sudah merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda dan dielakkan lagi eksistensinya.
Menurut Muladi ada tiga metode pendekatan dalam kebijakan criminal dan penalisasi, yaitu:
22
a. Metode evolusioner Evolutionary approach
Metode ini memberikan perbaikan, penyempurnaan dan amandemen terhadap peraturan-peraturan yang sudah lama ada dalam KUHP;
b. Metode Global Global Approach
Metode ini dilakukan dengan membuat peraturan tersendiri diluar KUHP, misalnya Undang-Undang Lingkungan Hidup, Tindak Pidana
Korupsi, dan lain-lain. c.
Metode Kompromis compromise Approach Metode ini dilakukan dengan cara menambah bab tersendiri dalam
KUHP mengenai tindak pidana tertentu, misalnya tambahan Bab XXIX a dalam KUHP tentang Kejahatan Penerbangan dan
SaranaPrasarana Penerbangan.
3. Aspek Perlindungan Terhadap Korban
Mengenai pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan
saksi dan korban menyatakan korban adalah seseorang yang mengalami
22
Teguh Prasetyo, 2011, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana,Bandung, Penerbit Nusa Media, hlm.123
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
penderitaan fisik, mental, danatau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu
tindak pidana.
Arif Gosita memberikan definisi tentang korban yaitu mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain bertentangan
dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan
hak asasi yang menderita.
23
Korban juga didefinsikan oleh Van Boven yang merujuk kepada Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan
Penyalahgunaan Kekuasaan yaitu Orang yang secara individual Maupun kelompok telah menderita kerugian, termasuk cedera fisik maupun mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perampasan yang nyata terhadap hak-hak dasarnya, baik karena tindakan by act maupun karena kelalaian by
Omission.
24
Berdasarkan pengertian di atas tampak bahwa istilah korban tidak hanya mengacu kepada perseorangan saja melainkan mencakup juga kelompok dan
masyarakat. Pengertian di atas juga merangkum hampir semua jenis penderitaan yang diderita oleh korban. Cedera fisik maupun mental juga mencakup pula
derita-derita yang dialami secara emosional oleh para korban, seperti mengalami
23
Arif Gosita, 2009, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, hlm. 90
24
Theo Van Boven,Op.Cit., hlm. xii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
trauma. Mengenai penyebabnya ditunjukkan bukan hanya terbatas pada perbuatan yang sengaja dilakukan tetapi juga meliputi kelalaian.
25
Dari perspektif ilmu Victimologi korban tersebut yang hanya berorientasi kepada dimensi akibat perbuatan manusia, dapat diklasifikasikan secara global
menjadi:
26
a. Korban kejahatan victim of crime sebagaimana termaktub dalam
ketentuan hukum pidana sehingga pelaku offender diancam dengan penerapan sanksi pidana. Pada konteks ini maka korban diartikan sebagai
penal victimology dimana ruang lingkup kejahatan meliputi kejahatan tradisional, kejahatan kerah putih white collar crime, serta victimless
crimes yaitu viktimisasi dalam korelasinya dengan penegak hukum, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan;
b. Korban akibat penyalahgunaan kekuasaan victims of abuse of power.
Pada konteks ini lazim disebutkan dengan terminology political victimology dengan ruang lingkup abuses of power, Hak Asasi Manusia
HAM dan terorisme; c.
Korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif atau yang bersifat non-penal sehingga ancaman sanksinya adalah sanksi yang
bersifat administrative bagi pelakunya. Pada konteks ini lazimnya ruang lingkupnya bersifat economic victimology; dan
25
Ibid., hlm. xiv
26
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis, dan Praktik, Bandung, Penerbit P.T. Alumni, hlm. 246
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
d. Korban akibat pelanggaran kaedah sosial dalam tata pergaulan
bermasyarakat yang tidak diatur dalam ketentuan hukum sehingga
sanksinya bersifat sanksi sosial atau sanksi moral.
Dikaji dari perspektif normatif, korban kejahatan memerlukan perlindungan dalam ranah ketentuan hukum. Barda Nawawi Arief menyebutkan
bahwa pengertian perlindungan korban tindak pidana dapat dilihat dari dua makna, yaitu:
27
1. dapat dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban
tindak pidana berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum
seseorang;
2. dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan
santunan atas penderitaankerugian orang yang telah menjadi korban
tindak pidana jadi identik dengan penyantunan korban. Bentuk santunan ini dapat berupa pemulihan nama baik rehabilitasi,
pemulihan keseimbangan batin antara lain: pemaafan, pemberian ganti rugi restitusi, kompensasi, jaminansantunan kesejahteraan
sosial, dan sebagainya.
Ada beberapa argumentasi dan justifikasi mengapa korban kejahatan
memerlukan beberapa perlindungan. Mardjono Reksodiputro menyebutkan dari
pendekatan kriminologi ada beberapa alasan mengapa korban kejahatan perlu mendapat perhatian, yaitu:
28
27
I bid., hlm. 250
28
Ibid.,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberi perhatian
kepada permasalahan dan peranan pelaku kejahatan offender- centered;
2. Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas
dan melengkapi penafsiran kita atas statistik kriminal terutama statistik yang berasal dari kepolisian; ini dilakukan melalui survai
tentang korban kejahatan victim surveys; 3.
Makin disadari bahwa disamping korban kejahatan konvensional kajahatan-jalanan; street crime tidak kurang pentingnya untuk
memberi perhatian kepada korban kejahatan non-konvensional a.l kejahatan korporasi dan kejahatan kerah putih maupun korban-
korban dari penyalahgunaan kekuasaan abuse of economic power andor public power
Muladi meyebutkan ada beberapa argumentasi mengapa korban kejahatan perlu dilindungi, yaitu
29
29
Ibid.,
Pertama, proses pemidanaan dalam hal ini
mengandung pengertian, baik dalam arti umum maupun arti konkret. Dalam arti umum, proses pemidanaan merupakan wewenang pembuat undang-undang, sesuai
dengan asas legalitas, yang menegaskan bahwa, baik Poena maupun Crimen harus
ditetapkan terlebih dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri seorang pelaku tindak pidana. Dalam arti konkret, proses pemidanaan berkaitan dengan
penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan sebagainya. Disini, terkandung didalamnya tuntutan moral,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan keterkaitan sosiologis dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat pada lain pihak.
Kedua, argumentasi lain yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban
kejahatan adalah argument kontrak sosial dan argumen solidaritas sosial. Yang pertama, menyatakan bahwa negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi
sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, bila terjadi kejahatan dan membawa korban, negara harus
bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Yang disebut terakhir menyatakan bahwa negara harus menjaga warganegaranya dalam
memenuhi kebutuhannya atau apabila warganegaranya mengalami kesulitan, melalui kerja sama dalam bermasyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana-
sarana yang disediakan oleh negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui
peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak. Ketiga, perlindungan
korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang
dewasa ini banyak dikedepankan yakni penyelesaian konflik.
Menurut Arif Gosita, beberapa hal yang menjadi dasar perlunya memperhatikan si korban dalam tindak pidana, adalah antara lain sebagai
berikut:
30
1 Belum adanya pengaturan yang sempurna mengenai sikorban secara
yuridis, yang menunjukkan adanya pengayoman serta keadilan dan ketertiban;
30
Arif Gosita, Op.Cit, hlm. 113-115
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2 Adanya falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
mewajibkan setiap warga negara melayani sesame manusia demi keadilan dan kesejahteraan yang bersangkutan;
3 Adanya keperluan melengkapi perbaikan pada umumnya hukum
pidana dan pengasuhanpemasyarakatan sebagai tindak lanjut mereka yang tersangkut dalam suatu tindak pidana termasuk pihak korban;
4 Adanya peningkatan kejahatan Internasional yang mungkin juga
menimbulkan korban warga negara Indonesia tanpa adanya kemungkinan mendapatkan kompensasi, sedangkan yang menderita
itu sangat memerlukan kompensasi itu untuk kelanjutan hidupnya. Dalam hal ini bila tidak ada lagi yang mau memberi kompensasi
tersebut siapa lagi yang akan memberikannya. Sebaiknya pemerintah yang akan memberi bantuan pada warga negaranya yang menderita
demi tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya; 5
Adanya kekurangan dalam usaha pencegahan terjadinya korban- korban baik karena kurangnya penyuluhan, maupun bertambahnya
pembiaran terjadinya penyimpangan dan tindakan pidana dengan sengaja oleh masyarakat.
6 Adanya pencerminan pencurahan perhatian yang lebih besar kepada
si pembuat korban daripada korban dalam undang-undang hukum pidana dan acara pidana mengenai tanggung jawab terjadinya tindak
pidana.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7 Masih berlakunya pandangan, bahwa kalau si korban ingin
mendapatkan ganti rugi ia harus menempuh jalan yang tidak mudah.
F. Metode Penelitian