Nilai Kerugian Akibat Kejadian Kasus DBD

69 lingkungan. Pernyataan ini juga sesuai dengan yang ditegaskan oleh Suhardiono 2002 bahwa tindakan Fogging yang dilakukan tanpa pengelolaan sanitasi lingkungan akan memberikan resistensi kekebalan pada nyamuk Aedes aegypti.

5.1.5 Nilai Kerugian Akibat Kejadian Kasus DBD

Untuk melaksanakan program pengendalian DBD di Provinsi DKI Jakarta, anggaran dialokasikan di masing-masing provider kesehatan yaitu: 1 Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta yang berfungsi sebagai regulator dengan sumber anggaran APBD dan APBN, 2 Sudin Kesmas Kotamadya yang berfungsi sebagai auditor dengan sumber anggaran APBD, dan 3 Puskesmas Kecamatan yang berfungsi sebagai operator dengan sumber anggaran APBD. Pada Tabel 21 terdapat distribusi anggaran APBD dan APBN pada tahun 2003 – 2005 dan kejadian kasus DBD pada tahun 2006. Tabel 21. Distribusi anggaran program pengendalian DBD menurut sumber dana di Provinsi DKI Jakarta, tahun 2003 – 2005 A P B D A P B N No Tahun Jumlah x 1000 Jumlah x 1000 Kasus 1 2003 16.317.932 13,8 162.000 7 14.071 2 2004 50.365.296 42,7 1.295.000 56 20.640 3 2005 51.255.879 43,5 855.000 37 23.466 Total 117.939.107 100 2.282.000 100 58.177 Sumber : Dinas Kesehatan DKI Jakarta 2006 Berdasarkan data Tabel 21 jumlah anggaran dengan sumber dana APBD setiap tahun mengalami peningkatan. Alokasi anggaran APBD dari 2003 - 2005 yang terbanyak terdapat pada tahun 2005 yaitu 43,5 . Sedangkan dari APBN jumlah yang terbanyak pada tahun 2004 yaitu 56 , karena pada tahun tersebut terjadi KLB DBD yaitu peningkatan kejadian kasus DBD dari tahun 2003 dan 2004 yang melebihi dari keadaan biasa. 70 Tabel 22. Hasil analisis alokasi APBD untuk program pengendalian DBDdengan penurunan angka insidens kasus DBD. Correlations Alokasi APBD untuk Program Pengendalian DBD x 1000 Angka Insidens Kasus DBD per 100.000 Penduduk Alokasi APBD untuk Program Pengendalian DBD x1000 Pearson Correlation Sig 2-tailed N 1 3 0.962 0.175 3 Angka Insidens Kasus DBD per 100.000 Penduduk Pearson Correlation Sig.2-tailed N 0.962 0.175 3 1 3 Dari hasil analaisis yang terdapat pada Tabel 22 menunjukkan bahwa alokasi APBD untuk program pengendalian DBD tidak memberikan korelasi yang bermakna terhadap penurunan insedens kasus DBD, p α, nilai p = 0,962. Pengendalian DBD dapat mencegah Peningkatan populasi nyamuk dewasa infektif jika dilakukan juga Peningkatan pencegahan pada tahap dini pertumbuhan nyamuk khususnya pada fase telur dan larva melalui pengelolaan sanitasi lingkungan. Pada Tabel 22 terdapat data alokasi APBN untuk program pengendalian DBD terhadap penurunan angka insidens kasus. Tabel 23 . Hasil analisis alokasi APBN untuk program pengendalian DBD dengan penurunan angka insidens kasus DBD. Correlations Alokasi APBN untuk Program Pengendalian DBD Angka Insidens Kasus DBD per 100.000 Penduduk Alokasi APBN untuk Program Pengendalian DBD Pearson Correlation 1 0.769 Sig. 2-tailed 0.441 N 3 3 Angka Insidens Kasus DBD per 100.000 Penduduk Pearson Correlation 0.769 1 Sig. 2-tailed 0.441 N 3 3 Berdasarkan Tabel 23 dapat dijelaskan bahwa alokasi APBN yang digunakan untuk program pengendalian DBD tidak menunjukkan korelasi yang bermakna terhadap penurunan insidens kasus DBD dengan nilai p α, p = 0,769. Pada Tabel 71 24 terdapat distribusi anggaran program pengendalian DBD menurut sumber dana per kapita tahun 2003 – 2005. Tabel 24. Distribusi anggaran program pengendalian DBD menurut sumber dana per Kapita di Provinsi DKI Jakarta, tahun 2003 – 2005. A P B D Per Kapita A P B N Per Kapita No Tahun Jumlah Jumlah Kasus Per 100.000 penduduk 1 2003 1923 14,1 19,10 7,2 187 2 2004 5888 42,9 151,50 56,3 274 3 2005 5891 43 98,30 36,5 311 Total 13.702 100 268,9 100 772 Sumber : Dinas Kesehatan DKI Jakarta 2006 Berdasarkan Tabel 24 anggaran yang bersumber dari APBD terbanyak pada tahun 2004 yaitu 42,9 , karena pada periode tersebut terjadi KLB kejadian luar biasa demikian juga dari sumber dana APBN mempunyai jumlah terbanyak per kapita yaitu 56,3 . Dari jumlah tersebut alokasi pengendalian vektor hanya 14,1 sedangkan pengendalian kasus DBD sebanyak 50,5 . Pada Tabel 25 terdapat analisis alokasi APBD per kapita untuk program pengendalian kasus DBD. Tabel 25. Hasil analisis alokasi APBD per kapita untuk program pengendalian DBD dengan penurunan angka insidens kasus DBD Correlations Alokasi APBD per Kapita untuk Program Pengendalian DBD x1000 Angka Insidens Kasus DBD per 100.000 Penduduk Alokasi APBD per Kapita untuk Program Pengendalian DBD x1000 Pearson Correlation Sig 2-tailed N 1 3 0.957 0.187 3 Angka Insidens Kasus DBD per 100.000 Penduduk Pearson Correlation 0.957 1 Sig. 2-tailed 0.187 N 3 3 Dari hasil analisis yang terdapat pada Tabel 25 menunjukkan bahwa pemanfaatan alokasi APBD per kapita untuk program pengendalian DBD tidak 72 memberikan korelasi yang bermakna terhadap penurunan kejadian kasus DBD. Hal ini ditandai dengan nilai p α, p = 0,957. Ritchie-Dunham, J.L. dan Galvan, J.F.M 1999 dalam tulisannya mengenai peranan intervensi kebijakan dengan berpikir secara sistem dalam penanganan DBD di Meksiko ternyata memiliki dampak positif dari segi pengurangan biaya ekonomi dan keefektifan dalam mengatasi penyakit DBD. Kebijakan dalam mengatasi masalah DBD yang selama ini bersifat tradisional, kurang memperhatikan isu-isu krusial dan lebih terfokus pada kegiatan fogging pengasapan dalam mengatasi penyebaran vektor DBD ternyata kurang efektif dalam mengatasi masalah epidemik DBD di Meksiko dan menimbulkan biaya yang sangat mahal. Lebih lanjut menurut Royston 1999, penggunaan sistem dinamik dalam penyusunan kebijakan dan program kesehatan perlu memperhatikan beberapa hal berikut: 1. Perlunya peningkatan penelitian yang bersifat analitik dan berjangka panjang dalam pengembangan dan penyusunan kebijakan dan program kesehatan 2. Perlunya pemantauan secara berkesinambungan terhadap isu-isu krusial di lapangan, dan 3. Perlunya dilakukan perbaikan-perbaikan pendekatan teknik kualitatif yang digunakan sebagai alat bantu penyusunan kebijakan yang dilakukan secara berkesinambungan Berdasarkan pernyataan tersebut dalam mengatasi permasalahan dari kejadian kasus DBD di DKI Jakarta sebaiknya lebih diarahkan kepada pengelolaan sanitasi lingkungan khususnya pada lingkungan pemukiman, yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya. Hal ini untuk meminimalisasi biaya anggaran pemerintah dalam penanganan kasus DBD. Secara intangibel nilai yang diperoleh masyarakat adalah sebesar Rp. 342.739,- per tahun. Apabila pada anggaran pemerintah tahun 2005 sebesar Rp. 52.110.879.645, dengan jumlah penduduk sebanyak 8.699.600 jiwa maka pemerintah dan masyarakat dapat menghemat nilai total sebesar Rp. 2.981.692.204.400 per tahun secara intangibel. Sedangkan pada masyarakat yang terkena kasus sebanyak 23.466 pada tahun 2005 dan pada kondisi dimana 73 masyarakat dalam penerapan sanitasi lingkungan tidak sepenuhnya langsung seratus persen, tapi perubahan terhadap pengelolaan tersebut sudah dikatakan berhasil jika mencapai 70 berdasarkan survei kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan, 2003. Pada seluruh masyarakat yang terkena kejadian kasus DBD berdasarkan kasus DBD 2005 sebanyak 16.426 orang yang diperkirakan dapat mengalami perubahan untuk berpartisipasi dalam mengelola sanitasi lingkungan, maka nilai ekonomi yang diminimalisasi adalah sebesar Rp. 5.629.899.362 atau sekitar 10,8 dari biaya untuk pengendalian kasus DBD, dengan demikian apabila kasus pengendalian DBD dapat berkurang 70 dari masyarakat yang terkena kasus maka pelayanan pengobatan gratis dapat lebih efisien, dimana besarnya nilai pelayanan pengobatan gratis menjadi sebesar Rp. 8.683.138.436 atau sebesar 16,7. Dalam hal ini apabila masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengelolaan sanitasi diharapkan alokasi anggaran pengendalian kasus dan pelayanan pengobatan gratis dapat berkurang sebesar Rp. 14.313.037.798 atau sebesar 27,47 dari total anggaran pemerintah sebesar Rp. 52.110.879.645. Dengan pencegahan berbasis lingkungan terhadap penyebaran penyakit DBD diharapkan pengelolaan sanitasi lingkungan dimasyarakat dapat memberikan nilai manfaat secara ekonomi, sehingga dapat mengurangi adanya kejadian kasus DBD di DKI Jakarta.

5.2. Faktor Penting yang Potensial untuk Pencegahan Berbasis Lingkungan