Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP

BAB II KAJIAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA YANG MENGATUR

TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KAITAN DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN

A. Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP

KUHP merumuskan perbuatan perkosaan Rape pada Pasal 285 yang bunyinya sebagai berikut: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Berdasarkan pasal 291 ayat 2, jika pemerkosaan tersebut mengakibatkan matinya perempuan itu, ancaman menjadi lima belas tahun penjara. 31 Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki beberapa Unsur yaitu: 32 1. Barangsiapa 2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 3. Memaksa 4. Seorang wanita bersetubuh dengan dia 5. Diluar perkawinan Walaupun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang didalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur 31 Leden Marpaung, 1997, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hlm.49 32 Ibid.,hlm.52 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA memaksa didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang telah kita ketahui tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun oleh hakim disidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP. 33 Unsur obyektif pertama dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur barangsiapa. Kata barangsiapa ini menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak pidana perkosaan tersebut. 34 Unsur obyektif kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Menurut Tirtaamidjaja, yang dimaksudkan dengan kekerasan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat. “Kekerasan atau ancaman kekerasan “ tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidaj memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi. 35 33 P.A.F Lamintang Theo Lamintang, Op.Cit, hlm.97 34 Ibid, hlm.98 35 Leden Marpaung, Log.Cit., UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Menurut Hoge Raad dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 5 Januari 1914, NJ 1914 halaman 397,W.9604 dan tanggal 18 Oktober 1915,NJ 1915 halaman 1116, mengenai ancaman kekerasan tersebut disyaratkan yakni: 36 Orang belum dapat memperoleh penjelasan tentang apa sebenarnya Dari arrest-arrest Hoge Raad tersebut mengenai apa yang dimaksudkan dengan ancaman kekerasan atau ancaman akan memakai kekerasan, karena arrest-arrest tersebut hanya menjelaskan tentang caranya ancaman itu harus diucapkan. Karena kekerasan tidak hanya dapat dilakukan dengan memakai tenaga badan yang sifatnya tidak terlalu ringan, yakni seperti yang dikatakan oleh prof. Simons, melainkan juga dapat dilakukan dengan memakai sebuat alat, sehingga tidak diperlukan adanya pemakaian tenaga badan yang kuat, misalnya menembak dengan sepucuk senjata api, menjerat leher dengan seutas tali, menusuk dengan sebilah pisau dan lain-lainnya, maka mengancam akan memakai kekerasan itu harus diartikan sebagai suatu ancaman yang apabila yang diancam tidak bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan a. bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya. b. bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu. 36 P.A.F Lamintang Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 100 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan, atau keselamatan nyawa orang yang diancam. Unsur ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur memaksa. “memaksa” berarti di luar kehendak dari si wanita tersebut atau bertentangan dengan kehendak wanita itu. Satochid Kartanegara menyatakan antara lain: 37 Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin. Dalam hal ini kiranya sudah jelas bahwa keterpaksaan wanita tersebut harus merupakan akibat dari dipakainya kekerasan akan dipakainya ancaman akan memakai kekerasan oleh pelaku atau oleh salah seorang dari para pelaku. “Perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain. 38 Unsur objektif keempat dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah seorang wanita bersetubuh dengan dia. Kalau bukan wanita dalam hal homoseks maka tidak dapat diterapkan Pasal 285 KUHP ini. Perlu diketahui bahwa kejahatan terhadap kesusilaan, KUHP telah menyebutkan adanya berbagai wanita, masing-masing yakni: a. wanita yang belum mencapai usia dua belas tahun Pasal 287 ayat 2 KUHP, wanita yang belum mencapai usia lima belas 37 Leden Marpaung, Log.Cit., 38 P.A.F Lamintang Theo Lamintang, Op.Cit., hlm. 101 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tahun Pasal 287 ayat 1 dan Pasal 290 angka 3 KUHP, wanita yang belum dapat dinikahi Pasal 288 ayat 1 KUHP, dan wanita pada umumnya. 39 Pengertian “Bersetubuh” menurut Tirtaamidjaja berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. Pengertian bersetubuh diartikan bahwa penis telah penetrasi kedalam vagina. Adapun yang dimaksud dalam Pasal 285 KUHP adalah wanita pada umumnya. 40 Bila ternyata pelaku tidak berhasil memasukkan penisnya kedalam vagina korban, misalnya karena korbannya telah memberikan perlawanan, maka pelaku dapat dipersalahkan karena telah melakukan suatu percobaan pemerkosaan yakni melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 53 ayat 1 jo. Pasal 285 KUHP, dan sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 53 ayat 2 KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana penajara selama-lamanya 8 tahun bagi pelaku yakni sesuai ketentuan pokok terberat yang diancamkan dalam Pasal 285 KUHP dikurangi sepertiganya. 41 Hal ini berbeda dengan KUHP Norwegia. Beberapa ketentuan menarik dari ketentuan KUHP Norwegia ialah: 42 a. Untuk dapat dikatakan ada perkosaan rape tidak perlu ada persetubuhan “sexual intercourse”; cukup apabila memaksa seseorang untuk melakukan hubungan tidak senonohperbuatan cabul 39 Ibid., 40 Leden Marpaung, Op.Cit.,hlm. 53 41 P.A.F Lamintang Theo Lamintang, Op.Cit., hlm.103 42 Barda Nawawi Arief, 2006, Perbandingan Hukum Pidana ,Jakarta, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, hlm. 178 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “indecent relations” . Dalam hal demikian ancaman pidananya berkisar antara 1-10 tahun penjara. Tetapi apabila “indecent relations” itu berupa “sexsual intercourse” maka pidananya diperberat yaitu dikenakan pidana minimal tidak kurang dari 3 tahun penjara ps.192. Jadi, adanya “sexual intercourse” bukan syarat untuk adanya perkosaan, tetapi hanya sebagai alasan factor pemberat pidana. Apabila perkosaan berakibat luka-luka berat atau mati, minimal pidananya menjadi 4 tahun dan maksimumnya pidana penjara seumur hidup dalam konsep KUHP minimalnya 5 tahun dan maksimumnya 15 tahun penjara. Unsur objektif kelima dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur di luar perkawinan. Di luar perkawinan berarti bukan istrinya. Dari peraturan ini dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut: 43 a. Korban perkosaan harus seorang perempuan, tanpa batas umur. b. Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari korban mengenai niat dan tindakan si pelaku. c. Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman terhadap perempuan tersebut. 43 Arif Gosita, Op.Cit., hlm. 339 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Para feminis mengkritik KUHPidana. Seperti di negara-negara patriarki lainnya, KUHPidana Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang punya individualitas seperti pria. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh dan seksualitas belaka. Hal ini juga tampak pada pasal tentang perkosaan Pasal 285 KUHP yang mengisyaratkan korban harus bukan istri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk hubungan seksual yang dalam keputusaan Hoograad Mahkamah Agung Hindia Belanda tanggal 5 Februari 1912 diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”. Pasal perkosaan ini tidak dirumuskan dari perspektif korban perempuan, misalnya dengan melihat apakah harga diri atau HAM perempuan sudah tercabik- cabik. 44 Salah satu aspek yang digugat atau dipertanyakan eksistensinya oleh pemerhati dan lembaga advokasi masyarakat adalah aspek yuridis KUHP, yang dinilainya punya kelemahan mendasar, sehingga sulit diharapkan dapat diimplementasikan secara maksimal guna menanggulangi pelaku kejahatan kekerasan seksual perkosaan. KUHP Indonesia yang dijadikan acuan bagi kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa. 45 44 Sulistyowati Irianto, 2006, Perempuan dan Hukum:Menuju Hukum Yang Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan, Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm.8-9 45 Abdul Wahid Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Bandung, Penerbit Refika Aditama,hlm. 109 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh pelaku adalah dua belas tahun penjara, apabila mengakibatkan matinya perempuan diancam pidana penjara lima belas tahun. Hal ini adalah ancaman hukuman maksimal, dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus ditetapkan begitu. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan vonis. 46

R. Soesilo mengatakan bahwa yang diancam hukuman dalam Pasal 285