PROGRAM IMF UNTUK NEGARA YANG DIBANTU
77
JENIS PROGRAM LANGKAH-LANGKAH
1. Menciptakan surplus anggaran
2. Penyehatan lembaga finansial
3. Menyeimbangkan Neraca
Pembayaran.
4. Memperluas Swastanisasi dan
Keterbukaan Ekonomi -Pengurangan dan Penghapusan Subsidi
-Pemangkasan proyek Pemerintah dan Swasta
-Kenaikan Tarif Pajak -Merger,Akusisi dan Likuidasi
Perbankan -Bailout, jika memungkinkan
-Meningkatkan Supervisi Sistem Finansial
-Peningkatan Ekspor Mengurangi Defisit Transaksi Berjalan
-Peningkatan Investasi Berorientasi Ekspor
- Mendorong Aliran Modal dan Investasi
Sumber : IMF dalam Bisnis Indonesia 1997
Fenomena ketidakmampuan negara berkembang dan miskin untuk mengakumulasi modal ini oleh Nurkse digambarkan dalam teorinya tentang
lingkaran perangkap kemiskinan the vicious circles
78
B. Pengaruh LOI IMF Tahun 1997 Dalam Kebijakan Ekonomi Politik
Indonesia Pada Era Orde Baru Pada Kepmenperindag Nomor 402
Masyarakat negara berkembang belum terlalu gemar untuk melakukan investasi atau penanaman
modal sehingga perusahaan asing menjadi tuan dalam proyek di Indonesia.
77
Ibid., hal. 173.
78
Ibid ., hal. 10.
Tahun 1997 Tentang Ketentuan Perizinan Usaha Perwakilan Perusahaan Dagang Asing
IMF dalam kaitannya dengan kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia dapat kita analisis dari bagaimana syarat – syarat ataupun kondisi
yang diberlakukan oleh IMF terhadap Indonesia ketika Indonesia memutuskan untuk melakukan kerjasama dengan IMF. IMF jelas mempunyai
kepentingan yang selanjutnya harus dipenuhi oleh Indonesia ketika akan melakukan utang luar negeri multilateral.
Terlihat dari syarat – syarat yang termuat dalam LoI sperti yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa dengan bekerjasama dengan pemerintah
dan Bank Indonesia maka IMF memiliki otoritas untuk ikut mengontrol jalannya perekonomian di Indonesia. Pengaruh – pengaruh yang diberlakukan
oleh IMF mau tidak mau harus diikuti dan dilaksanakan oleh pemerintah. Keputusan Menteri Perdagangan nomor 402 tahun 1997 yang
merupakan amandemen dari Kepmenperindag nomor 78 KP III 78 tentang ketentuan mengenai kegiatan perdagangan terbatas bagi perusahaan
produksi dalam penanaman modal jelas merupakan produk undang – undang yang sangat erat kaitannya dengan syarat IMF tentang reformasi struktural
yang harus diberlakukan oleh Indonesia. IMF meminta Indonesia untuk membuka jalan untuk transparansi yang
lebih luas lagi bagi perusahaan – perusahaan asing yang memiliki kualitas untuk mendukung jalannya proses pembangunan. Dalam pembuatan
kebijakan juga pemerintah harus lebih menstimulus perusahaan dalam negeri untuk melakukan kompetisi antar perusahaan serta mendukung restrukturisasi
berkelanjutan dalam bidang ekonomi yang diperlukan demi mencapai suatu pertumbuhan ekonomi yang pesat serta tidak mandeg. Melalui syarat IMF ini,
pemerintah dan sektor swasata dalam negeri maupun asing menjadi pihak yang membantu berjalannya perekonomian Indonesia.
Pemerintah diminta oleh IMF untuk mempercepat reformasi struktural program melalui cara perdagangan yang lebih besar di segala bidang
perekonomian di Indonesia. Perubahan kebijakan investasi, dan deregulasi serta privatisasi juga menjadi agenda utama dari syarat – syarat yang
diberikan IMF. Menurut IMF, pada saat yang sama pemerintah akan mengurangi kemiskinan yang ada di Indonesia melalui proyek – proyek yang
diberlakukan dalam tahap pembangunan di Indonesia. Dalam Kepmenperindag nomor 77 tahun 1978 pemerintah memberikan
batasan bagi perusahaan – perusahaan perdagangan asing dalam melakukan penanaman modal dalam negeri. Batasan tersebut berupa operasional bagi
perusahaan dagang, jenis – jenis perusahaan dagang yang hanya terbatas pada jenis impor mesin, suku cadang dan bahan baku peralatan dalam bangunan,
serta melakukan pengawasan dalam pelaksanaan perusahaan dagang tersebut. Pemerintah melalui menteri perdagangan masih memiliki kewenangan yang
luas untuk menentukan bagaimana perusahaan – perusahaan asing dalam melakukan usahanya.
Pemerintah secara objektif melakukan perlindungan terhadap industri dan perdagangan pada saat itu agar perusahaan – perusahaan dalam negeri
mampu menjadi faktor utama dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Cara seperti inilah yang pada akhirnya memungkinkan bagi sektor industri
dalam negeri untuk dapat bertahan di tengah laju globalisasi baik di bidang ekonomi maupun bidang industri. Bidang – bidang usaha yang seharusnya
menjadi bagian dari masyarakat sebagai penunjang untuk kesejahteraan masyarakat di Indonesia itu sendiri.
Bagi perusahaan – perusahaan dagang asing, pemerintah memberikan mereka ruang yang terbatas dalam melakukan produksinya. Sektor – sektor
penting dalam industri tetap dikuasai oleh pemerintah dan tidak serta – merta diberikan kepada perusahaan asing tersebut. Dengan kata lain, jika memang
perusahaan asing masuk ke Indonesia maka mereka bukan determinan dalam perekonomian pada saat itu melainkan hanya faktor pendukung yang akan
membantu masyarakat dalam pelaksanaan produksi di sektor industri dan
perdagangan. Inilah awal dari terlaksananya Kepmenperindag nomor 78 tahun 1978 dalam proses industri di Indonesia.
Pada kebijakan PP nomor 36 tahun 1977 juga telah dijelaskan bahwa pemerintah mencabut izin kegiatan usaha dagang asing dalam bidang
perdagangan yang sangat berdampak kepada hubungan Indonesia dengan negara – negara industri besar seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang,dll.
Keputusan ini dinilai merugikan banyak perusahaan asing ataupun negara – negara yang ingin melakukan ekspansi ke Indonesia dalam bidang industri
dan perdagangan. Kedua bidang inilah yang memang menjadi sasaran utama negara – negara maju untuk dapat mengeksploitasi negara berkembang seperti
Indonesia. Selang dari tahun itu kemudian ada perubahan yang signifikan
mengenai arah perekonomian dan industri di Indonesia. Pada tahun 1995 pemerintah melalui Keputusan Presiden nomor 75 memberikan ruang bagi
warga negara asing untuk melakukan usaha ataupun bekerja di Indonesia. Pemerintah bagi penanam modal dari sektor asing memberikan ruang bagi
mereka untuk melakukan usahanya di Indonesia dengan memberikan izin serta legalitas dari usaha yang mereka lakukan. Hal ini tentu saja menjadi
cikal bakal bagi perusahaan asing yang berasal dari negara maju untuk melakukan kegiatannya di Indonesia apalagi dalam pasal 2 Keppres tersebut
menjelaskan bahwa penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia diberikan izin sampai batas waktu tertentu.
Yang perlu dikaji dalam hal ini adalah bagaimana posisi tenaga kerja dalam negeri Indonesia jika dibandingkan dengan tenaga kerja asing. Ketika
dalam proses pembangunan yang tentu saja memerlukan keahlian ataupun kecakapan dalam bidang usaha, maka masyarakat Indonesia tentu saja
mengalami sedikit kesulitan mengingat pada saat itu tingkat pendidikan masyarakat yang belum setara dengan negara – negara maju. Disamping itu,
keadaan Indonesia pada tahun 1990 – an belum siap menerima gempuran –
gempuran dari tenaga kerja asing ataupun investor – investor asing yang sudah mumpuni di bidang perekonomian dalam sektor industri.
Presiden memang mengatur bagaimana komposisi tenaga kerja asing di Indonesia. Dalam pasal 4 ayat 1 keppres itu disebutkan bahwa jabatan direksi
pada perusahaan yang bukan termasuk dalam undang – undang penanaman modal maka tenaga kerja asing dapat menempati jabatan tersebut. Presiden
juga menjelaskan pada pasal – pasal berikutnya bahwa tenaga kerja asing wajib membayarkan pungutan yang dibayarkan kepada pemerintah dalam
setiap melakukan pekerjaanya. Akan tetapi dalam hal ini hal – hal tersebut belum dirasa cukup bagi
Indonesia untuk melaksanakan keputusan presiden tersebut. Masyarakat Indonesia harus dibekali kemampuan – kemampuan atau pengetahuan yang
sesuai dengan bidang usaha yang dibuka bagi tenaga kerja asing tersebut. Mengingat ada pasal yang yang menyebutkan bahwa tenaga kerja asing
mendapat hak untuk memegang jabatan direksi dan tenaga kerja asing diperbolehkan untuk mengisi bagian – bagian atau lowongan yang tidak
terkualifikasi bagi tenaga kerja dalam negeri. IMF sebagai organisasi yang bergerak di bidang perekonomian disebut
– sebut bahwa tidak jarang mereka juga melakukan persyaratan yang justru tidak langsung berkaitan dengan ekonomi. Jalan yang diberikan melalui
syarat – syaratnya semata – mata hanya untuk mempertegas kepentingan negara – negara maju dalam melakukan usaha untuk menunjukkan
kekuatannya pada pertarungan perekonomian global. Kemungkinan bagi IMF untuk melakukan apa yang disebut dengan intervensi politik semakin terbuka
lebar mengingat bahwa pada bagian – bagian tertentu pada syarat itu IMF seperti ‘menyuruh’ pemerintah untuk mengamandemen seluruh kebijakan
yang telah dibuat sebelumnya. Oleh karena itu, lembaga ini tentu menginginkan adanya bentuk
imbalan ataupun balas jasa jika hubungan kerjasama dilakukan. Hal ini tentu saja yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi yaitu melakukan restrukturisasi
perekonomian domestik untuk mengarah kepada mekanisme pasar dan menghapus segala inefisiensi dan dan distorsi ekonomi yang ada di dalam
perekonomian nasional.
79
Selain itu yang perlu dicermati jika akan melakukan kerjasama dengan IMF adalah dengan melihat kondisi kepentingan dari organisasi tersebut. Jika
diteliti, bahwa sebagai organisasi IMF justru mengedepankan syarat – syarat yang pada akhirnya membuka peluang bagi mekanisme pasar untuk
mendominasi jalannya perekonomian bagi sebuah negara. Sebagai organisasi yang mengurusi masalah ekonomi dan keuangan sepertinya kepentingan
tersebut kurang bisa dipahami sebagai kepentingan langsung dari IMF mengingat IMF bukanlah sebuah negara yang ikut dalam persaingan
globalisasi perekonomian. IMF menginginkan adanya bentuk timbal – balik
yang sesuai dengan bantuan yang mereka berikan terhadap Indonesia.
Pihak – pihak yang menjadi dominan dan terlihat seperti ingin memberikan kontribusi lebih kepada negara – negara penerima bantuan
tampaknya mudah diidentifikasi atas kepentingan dari kerjasama tersebut. Negara – negara pemodal seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dll
tampak menginginkan adanya sebuah tukar tambah yang berarti bagi kepentingan ekonomi mereka. Negara – negara tersebut sepertinya tidak ingin
kerjasama dilakukan hanya sekedar memberikan bantuan tanpa ada intervensi baik di bidang ekonomi ataupun politik pada negara kreditur.
Pada Kepmenperindag nomor 402 tahun 1997, pemerintah sepertinya mulai menjalankan program ataupun syarat yang diberlakukan oleh IMF.
Setelah sebelumnya membuat kebijakan tentang tenaga kerja asing di Indonesia maka pemerintah melelui Kepmenperindag tersebut mulai
mengatur sektor – sektor usaha dan industri bagi perusahaan asing. Dalam pasal 1 kebijakan tersebut pemerintah kembali menegaskan bahwa
perusahaan asing yang melakukan usaha gabungan ataupun warga negara
79
Ibid., hal. 172.
asing yang ditunjuk okeh perusahaan untuk melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Pada pasal ini tidak dijelaskan apakah warga negara asing yang
melakukan usaha di Indoesia diperbolehkan dalam rangka penanaman modal asing. Kebijakan tersebut menjelaskan bahwa setiap warga negara asing yang
telah mendapat legalitas dari perusahaan asing diizinkan untuk melakukan usaha di Indonesia.
Dalam pasal 2 kebijakan tersebut, usaha apa yang diperkenankan dikerjakan oleh perusahaan asing tersebut. Pemerintah mengizinkan dalam
pelaksanaan proses penjualan barang, agen pabrik barang, ataupun agen pembelian barang. Dalam bagian ini sepertinya industri yang diberlakukan
pemerintah terhadap pihak asing lebih luas mengingat menjadi agen atau distributor semakin meningkatkan proses impor terhadap hasil – hasil industri
luar negeri. Berkaitan dengan hal ini, maka butir LoI nomor 39 mengenai
perdagangan luar negeri tampak berfungsi dengan tepat. Bahwa pemerintah harus menurunkan tarif atau biaya terhadap masuknya barang – barang ekspor
sekitar 40 pada tahun 1995 menjadi hanya sekitar 10 ketika Indonesia menerima bantuan dari IMF. Barang – barang yang terkena tariff tersebut
direncanakan adalah bahan manufaktur serta bahan kimia, logam dan baja, juga hasil – hasil produk perikanan, kendaraan bermotor, dan alumunium.
Semua produk – produk manufaktur ini merupakan bagian yang tidak terlepas dari industri pokok bagi perekonomian Indonesia.
Dalam pasal 3 Kepmenperindag tersebut diatur kegiatan – kegiatan apa saja yang boleh dilakukan oleh oleh perusahaan asing sebagai agen penjualan
dan atau agen pabrik. Usaha – usaha tersebut berupa : 1.
Kegiatan memperkenalkan dan memajukan pemasaran barang – barang yang dihasilkan oleh perusahaan asing ataupun barang impor dari
perusahaan asing ke Indonesia.
2. Perusahaan asing diperkenankan untuk melakukan pengawasan
terhadap penjualan barang – barang mereka serta melakukan penelitian pasar terhadap kegiatan usaha mereka.
3. Perusahaan asing tidak diperkenankan melakukan usaha mulai dari
tingkat permulaan sampai ke akhir penjualan. Misalnya perusahaan tidak diperkenankan melakukan mengajukan tender, menandatangani
kontrak, menyelesaikan klaim dan sejenisnya. Dalam hal ini, pemerintah menyerahkan sepenuhnya kegiatan industri
terutama dalam bagian pemasaran kepada perusahaan asing tersebut. Yang pemerintah lakukan sebenarnya akan merugikan perusahaan dalam negeri
mengingat bahwa perusahaan asing juga turut serta dalam pengawasan terhadap pasar. Seharusnya pada bagian ini pemerintah memiliki otoritas
penuh untuk menjaga kesinambungan antara perusahaan dalam negeri dan asing.
Ayat 2 dari pasal ini menjelaskan tugas yang boleh dilakukan oleh perusahaan asing terutama sebagai agen pembelian yaitu melakukan
penelitian pasar atas produk yang mereka butuhkan serta menutup kontrak dengan perusahaan dalam negeri yang melakukan ekspor terhadap barang
yang mereka butuhkan. Dalam pembahasan bab 4 perusahaan Indonesia barulah mendapat
perhatian dari kerjasama asing terkait bidang industri dan usaha. Pemerintah menempatkan perusahaan nasional sebagai agen penjualan atau pembelian
untuk produk – produk yang dibuat di luar negeri. Selain itu, produk – produk luar negeri yang dipromosikan haruslah melalui perusahaan nasional yang
disetujui oleh perusahaan asing yang memproduksi barang mereka di luar negeri.
Pasal 5 kebijakan ini menjelaskan tentang tempat dan kedudukan serta posisi pimpinan bagi perusahaan asing di Indonesia. Perusahaan asing hanya
dapat menempatkan satu kantor utama di setiap provinsi di Indonesia dan diikuti oleh pembukaan kantor cabang di semua provinsi selain daripada
kantor pusat. Jabatan asisten kepala kantor pusat diberikan seluas – luasnya bagi warga negara asing yang bekerja di Indonesia serta warga negara
Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah abai dalam memperhatikan kemungkinan yang bisa saja terjadi melalui bunyi pasal ini. Pemerintah tidak
secara langsung menetapkan jumlah ataupun kedudukan warga negara Indonesia dalam perusahaan asing tersebut. Mengingat bahwa kualitas
sumber daya manusia Indonesia yang belum bisa menyamai dengan warga negara asing maka ada kemungkinan bagi warga negara asing mendapatkan
posisi yang lebih luas. Dalam hal ini semakin terbukti bahwa pemerintah Indonesia
memberikan ruang seluas – luasnya bagi perusahaan asing dalam melakukan perdagangan di Indonesia. Butir ke 40 dari LoI bahkan dengan tegas
menyebutkan bahwa sektor ritel dan kebijakan kelapa sawit harus lebih bisa mendatangkan investor dari luar negeri ke Indonesia. Dengan wewenang
yang telah diatur dalam kebijakan maka kegiatan perusahaan asing semakin mendapatkan akses yang memudahkan mereka dalam melakukan
kegiatannya. Selain itu, jenis usaha seperti kelapa sawit menjadi komoditas yang menjanjikan yang dengan mudah diberikan oleh pemerintah kepada
asing dalam pengelolaannya. Pemerintah melalui dirjen perdagangan mengawasi kewajiban yang
harus dilakukan oleh perusahaan asing. Pasal 6 dan 7 merujuk kepada wewenang yang dimiliki oleh dirjen perdagangan untuk memberikan izin bagi
perusahaan asing untuk berkegiatan di Indonesia. Selain itu, dirjen perdagangan juga berhak untuk mendapatkan laporan berkala dari pihak
perusahaan asing mengenai kegiatan usahanya baik pada kantor pusat dan kantor cabang, keterangan pegawai yang dipekerjakan yaitu warga negara
asing ataupun warga negara Indonesia dan juga rotasi ataupun pergantian dari jabatan – jabatan yang diganti oleh perusahaan, serta usaha pendidikan bagi
warga negara Indonesia yang bekerja pada sektor asing tersebut.
Dalam pasal 8, pemerintah kemudian menetepkan perusahaan asing harus menempatkan 3 tenaga kerja ahli dalam negeri untuk bekerja pada
perusahaan tersebut. Akan tetapi tidak ada penjelasan selanjutnya bagian atau jabatan apakah yang harus diterima oleh tenaga kerja Indonesia tersebut. Pada
bagian kepala ataukah hanya sekedar pekerja biasa. Hal ini yang menyiratkan bahwa pemerintah kurang cermat terhadap keputusan penempatan ataupun
kedudukan warga negara Indonesia di tengah – tengah keterbukaanya terhadap kerjasama luar negeri.
Pasal 9 kemudian menjelaskan tentang legalitas dari tenaga kerja asing di Indonesia. Hal tersebut harus mendapat persetujuan dari pihak dirjen
perdagangan serta Izin Kerja Tenaga Kerja Asing IKTA Langkah yang diambil ini sebenarnya kurang mengena terhadap permasalahan pokok
mengenai pengaturan izin perusahaan asing di Indonesia. Siapa yang memberikan izin IKTA juga tidak dibahas dan menjadi seperti mengambang
tanpa ada pengaturan yang lebih signifikan lagi. Dalam pasal 10 membahas tentang syarat – syarat yang harus dilakukan
oleh perusahaan asing yaitu : 1.
Membuat surat penunjukan yang berisi nama pekerja dalam negeri ataupun asing serta bidang kegiatan yang dikerjakan dan juga
jangka waktu yang diperbolehkan setelah surat penunjukan diberlakukan.
2. Membuat surat keterangan mengenai perusahaan asing yaitu bidang
usaha yang dilakukan, nama perusahaan, tanggal pendirian perusahaan, kantor perusahaan dan identitas perusahaan lainnya.
Dalam surat keterangan ini, perusahaan juga menyatakan bahwa mereka tidak melakukan usaha diluar yang diberikan oleh izin
dirjen perdagangan baik untuk industri yang ada di Indonesia maupun perusahaan – perusahaan di luar negeri.
3. Menyerahkan rencana kerja dari perusahaan dan membuat izin
tempat perusahaan berdiri dari pemerintah daerah terkait, surat
keterangan pajak, membayarkan uang jaminan, dan hal – hal yang terkait dengan pelaksanaan perusahaan tersebut.
Pasal – pasal selanjutnya yang terkait mulai dari pasal 11 sampai dengan pasal 15 mengatur tentang formulir yang harus diisi terkait dengan
kegiatan perusahaan serta sanksi hukum yang diterima oleh perusahaan jika melanggar keputusan menteri tersebut. Dalam pembuatan kebijaka,
pemerintah sepertinya memang memfokuskan isi ataupun pasal – pasal tentang izin perusahaan asing serta warga negara asing yang melakukan
pekerjaan di Indonesia. Dalam bagian ini, analisis kebijakan ekonomi yang dibuat oleh
pemerintah sekedar dalam proses pemberian wewenang kepada pihak asing terkait dengan usaha – usaha di bidang industri dan perdagangan saja. Peran
pemerintah sebagai pengawas belum terlalu terlihat cukup mempengaruhi mengingat bahwa proses terhadap pelaksanaan dari usaha diberikan
sepenuhnya dan sebebasnya kepada warga negara asing. Peran pemerintah leih merupakan kepada pihak yang membuat sebuah
kebijakan tanpa mempertimbangkan apa yang menjadi kebutuhan ataupun kepentingan dari masyarakat secara umum. Dalam perizinan perusahaan asing
di Indonesia posisi warga negara Indonesia hanya mendapatkan porsi yang kurang begitu krusial mengingat bahwa segala sesuatu yang berkaitan denga
jabatan ataupun kewenangan dimiliki oleh warga negara asing dengan mendapatkan persetujuan dari pihak dirjen perdagangan. Selain itu,
pemerintah juga tidak memberikan jaminan atau akses prioritas bagi warga negara Indonesia dalam pelaksanaan usaha dagang dan industri asing di
Indonesia. IMF dalam hal ini menekankan bahwa memang pemerintahan
seharusnya membuka kompetisi yang bebas kepada investor asing dalam melakukan usaha di Indonesia. IMF menganggap bahwa dengan adanya
persaingan yang ditentukan mekanisme pasar akan semakin membangkitkan keinginan asing untuk datang dan melakukan usahanya di Indonesia. IMF
tidak memperhatikan bagaimana prosedural dari pelaksanaan program – program ataupun syarat yang mereka tekankan akan tetapi hanya
menitikberatkan pada usaha untuk membangun perekonomian secara makro. Kebijakan makro ekonomi seharusnya menjadi bagian yang harus
diperhatikan oleh pemerintahan tanpa mengundang intervensi ataupun pengaruh dari pihak diluar pemerintahan. Pemerintahan Orde Baru sebaliknya
malah mendatangkan pihak seperti IMF untuk bukan hanya sekedar membantu Indonesia akan tetapi juga mengatur dan memainkan kepentingan
yang dimiliki oleh mayoritas negara – negara besar di IMF. Analisis ekonomi justru disimpulkan oleh IMF untuk selanjutnya diberikan bentuk – bentuk
penyelesaian sesuai dengan analisis yang mereka lakukan. Peran pemerintah sebagai pelaksana kebijakan tidak mengikutsertakan
masyarakat terutama sebagai objek yang berkenaan langsung dengan permasalahan perekonomian di Indonesia. Pemerintah lebih terbuka kepada
pihak asing untuk memberikan saran – saran yang membawa Indonesia keluar dari permasalahan ekonominya. Akses masyarakat yang lebih luas terhadap
sumber-sumber ekonomi menjadi tertutup dan pemerintah mengalihkannya kepada sektor swasta asing sehingga proses pemerataan tidak akan diterima
oleh masyarakat. Suatu kebijakan yang pada akhirnya menjadi sebuah pernyataan bahwa kepentingan masyarakat bukanlah prioritas dalam usaha
untuk memajukan sektor industri dalam perencanaan pembangunan ekonomi yang menjadi isu besar pada masa pemerintahan Orde Baru.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan