Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP

“denda kompensasi” yang dibebankan kepada terpidana disamping pidana yang seharusnya dia terima. 57 Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban perkosaan sehingga posisi wanita tetap berada di posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan. 58 KUHP tidak mengandung pandangan yang memperhatikan korban. Apa yang sekarang dikenal dengan viktimisasi belum tertampung dalam KUHP. 59 Sebagaimana kita ketahui bahwa, sejak tanggal 31 Desember 1981 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. KUHAP dikenal sangat memperhatikan hak-hak seorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan oleh hakim, hingga pelaksanaan putusan. Dalam proses peradilan pidana baik tersangka offender maupun korban kejahatan victim of crime menghendaki keadilan. Bagi tersangka menghendaki perkaranya diperiksa secara adil dengan mengindahkan hak-haknya serta aturan main yang telah ditentukan, namun bagi korban juga Penulis menyimpulkan bahwa pengaturan Tindak Perkosaan dalam KUHP belum memberikan perlindungan terhadap korban khususnya korban perkosaan yang kita ketahui sangat menderita.

B. Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP

57 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 58 Dikdik Elisatris, Op.Cit, hlm.30 59 Sulistyowati Irianto, Op.Cit., hlm. 172 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menghendaki agar pelaku diadili dan kalau perlu dihukum seberat-beratnya, bahkan berharap adanya ganti rugi untuk memulihkan keadaan. KUHAP memang sudah ada merintis perlindungan korban secara individu, dengan tetap melakukan pembinaan kepada pelaku kejahatan. KUHAP juga memberi peluang kepada korban mengajukan gugatan ganti rugi melalui penggabungan perkara pidana melalui Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Seorang korban dari kejahatan dapat hadir dalam proses pemeriksaan perkara pidana dengan dua kualitas berbeda. Di satu sisi kehadiran korban dalam pemeriksaan perkara pidana berfungsi sebagai saksi guna dalam proses pemeriksaan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan dipersidangan pengadilan. Di sisi lain fungsi korban dalam proses perkara pidana adalah mengajukan gugatan ganti kerugian atas penderitaan dan kerugian yang dialami sebagai akibat kejahatan. Hak korban tindak pidana perkosaan dalam peradilan dikemas sangat minim, sedikit sekali pasal-pasal yang membahas tentang korban, pembahasannya pun tidak fokus terhadap eksistensi korban tindak pidana melainkan hanya sebagai warga negara biasa yang mempunyai hak yang sama dengan warga negara lain. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan undang-undang kepada pelaku kejahatan. 60 60 Rena Yulia, Op.Cit, hlm.103 Walaupun kita mengetahui bahwa, derita yang dialami korban sudah dirasakan ketika terjadinya kejahatan, saat melapor tidak jarang pula korban masih mangalami penderitaan hingga UNIVERSITAS SUMATERA UTARA proses persidangan. Trauma akibat akan menerima perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungannya. Hal ini berimplikasi pada enggannya korban untuk melapor kejadian yang dideritanya, karena semula laporan itu bertujuan untuk mengurangi beban masalah yang dideritanya, menjadi permasalahan baru baik berupa cemooh dari masyarakat maupun dari aparatur penegak hukum yang terkadang kurang responsip dan tidak bersahabat, belum lagi karena adanya intimidasi dari tersangka terhadap korban tindak pidana perkosaan. Praktek peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap perempuan. Pada tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan perkosaan ini sering dilakukan dengan tidak memperhatikan hak-hak asasi korban, korban kerapkali posisinya hanya sebagai saksi yang semata-mata untuk membuktikan kesalahan pelakuterdakwa . Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukum, korban kembali dikecewakan karena putusan yang dijatuhkan pada pelaku cukup ringan atau jauh dari memperhatikan hak-hak asasi perempuan. Pihak korban masih dituntut untuk menceritakan kasus yang dialaminya, menceritakan kronologis peristiwa yang melecehkan dan mengupas ulang tragedi yang memalukan. Penderitaan korban perkosaan semakin bertambah ketika dalam proses peradilan korban hanya menjadi saksi, dalam hal ini menjadi saksi korban. Seolah-olah korban tidak dimanusiakan dan hanya merupakan saksi yang hanya penting untuk digunakan dalam memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku. Setelah selesai semua tahap penyidikan dan penyelidikan tersebut, setelah semua barang bukti terkumpul, dan pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tidak dipedulikan sama sekali. Proses peradilan pun lebih focus pada pelaku, sehingga korban dengan sendirinya menjadi tidak mendapat perhatian lagi. Apa yang terjadi pada korbaan setelah perbuatan perkosaan menjadi tanggung jawab korban sendiri, baik itu pemulihan luka maupun penyembuhan traumatis akibat perkosaan merupakan tanggung jawab sendiri. 61 Lidya Suryani W. dan Sri Wurdani menegaskan KUHAP kurang memberikan perhatian terhadap korban kejahatan khususnya korban korban kejahatan perkosaan sebagai pihak yang paling dirugikan yang juga membutuhkan perlindungan terhadap hak-haknya yang telah dilanggar. Seringkali terjadi, keterlibatan korban dalam sistem peradilan pidana hanya menambah rasa takut yang berkepanjangan, tidak berdaya dan kecewa karena tidak diberikan perlindungan yang cukup. Perjalanan penderitaan yang panjang dalam proses peradilan pidana, lebih banyak berakhir dengan kepedihan. Hukuman yang dijatuhkan hakim atas pelaku perkosaan terlampau ringan jika dibandingkan dengan trauma yang diakibatkan oleh perkosaan itu dalam hidup korban sepanjang hayat. Ancaman hukuman maksimal 12 tahun hanya menjadi sederetan kata-kata didalam KUHP, karena rata-rata hakim menjatuhkan pidana kepada pemerkosa berkosar 5 bulan hingga 2 tahun penjara. Penjatuhan pidana yang relatif ringan, sebagaimana yang sering kita dengar pada praktik peradilan selama ini dikhawatirkan akan membuat pelaku tak takut atau tak jera melakukan kejahatan perkosaan itu lagi dan juga tidak dapat dijadikan peredam makin maraknya kasus perkosaan. Korban dalam pemeriksaan penyidik misalnya lebih 61 Rena Yulia, Op.Cit., hlm. 19 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA sering diposisikan tidak jauh berbeda dengan tersangka, yang harus diperiksa dimintai keterangan dalam waktu berjam-jam. Pihak korban yang sudah tersiksa secara psikologis masih harus diperhadapkan dengan suasana yang kurang mendukung secara fisik maupun psikologisnya. 62 Berdasarkan bunyi pasal tersebut terlihat bahwa orang yang menjadi korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perkosaan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang ia alami. Namun demikian dalam kenyataan di lapangan jarang sekali bahkan sulit untuk dijumpai seorang korban tindak pidana perkosaan memanfaatkan pasal tersebut untuk mengajukan tuntutan ganti rugi sebagaimana tertuang dalam Pasal 98 KUHAP. Tindak pidana perkosaan Korban perkosaan sebagai saksi korban harus mengingat dan menceritakan kasus yang dialaminya didepan persidangan. Bagaimanakah mungkin seorang yang menderita akibat perkosaan tersebut dapat dengan mudah mengungkap kejadian yang dialaminya, sedangkan melihat dan mengingat pelaku pun sudah mengulangi penderitaannya. Mengenai ketentuan ganti rugi, ini dapat dikaji dalam ketentuan Pasal 98- 101 KUHAP. Pasal 98 ayat 1 KUHAP menyebutkan, bahwa: 1 Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. 2 permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat- lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. 62 Abdul Wahid M.Irfan, Op.Cit., hlm. 77 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA akan menimbulkan berbagai akibat baik berupa fisik, mental psikologis sosial, ekonomi dan lain-lain, bahkan secara psikologis korban mengalami trauma seumur hidupnya akibat perbuatan tindak pidana itu, hal ini merupakan suatu kerugian yang ia alami. Seperti halnya korban harus melapor ke Polisi, menanggung biaya pengobatan sendiri, kemudian setelah persidangan ia harus menjadi saksi yang harus menceritakan aib itu berulang-ulang sehingga korban akan mengalami trauma dan penderitaan yang berkepanjangan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 98 ayat 1 di atas, pembentuk undang-undang telah membuka kemungkinan adanya penggabungan perkara tindak pidana dengan gugatan perdata tentang ganti kerugian menurut sistem KUHAP. Penggabungan perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian akan lebih memudahkan bagi orang lain termasuk si korban untuk berbuat sesuatu yang iamereka inginkan atas segala kerugian yang iamereka alami dan yang dideritanya. Perlindungan terhadap hak korban suatu tindak pidana ini diberikan dengan mempercepat proses untuk mendapat ganti rugi yang diderita, ialah dengan menggabungkan perkara pidananya dengan tuntutan untuk mendapat ganti rugi, yang pada hakekatnya adalah perkara perdata dan yang biasa diajukan melalui perkara perdata dan dengan demikian akan dihemat waktu dan biaya perkara. 63 63 R.Soeparmono, 2003, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Dalam KUHAP, Bandung, Penerbit cv. Mandar Maju, hlm. 67 Seorang yang merasa dirugikan, mengajukan permintaan kepada ketua sidang yang sedang memeriksa perkara pidana yang dilakukan terdakwa yang mana mengakibatkan kerugian tersebut, untuk menggabungkan perkara gugatan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan. 64 Akan tetapi, ternyata penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut sifatnya terbatas hanya kerugian yang nyata-nyata diderita korban. 65 Akhir kalimat Pasal 99 ayat 1 KUHAP yang berbunyi hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut, dapat ditafsirkan sebagai kerugian yang sifatnya riil atau nyata saja. Sedangkan terhadap kerugian bersifat immaterial yang diderita korban dengan mengacu akhir kalimat Pasal 99 ayat 1 KUHAP karena masih memerlukan pembuktian relatif sulit, lama dan berbelit-belit tidak dapat diajukan dalam penggabungan gugatan Aspek ini secara implisit ditentukan Pasal 99 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 1 Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebgaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang terlah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut. 2 Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. 3 putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap. 64 Leden marpaung, 1997, proses tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi dalam hukum pidana, Jakarta, Grafindo persada, hlm.35 65 Lilik mulyadi, Op.Cit., hlm.265 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ganti kerugian akan tetapi harus melalui gugatan perkara biasa. 66 Salah satu segi negatif sistem peradilan perdata adalah antara lain dalam hal penyelesaian ganti kerugian. Oleh karena dapat memakan waktu lama dan tinggi ongkosnya biaya pengacara. Sehingga kerap kali menimbulkan kesulitan bagi mereka yang tidak mampu material, financial. Cara penuntutan ganti kerugian melalui peradilan perdata akhirnya tidak akan menguntungkan bagi korban yang tidak mampu financial. Sedangkan mereka inilah yang paling memerlukan bantuan setelah mengalami musibah, menajdi korban mental, fisik, dan sosial Dengan kata lain gugatan ini hanya bisa diajukan melalui gugatan perkara perdata. 67 Ketegasan tidak dapatnya penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana yang menyangkut diluar kerugian materiil telah disebutkan M. Yahya Harahap sebagai berikut: lagipula bagaimanakah seorang korban perkosaan yang sangat menderita secara fisik dan psikologis masih dapat berfikir untuk melakukan tuntutan ganti kerugian kepada pelaku? Bahkan untuk mengingat pelaku dan perbuatannya sudah menambah penderitaannya. 68 ……putusan hakim hanya terbatas tentang pengabulan yang menetapkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Hal ini berarti besarnya ganti kerugian hanyalah sebesar jumlah kerugian nyata atau kerugian materiil saja. diluar kerugian nyata, seperti kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat diajukan dalam perkara. Seandainya ganti kerugian immaterial diajukan oleh pihak yang dirugikan hakim 66 Ibid. 67 Arif Gosita, Op.Cit., hlm 225 68 M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan sidang Pengadilan,Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,Jakarta, Sinar Grafika, hlm.82 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima niet onvankelijke Ganti kerugian pada dasarnya meliputi kerugian material dan immaterial. Namun demikian dilihat dari ketentuan tersebut di atas yang dimaksud dengan ganti rugi adalah ganti rugi yang bersifat material. Apabila dikaitkan dengan pasal 99 ayat 2 KUHAP yakni hanya berupa biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan sehingga tuntutan yang lain harus dinyatakan tidak diterima, dan harus diajukan dengan gugatan perdata biasa. Gugatan perkara perdata tersebut tidak merupakan perkara “ne bis in idem” 69 Tujuan penggabungan gugatan ganti rugi ini adalah menyederhanakan proses perkara perdata yang timbul dari tindak pidana. Namun kerugian yang ditimbulkan hanya terbatas pada kerugian materiil saja, yaitu penggantian biaya yang telah dikeluarkan sikorban, tidak mencakup pada penggantian kerugian immaterial. Bila korban ingin mengajukan ganti rugi atas kerugian immateriil yang dialaminya, maka korban harus mengajukan gugatan perdata biasa yang kita ketahui bahwa mempunyai prosedur yang panjang. Tidaklah mudah bagi korban perkosaan yang menderita dan mengalami trauma berfikir untuk mengajukan Hal ini sama sekali tidak memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana perkosaan, kita tahu bahwa korban tindak pidana perkosaan sangat dirugikan baik secara materiil terutama secara immaterial, ini berarti bahwa korban tidak bisa memperoleh ganti rugi atas kerugian immaterial yang dialaminya. 69 Hari sasangka Lily Rosita, 2000, KUHAP Dengan komentar, Bandung, Penerbit Mandar Maju. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA gugatan akibat tindak perkosaan yang dialaminya. Sehingga pada praktiknya KUHAP belum dapat memenuhi kepentingan korban tindak pidana secara utuh. 70 Menurut Soeparmono sistem dan lembaga penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tersebut dalam pasal-pasalnya dalam KUHAP belum lah memuaskan. Adapun alasan-alasannya adalah seperti dibawah ini dan merupakan kelemahan dari KUHAP: 71 a. Sistem penggabungan tersebut dirasakan belum mendekati hakekat tujuan ganti kerugian itu sendiri b. Tuntutan ganti kerugian oleh orang lain yang menderita langsung kerugian atau pihak korban untuk memperoleh jumlah besarnya ganti kerugian “dibatasi” hanya pada kerugian meteriil yang nyata-nyata dikeluarkan olh orang yang dirugikan langsung tersebut. Jadi KUHAP dalam ketentuan-ketentuannya membatasi hak. c. Untuk kerugian non-materiil, yaitu kerugian immateriil terpaksa harus mengajukan lagi dengan gugatan perkara biasa tersendiri, yang mungkin dapat memakan waktu lama. d. Menurut M.Yahya Harahap, SH, “Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, jilid II, Bab penggabungan perkara gugatan ganti kerugian” dikatakan: kondisi seperti ini berarti sedikit banyak mengaburkan kembali maksud semula dari penggabungan itu sendiri, yang bertujuan untuk menyederhanakan proses dan biaya ringan. 70 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm.264 71 R. Soeparmono, Op.Cit, hlm.103 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA e. Adanya kendala dalam pelaksanaan masalah pembayaran ganti kerugian tersebut. f. Apabila pihak korban tetap menuntut ganti kerugian yang bersifat immateriil juga, hasilnya akan nihil, karena putusan selalu menyatakan: gugatan ganti kerugian immateriil tersebut dinayatakan tidak dapat diterima, kerena tidak berdasarkan hukum. g. Karena gugatan ganti kerugian pada perkara pidana hanya bersifat assessor. Kepentingan korban dalam penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana juga mempunyai aspek negatif. Dikatakan demikian karena melalui optic KUHAP perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mendapat perhatian secara proporsional atau perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan tidak langsung. Aspek ini implisit melalui ketentuan Pasal 100 ayat 2 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Apabila dalam suatu perkara pidana yang tidak diajukan permintaan banding, maka ganti rugi tidak diperkenankan” Apabila dijabarkan, ketentuan Pasal 100 ayat 2 KUHAP telah membatasi korban dalam hal sebagai berikut. 72 1. Ditinjau dari anasir prosesnya, tidak ada aturan atau pedoman yang harus dilakukan korban apabila merasa tidak puas atas putusan hakim tentang besarnya ganti kerugian yang dijatuhkan. Konkretnya, korban 72 Lilik mulyadi, Op.Cit, hlm. 266 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA tidak mempunyai proses langsung untuk melakukan upaya hukum banding. Karena itu berdasarkan Pasal 100 ayat 2 KUHAP maka permintaan banding putusan ganti kerugian baru dapat diajukan apabila perkara pidananya dilakukan upaya hukum banding. Konkretnya, jika korban berkeinginan untuk mengajukan banding, jalurnya hanya melalui penuntut umum yang belum tentu menyetujui kehendak korban dimaksud karena jalur tesebut bukan merupakan ketentuan undang-undang, melainkan berdasarkan pendekatan persuasive antara korban dengan penuntut umum sehingga dapat dikatakan bahwa perlindungan korban yang diberikan melalui ketentuan dimaksud belum sepenuhnya dapat menjamin kepentingan korban dalam upaya untuk mencari keadilan. 2. Perlindungan korban dengan melalui upaya hukum banding bergantung kepada penuntut umum. Tegasnya, besar kemungkinan terjadi perbedaan pandangan kepentingan antara korban dengan penuntut umum. Jika korban berkeinginan mengajukan banding, tetapi penuntut umum menerima putusan sehingga keinginan korban untuk melakukan upaya hukum banding terhadap putusan ganti kerugian telah tertutup. Aspek ini merupakan konsekuensi logis dari sistem Peradilan Pidana Indonesia yang menempatkan eksistensi lembaga kejaksaan sebagai wakil kepentingan korban kejahatan. Di satu sisi, sebagai lembaga yang mewakili korban, idealnya kejaksaan lebih mementingkan korban. Akan tetapi, penuntut UNIVERSITAS SUMATERA UTARA umum masih mengacu kepada pelaku tindak pidana. Untuk itu, pada masa mendatang ius constituendum sebagai reorieantasi, reevaluasi KUHAP guna menghilangkan aspek negative ini perlu diatur eksistensi lembaga kejaksaan yang mewakili korban atau masyarakat secara tegas. 73 Adanya pembatasan sebagaimana ketentuan Pasal 100 ayat 2 KUHAP perlindungan kepada korban melalui ketentuan Pasal 99 ayat 1 KUHAP ternyata relatif kurang sempurna dan memadai. Berdasarkan ketentuan itu apabila terjadi penggabungan gugatan ganti kerugian, untuk memeriksanya harus bermuara pada hukum acara perdata terlebih lagi khususnya kewenangan bersifat absolut yang harus diajukan kepada pengadilan negeri dimana terggat bertempat tinggal. Jikalau terdakwa yang diadili perkaranya disidangkan diwilayah tempat tinggal atau tempat kediamannya, tentu pengadilan negeri tersebut tidak memeriksa dan mengadilinya karena salah satu asas dalam hukum pidana menyatakan bahwa terdakwa akan diadili ditempat perbuatan tersebut dilakukan. Oleh karena itu, jikalau hukum acara benar-benar hendak memperhatikan kepentingan korban, diperlukan adanya penyempurnaan dalam KUHAP itu sendiri dengan memberikan peran lebih besar kepada korban dalam mengajukan upaya hukum banding jikalau korban tidak merasa puas atas putusan hakim, baik menyangkut pemidanaan ataupunn menyangkut ganti kerugian. demikian pula halnya mengenai kewenangn mengadili sepanjang hal yang menyangkut kerugian materiil tidaklah diperlukan 73 Ibid., hlm. 267 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pemisahan antara kompetensi peradilan pidana dengan perkara perdata terkait dengan gugatan ganti kerugian. 74 a. Keterangan saksi, Mengenai pembuktian, Pasal 184 1 KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Adapun alat bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 183 ayat 1 yaitu: b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk, dan e. Keterangan terdakwa Umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan, tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. dalam pembuktian ini keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Supaya keterangan saksi dianggap cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Bertolak dari ketentuan Pasal 185 ayat 2, keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau “unus testis nullus testis”. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya 74 Ibid. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti lain “kesaksian tunggal” yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan padanya. Walaupun seandainya keterangan saksi tunggal itu sedemikian rupa jelasnya, tetapi terdakwa tetap tidak mengakui serta kesaksian tunggal itu tidak dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksian itu harus dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atas alasan “unus testis nullus testis”. 75 Jadi, Dalam KUHAP, pengaturan mengenai korban tindak pidana perkosaan bisa dikatakan masih termarjinalkan. KUHAP lebih banyak mengatur mengenai perlindungan terhadap tersangka, sedangkan perlindungan terhadap korban tidak diakomodir secara nyata, khususnya dalam hal perlindungan terhadap korban perkosaan baik dalam peradilannya maupun haknya. Hak yang diberikan kepada korban sangat terbatas, yaitu pada Pasal 98-101 KUHAP. Dalam pasal ini diatur mengenai satu-satunya mekanisme ganti kerugian yang bisa dijalankan oleh korban yaitu melalui mekanisme Pasal 98 KUHAP yang disebut penggabungan Ketentuan ini dapat dikatakan tidak memberi perlindungan bagi korban tindak pidana perkosaan. Dalam kasus tindak pidana perkosaan sangat jarang ada orang yang melihat kejadian tersebut, sehingga yang ada hanyalah saksi korban saja. Namun berdasarkan KUHAP satu saksi ini tidaklah dapat dijadikan dasar untuk memutuskan bahwa terdakwa bersalah. Hal ini tentunya sangat tidak melindungi korban. 75 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm.288 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA perkara gugatan ganti kerugian, dimana ganti kerugian ini hanya mencakup kerugian materiil, sedangkan kita tahu bahwa korban tindak pidana perkosaan adalah korban yang sangat menderita secara immateriil. Dalam proses pembuktian korban juga masih kurang dilindungi karena dalam sistem pembuktian dalam KUHAP sebagaimana dijelaskan sebelumnya, seorang saksi korban saja tidak bisa menjadi dasar untuk menyatakan terdakwa bersalah, padahal tindak pidana perkosaan jarang sekali ada saksi lain yang menyaksikannya. Korban tindak pidana perkosaan kurang memperoleh perlindungan dan kerapkali menjadi korban kembali.

C. Kajian Dalam UU No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan