20 Derajat penyakit DBD dapat dikelompokkan dalam empat derajat
Departemen Kesehatan, 2003 : 1. Derajat I : Demam yang disertai dengan gejala klinis tidak khas, satu-satunya
gejala perdarahan adalah hasil uji tourniquet posititf. 2. Derajat II : Gejala yang timbul pada DBD derajat I ditambah terjadinya
perdarahan spontan 3. Derajat III : Kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi cepat dan
lemah, menyempitnya tekanan nadi 20 mmHg atau kurang atau hipotensi, ditandai kulit dingin dan lembab serta pasien gelisah.
4. Derajat IV : Syok berat, denyut nadi dan tekanan darah tidak teraba. Hasil pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis DBD Gatot,
dalam Hadinegoro dan Satari, 2002; Departemen Kesehatan, 2003 adalah: 1.
Jumlah leukosit data normal, namun leokopenia biasa dijumpai pada awal penyakit dengan dominasi neutropil. Mendekati fase akhir demam terdapat
penurunan jumlah leukosit total. Tampak limfosit atipik ditemukan menjelang fase akhir demam dan awal terjadinya syok.
2. Penurunan jumlah trombosit di bawah 100.000mm
3
biasanya ditemukan antara hari sakit 3 – 8 hari. Naiknya hematokrit juga tampak di semua kasus
DBD, terutama pada stadium syok. Peningkatan hematokrit sampai 20 atau lebih merupakan bukti adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan
bocornya plasma. 3.
Kadang dijumpai albuminuria ringan yang bersifat sementara 4.
Sering dijumpai adanya darah dalam tinja 5.
Uji Koagulasi dan fibrinolitik menunjukkan adanya penurunan kadar fibrinogen, protrombin, faktor VIII, XII dan antitrombin III.
2.5. Perubahan Iklim Global terhadap Kesehatan
Perubahan iklim yang variatif dalam rentang waktu lebih pendek, lebih tepat disebut sebagai variabilitas iklim. Perubahan iklim adalah proses yang sangat
kompleks, dipengaruhi banyak faktor dan saling berinteraksi dalam waktu panjang Mustafa, 2005. Kecenderungan akibat meningkatnya jumlah penduduk dan
aktifitas ekonomi, termasuk emisi gas adalah meningkatnya suhu bumi sekitar
21 1 - 3,5
C dalam dekade terakhir yang mempengaruhi pola curah hujan dan variasi iklim. Secara umum, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer secara global
meningkat dengan mulainya industrialisasi sekitar tahun 1750 – 1800, terutama dari aktifitas manusia seperti pembakaran bahan bakar minyak. Greenhouse
gasses CO
2
, CH
4
, NO, O
3
terakumulasi di atmosfer karena perbedaan antara emisi tahunan dan kapasitas bumi, kecepatan pergerakan di udara dan kecepatan
emisi yang berbeda Maskell, et al, 1993 dalam McMichael et al, 1996.
Gambar 2.
Hubungan perubahan iklim dan komponen yang mempengaruhinya terhadap kesehatan Mustafa, AJ., 2005
Mustafa 2005 mengemukakan pada Gambar 2 bahwa perubahan perubahan lingkungan secara langsung maupun tidak bertanggungjawab atas
faktor-faktor penyangga utama kesehatan dan kehidupan manusia seperti produksi bahan makanan, air bersih, kondisi iklim, keamanan fisik, kesejahteraan manusia
dan jaminan keselamatan dan kualitas sosial manusia. Perubahan makro dan mikro iklim akibat kenaikan konsentrase gas rumah kaca-terutama CO
2
, CH
4
, CF
4
, NOx, CFC-11 dari bahan bakar minyak dan penggundulan hutan – berpengaruh terhadap ekosistem suatu spesies dan kesehatan manusia McMichael
et al, 1996; Winarso, 2001. Suhu, kelembaban dan nutrisi mempengaruhi distribusi vektor, dinamika populasi, aktifitas makan, periode inkubasi ekstrinsik
22 PIE atau masa inkubasi virus dalam tubuh nyamuk, jangka hidup nyamuk
dewasa dan siklus gonotrofik nyamuk Cristhoper, 1960. Kebanyakan Aedes aegypti lebih menyukai daerah tropik dan subtropik
McMichael et al, 1996. Aedes aegypti tidak hanya hidup di daratan rendah melainkan juga pada ketinggian 1500 atau 2000 m di atas permukaan laut di
Kolumbia dan di daerah subtropik Mexico 1700 m Gubler et al, 1979. Sedangkan periode inkubasi ekstrinsik PIE bergantung pada suhu, kelembaban
dan tingkat viremia pada inang dan galur virus. Alto dan Juliano 2001 menunjukkan bahwa reproduktifitas dan angka kematian akibat DBD menjadi
lebih tinggi pada suhu di atas 30 C dengan simulasi curah hujan 25 dan 90.
Pada studi epidemiologi yang dilakukan Koopman 1991 dalam McMichael et al. 1996 menunjukkan bahwa pada suhu terutama suhu median musim hujan
17 – 30
C, infeksi dengue dapat mencapai empat kali lipat. PIE untuk dengue tipe 2 pada suhu 30
C adalah 12 hari dan pada suhu 32 – 35
C hanya tujuh hari. Periode inkubasi yang lima hari lebih pendek, berpotensi mempercepat reproduksi
hingga tiga kali lipat. Berdasarkan penelitian Koopman 1991 dalam McMichael et al. 1996, kenaikan suhu lingkungan rata-rata 3
– 4 C, dapat menaikkan
reproduksi virus dengue dua kali lipat McMichael et al., 1996. Lonjakan tiga kali lipat kasus DBD di Indonesia tahun 2070 dapat diprediksi dengan model
matematika sederhana McMichael et al., 1996. Untuk melanjutkan transmisi, jangka hidup nyamuk betina harus lebih panjang dari periode tidak makan setelah
keluar dari pupa dan PIE. Dilaporkan bahwa umumnya PIE antara 10 sampai 14 hari. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan PIE, penurunan suhu
menyebabkan penurunan transmisi Watts, 1987 dalam Gubler et al., 1979. Di Asia Tenggara ditemukan hubungan yang kuat antara curah hujan dengan
kasus dengue dengan puncak transmisi pada bulan-bulan dengan curah hujan dan suhu tinggi, karena banyaknya wadah sebagai penampung air bersih sebagai
tempat hidup jentik Aedes aegypti. Di beberapa tempat, penyakit dengue datang sebelum musim hujan dan meningkat pada saat peralihan cuaca. Dampak curah
hujan pada kepadatan vektor tidak sama pada setiap spesies Gubler et al, 1979. Faktor yang berperan adalah meningkatkan suhu dan berkurangnya curah hujan
adalah El Nino. Penelitian Gagnon, et al 2001 menyebutkan, selama El Nino
23 tahun 1986 – 1987, kekeringan terjadi di Pulau Jawa dan Kalimantan Selatan.
Pada saat itu terjadi dua kali puncak kenaikan suhu permukaan air laut yang memicu El Nino : pada bulan Desember 1986 – Januari 1987 dan Juli – Agustus
tahun 1987. Hal ini menyebabkan anomali curah hujan curah hujan rata-rata rendah di beberapa wilayah Indonesia. Pada saat itu terjadi lonjakan kasus DBD
di Jakarta. Data bulanan epidemiologi dan curah hujan periode 1994 – 1998 juga menunjukkan anomali iklim dan lonjakan kasus DBD di Indonesia.
Dampak kesehatan yang muncul akibat variabilitas iklim yang tinggi dalam fenomena iklim global secara umum dikelompokkan menjadi dampak kesehatan
langsung dan tidak langsung pada manusia Gambar 3. Dampak langsung adalah pada fisik dan psikis manusia, sedangkan dampak tidak langsung melalui
perantara seperti bakteri, virus dan hewan vektor lainnya.
PERUBAHAN IKLIM
Peningkatan temperatur Peningkatan muka air laut
Hidrologi eksterm Penyakit akibat
kerja terutama di perkotaan
Polusi Udara Vector Borne
Disease
Water Borne Disease
Sumber air dan suplai makanan
Lingkungan pengungsi
Stress Penyakit jantung
Penyakit paru Asma
Malaria Dengue Hemorrhagic
fever Encehalitis
Hania virus pulmonary syn
Rift Valley Fever Cholera
Cyclosporodiosis Criptosporodiosis
Campylobacateriosis Leptospirosis
Kelaparan Diare
Penyakit infeksi Perangkonflik
1,5 – 6 C th 2100
14 – 80 cm th 2100 perkiraan IPCC
Gambar 3. Efek Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan
24
2.6. Pencegahan dan Pemberantasan penyakit DBD