Perlindungan Korban Dalam Proses Pemeriksaan Tindak Pidana

hidup bermasyarakat, Memenuhi rasa keadilan, bagi korban dan Penegakan hukum yang adil terhadap pelaku tindak pidana perkosaan tersebut.

A. Perlindungan Korban Dalam Proses Pemeriksaan Tindak Pidana

Perkosaan dan Perumusan Tindak Pidana Perkosaan Kelemahan mendasar dalam penegakan hukum adalah terabaikannya hak korban kejahatan dalam proses penanganan perkara pidana maupun akibat yang harus ditanggung oleh korban kejahatan karena perlindungan hukum terhadap korban kejahatan tidak mendapat pengaturan yang memadai. 90 Indonesia sebagai negara hukum, sedikitnya harus memiliki tiga ciri pokok sebagai berikut: 91 Pengakuan dan perlindungan atas Hak asasi seharusnya benar-benar diperhatikan. Namun Indonesia masih sangat tertinggal dalam perlindungan dan penegakan hak asasi wanita dibanding negara lain di Asia, misalnya Korea a. pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam bidang Politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan lain sebagainya b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan apapun c. menjunjung tinggi asas legalitas 90 Rena Yulia, Op.Cit, hlm.103 91 Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia: Hakekat, konsep, dan Implikasinya dalam Perpektif Hukum dan Masyarakat, Bandung, Penerbit PT Refika Aditama, hlm.121 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Selatan. 92 Hukum pidana materiil dan hukum pidana formal KUHAP lebih menitikberatkan perhatian pada pembuat korban pelaku kejahatan daripada korban, seolah-olah terdapat suatu perbedaan atau pemisahan yang tajam antara si pembuat korban dengan sikorban, walaupun keduanya memiliki peranan yang fungsional dalam terjadinya tindak pidana. Korban hanyalah pelengkap atau sebagian dari alat bukti, bukan pencari keadilan. 93 I.S susanto berpendapat, “Kejahatan kekerasan terhadap wanita, khususnya perkosaan di satu sisi dipandang sebagai kejahatan yang sangat merugikan dan mencemaskan, bukan saja wanita akan tetapi juga masyarakat dan kemanusiaan, namun disisi lain terdapat realitas sosial-budaya yang justru “menyuburkan perkosaan” seperti mitos-mitos yang berkaitan dengan jenis kelamin, budaya diskriminatif “budaya tukang sulap”, budaya hukum yang “tidak adil”. Beberapa pendapat menyatakan tentang pandangannya mengenai penderitaan korban perkosaan 94 Selma Widhi Hayati mengupas “pada sisi lain, korban perempuan dihadapkan pada persoalan-persoalan, ia meski berhadapan dengan pengusut polisi, dokter, jaksa, hakim, dan lainnya yang berjenis kelamin sama dengan pelaku, untuk mendapatkan perlakuan hukum yang adil. Hal ini menciptakan atau membuka kemungkinan hilangnya rasa aman dan perlindungan yang harus korban dapatkan dan diberikan negara. Pada proses penyidikan maupun peradilan, korban 92Sunaryati Hartono, 2000, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasikan Terhadap Wanita Dan Undang-Undang Hak asasi Manusia, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, hlm.6 93 Rena Yulia, Op.Cit, hlm.28 94 Abdul Wahid Muhammad Irfan, Op.Cit., hlm. 74 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pun tak luput dari pertanyaan mengenai riwayat kehidupan seksual si korban. Pada penanganan sedemikian telah menjauhkan akses korban atas hukum dan peradilan yang adil. 95 Hal ini sejalan dengan pendapat Artijo Alkostar mengemukakan, “dalam kasus perkosaan misalnya, posisi wanita selalu berada pada pihak yang dilematis, karena kalau menuntut melalui jalur hukum pidana mengundang konsekuensi selain seringkali berbelit-belit juga dia merasa malu kalau terpublikasi atau diketahui oleh tetangga dan masyarakat banyak. Selain dari itu, sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban perkosaan, 96 Hal ini juga seperti dipaparkan Eko dan Suparman berikut “penderitaan korban kian bertambah karena dalam proses peradilan pidana korban hanya menjadi saksi, dalam hal ini adalah saksi korban. Sehingga korban sebagai pihak yang paling dirugikan didalam proses peradilan menurut KUHAP seolah-olah tidak dimanusiakan, dia hanya merupakan saksi yang hanya penting guna memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku, dijadikan barang bukti guna mendapatkan visum et repertum untuk pembuktian kesalahan pelaku bahwa kejahatan perkosaan itu benar-benar dilakukan oleh terdakwa. Segala keperluan korban dari sejak kejadian hingga proses pengadilan harus ditanggung sendiri. Korban harus menanggung biaya perawatan dan pengobatan sendiri apabila akibat perkosaan ia sakit. Korban harus menanggung ongkos perjalanan Jadi posisi wanita tetap berada pada posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban tindak pidana perkosaan. 95 Ibid., 96 Ibid ., UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sendiri dari tahap penyidikan sampai pemeriksaan pengadilan. Dari sisi ini jelas korban sangat tidak menguntungkan, bilamana dibandingkan dengan posisi pelaku 97 Demikian itu juga dapat dipahami melalui pendapat Rahma Sugihartati yang menulis,”dapat kita bayangkan, bagaimana mungkin seorang wanita yang lembut dan lugu dapat bertahan bila selama pemeriksaan mereka kembali “ditelanjangi’ dan harus mengulang kisah berikut rekonstruksi aib perkosaan yang dialaminya”. Belum lagi, bila wanita yang menjadi korban perkosaan itu menjadi bulan-bulanan berita pers. Detail peristiwa perkosaan yang diekspose pers biasanya justru menjadi semacam ‘perkosaan baru’ yang tak kalah memalukan bagi korban. 98 Lidya Suryani W. dan Sri Wurdani menyatakan “ berbeda dengan korban kejahatan konvensional lainnya, korban perkosaan mengalami penderitaan lahir maupun batin”. keputusan korban untuk melaporkan kejadian yang menimpa dirinya pada pihak yang berwajib bukanlah keputusan yang mudah. Peristiwa yang begitu traumatik dan memalukan harus dipaparkan kembali secara kronologis oleh korban. Belum lagi sikap dan perlakuan aparat penegak hukum yang kadang memandang sebelah mata terhadap korban, karena pandangan umum selama ini terhadap korban perkosaan adalah sebagai orang yang buruk laku. Prosedur pemeriksaan sejak dari penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan Pihak korban masih dituntut secara detail untuk mendeskripsikan kasus yang dialaminya, menceritakan mengenai kronologis peristiwa yang melecehkan atau mengupas ulang tragedy yang menimpanya. 97 Ibid., hlm. 77 98 Ibid. hlm. 75 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dipengadilan harus dilalui korban, sama seperti korban kejahatan lain apabila memperjuangkan hak perlindungan hukumnya. Proses peradilan pidana demikian menambah daftar penderitaan korban. 99 Kriminolog Hanskristuti mengemukakan, “ dapat dimingerti bahwa menjadi korban perkosaan merupakan derita yang luar biasa bagi seorang wanita. Proses peradilan pidana yang rumit akan sulit untuk dikatakan membantu si korban. Penderitaan korban ditambah lagi dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan. 100 Perempuan yang menjadi korban perkosaan seringkali juga mendapatkan stigma negatif, seperti bahwa korban sudah ternoda, tidak suci, berdosa, sudah tidak utuh dan merasa kotor. Hal itu membuat korban malu, takut dan merasa hina. Dengan dia menceritakan apa yang dialaminya, justru akan mencemarkan nama baik dirinya dan keluarganya. Belum lagi trauma yang harus disimpannya sepanjang hidup, karena bagi korban perkosaan, itu adalah penderitaan yang luar biasa, bukan hanya fisik, tapi juga mendatangkan siksaan psikis dan luka batin. Berbagai peristiwa yang dialami perempuan di tempat umum, ini menjadi teror Kita ketahui bahwa dalam pembuktian di pengadilan saksi korban harus menjelaskan kasus yang dialaminya. Kita ketahui juga bahwa sistem pembuktian dalam KUHAP menyatakan bahwa alat bukti saksi harus didukung saksi atau alat bukti lainnya. Kesaksian saksi korban saja tidak bisa menjadi dasar untuk menyatakan terdakwa bersalah “Unus testis nullus testis”. Hal ini tentunya sangat merugikan korban, karena dalam kasus tindak pidana perkosaan jarang sekali ada saksi lain yang menyaksikan tindak pidana perkosaan tersebut. 99 Ibid., 100 Ibid., hlm.76 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA baru bagi perempuan di Indonesia. Rasa aman di ruang publik tidak lagi mudah diperoleh oleh perempuan. Beberapa perlakuan terhadap korban: 101 a. kritik selalu dilontarkan sehubungan dengan terlalu banyaknya instrument HAM yang memfokuskan pada perlindungan pelaku tindak pidana, sedangkan perhatian terhadap korban yang seharusnya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban compassion and respect for their dignity seolah-olah dilupakan, atau paling tidak kurang diperhatikan. b. Pada tahun 1985 melalui Declaration of crime and abuse power, perhatian PBB mulai meningkat, khususnya yang berkaitan dengan akses untuk memperoleh keadilan, hak untuk memperoleh kompensasi, restitusi, dan bantuan-bantuan lain yang harus diatur dalam undang-undang nasional. Perlu dilakukan suatu perlidungan khusus bagi korban kejahatan khususnya untuk korban kejahatan tindak pidana perkosaan. Hal yang perlu dilakukan sebagai bentuk perlindungan yang bisa dilakukan dalam hal pembaharuan hukum kedepannya yaitu dengan menghadirkan Psikologi Pendamping. Disadari atau tidak, proses hukum penuh bermuatan psikologi. Apalagi bila kita melihat kebelakang, apa yang ada dibalik panggung pengadilan, bahkan jauh hari sebelumnya, sebelum orang memutuskan untuk melaporkan kasus yang dialaminya dan membawanya ke jalur hukum, dimensi psikologi kental 101 Muladi, Op.Cit., hlm.107 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mempengaruhi. Bila kita teliti mangamati, aspek psikologi kuat sekali mewarnai keseluruhan mekanisme dan proses hukum. Dari sisi orang yang menjadi korban kejahatan, keputusan apakah mengungkap kejadian, apalagi melaporkannya pada pihak yang berwajib jelas merupakan suatu tindakan psikologis. Korban akan bertanya-tanya apakah orang akan percaya atau justru mempersalahkannya, berapa lama proses hukum akan berlangsung, dan apa konsekuensinya, dan lain sebagainya. Cara polisi menyidik, membuat Berita acara Pemeriksaan, sikap jaksa dan hakim, pengacara dari tersangka dan tersagka sendiri semuanya mempengaruhi kondisi psikologi korban, dan berperan bagaimana ia menanggapi keseluruhan proses hukum. 102 Pendampingan psikologis yang murni akan diarahkan untuk memfasilitasi penguatan psikologi pada korban, agar ia mampu keluar dari jerat situasi sebagai korban, dan mengambil peran baru sebagai penyintas. Korban akan dibantu untuk dapat keluar dari kesedihan, kemarahan yang destruktif atau ketidakberdayaannya, difasilitasi untuk mengembangkan kembali harapan, keyakinan diri, perasaan berharga, dan perasaan mampu. Ia dibantu untuk memahami masalah, menemukann kekuatan-kekuatan diri, dapat memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dilingkungan untuk pemulihan, dan menemukan kembali kenyamanan hidup. Penguatan psikologis ini penting untuk memungkinkan penyintas dapat mejalankan kembali peran-peran sosialnya, hidup secara produktif, mandiri, dan bermakna. 103 102 Sulistyowati Irianto, Op.Cit, hlm. 328 103 Ibid., hlm.333 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Psikolog yang dimaksud disini adalah psikolog pendamping yang murni, berbeda dengan psikolog pendamping untuk memperlancar proses hukum, dan psikolog sebagai saksi ahli. Untuk lebih jelasnya dirangkum sebagai berikut: 104 a. Sebagai pendamping yang murni melakukan pendampingan dan penguatan psikologis, psikolog tidak harus mampu mengumpulkan data rinci mengenai fakta objektif dan konkret yang terjadi. Misalnya psikolog tidak mementingkan, apakah kekerasan seksual dilakukan berapa kali, dan bagaimana kejadian konkeretnya. Yang dipentingkan adalah penyintas dapat memulihkan diri dari trauma kekerasan seksual yang dialaminya. Hal ini sangatlah penting dan sangat baik untuk diberikan kepada korban tindak pidana perkosaan yang menderita trauma mengingat keadaan yang dialaminya. b. Sebagai psikolog yang bertugas melakukan pendampingan untuk memeperlancar proses hukum, selain melakukan penguatan psikologis, psikolog perlu mengetahui secara detil kejadian kekerasan yang dialami penyintas. Ini karena tugas utamanya memang untuk mengungkapa data itu. Ia juga bertugas untuk mendampingi dan menguatkan penyintas, agar dapat memberikan data selengkap-selangkapnya dalam proses hukum yang dijalani penyintas. c. Sebagai psikolog saksi ahli,sesungguhnya tugas utama psikolog adalah memberikan masukan dalam proses hukum yang berlangsung, mengenai 104 Ibid., hlm 336 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA apa yang sesungguhnya terjadi, mengapa hal itu terjadi misal apa latar belakangnya pelaku, dan apa implikasi psikologisnya penyintas. Langkah selanjutnya yang perlu dalam pembaharuan hukum mengenai tindak pidana perkosaan adalah dengan mengatur sistem pembuktiannya di pengadilan, Pasal 183 KUHAP mensyaratkan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, kemudian baru hakim menjatuhkan putusan. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan padanya Unus testis nullus testis. Menurut saya perlu diatur secara khusus mengenai pembuktian perkara tindak pidana perkosaan di pengadilan ini yaitu ini bahwa keterangan saksi korban saja dinyatakan sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana yang termuat dalam Pasal 55 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hal ini mengandung pengertian bahwa keterangan saksi korban ditambah dengan alat bukti lainnya sudah cukup membuktikan terdakwa bersalah. Keterangan saksi korban dianggap sebagai salah satu alat bukti dan jika ditambah satu alat bukti lainnya maka sudah cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi pelaku. Mengenai rumusan pasal tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP juga perlu dibaharui karena rumusan tersebut tidak mampu mengakomodir tindak pidana perkosaan yang terjadi. Rumusan dalam Pasal 285 KUHP menyatakan bahwa unsur tindak pidana perkosaan adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, padahal modus tindak pidana perkosaan sudah berkembang. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Pengertian perkosaan dalam Pasal 285 KUHP juga hanya terbatas pada persetubuhan saja. Menurut saya juga perlu diatur mengenai minimal pidana yang dijatuhkan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 489 RUU KUHP 19992000 direvisi 20042005. Menurut penulis beberapa hal diatas adalah langkah pembaharuan yang baik untuk dilakukan. Penulis juga berpendapat bahwa sangatlah penting dilakukan pembaharuan mengenai rumusan tindak pidana perkosaan ini mengingat bahwa modus tindak pidana perkosaan ini sudah semakin berkembang sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya. Perlu dihadirkan psikologi pendamping dalam pemeriksaan tindak pidana perkosaan, dan juga perlu diatur secara khusus mengenai pembuktiannya.

B. Perlindungan Korban Untuk Memperoleh Restitusi