1.6. Hubungan Jumlah Konsumsi Protein dengan Indeks Massa Tubuh Tabel 5. 9 Hubungan Jumlah Konsumsi Protein dengan Indeks Massa Tubuh
IMT p value
N Kurus
Normal Gemuk
Obesitas Jumlah Protein
0,937 Sangat rendah
3 3
Rendah 1
1 2
Cukup 1
1 2
Tinggi 3
3 Sangat tinggi
52 8
60 Berdasarkan hasil analisis statistik tidak didapati adanya hubungan yang
signifikan antara jumlah konsumsi protein dengan IMT dimana p 0,05. 1.7. Hubungan Frekuensi Makan dengan Indeks Massa Tubuh
Tabel 5. 10 Hubungan Frekuensi Makan dengan Indeks Massa Tubuh IMT
p value N
Kurus Normal
Gemuk Obesitas
Frekuensi Makan 0,109
Rendah 1
34 8
1 44
Sedang 23
1 24
Tinggi 2
2 Berdasarkan hasil analisis statistik tidak didapati adanya hubungan yang
signifikan antara jumlah konsumsi protein dengan IMT dimana p 0,05.
2. Pembahasan
2.1 Pola Makan 2.1.1 Jenis Makanan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas 38,6 responden memiliki susunan jenis makanan kurang lengkap, yaitu hidangan makanan hanya terdiri dari
Universitas Sumatera Utara
makanan pokok, lauk- pauk, dan sayuran saja. Hal ini disebabkan karena banyak dari responden yang membeli makan di warung atau catering makanan yang hanya
menyediakan ketiga bahan makanan pokok tersebut. Sama dengan hasil penelitian Mulia 2010 yang dilakukan pada mahasiwa yang tinggal di kos untuk susunan jenis
makanan belum dapat dikatakan baik karena masih banyak ditemukan menu hidangan yang sama pada tiap waktu makan. Akan tetapi tidak jauh berbeda dari nilai tersebut
35,7 responden pada penelitian ini memiliki susunan jenis makanan yang sangat lengkap yaitu ditambah dengan buah dan juga susu. Hal ini dapat disebabkan karena
asumsi dari responden bahwa mereka sebagai anak kos termasuk ke dalam golongan rentan gizi sehingga membutuhkan tambahan asupan buah dan susu, sehingga tidak
sedikit dari responden membeli kedua bahan makanan tersebut. Status sosial dan ekonomi juga turut mempengaruhi pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas
makanan Nurachmah, 2001. Oleh karena itu maka banyak dari responden yang mayoritas berada pada status ekonomi yang baik memiliki pilihan jenis makanan
yang lebih baik. Susunan jenis makanan dapat dipengaruhi oleh banyak faktor. Untuk
masyarakat awam susunan hidangan makanan lebih ditentukan oleh kebiasaan turun- temurun dan sesuai kebutuhan kepuasan psikis. Di Indonesia dikenal susunan jenis
makanan “empat sehat lima sempurna”. Makanan empat sehat terdiri atas makanan pokok, lauk-
pauk, sayuran, dan buah- buahan, dimana hidangan yang
memperlihatkan keempat komponen makanan ini dalam jumlah yang mencukupi
Universitas Sumatera Utara
kebutuhan fisiologis tubuh dianggap akan memberikan kesehatan gizi yang baik. Ditambah dengan sejumlah susu yang mencukupi menjadi lima sempurna. Susu
merupakan bahan makanan sumber protein berkualitas tinggi, mudah dicerna, dan akan meningkatkan nilai gizi protein Sediaoetama, 2008.
Lebih dari setengah responden berjenis kelamin perempuan 55,7. Remaja putri sering sangat sadar akan bentuk badannya, sehingga banyak yang membatasi
konsumsi makanannya. Bahkan banyak yang berdiit tanpa nasihat atau tanpa pengawasan seorang ahli kesehatan dan gizi. Banyak pantang atau tabu yang
ditentukan sendiri berdasarkan pendengaran dari kawannya yang tidak kompeten dalam soal gizi dan kesehatan, sehingga terjadi berbagai gejala dan keluhan yang
sebenarnya merupakan gejala- gejala kelainan gizi Sediaoetama, 2006. Nurachmah 2001
mengatakan bahwa agama kepercayaan akan mempengaruhi makanan yang dikonsumsi. Sebagai contoh, agama Islam
mengharamkan daging babi dan agama Roma Katolik melarang makan daging setiap hari. Dengan responden yang mayoritas kristiani maka banyak dari responden yang
mengkonsumsi daging termasuk daging babi. Budaya juga cukup menentukan jenis makanan yang sering dikonsumsi. Demikian pula letak geografis mempengaruhi
makanan yang diinginkan. 2.1.2 Jumlah Konsumsi Energi
Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa jumlah konsumsi energi pada siswa di SMAN 2 Balige mayoritas berada pada kategori sangat rendah
Universitas Sumatera Utara
60. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mulia 2010 pada mahasiswa yang tinggal di kos menunjukkan bahwa mayoritas jumlah konsumsi energi berada
pada golongan defisit 43,9. Bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan Kristina 2010 pada pedagang sayur menunjukkan sebanyak 44,3 responden
memiliki tingkat konsumsi energi yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena responden membutuhkan energi yang lebih banyak untuk aktivitas mereka dalam
berdagang sayuran sehingga responden mengkonsumsi makanan pokok dan teh manis setiap harinya secara berlebihan. Pada umumnya rendahnya konsumsi energi pada
siswa SMAN 2 Balige yang tinggal di kos karena sebagian besar siswa memiliki kebiasaan makan hanya dua kali dalam sehari dan tidak diimbangi dengan
penambahan porsi pada waktu makan sehingga jumlah energi yang dikonsumsi tidak seimbang dengan jumlah energi yang dibutuhkan oleh tubuh untuk melakukan
aktivitas. 2.1.3 Jumlah Konsumsi Protein
Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa mayoritas 85,7 responden sudah mempunyai jumlah konsumsi protein yang baik yaitu pada kategori jumlah
protein sangat tinggi. Umumnya kelebihan protein pada responden diperoleh dari bahan makanan susu dan lauk- pauk yang dikonsumsi.
2.1.4 Frekuensi Makan Hasil penelitian menunjukkan mayoritas 62,9 responden masih memiliki
frekuensi makan yang rendah. Berbeda dengan hasil penelitian Khairina 2008
Universitas Sumatera Utara
mengenai faktor- faktor yang berhubungan dengan status gizi berdasarkan IMT menunjukkan bahwa 79 respondennya memiliki frekuensi makan yang baik.
Menurut Adriani Wirjatmadi 2012 meningkatnya aktivitas, kehidupan sosial, dan kesibukan para siswa yang tergolong dalam usia remaja akan mempengaruhi
kebiasaan makan mereka. Pola konsumsi makanan sering tidak teratur, sering jajan, sering tidak makan pagi dan sama sekali tidak makan siang. Pada umumnya tidak
makan pagi atau sarapan juga merupakan kebiasaan dari responden sebagai siswa yang bertempat tinggal di kos. Padahal sarapan sangat bermanfaat bagi setiap orang.
2.2 Indeks Massa Tubuh Indeks Massa Tubuh adalah indeks berat dibagi tinggi yang mudah dan sering
digunakan untuk menentukan berat badan kurang, berat bdan lebih, atau obesitas WHO,2013. Golongan IMT responden mayoritas berada pada kategori normal
84,3, dan masing- masing 1,4 untuk IMT minoritas pada kategori gemuk dan kurus. Faktor- faktor seperti usia, jenis kelamin, etnis, dan massa otot dapat
mempengaruhi hubungan antara IMT dan lemak tubuh. IMT juga tidak membedakan antara kelebihan lemak, otot, atau massa tulang, juga tifak memberikan indikasi
distribusi lemak diantara tiap individu CDC, 2009. 2.3 Hubungan Jenis Makanan dengan Indeks Massa Tubuh
Hasil analisis statistik penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jenis makanan dengan IMT p = 0,058. Tidak adanya
hubungan yang signifikan antara susunan atau jenis makanan dengan IMT juga
Universitas Sumatera Utara
ditunjukkan oleh penelitian Kristina 2010 dengan p = 0,088. Di samping itu penelitian yang dilakukan oleh Kristina juga menunjukkan tidak adanya hubungan
antara susunan atau jenis makanan dengan tingkat kegemukan X
2
hitung = 8,086 lebih kecil dari X
2
tabel = 9,488. Tidak jauh berbeda dari mayoritas jenis makanan kurang lengkap, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa 35,7 responden
memiliki jenis makanan dalam kategori sangat lengkap, yaitu terdiri dari makanan pokok, lauk- pauk, sayuran, buah, dan susu. Akan tetapi melihat IMT yang
kebanyakan adalah normal, maka sesuai dengan hasil penelitian Van Horn, et al. 2005 yang mengungkapkan bahwa anak laki- laki dan perempuan yang
mengkonsumsi produk- produk yang mengandung atau terbuat dari susu cenderung memiliki IMT yang lebih rendah, sedangkan anak laki- laki yang mengkonsumsi
makanan penutup dan camilan cenderung memiliki IMT yang lebih tinggi. 2.4 Hubungan Jumlah Konsumsi Energi dengan Indeks Massa Tubuh
Berdasarkan hasil analisis statistik penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah konsumsi energi dengan IMT p = 0,392.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Muharrom 2006 dalam Mulia, 2010 tentang hubungan pola konsumsi dengan status gizi mahasiswa yang tinggal di asrama putra
kampus Universitas Airlangga, diperoleh bahwa meskipun sebagian mahasiswa telah memiliki status gizi normal tetapi masih ada yang mengalami kekurangan energi.
Sama halnya dengan yang terjadi pada penelitian ini dimana IMT terbanyak adalah pada golongan normal 84,3 akan tetapi jumlah konsumsi energi terbanyak malah
Universitas Sumatera Utara
berada pada tingkatan sangat rendah 60. Sejalan dengan itu Mulia mengemukakan dalam penelitiannya bahwa 53,8 responden dengan status gizi normal tetapi
konsumsi energinya masih tergolong defisit. Berbeda dengan hasil penelitian Kristina 2010 yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jumlah konsumsi
energi dengan tingkat kegemukan p = 0,036 dimana dari responden yang memiliki IMT gemuk tingkat berat memiliki konsumsi energi yang sangat tinggi dan untuk
responden dengan IMT gemuk tingkat ringan memiliki konsumsi energi yang tinggi. 2.5 Hubungan Jumlah Konsumsi Protein dengan Indeks Massa Tubuh
Berdasarkan analisis statistik didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah konsumsi protein dengan IMT p = 0,937. Ini didukung oleh
hasil penelitian Kristina 2010 tentang hubungan kebiasaan makan dan aktivitas fisik dengan tingkat kegemukan pada pedagang sayur di Kelurahan Medan Bekala dimana
nilai p = 0, 425 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara jumlah protein yang dikonsumsi dengan tingkat kegemukan. Artinya tingkat
konsumsi protein tidak turut menentukan tingkat kegemukan. Peneliti berasumsi bahwa dalam hal ini fungsi protein sebagai sumber energi atau pemberi tenaga kurang
berperan dalam meningkatkan status gizi IMT responden. Dalam kasus ini protein dalam tubuh lebih berperan sebagai zat pembangun bagi pemeliharaan jaringan tubuh
sehingga masih banyak responden 84,3 memiliki IMT normal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Medan oleh Matondang 2007, tingkat prevalensi anak
kategori kurus sebesar 25,6, kategori normal 69,8, dan kategori gemuk sebesar
Universitas Sumatera Utara
4,7 dengan rata- rata kecukupan protein yang baik 93,0. Hal ini mendukung hasil penelitian karena dengan kecukupan protein yang baik, IMT terbanyak adalah
pada kategori normal. 2.6 Hubungan Frekuensi Makan dengan Indeks Massa Tubuh
Sesuai dengan hasil analisis statistik yang telah peneliti lakukan, ternyata frekuensi makan juga tidak menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
frekuensi makan dengan IMT p = 0,109. Dari 44 responden yang memiliki frekuensi makan rendah terdapat 34 responden dengan IMT normal, 8 responden
dengan IMT gemuk, dan bahkan ada 1 responden dengan IMT obes. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi makan yang rendah tidak turut menentukan Indeks
Massa Tubuh. Berdasarkan Food Frequency Questionnaire yang telah dibagikan, kebanyakan responden membubuhi tanda centang pada frekuensi makan 3x
seminggu yang artinya responden termasuk jarang mengkonsumsi kebanyakan dari bahan- bahan makanan yang ada dalam kuesioner.
Muckelbauer, et al. 2012 mengungkapkan bahwa IMT tidak berbeda antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi yang konsumsi airnya ditingkatkan 1
gelas per hari. Hal ini dikarenakan air tidak memberikan sumbangsih pada jumlah energi maupun protein sehingga tidak berpengaruh pada status gizi. Di lain hal, pada
penelitian yang dilakukan oleh Van Horn et al. 2005 mengungkapkan bahwa konsumsi minuman manis seperti minuman bersoda, jus, sop buah berkontribusi pada
epidemiologi kegemukan dan obesitas. Mengurangi konsumsi minuman manis
Universitas Sumatera Utara
merupakan salah satu strategi yang baik untuk manajemen berat badan pada anak usia pra sekolah.
Faktor-faktor diet dan pola aktivitas fisik mempunyai pengaruh yang kuat terhadap keseimbangan energi dan dapat dikatakan sebagai faktor-faktor utama yang
memicu pertambahan berat badan. Tidak terdapatnya hubungan antara pola makan yang meliputi jenis makanan, jumlah energi dan protein, serta frekuensi makan
dengan IMT bisa juga disebabkan oleh karena faktor keturunan. Rimbawan Albiner 2004 dalam Kristina, 2010 mengatakan bahwa bertambahnya berat tubuh
seseorang akibat mengkonsumsi makanan tertentu sebenarnya tergantung pada banyaknya pangan tersebut menyumbang asupan energi total dan banyaknya yang
terbakar. Pada penelitian yang dilakukan oleh Matzo 2008 hasilnya mengungkapkan
bahwa intervensi dengan pengaturan pola makan dapat membantu anak- anak yang mengalami kegemukan atau obesitas untuk menurunkan berat badan. Akan tetapi
intervensi itu akan lebih efektif ketika dikombinasikan dengan aktifitas fisik, terapi sikap dan kognitif, atau mengurangi aktifitas yang tidak banyak pergerakan
berpindah.
Universitas Sumatera Utara
59
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN