Kajian Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang

Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam pelaksanaannya belum dapat memberikan perlindungan yang riil bagi korban tindak pidana perkosaan.

D. Kajian Dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 Tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Tindak pidana perkosaan dalam rumah tangga tidak tertuang dalam KUHP. Pasal 285 KUHP tidak mencakup pada kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga karena bila seseorang telah terikat perkawinan dianggap tidak memerlukan persetujuan melakukan hubungan seksual. Sempitnya artian kekerasan dalam KUHP tidak bisa dilepaskan dari konteks historis lahirnya KUHP yang patriarki dimana yang dilindungi bukanlah perempuan dan tubuhnya melainkan “kepemilikan” atas perempuan bapak, suami. 81 Adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diharapkan dapat menjadikan solusi untuk Kekerasan dalam rumah tangga, atau singkatnya KDRT telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang bilamana terjadi tindak pidana kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Dibandingkan dengan KUHP, UU nomor 23 tahun 2004 memiliki ancaman hukuman yang lebih berat. Munculnya undang-undang ini dimaksudkan untuk melindungi insan dalam keluarga atas bentuk-bentuk kekerasan, khususnya pada perempuan. 81 Sumber: http:rianadhivira.wordpress.com20120803medea-dan-keberanian- melaporkan-kasus-kdrt, diakses pada 26032013, 14.30 Wib UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam upaya penegakan hukum. Sesuai dengan asas yang diatur dalam Pasal 3, yakni penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender, non- diskriminasi dan perlindungan korban. 82 Mengenai definisi kekerasan belum ada suatu kesepakatan, masih terdapat perbedaan pandangan diantara para ahli. Kekerasan sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu violentia, yang berarti kekerasan, keganasan, kehebatan, kesengitan, kebengisan, kedahsayatan, kegarangan, aniaya, perkosaan. 83 a. kekerasan fisik; Mengenai batasan definisi kekerasan dalam rumah tangga ini dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yaitu setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis, danatau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga Mengenai bentuk-bentuk kekerasan, Pasal 5 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga mengelompokkan bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga kedalam empat cara, yaitu sebagai berikut: b. kekerasan Psikis; c. kekerasan seksual; d. penelantaran rumah tangga 82 Rena Yulia, Op.Cit, hlm. 5 83 Ibid., hlm.6 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Kekerasan seksual dalam Pasal 8 meliputi; a. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; b. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial danatau tujuan tertentu. Berdasarkan rumusan pasal di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa tidak menutup kemungkinan terjadinya perkosaan dalam rumah tangga, yang juga merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 Huruf c UU PKDRT di atas, korban perkosaan ini adalah seorang wanita yang mengalami penderitaan. Kekerasan dalam rumah tangga tentu tidak dapat dilepaskan dari upaya restitutif, yaitu pemulihan korban kekerasan. Upaya tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang melibatkan instansi-instansi terkait dalam upaya untuk pemulihan korban baik berupa bantuan medis, psikis maupun advokasi. Pasal 2 PP No.4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyebutkan: UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 1 Penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. 2 Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: a. ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian; b. tenaga yang ahli dan profesional; c. pusat pelayanan dan rumah aman; dan d. sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban. 3 Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2. Para korban juga berhak untuk mendapatkan pemberdayaan sebagaimana tertuang dalam bagian menimbang huruf a Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberdayaan Perempuan Korban Kekerasan yang menyatakan bahwa perempuan korban kekerasan berhak memperoleh rehabilitasi sosial. Suatu terobosan baru dalam perundang-undangan kita bahwa dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini diatur mengenai hak-hak korban, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 10; Korban berhak mendapatkan: a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokad, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; UNIVERSITAS SUMATERA UTARA d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan e. pelayanan bimbingan rohani. Berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pekerja sosial yang akan memberikan pelayanan kepada korban diharuskan untuk: 1 melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban; 2 memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; 3 mengantarkan korban kerumah yang aman atau tempat tinggal alternative; 4 melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang dibutuhkan korban. Pelayanan yang sifatnya rohani, berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 ini, pembimbing rohani diharuskan untuk memberikan penguatan iman dan takwa kepada korban. Khusus untuk upaya pemulihan korban, pelayanan yang diberikan dapat diperoleh dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, danatau pembimbing rohani. 84 84 Rena Yulia, Op.Cit, hlm.139 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Adanya pasal yang memuat tentang hak-hak korban ini menunjukkan bahwa hak-hak korban sudah lebih diperhatikan. Selain mengatur hak-hak korban, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini pun mengatur tentang pelayanan yang diberikan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, pelayanan tersebut diberikan oleh kepolisian dengan menyediakan ruang pelayanan khusus RPK bekerjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, danatau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Pembentukan Rumah Pelayanan khusus RPK ini adalah guna menghindarkan munculnya berbagai kendala dalam pemeriksaan pada korban kejahatan sekaligus sebagai salah satu upaya perlindungan hukum bagi korban. 85 Terobosan hukum yang terdapat dalam UU PKDRT tersebut tidak hanya dalam bentuk–bentuk tindak pidananya, tetapi juga dalam proses beracaranya. Antara lain dengan adanya terobosan hukum untuk pembuktian bahwa korban menjadi saksi utama dengan didukung satu alat bukti petunjuk. Dalam hal pembuktian di pengadilan, Pasal 183 KUHAP mensyaratkan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah sehingga ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, kemudian hakim menjatuhkan putusan. Mengenai pembuktian perkara di pengadilan, UU PKDRT mengatur sebagaimana yang termuat dalam Pasal 55, bahwa sebagai salah satu bukti yang sah keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa 85 Dikdik Elisatris, Op.Cit, hlm.141 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA keterangan saksi korban ditambah dengan alat bukti lainnya sudah cukup membuktikan terdakwa bersalah. Ini bisa saja mengandung arti bahwa keterangan saksi korban dianggap sebagai salah satu alat bukti dan jka ditambah satu alat bukti lainnya maka hakim sudah cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku. 86 Sebuah kemajuan lain dalam Undang-Undang Pernghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah korban dapat mengajukan permohonan surat perintah penetapan perlindungan kepada pengadilan. Dengan demikian selama dalam proses korban berada dalam kondisi yang aman dan dilindungi. Permohonan untuk memperoleh surat perintah penetapan perlindungan dapat diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani. Dengan demikian menyangkut perlindungan terhadap korban ini secara normatif sudah memenuhi, tetapi perlu Adanya terobosan hukum ini, kendala-kendala dalam pembuktian tindak pidana perkosaan karena tempat terjadinya perkosaan dalam rumah tangga umumnya di ranah domestik dapat memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana perkosaan tersebut. Bahkan dalam Pasal 15 UU PKDRT juga diatur mengenai kewajiban masyarakat dalam upaya mencegah KDRT agar tidak terjadi kembali. 86 Rena yulia, Op.Cit, hlm. 117 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan tersebut baik berupa kebijakan maupun tindakan. 87 a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini juga mengatur sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, berbeda dengan KUHP yang hanya mengatur tentang sanksi berupa pidana pokok dan pidana tambahan dalam Pasal 10 KUHP, Pasal 50 UU PKDRT mengatur mengenai sanksi pidana berupa: b. penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu. Perlindungan korban tindak pidana perkosaan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini secara substansi telah memberikan perlindungan yang nyata bagi korban, namun perlindungan ini hanya terbatas bagi korban tindak pidana perkosaan dalam rumah tangga yang merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga. Jadi tidak meliputi perlindungan bagi tindak pidana perkosaan secara umum. 87 Ibid., hlm 116 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB III HAL-HAL YANG PERLU DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA