiknya dan bersiap untuk membuka diri kepada negara – negara ataupun
bantuan dari organisasi asing untuk mencapai tujuan politiknya yang dinyatakan sebagai kepentingan nasional tersebut.
Sebagai suatu organisasi yang beranggotakan negara yang berdaulat penuh sovereign country , IMF tidak bisa begitu saja masuk ke suatu negara untuk
membantu mereka tanpa ada permintaaan pemerintah yang bersangkutan.
2
Presiden Suharto yang memang pada saat itu sangat menginginkan agar pengelolaan sumber daya alam Indonesia dibantu oleh perusahaan – perusahaan
asing lalu menunjuk Hamengkubuwono IX untuk menghadiri Konferensi Tokyo yang juga dihadiri oleh beberapa Negara Barat seperti Jerman, Inggris, Belanda,
Australia dan Jepang serta IMF. Dalam konferensi inilah kemudian untuk pertama kali Indonesia bergabung kembali dengan organisasi IMF pada tahun 1967.
3
Yang menarik dalam kajian penelitian ini adalah bukan hanya sekedar perubahan yang terjadi di bidang ekonomi jika sebuah negara masuk menjadi
anggota dari organisasi IMF tersebut melainkan juga beberapa persyaratan yang berkaitan dengan tata pelaksanaan sebuah kebijakan dalam sebuah negara yang
harus dipatuhi oleh para negara anggota dari organisasi ini. Pengalaman seperti yang dirasakan oleh Meksiko merupakan contoh bahwa ketika sebuah negara
menjadi anggota IMF maka secara langsung negara tersebut harus mengikuti persyaratan yang diberlakukan oleh organisasi tersebut. IMF yang memperoleh
kritik sewaktu penanganan krisis Meksiko merasa panas- dingin melihat proses memburuknya perekonomian negara tersebut, yang dikhawatirkan akan membawa
dampak lanjutan contagion ke negara – negara lain.
4
2
Cyrillus Harinowo, IMF Penanganan Krisis Indonesia Pasca – IMF, Jakarta, P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 30.
IMF dengan kata lain mampu mempengaruhi kebijakan baik secara ekonomi maupun secara politik
3
Ech - Wan, “Sejarah BUMN, IMF-World dan Privatisasi di Indonesia 2, ”, Nusantara News, diakses dari
http:nusantaranews.wordpress.com20090629sejarah-bumn-imf-wb-dan- privatisasi-di-indonesia-2
, pada tanggal 17 Juli 2012 pukul 12.51.
4
. Harinowo, Op. Cit., hal. 30.
terhadap negara anggotanya terutama negara – negara yang meminjam seterusnya disebut sebagai negara kreditur
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dan sering mengalami neraca ekonomi yang defisit merupakan negara yang selama ini dikenal sebagai
negara dengan jumlah pinjaman luar negeri yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat melalui semakin meningkatnya jumlah pinjaman terhadap luar negeri guna
menutupi defisit neraca anggaran pemerintah Indonesia. Kegiatan utang luar negeri ini semakin sering dilakukan mengingat terus bertambahnya jumlah utang
luar negeri Indonesia dari masa pemerintahan yang satu ke masa pemerintahan lainnya baik pinjaman jangka pendek maupun pinjaman jangka panjang yang
proses pengembaliannya akan memakan waktu yang sangat lama. Pemerintah Indonesia sepertinya mengalami efek kecanduan dalam melakukan pinjaman luar
negeri yang digunakan untuk menutupi fiskal APBN dan tanpa disadari bahwa pembayaran kewajiban tersebut sebenarnya akan lebih memberatkan pemerintah.
Di samping pembayaran pinjaman, pemerintah juga harus membayar bunga pinjaman yang kadang bisa melebihi besarnya pokok pinjaman.
Pada sekitar periode awal tahun 70 – 90an isu – isu ekonomi politik yang didengungkan adalah tentang masalah liberalisasi ekonomi, terutama dalam sektor
keuangan maupun deregulasi sektor industri dan sektor perdagangan. Ciri – ciri dari pola pembangunan seperti itu antara lain adalah : pembangunan dari atas
development from above investasi swasta maupun publik dilakukan dengan bantuan luar negeri dan mengundang modal asing, administrasi dilakukan secara
teknokratis, mengejar pertumbuhan ekonomi, membuka diri kepada pengaruh dunia luar atau mengintegrasikan diri dengan sistem ekonomi dunia, terutama
dunia kapitalis dan sistem politiknya dibentuk dalam rangka mendukung rezim pembangunan yang dipimpin oleh pemerintah tanpa sistem oposisi.
5
5
M. Dawam Rahardjo, Esei – Esesi Ekonomi Politik, Jakarta, Penerbit LP3ES, 1982, hal. 162.
Dengan kata lain pola pembangunan Indonesia memang ditekankan kepada model
pertumbuhan ekonomi dimana peranan pemerintah menjadi sangat dominan terutama yang berkaitan untuk meningkatkan pertumbuhan.
Jika dilihat melalui pendekatan ekonomi, indikator pertumbuhan ekonomi sebuah negara dapat dilihat dari jumlah pendapatan nasional GNP perkapita.
Apabila indikator pertumbuhan sebuah negara menunjukkan angka positif maka jumlah pendapatan per kapita negara tersebut juga akan lebih tinggi. Dalam hal ini
berarti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional harus lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Dan sebaliknya, jika indikator pertumbuhan
ekonomi sebuah negara negatif maka pendapatan nasional GNP perkapita juga akan menurun. Ini berarti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penduduk. Dalam keadaan indikator pertumbuhan ekonomi yang negatif, maka
sebuah negara diharapkan mampu menyeimbangkan angka pertumbuhan sehingga kegiatan ekonomi negara tersebut juga dapat dilakukan. Kegiatan menutupi defisit
pemertintah ini dapat dilakukan melalui penerbitan obligasi dalam negeri, menaikkan pajak, ataupun melakukan utang luar negeri. Negara – negara yang
mempunyai masalah dengan neraca pembangunannya cenderung lebih sering melakukan utang luar negeri. Hal ini dikarenakan terdapatnya lembaga – lembaga
peminjaman ataupun negara – negara yang bersedia memberikan bantuan baik yang bersifat pinjaman ataupun bantuan sukarela. Salah satu badan atau lembaga
dunia yang memang mengurusi soal pinjaman luar negeri adalah IMF dan beberapa organisasi keuangan dunia lainnya.
Dalam hal ini melakukan pinjaman luar negeri bukanlah merupakan hal yang dilarang ataupun dihindari lagi. Sebuah negara yang memang memiliki
permasalahan dalam hal pembangunan ekonomi dan tidak mampu secara mandiri menyelesaikan masalah tersebut berhak untuk meminta bantuan terhadap luar
negeri. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah prasyarat ataupun syarat – syarat yang harus sebelumnya dianalisis terlebih dahulu jika kita membuka
kerjasama dengan lembaga bantuan tersebut. Seperti kasus yang terjadi ketika kita Indonesia langsung meminta bantuan kepada IMF adalah negara harus merevisi
beberapa undang – undang yang telah dibuat oleh presiden Sukarno terutama mengenai hubungan kerjasama dengan IMF.
Setelah sebelumnya Indonesia menarik diri dari IMF dan IBRD ini melalui UU 11966 maka hal tersebut langsung dengan segera direvisi ketika
Suharto menjadi mandataris utama pemerintahan pada tahun 1966. Muncullah Tap MPRS RI Nomor XIIMPRS1966 tentang Penegasan Kembali
Landasan Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia yang membuka hubungan yang luas dengan Amerika cs.
6
Hal ini mengindikasikan bahwa ada motifasi selain motifasi ekonomi dalam sebuah bantuan luar negeri. Menurut
Basri dan Subri 2003 , ada dua hal yang memotivasi mengalirnya bantuan luar negeri ke negara – negara berkembang, yaitu motivasi politik dan motivasi
ekonomi.
7
Dapat dilihat melalui pembuatan paket kebijakan luar negeri Indonesia setelah Suharto mengumumkan Supersemar pada Juli 1966, keluarlah Tap MPRS
RI Nomor XXIIIMPRS1966
Bantuan luar negeri diberikan dalam rangka mempercepat proses pembangunan. Kemudian nantinya akan menghasilkan tambahan tabungan dalam
negeri sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan
Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang memungkinkan lembaga dan korporasi asing mendapat akses yang tertentu dengan kuantitas yang besar.
8
Suharto sendiri pada akhirnya meyakini bahwa hibah yang pada saat awal penjalanan pemerintahannya mampu ‘menyelamatkan’ Indonesia dan mampu
membangkitkan gairah perekonomian di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dan sering mengalami neraca ekonomi yang defisit
merupakan negara yang selama ini dikenal sebagai negara dengan jumlah Dalam hal ini
seharusnya Indonesia yang pada masa pemerintahan Suharto mengalami sebuah transisi baik di bidang ekonomi maupun politik melakukan pembenahan di bidang
pembangunan ekonomi.
6
Ech – Wan, Loc. Cit., Sejarah BUMN, IMF-World dan Privatisasi di Indonesia 2
7
Deliarnov, Ekonomi Politik, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2006, hal. 183.
8
Zulkarnain Djamin, Pinjaman Luar Negeri Serta Prosedur Administratif Dalam Pembiayaan Proyek Pembangunan di Indonesia
, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1993, hal. 10.
pinjaman luar negeri yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat melalui semakin meningkatnya jumlah pinjaman terhadap luar negeri guna menutupi defisit neraca
anggaran pemerintah Indonesia. Selain itu pula, ada yang menganggap bahwa Presiden Suharto merupakan
presiden yang dianggap Amerika Serikat mampu mengubah arah politik Indonesia. Jika kembali pada keadaan Indonesia sekitar tahun 60 – an kita dapat
melihat gejolak yang terjadi pada saat itu. Dimana presiden Sukarno pada akhirnya ‘dipaksa’ untuk turun karena dianggap lebih senang melakukan
kerjasama dengan negara – negara komunis. Dijelaskan dalam beberapa penelitian mengenai transisi dari Masa Orde Lama ke Orde Baru bahwa terjadi konspirasi
atas ditetapkannya Jenderal Suharto untuk menggantikan presiden Sukarno. IMF yang merupakan organisasi dibawah PBB dan Amerika Serikat
menjadi negara pendonornya diharapkan mampu membantu negara Indonesia dbawah kepemimpinan rezim Suharto. Hal ini menyangkut sebagai masalah
politik dan moral yang harus dilaksanakan presiden Suharto dalam pendapat beberapa kalangan. Di beberapa negara, bantuan dipandang oleh negara pemberi
bantuan maupun negara penerima sebagai pemberian dukungan politis kepada suatu rezim untuk menekan pihak oposisi dan agar dapat tetap berkuasa.
9
Presiden Suharto pada akhirnya membuka ruang bagi Amerika Serikat melalui beberapa organisasi Internasional yang pada saat itu IMF menjadi salah
satu pilihan untuk membantu perekonomian Indonesia, masuk dan melakukan intervensi terhadap pembangunan negara Indonesia. Presiden Suharto tidak
mampu melepaskan diri dari keharusan untuk tidak mengikuti kontrak – kontrak baik di bidang ekonomi maupun politik dengan organisasi keuangan tersebut. IMF
dengan senang hati membuka dan memberikan negara Indonesia bantuan dengan tentu saja ada beberapa ketentuan yang harus dilaksanakan Indonesia. Penelitian
ini kemudian melihat bahwa tentu saja kerjasama Indonesia dengan IMF
9
Ibid ., hal. 13.
merupakan tidak murni hanya sebuah kerjasama di bidang ekonomi melainkan ada motivasi politik yang disertakan dalam kerjasama tersebut.
Ketergantungan Indonesia dengan IMF ataupun lembaga peminjaman lainnya telah berhasil menempatkan Indonesia pada jeratan atau perangkap
perkonomian internasional. Mengingat bahwa sejauh ini keadaan perekonomian negara Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh gejala – gejala ekonomi yang
terjadi di dunia internasional. Pada awal kerjasama Indonesia dengan IMF misalnya Indonesia cukup terbantu dengan pinjaman finansial yang diberikan oleh
IMF disaat Indonesia akan mengalami kebangkrutan ekonomi pemerintah Orde Baru pada saat itu.
Demikian juga, pengembangan statistik dan analisis fiskal, serta persiapan bagi pengambilan kebijakan di sisi fiskal merupakan the hallmark dari lembaga
tersebut.
10
Kaitan antara IMF dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah merupakan suatu pendapat yang perlu diteliti lebih lanjut mengenai keterkaitan
antar keduanya. Banyak kalangan menilai bahwa kehadiran IMF di tengah – tengah permasalah ekonomi yang melanda suatu negara pada akhirnya akan
membuat rasa ketergantungan tersebut terhadap IMF tanpa hasil yang akan secara langsung dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Bantuan dari IMF hanya
bersifat sementara inti dari permasalahan ekonomi yang mungkin saja belum dimengerti pemerintah menjadi pintu masuk bagi IMF dan berhasil menguasai
Bantuan dari IMF dirasa mampu membangkitkan Indonesia dari keterpurukan ekonomi yang pada saat itu melanda Indonesia akibat dari gejolak
politik yang terjadi pada masa transisi tersebut. Presiden Suharto memang seperti harus membuka diri bagi bantuan asing seluas – luasnya untuk menjaga stabilitas
dari pemerintahannya dan mau tidak mau harus mematuhi segala bentuk perjanjian yang telah disepakati dengan organisasi tersebut.
10
Harinowo, Op. Cit., hal. 32.
perekonomian di Indonesia. Dana IMF hanya mempunyai arti meredakan situasi dalam jangka pendek.
11
Selanjutnya kerjasama yang dilakukan dengan IMF tidak akan menyebabkan industri dan perekonomian Indonesia semakin stabil. Ketika barang
– barang hasil pabrik Indonesia harus berkompetisi dengan barang – barang hasil pabrikan luar negeri dengan barang yang sama maka sudah barang tentu hasil
pabrikan Indonesia memiliki kualitas yang tidak sama dengan barang luar negeri. Atau jika kualitas barang Indonesia lebih baik maka kuantitas yang dihasilkan
oleh barang Indonesia tidak sebanyak barang yang dihasilkan perusahaan luar negeri. Pemerintah mengabaikan masyarakat Indonesia ketika bekerjasama
dengan IMF dan berusaha untuk memberika ruang bagi asing untuk masuk ke Indonesia.
Sumber daya manusia menjadi permasalahan utama yang menyebabkan Indonesia seperti tidak siap untuk menghadapi masuknya pengaruh – pengaruh
yang diberikan oleh perekonomian Barat ke Indonesia. Inilah alasan yang menyebabkan banyak ekonom dengan nada kesal dan marah mengatakan bahwa
IMF akan mendikte Indonesia, bahwa ikut campur IMF adalah penjajahan, dan sebagainya.
12
Hal inilah yang menjadi alasan mendasar dari penelitian di bawah ini. Pengaruh serta syarat yang dibuat oleh IMF apakah langsung menyangkut kepada
perekonomian secara makro dan mikro serta kebijakan – kebijakan yang dibuat oleh pemerintah langsung berkaitan dengan syarat tersebut. IMF dan pemerintah
Penilaian dari beberapa kalangan ini menyebutkan ketika pemerintah bekerjasama dengan IMF maka hal utama yang harus dipenuhi oleh
pemerintah adalah syarat LoI. Pemerintah harus dengan segala membuat kebijakan yang di dalamnya terdapat unsur – unsur yang telah dimodifikasi sesuai
dengan permintaan IMF dalam syaratnya.
11
Kwik Kian Gie, 1998, Gonjang – Ganjing Ekonomi Indonesia : Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama STIE IBBI, hal. 60.
12
Ibid ., hal. 61.
Indonesia melakukan kerjasama yang tentunya akan saling menguntungkan kedua belah pihak. Akan tetapi, terpengaruh dan menjadi pihak yang terkesan sedikit
‘tunduk’ merupakan sebuah kemungkinan yang dilihat benarkah kerjasama ini telah dilaksanakan sesuai prosedural dan tujuannya.
B. Perumusan Masalah