Perlindungan Korban Untuk Memperoleh Restitusi

Pengertian perkosaan dalam Pasal 285 KUHP juga hanya terbatas pada persetubuhan saja. Menurut saya juga perlu diatur mengenai minimal pidana yang dijatuhkan sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 489 RUU KUHP 19992000 direvisi 20042005. Menurut penulis beberapa hal diatas adalah langkah pembaharuan yang baik untuk dilakukan. Penulis juga berpendapat bahwa sangatlah penting dilakukan pembaharuan mengenai rumusan tindak pidana perkosaan ini mengingat bahwa modus tindak pidana perkosaan ini sudah semakin berkembang sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya. Perlu dihadirkan psikologi pendamping dalam pemeriksaan tindak pidana perkosaan, dan juga perlu diatur secara khusus mengenai pembuktiannya.

B. Perlindungan Korban Untuk Memperoleh Restitusi

Perlindungan hukum bagi korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. 105 Selama ini banyak berkembang pemikiran bahwa dengan telah diadilinya pelaku kejahatan dan selanjutnya pelaku menjalani hukuman, maka perlindungan hukum terhadap korban dianggap telah sepenuhnya diberikan. Akibatnya,ketika Bentuk perlindungan terhadap korban yang dapat dilakukan kedepannya, yaitu mengatur secara tegas mengenai pidana ganti rugi oleh pelaku tindak pidana perkosaan tersebut Restitusi. 105 Rena Yulia, Op.Cit., hlm. 59 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA korban kemudian menuntut adanya pemberian ganti kerugian hal tersebut merupakan tindakan yang berlebihan. 106 Pelaku kejahatan adalah pihak yang seharusnya bertanggung jawab untuk mengganti kerugian kepada korban perkosaan. Penggantian kerugian seperti ini termasuk pembayaran kerugian untuk pemulihan si korban. Istilah ganti kerugian memang ada digunakan oleh KUHAP dalam Pasal 99 ayat 1 dan 2 dengan penekanan pada penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan atau korban. Namun pengaturan ganti rugi dalam KUHAP ini belum dapat mengakomodir hak korban untuk memperolehnya, karena dalam KUHAP ganti rugi yang digabungkan dengan perkara pidananya hanya menyangkut tentang kerugian materiil, seperti kita ketahui bahwa korban perkosaan sangat Padahal korban sesungguhnya adalah pihak yang sangat dirugikan. Kerugian akibat ia menjadi Korban suatu Tindak Pidana yang diatur dalam Pasal 98 KUHAP yang dikorelasikan dengan Pasal 285 KUHP mengenai tindak pidana perkosaan, bahwa korban tindak pidana perkosaan adalah korban yang paling banyak mengalami kerugian terutama kerugian imateriil, bahkan jika dihitung dengan nilai materiil nilai tersebut tidak akan mampu untuk memenuhinya. Dari kerugian tersebut yang ia alami jarang sekali atau bahkan tidak pernah terjadi dimana korban mendapatkan ganti rugi, seandainya pun mendapat ganti kerugian dari pelaku dapat dipastikan tidak akan memadai atau jumlahnya tidak seberapa dan hal tersebut tidak akan merubah keadaan dirinya seperti semula. 106 Dikdik Elisatris, Op.Cit, hlm.20 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menderita secara fisik, terutama psikis. Walaupun kita tahu bahwa korban sangat menderita secara psikis, namun penderitaan psikis ini tidak dapat dituntut ganti ruginya dalam penggabungan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 KUHAP, padahal korban membutuhkan biaya untuk memulihkan traumatis atau kejiwaan korban yang waktunya tidak dapat ditentukan sampai kapan. Berdasarkan yang telah dikemukakan di atas terlihatlah berbagai pertentangan antara apa yang dicita-citakan dan kenyataan yang berhubungan dengan permasalahan moral dan hukum. Hal ini mengakibatkan keragu-raguan terhadap adanya keadilan bagi setiap anggota masyarakat, warga negara. Akibat yang lain adalah dipermasalahkannya wibawa moral dan hukum terhadap setiap penegak hukum swasta, pemerintah, individu, kelompok dalam pelaksanaan panggilannya dan kewajibannya, sehingga banyak subjek dan objek hukum menderita, menjadi korban bahkan dapat menjadi korban ganda. Berlangsungnya kenyataan, peradilan, pengadilan bukanlah pencipta keadilan lagi. Fungsi hakim sebagai pelindung keadilan yang bebas dalam hal ini sudah tidak berfungsi lagi dan dipertanyakan apakah kesadaran hukumnya tidak semupalsu. Diragukan pula kesadaran hukum penuntut umum yang tidak menuntut ganti rugi bagi pihak korban yang tidak mampu. Disangsikan pula kesadaran hukum pembuat undang- undang, yang diharapkan mengikuti perkembangan hukum dan membuat hukum yang sesuai dengan kepentingan warga negara, anggota masyarakat. Bukankah sewajarnya kita menyadari bahwa sisitem peradilan pidana serta hukumnya adalah warisan dari pemerintah Hindia Belanda sehingga perlu diusahakan suatu sistem peradilan pidana yang memperhatikan nasib pihak korban. Oleh karena itu yang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA menjadi korban adalah bangsa sendiri dan kebanyakan adalah tidak mampu. Perlu pula dipertanyakan disini kadar kesadaran hukum dan tanggung jawab moral warga negara, anggota masyarakat yang lain sebagai penegak hukum yang semestinya mencegah berlangsungnya sistem peradilan pidana yang tidak mengusahakan pemenuhan kepentingan pihak korban secara memuaskan. Membiarkan sesuatu berlangsung dapat diartikan kurang lebih sebagai suatu pembenaran. Maka ini berarti bahwa sistem peradilan pidana yang dapat merugikan korban tindak pidana tetap makin diperlakukan dengan mempertaruhkan nasib korban. 107 Sebagai perbandingan, maka akan diuraikan mengenai penggabungan gugatan ganti kerugian yang disebabkan dilakukannya suatu tindak pidana dibeberapa negara baik dinegara-negara Eropa, Amerika Latin maupun beberapa negara Asia Timur Jauh, seperti diuraikan dalam buku “compensation of The Dalam KUHAP tidak membenarkan dilakukannya penggabungan ganti rugi yang bersifat immateriil, karena yang diatur adalah penggabungan ganti kerugian yang bersifat materiil saja. Bila korban hendak menuntut ganti kerugian ini, maka korban harus mengajukan gugatan perdata biasa. Pihak korban tindak pidana perkosaan tidaklah mudah untuk berusaha menuntut ganti kerugian, disebabkan keadaan mereka yang mengalami trauma, Oleh karena itu sangatlah penting diaturnya mengenai ganti kerugian ini secara tegas dalam pengaturan tindak pidana perkosaan sehingga hak-hak korban boleh terlindungi. 107 Arif Gosita, Op.Cit., hlm 225-227 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Victims of Crimes” yang merupakan hasil suatu survey. Menurut hasil survey tersebut, maka disimpulkan lima sistem ganti kerugian sebagai berikut: 108 1 Ganti kerugian tersebut dipandang bersifat perdata dan diberikan pada prosedur perdata; Dalam sistem ini diadakan pemisahan antara ganti rugi dan penyelesaian pidananya. Dalam sistem ini maka tindak pidana dipandang semata-mata kejahatan terhadap negara atau kepentingan umum, sehingga peranan korban tidak mendapat tempat dalam acara pidana. Kepentingan korban sebagai individu diselesaikan menurut acara perdata. 2 Ganti kerugian bersifat perdata, tetapi diberikan pada prosedur pidana; Meskipun pada dasarnya diadakan pemisahan antara kepentingan umum dan kepentingan individu seperti diuraikan pada ad.1, tetapi sebagai perlindungan kepada korban dari tindak pidana, maka korban diberikan cara-cara yang mudah untuk mendapat ganti kerugian itu yaitu dengan cara menggabungkan perkara perdatanya dengan perkara pidana. Ganti kerugian dalam KUHAP ditempuh dengan cara ini, yaitu gugatan ganti kerugian dari korban yang sifatnya perdata digabungkan pada perkara pidananya dan ganti rugi tersebut dipertanggungjawabkan kepada pelaku tindak pidana. Ganti rugi tersebut dapat dimintakan terhadap semua macam perkara yang dapat menimbulkan kerugian materiil bagi sikorban. Sedangkan kerugian 108 R. Soeparmono, Op.Cit., hlm.68 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA yang bersifat immateriil tidak dapat dimintakan ganti kerugian lewat prosedur ini. 3 Ganti kerugian yang bersifat perdata, tetapi terjalin dengan sifat pidana dan diberikan pada prosedur pidana; Berbeda dengan yang diterangkan di atas ini, maka permintaan ganti kerugian ini harus ditentukan oleh pengadilan pidana lebih bersifat hukuman, dalam bentuk: a. Denda pengganti fine like restitution atau boete; b. Dengan pembayaran ganti kerugian kepada korban, maka perkaranya tidak dituntut misalnya USA. 4 Ganti kerugian yang sifatnya perdata dan diberikan pada prosedur pidana, tetapi pembayaran jadi tanggung jawab negara; Dalam situasi ini, negara sekaan-akan menanggung over tanggung jawab dari terpidana untuk membayar ganti kerugian, tetapi negara dapat meminta kembali reimburse dari negara. 5 Ganti kerugian yang sifatnya netral dan diberikan dengan prosedur khusus pula. Ini merupakan prosedur baru yang diterapkan di Swiss, dimana korban adalah orang yang sangat membutuhkan karena tidak mampu, sedangkan terpidana juga demikian keadaannya, sehingga pemerintah mengambil over beban terpidana tersebut demi memberikan perlindungan bagi si korban, dalam hal ini tidak termasuk prosedur sipil tetapi juga tidak termasuk prosedur pidana. UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Menurut saya ganti kerugian ini sebaiknya diberikan dalam prosedur pidana dan juga mencakup ganti kerugian immateriil yang dirasa sangat dibutuhkan korban.

C. Perlindungan Korban Untuk Mendapat Pemulihan Reparation