perkara gugatan ganti kerugian, dimana ganti kerugian ini hanya mencakup kerugian materiil, sedangkan kita tahu bahwa korban tindak pidana perkosaan
adalah korban yang sangat menderita secara immateriil. Dalam proses pembuktian korban juga masih kurang dilindungi karena dalam sistem
pembuktian dalam KUHAP sebagaimana dijelaskan sebelumnya, seorang saksi korban saja tidak bisa menjadi dasar untuk menyatakan terdakwa bersalah,
padahal tindak pidana perkosaan jarang sekali ada saksi lain yang menyaksikannya. Korban tindak pidana perkosaan kurang memperoleh
perlindungan dan kerapkali menjadi korban kembali.
C. Kajian Dalam UU No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban
Babak baru perlindungan terhadap hak-hak korban perkosaan di Indonesia dalam keadaan tertentu dimulai dengan diundangkannya UU No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
kompensasi dan Restitusi dan Bantuan Pada Saksi dan Korban.
76
Disebutkan dalam Pasal 1 butir 6 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 yang dimaksud perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian
bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi danatau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai ketentuan undang-undang.
76
Sumber: http:elibrary.ub.ac.idhandle12345678932844, diakses pada 25032013, 11.33 Wib
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Perlindungan korban tindak pidana dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminansantunan hukum atas penderitaankerugian orang yang telah
menjadi korban tindak pidana sehingga dalam kedudukannya seorang korban, selain mendapat perhatian dari pemerintah dan kepedulian dari masyarakat,
korban perkosaan juga berhak untuk mendapat kompensasi maupun restitusi.
Saksi korban ketika akan memberikan keterangan tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada
saat, dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan
hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu.
77
a. Hak Kompensasi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
ganti kerugian yang diberikan Negara karena pelaku tak mampu. Dimungkinkan sebagai upaya pemberian pelayanan pada para
korban kejahatan dalam rangka mengembangkan kesejahteraan dan keadilan.
Dalam Pasal 7 dinyatakan bahwa: 1 Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
b. Hak atas Restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana.
2 Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh
pengadilan.
3 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan
restitusi diatur dengan peraturan pemerintah.
77
Rena Yulia, Op.Cit, hlm. 111
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Berlakunya UU ini cukup memberikan angin segar bagi upaya
perlindungan korban kejahatan.
78
a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
Ketentuan Pasal 5 Undang-Undang ini menentukan adanya korban mempunyai hak berupa:
b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan ; c.
memberikan tekanan tanpa tekanan; d.
mendapat penerjemah; e.
bebas dari pertanyaan yang menjerat; f.
mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g.
mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h.
mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i.
mendapatkan identitas baru; j.
mendapatkan tempat kediaman baru; k.
memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l.
mendapat nasihat hukum; danatau m.
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Dalam hal terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia HAM yang berat selain hal di atas juga berhak untuk mendapatkan:
78
Ibid., hlm. 110
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
a. bantuan medis
b. batuan rehabilitasi psikio-sosial.
Sayangnya dalam UU No. 13 Tahun 2006 dan PP No. 44 Tahun 2008, kompensasi hanya diberikan pada korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat 1 a UU No. 13 Tahun 2006 jo Pasal 2 ayat 1 PP No. 44 Tahun 2008. Korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat juga berhak memperoleh bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko sosial berdasarkan putusan LPSK sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU No. 13 Tahun
2006 jo Pasal 34 PP No. 44 Tahun 2008. Sedangkan bagi korban perkosaan dalam keadaan biasa diberikan hak untuk mengajukan tuntutan ganti rugi bersamaan
dengan perkara pidananya, yaitu sebelum tuntutan Jaksa Penuntut Umum dibacakan berdasarkan ketentuan Pasal 98 KUHAP. Pemberian kompensasi dari
Negara hanya terhadap korban perkosaan pelanggaran HAM berat dalam keadaan tertentu, dan bukan pada semua korban perkosaan dalam keadaan biasa adalah
bertentangan dengan norma-norma pengaturan pemberian kompensasi dan restitusi yang diakui secara internasional dan di beberapa Negara. Bahwa pada
dasarnya adalah merupakan tanggung jawab Negara untuk memberikan kompensasi kepada semua korban perkosaan dan bukan hanya pada korban
perkosaan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat saja. Misalnya Inggris memiliki Criminal Injuries Compensation Act 1995, 6 Belanda
memiliki Code of Criminal Procedure, Kanada mempunyai Criminal Code and Criminal Injuries Conpensation, Australia memiliki The Victim Support and
Rehabilitation 1996 and Victim Compensation Fund, Jepang memiliki Basic Act
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
in Crime Victims, Malaysia memiliki Domestic Violence Act 1994. Bahwa Negara harus ikut bertanggung jawab memberikan kompensasi kepada korban perkosaan,
baik korban perkosaan dalam keadaan tertentu maupun dalam keadaan biasa, haruslah diatur dalam suatu aturan perundang-undangan yang merupakan hukum
acara pidana.
79
Banyak korban yang tidak mengetahui hak-haknya dalam prakteknya . Seperti juga dikemukakan dibawah ini:
80
Jakarta ANTARA News Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
LPSK Abdul Haris Semendawai menyatakan bahwa banyak korban pemerkosaan belum mengetahui hak-haknya dalam undang-undang buktinya
masih sedikit sekali korban kasus asusila itu yang mengajukan permohonan perlindungan. Menurut Ketua LPSK di Jakarta, Kamis, sepanjang tahun
2010-2011 hanya ada 10 korban pemerkosaan dan pencabulan yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK. LPSK memandang bahwa
minimnya jumlah permohonan perlindungan yang diajukan korban pemerkosaan ini membuktikan bahwa korban belum banyak mengetahui
tentang hak-hak nya sesuai ketentuan Undang-Undang. Peraturan perundang- undangan tersebut adalah UU No 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi
dan korban, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU
No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
79
Sumber: http:elibrary.ub.ac.idhandle12345678932844
80
Sumber:u-haknya?keepThis=trueTB_iframe=trueheight=650width=850, 25032013, 11.39 Wib
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
yang telah mengatur jaminan perlindungan terhadap para perempuan korban pemerkosaan. Sesuai dengan amanat UU No 13 tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban, menurut anggota LPSK Penanggungjawab Bidang Bantuan, Kompensasi dan Restitusi, Lili Pintauli Siregar, LPSK
memiliki kewajiban dalam memberikan perlindungan dan bantuan terhadap korban pemerkosaaan, mulai dari perlindungan hukum, fisik dan
perlindungan psikis. Selain pemberian perlindungan perlindungan hukum, fisik dan perlindungan psikis, korban juga berhak mengajukan upaya restitusi,
agar pelaku dibebankan untuk memberi ganti kerugian terhadap korban dan keluarga korban, ujar Lili.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur perlindungan terhadap korban, didalam pasal 7
menyebutkan bahwa korban dapat mengajukan hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi
tanggung jawab pelaku tindak pidana. Namun, pengajuan hak atas kompensasi, restitusi ataupun ganti kerugian di atas harus diajukan kepengadilan melalui
lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK. Pada praktiknya mekanisme seperti ini tentu tidaklah sederhana. Dengan demikian maka dapat dikatakan
bahwa korban yang telah menjadi objek kekerasan dan penindasan oleh para pelaku dari dulu hingga saat ini menjadi pihak yang dilalaikan. Bagaimana
mungkin seorang korban perkosaan yang masih traumatis memikirkan untuk meminta ganti kerugian dengan prosedur yang panjang, bahkan untuk mengingat
kejadian itupun dia sangat tertekan. Ini menunjukkan bahwa dalam Undang-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam pelaksanaannya belum dapat memberikan perlindungan yang riil bagi korban
tindak pidana perkosaan.
D. Kajian Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang