Soesilo mengatakan bahwa yang diancam hukuman dalam Pasal 285

Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh pelaku adalah dua belas tahun penjara, apabila mengakibatkan matinya perempuan diancam pidana penjara lima belas tahun. Hal ini adalah ancaman hukuman maksimal, dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus ditetapkan begitu. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan vonis. 46

R. Soesilo mengatakan bahwa yang diancam hukuman dalam Pasal 285

KUHP tentang perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya. Dari Pasal 285 ini juga dapat ditarik kesimpulan bahwa a korban perkosaan harus seorang wanita tanpa batas umur; b korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Hal ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat dan tindakan pelaku. 47 Berdasarkan di atas jelaslah bahwa perkosaan itu dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga si korban pingsan atau tiada berdaya lagi untuk mengadakan perlawanan terhadap si pelaku sebelum maupun sesudah dia diperkosa. Apabila perbuatan itu dilakukan tanpa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka perbuatan itu tidak dapat digolongkan kedalam 46 Ibid. 47 Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy Dalam penanggulangan Kejahatan kekerasan, Medan, Penerbit Pustaka Bangsa Press, hlm.43 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pengertian perkosaan tetapi kemungkinannya termasuk dalam pengertian persetubuhan suka sama suka. Rumusan pasal tentang larangan perkosaan tersebut dalam kenyataannya tidak relevan dengan makna perbuatan perkosaan itu sendiri. Dalam rumusan tersebut hanya perbuatan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa seorang wanita bersetubuh diluar perkawinan lah yang dikategorikan sebagai perkosaan. Perbuatan dengan kekerasan antau ancaman kekerasan untuk memaksa seorang wanita yang terikat perkawinan untuk melakukan persetubuhan, tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan, padahal pemaksaan atau kekerasan untuk melakukan persetubuhan seharusnya dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang, karena menafikan adanya penghargaan atas kemanusiaan seseorang yang paling esensial berupa adanya persetujuan untuk melakukan perbuatan yang teramat intim, baik itu diluar atau didalam perkawinan. Dengan merumuskan hal itu, Pasal 285 KUHP telah menyatakan bahwa perempuan yang telah terikat perkawinan tidak lagi memiliki hakekat kemanusiaan untuk melakukan persetujuan persetubuhan, atau tidak perlu lagi dimintai persetujuannya. 48 48 Sulistyowati Irianto, Op.Cit ,hlm. 58 Pasal 285 KUHP ini juga kurang mampu mengakomodir perlindungan para korban, karena perkosaan bisa saja terjadi tanpa adanya kekerasan atau ancaman kekerasan. Bagaimana kalau misalkan perkosaan itu tidak dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, namun dengan modus penipuan, seperti contoh kasus dibawah ini, apakah pelaku akan lepas dari jerat berdasarkan rumusan Pasal 285 KUHP tersebut? UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Contoh kasus: 49 Perkosaan dilakukan dengan modus penyembuhan. Korban dibuat bingung dengan pemikiran tentang kondisi dirinya yang sakit secara fisik dan psikis. Perkataan pelaku yang dapat menyembuhkan korban membuat ia mau melakukan permintaan pelaku. Korban tidak mau menceritakan kejadian yang dialaminya kepada pihak keluarga dengan alasan tidak mau menambah beban keluarganya. Korban merasa pusing dan mual, bahkan muntah selama beberapa hari setelah kejadian tersebut. Akibatnya, Korban merasa kesakitan dan sadar bahwa apa yang terjadi pada dirinya bukanlah sebuah proses penyembuhan. Ia merasa jijik pada saat pelaku meraba alat kelaminnya. Setelah itu ia merasa menyesal, jijik, benci kepada pelaku, dan marah. Akan tetapi ia tidak berani mengungkapkan hal tersebut sehingga semua perasaan tersebut hanya dipendam sendiri dan untuk jangka panjang ia memiliki perasaan ketakutan jika teman kost tahu apa yang terjadi padanya. Korban mengalami pendarahan selama tiga hari. Korban merasa benci dan jijik apabila mengingat peristiwa tersebut serta melihat bekas-bekas gigitan di badannya. Setelah kejadian tersebut korban mengalami perasaan ingin muntah, mual dan tidak dapat diisi makanan pada pagi hari. Menurut teman-temannya jika tidur korban sering menceracau atau mengigau. Hal ini berlangsung kurang lebih selama satu bulan. Pada awalnya korban tidak ingin teman-teman kostnya tahu kecuali teman sekamarnya. Korban juga tidak memberitahu pihak keluarganya dengan alasan ia tidak ingin menambah masalah 49 Sumber : Jurnal Psikologi, Faturochman, 2001, Perkosaan, Dampak, Dan Alternatif Penyembuhannya,Yogyakarta,2001,http:fatur.staff.ugm.ac.idfileJURNAL2020Perkosaan, 20Dampak2020Altenatif20Penyembuhannya.pdf, diakses pada 05032013, 10.36 Wib UNIVERSITAS SUMATERA UTARA dan beban bagi keluarganya, terutama bagi ibu korban. Pada kasus ini, korban yang mengetahui kesulitan ekonomi yang dimiliki oleh keluarganya di luar Jawa lebih memilih tidak memberitahukan masalah yang dialaminya. Ia merasa lebih baik merahasiakan peristiwa yang dialaminya daripada menambah beban keluarga. Rumusan Pasal 285 KUHP tentunya tidak bisa menjerat pelaku tindak pidana perkosaan dalam kasus di atas, karena rumusan dalam Pasal 285 KUHP hanya merumuskan bahwa perkosaan itu dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan dalam contoh di atas perkosaan dilakukan dengan modus penipuan, perempuan tersebut diperdaya dan diperkosa. Dalam konteks masyarakat saat ini, rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP ini tentunya sangat ketinggalan zaman, karena kejahatan perkosaan saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa baik modus operandi dan modelnya. Misalnya; bagaimana jika seandainya “perkosaan” itu terjadi tidak dalam bentuk persetubuhan contohnya dengan memasukkan penis ke mulut dan anus atau memasukkan benda-benda lain ke vagina. Bagaimana jika perkosaan tersebut terjadi terhadap istri marital rape? tentunya pertanyaan ini juga tidak dapat dijawab oleh pengaturan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP. Jika para penegak hukum polisi, jaksa, hakim tetap mengacu pada Pasal 285 KUHP dalam menangani kasus-kasus perkosaan, maka kemungkinan akan banyak kasus UNIVERSITAS SUMATERA UTARA perkosaan dan pemerkosa yang lepas dari jeratan hukum karena perbuatannya tersebut tidak termasuk dalam unsur-unsur Pasal 285 KUHP. 50 Kita ketahui bahwa dalam penerapannya, melalui putusan-putusan pengadilan rumusan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan ini hanya dapat diterapkan pada perbuatan memasukkan alat kelamin laki-laki kedalam alat kelamin perempuan, sehingga perbuatan memasukkan benda lain kedalam alat kelamin perempuan tidak dikategorikan sebagai atau diberikan sanksi seberat perbuatan perkosaan. 51 Berdasarkan Pasal 285 KUHP tidak termasuk perkosaan dalam rumah tangga atau suami memperkosa isterinya yang disebut marital rape. Ketentuan ini tidak melarang perkosaan terhadap isteri oleh suaminya. Kelemahan hukum pidana ditentukan pula karena usia KUHP yang sudah tua sebagai induk hukum pidana, permasalahannya, menyangkut nilai yang ada dibalik norma-norma hukum KUHP, yang sudah barang tentu dilatarbelakangi budaya barat yang lebih kental nilai-nilai individualistisnya. Sementara itu, nilai-nilai masyarakat Rumusan Pasal 285 KUHP ini hanya mendefinisikan bahwa perkosaan dilakukan hanya di luar perkawinan. Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori percabulan. Rumusan ini dinilai diskriminatif, dan ikut berperan serta dalam membakukan nilai yang berlaku di masyarakat berkenaan dengan harkat dan martabat wanita 50 Sumber: http:duniaula.blogspot.com200903analisis-pasal-285-kuhp-tentang.html, diakses pada 25032013, 11.32 Wib 51 Sulistyowati Irianto, Logcit, UNIVERSITAS SUMATERA UTARA kita lebih bersifat komunal, dan perkembangannya menuju nilai-nilai universal, khususnya nilai keadilan yang semestinya diwujudkan melalui hukum, termasuk keadilan jender. 52 Logika konkret ketentuan di atas menyiratkan bahwa ada perlindungan abstrak atau tidak langsung yang diberikan undang-undang sebagai kebijakan formulatif kepada korban kejahatan. Perlindungan tersebut meliputi penjatuhan hukuman oleh hakim dengan penetapan syarat umum dan syarat khusus berupa ditentukan terpidana mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Akan tetapi, ternyata aspek ini sifatnya abstrak atau perlindungan tidak langsung karena sifat syarat khusus tersebut berupa penggantian kerugian adalah fakultatif, bergantung kepada penilaian hakim. Oleh Karena itu, dengan asas keseimbangan Ketentuan KUHP memang ada memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan secara implisit. Aspek ini terlihat melalui ketentuan Pasal 14c ayat 1 KUHP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14 a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana, hakim boleh mangadakn syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagian saja, yang akan ditentukan pada perintah yang ditentukan pada itu juga, yang kurang pada masa percobaan itu. 52 Rio Armanda Agustian, Peneliti Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas BangkaBelitung,http:www.ubb.ac.idmenulengkap.php?judul=Pelaku20Pemerkosaan20Panta s20Dihukum20Beratnomorurut_artikel=452, diakses pada 25032013, 11.29 Wib UNIVERSITAS SUMATERA UTARA individu dan masyarakat Asas monodualistik seharusnya perlindungan terhadap korban kejahatan dalam KUHP sifatnya imperative. 53 Hakikatnya, dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat menurut Pasal 14c KUHP hakim dapat menetapkan syarat khusus berupa mengganti kerugian akibat tindak pidana sehingga seolah-olah ganti rugi tersebut berfungsi sebagai pengganti pidana pokok. Barda Nawawi Arief menyebutkan penetapan ganti rugi ini jarang diterapkan dalam praktik karena mengandung beberapa kelemahan, antara lain: 54 a. Penetapan ganti rugi ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang berdiri sendiri disamping pidana pokok, ia hanya dapat menjatuhkan pidana bersyarat, jadi hanya sebagai syarat khusus untuk tidak menjalani pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana; b. Penetapan syarat khusus berupa ganti rugi ini pun hanya diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan. c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif. KUHP menunjukkan pengaturan mengenai korban yang tidak memadai, seperti ketentuan dalam Pasal 14c KUHP, Padahal, kerugian yang diderita korban sangat berat. Perempuan korban perkosaan menanggung beban mental yang lebih berat dibandingkan hukuman bagi pemerkosanya. Korban ada kemungkinan akan mengalami cacat seumur hidup dan menerima tekanan dari masyarakatnya. 53 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm.262 54 Ibid., UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Dampak lain menyangkut gangguan emosi sebagai beban psikologis dan berpengaruh secara psikis misalnya schizoprenia dan fisik physiological disorder, ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidakbahagiaan, merasa terbuang, cacat tubuh, serta kematian. Di samping itu, cemoohan dari masyarakat, perasaan tertekan merasa dirinya telah kotor dan berdosa. Ditambah lagi tekanan-tekanan yang timbul dari proses peradilan baik sebelum sidang, selama sidang, maupun setelah sidang semakin menderitakan korban. Begitu juga vonis yang ringan terhadap kasus perkosaan tidak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya. Menurut asumsi Lilik Mulyadi ketentuan pasal 14a, b, dan c KUHP, bentuk syarat khusus berupa ganti kerugian bukan salah satu jenis pidana sebagaimana ketentuan Pasal 10 KUHP dan aspek ini tetap mengacu pada pelaku tindak pidana offender Oriented dan bukan pada korban tindak pidana victim yang lazimnya mengalami viktimisasi sekunder secondary victimization, karena itu dengan titik tolak agar korban kejahatan tidak terasing lagi, bukan sebagai Cinderella dari hukum pidana maka penempatan pembayaran ganti rugi dan pemenuhan kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai ketentuan Pasal 67 ayat 1 huruf d,e Konsep RUU KUHP diharapkan korban tidak terasing lagi. 55 1 Pidana tambahan terdiri atas: Ketentuan Pasal 67 Konsep RUU KUHP Tahun 2006 berbunyi sebagai berikut: 55 Ibid., hlm.263 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA a. Pencabutan hak tertentu; b. Perampasan barang tertentu danatau tagihan; c. Pengumuman putusan hakim d. Pembayaran ganti kerugian; dan e. Pemenuhan kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat 2 Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. 3 Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masayrakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. 4 Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Rumusan sanksi pidana dalam konsep RUU KUHP ini lebih baik bila dibandingkan daripada rumusan dalam KUHP saat ini, karena ada diatur mengenai ganti kerugian, pemenuhan kewajiban setempat. Mengenai rumusan tindak pidana perkosaan RUU KUHP 19992000 Direvisi 20042005 merumuskannya pada pasal 489 bunyinya sebagai berikut: 1 dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling sedikit 3 tiga tahun dan paling lama 12 dua belas tahun: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA a. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan diluar perkawinan , bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut; b. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan diluar perkawinan tanpa persetujuan perempuan tersebut; c. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai ; d. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah; e. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia dibawah 14 empat belas tahun, dengan persetujuannya, atau f. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 2 Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam sebagaimana dimaksud dalam ayat 1; a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya kedalam anus atau mulut perempuan; atau b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya kedalam vagina atau anus perempuan. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Bila kita lihat, rumusan sanksi pidana dalam konsep RUU KUHP ini memang jauh lebih tegas bila dibandingkan dengan rumusan dalam KUHP saat ini, karena ada diatur mengenai minimal pidana yang diterima si pelaku. Mengenai rumusan tindak pidana perkosaan juga sudah lebih diperluas, tidak hanya terbatas pada persetubuhan saja, namun dalam RUU KUHP ini juga belum dapat mengakomodir perlindungan korban, karena rumusannya tidak ada mengatur mengenai tindak pidana perkosaan dengan modus penipuan yang telah dibahas sebelumnya. KUHP tidak ada mengatur secara tegas mengenai perlindungan korban untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian yang dialaminya. Ganti rugi dalam KUHP hanya merupakan syarat untuk seseorang untuk tidak menjalani pidana sebagai pidana bersyarat. Jadi apabila hakim menjatuhkan pemidanaan, bukan sebagai pidana bersyarat, maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana ganti rugi. 56 56 Rena Yulia, Op.Cit., hlm.174 Hal ini tentu saja sangat tidak adil bagi korban tindak pidana perkosaan yang sangat menderita baik secara materiil maupun immaterial. Perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Ganti rugi dalam Pasal 14c KUHP pada dasarnya tidak bersifat pidana, ia hanya sekedar syaratpengganti untuk menghindari atau tidak menjalani pidana. Jadi tetap dilandasi latar belakang pemikirankonsep pemidanaan yang berorientasi pada orangpelaku tindak pidana offender tidak dilandasi pemidanaan yang berorintasi pada korban ‘victim”. Dengan demikian ganti rugi dalam pidana bersyarat menurut Pasal 14c KUHP tidak dapat disamakan dengan UNIVERSITAS SUMATERA UTARA “denda kompensasi” yang dibebankan kepada terpidana disamping pidana yang seharusnya dia terima. 57 Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban perkosaan sehingga posisi wanita tetap berada di posisi yang tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan. 58 KUHP tidak mengandung pandangan yang memperhatikan korban. Apa yang sekarang dikenal dengan viktimisasi belum tertampung dalam KUHP. 59 Sebagaimana kita ketahui bahwa, sejak tanggal 31 Desember 1981 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP. KUHAP dikenal sangat memperhatikan hak-hak seorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan oleh hakim, hingga pelaksanaan putusan. Dalam proses peradilan pidana baik tersangka offender maupun korban kejahatan victim of crime menghendaki keadilan. Bagi tersangka menghendaki perkaranya diperiksa secara adil dengan mengindahkan hak-haknya serta aturan main yang telah ditentukan, namun bagi korban juga Penulis menyimpulkan bahwa pengaturan Tindak Perkosaan dalam KUHP belum memberikan perlindungan terhadap korban khususnya korban perkosaan yang kita ketahui sangat menderita.

B. Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP