Peran Faktor Potensial pada Pemanfaatan Tanaman Anti Nyamuk Kualitas Sanitasi Lingkungan

61 regresinya : Y = a + bx, jadi Kejadian Kasus = 37192 + 142 kelembaban. Berdasarkan persamaan tersebut bahwa setiap peningkatan 1 kelembaban akan memberikan perubahan peningkatan kejadian 142 kasus. Grafik persamaan regresi linier antara kasus DBD dengan tingkat suhu disajikan pada Gambar 17. R H K a s u s 2 7 2 2 7 0 2 6 8 2 6 6 2 6 4 2 6 2 2 5 0 0 0 2 0 0 0 0 1 5 0 0 0 1 0 0 0 0 5 0 0 0 y = 37192 + 142 x Gambar 17. Grafik persamaan regresi linier antara kasus DBD dengan tingkat kelembaban Berdasarkan Gambar 17 menunjukkan bahwa kelembaban merupakan faktor yang berperan pada kejadian kasus DBD di DKI Jakarta. Peningkatan populasi Aedes aegypti karena maturasi pematangan telur memberikan kesesuaian bahwa kelembaban telah berperan terhadap peningkatan aktifitas menggigit dan berkembang biak.

5.1.3 Peran Faktor Potensial pada Pemanfaatan Tanaman Anti Nyamuk

Berdasarkan hasil penelitian M. Rusdi 2006 dinyatakan bahwa tanaman Lavender pada kelopak bunganya dapat menjadi Repellent penolak serangga pada rentang 60 cm – 100 cm. Sedangkan pada tanaman Zodia menurut Rizqo Qorib 2006 dapat menjadi Repellent pada rentang 45 – 90 cm. Dari hasil survai dan pengamaatan dilapangan, pemanfaatan tanaman anti nyamuk banyak terdapat diwilayah jakarta Selatan yaitu 34,5 dan yang terendah terdapat di Jakarta Utara yaitu 6,5 . Distribusi pemanfataan tanaman anti nyamuk terdapat pada Tabel. 10. 62 Tabel 10. Distribusi pemanfaatan tanaman anti nyamuk dan kasus DBD Januari – Juni 2007 Rumah dengan Tanaman Anti Nyamuk Kasus DBD Januari – Juni 2007 No Wilayah Jumlah Kepala Keluarga Jumlah Jumlah 1 Jakarta Utara 50 4 6,5 2846 2 Jakarta Pusat 50 11 18 2859 3 Jakarta Barat 60 7 11,5 3484 4 Jakarta Timur 65 18 29,5 7290 5 Jakarta Selatan 60 21 34,5 7169 Total 285 61 100 23.548 Dari hasil analisis statistik dengan Chi Square yang terdapat pada Tabel. 11. menunjukkan nilai p α, 0,449 α. Jika α = 0,05. Dari nilai tersebut ternyata tanaman anti nyamuk tidak memberikan korelasi yang bermakna terhadap tingkat kejadian kasus DBD. Tabel 11. Hasil Analisis Pemanfataan Tanaman Anti Nyamuk terhadap Tingkat Kejadian Kasus DBD Januari – Juni 2007 Tingkat Kejadian Kasus DBD Jumlah KK yang memanfaatkan Tanaman Anti Nyamuk Chi-Squarea,b 1.600 .000 df 2 4 Asymp. Sig. .449 1.000 Kemampuan proteksi repellent yang terdapat pada tanaman Lavender pada rentang 60 – 100 cm belum dapat memberikan efektif jika kuantitas nyamuk lebih besar dan bertambah dari kemampuan proteksi repellent tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan tanaman anti nyamuk juga harus dilakukan secara simultan terhadap pengelolaan lingkungan yang berkaitan pada tempat perkembang biakkan, tempat peristirahatan dan tempat mencari makan.

5.1.4. Kualitas Sanitasi Lingkungan

Sanitasi lingkungan merupakan suatu cara menjaga kualitas lingkungan melalui pengelolaan tempat penampungan air, pengelolaan sampah dan limbah. Kondisi lingkungan yang saniter diperlukan untuk mencegah laju pertambahan tempat perkembang biakkan nyamuk yang akan memberikan pengaruh pada peningkatan populasi dan peluang infektasi pada orang yang rentan host yang 63 susceptibel untuk terjangkit virus Dengue sebagai Agent penyebab penyakit DBD. Pengelolaan sanitasi lingkungan pada tempat penampungan air akan memberikan upaya pencegahan yang nyata, karena terjadi hambatan dan kondisi yang tidak optimal untuk perkembang biakkan nyamuk. Tindakan menutup tempat penampungan air dan merubah kulitas ph air akan memberikan keterkaitan pada peningkatan populasi nyamuk, hal ini dapat dijelaskan pada Tabel 12 mengenai tampat penampungan air yang tidak tertutup dan keberadaan jentik positif. Tabel 12. Pengelolaan air bersih sebagai tempat penampungan air dan keberadaan jentik pada TPA. Tempat Penampungan Air tidak tertutup TPA + ada jentik No Wilayah Jumlah Kepala Keluarga Jumlah Jumlah 1 Jakarta Utara 50 18 11,9 5 11,6 2 Jakarta Pusat 50 12 7,8 4 9,5 3 Jakarta Barat 60 38 24,8 11 25,5 4 Jakarta Timur 65 49 32 14 32,5 5 Jakarta Selatan 60 36 23,5 9 20.9 Total 285 153 100 43 100 Berdasarkan Tabel 12 wilayah yang ditemukan tempat penampungan air yang tidak tertutup dengan jumlah yang terbanyak yaitu di Jakarta Timur 32 . Sedangkan terendah terdapat pada Jakarta Pusat yaitu 7,8 . Dari data tersebut ada gambaran yang nyata mengenai tempat penampungan air yang tidak tetutup dengan keberadaan jentik, karena nyamuk Aedes aegypti akan mencari air yang tergenang dan bersih untuk meletakkan telur pada sisi atau pinggir tempat penampungan air. TPA positif dengan jentik terbanyak terdapat di wilayah Jakarta Timur 32,5 sedangkan terendah terdapat diwilayah Jakarta Pusat yaitu 9,5 . Hasil analisis keterkaitan tempat penampungan air TPA yang tidak tertutup dengan TPA positif ditemukan jentik, berdasarkan Tabel 13 menujukkan adanya korelasi yang bermakna bahwa TPA yang positif ditemukan jentik ada pengaruh dari TPA yang tidak tertutup. Hal ini ditunjukkan dengan nilai : p α, p = 0,01. 64 Tabel 13. Hasil analisis TPA yang tidak tertutup dan TPA positif ditemukan jentik Test Value = 0 t df Sig. 2- tailed Mean Difference 95 Confidence Interval of the Difference Lower Upper Tempat Penampungan Air yang tidak Tertutup pada tiap rumah 4.494 4 .011 30.600 11.70 49.50 TPA positif Ditemukan Jentik 4.623 4 .010 8.600 3.44 13.76 Menurut Soeroso 2001 rentang waktu dari nyamuk meletakkan telur hingga menjadi dewasa berlangsung selama 10 – 12 hari, hal ini menjadi dasar untuk melakukan salah satu gerakkan 3M yaitu menguras dan menutup TPA. Menguras pada interval lebih kurang 6 hari sehingga permukaan dan dinding TPA menjadi tidak optimal untuk meletakkan telur dan Menutup agar terhindar dari peletakkan telur oleh nyamuk Aedes aegypti. Tabel 14. Hasil analisis TPA positif ditemukan jentik dengan tingkat kejadian kasus DBD Januari – Juni 2007. Test Value = 0 t df Sig. 2- tailed Mean Difference 95 Confidence Interval of the Difference Lower Upper TPA positif Ditemukan Jentik 4.623 4 .010 8.600 3.44 13.76 Tingkat Kejadian Kasus 6.000 4 .004 2.400 1.29 3.51 Pada Tabel 14 menjelaskan korelasi TPA yang positif ditemukan Jentik dengan kejadian kasus DBD. Adanya TPA positif ditemukan jentik akan memberikan peluang peningkatan populasi dan infektasi nyamuk pada orang yang rentan. Jika TPA yang positif ditemukan jentik kuantitasnya meningkat akan memberikan pengaruh pada kejadian kasus DBD. 65 Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada Tabel 14 menunjukkan bahwa ada korelasi yang bermakna antara TPA positif yang ditemukan jentik dengan tingkat kejadian kasus DBD. Dari hasil tersebut p α, p = 0,004. Pengelolaan sanitasi lingkungan pada tempat penampungan sampah dan pembuangan limbah jika dilakukan dengan baik akan memberikan kondisi yang tidak optimal bagi nyamuk untuk berkembang biak. Tempat penampungan sampah yang terdapat kaleng bekas dan wadah dapat menampung air, demikian juga tempat pembuangan limbah yang tidak mengalir dan tergenang akan menjadi tempat perkembang biakkan nyamuk. Menurut Hasyimi 1993 nyamuk Aedes aegypti telah dapat beradaptasi dengan air tergenang yang tidak bersih, karena pertambahan tempat perkembang biakkan TPN yang menyebabkan peningkatan populasi nyamuk. Tabel 15. Pengelolaan sanitasi sampah dan limbah Pengelolaan Sanitasi Sampah Pengelolaan Sanitasi Limbah No Wilayah Jumlah Kepala Keluarga Jumlah Jumlah 1 Jakarta Utara 50 22 14,8 11 11,7 2 Jakarta Pusat 50 32 21,6 29 30,8 3 Jakarta Barat 60 27 18,2 18 19,1 4 Jakarta Timur 65 31 20,9 15 15,9 5 Jakarta Selatan 60 36 24,5 21 22,5 Total 285 148 100 94 100 Berdasarkan Tabel 15 pengelolaan sanitasi sampah mulai dari tahap penampungan dan pembuangan yang dilakukan pada tiap KK per rumah terbanyak pada wilayah Jakarta Selatan 24,5 sedangkan terendah terdapat pada wilayah Jakarta Utara yaitu 14,8 . Penglolaan sanitasi sampah dilakukan terkoordinasi dan komunal. Sedangkan pada pengelolaan sanitasi limbah yang terbanyak pada wilayah Jakarta Pusat 30,8 dan terendah pada wilayah Jakarta Utara yaitu 11,7 . Keterbatasan lahan menyebabkan sebagian besar penanganan limbah belum dilakukan secara komunal dan terkoordinasi, sehingga keadaan tersebut menyebabkan banyak saluran yang tergenang dan memberikan peluang sebagai tempat perkembang biakkan nyamuk. 66 Tabel 16. Hasil analisis pengelolaan sanitasi sampah dengan tingkat kejadian kasus DBD Januari – Juni 2007. Test Value = 0 t df Sig. 2- tailed Mean Differenc e 95 Confidence Interval of the Difference Lower Upper Pengelolaan Sanitasi Sampah 12.442 4 .000 29.600 22.99 36.21 Tingkat Kejadian Kasus DBD 6.000 4 .004 2.400 1.29 3.51 Dari hasil analisis yang terdapat pada Tabel 16 menunjukkan p α, p = 0,004 sehingga ada korelasi yang bermakna pada kualitas pengelolaan sanitasi sampah dengan tingkat kejadian kasus DBD. Menurut Hasan Basri 2005 pengelolaan sampah yang baik pada setiap tahapan dimulai dari tahap pengumpulan, penampungan dan pembuangan akan meminimilasi Breeding tempat perkembang biakkan dan Resting tempat peristirahatan nyamuk. Menurut Kasnodiharjo 1997 Sampah non organik seperti kaleng bekas dan kemasan plastik dapat menampung air terutama pada musim hujan sehingga akan terjadi peningkatan jentik larva. Sedangkan menurut Lardeux 2002 pergerakan nyamuk Aedes aegypti tidak akan jauh dari habitat larva yaitu pada sampah dan air yang tergenang. Pergerakan nyamuk Aedes aegypti menurut Gubler 1979 lebih kurang berjarak 100 -150 m dari tempat perkembang biakkan. Pada Tabel 17 dijelaskan tentang pengelolaan sanitasi limbah dengan kejadian kasus DBD. Tabel 17. Hasil analisis pengelolaan sanitasi limbah dengan tingkat kejadian kasus DBD Januari – Juni 2007. Test Value = 0 t df Sig. 2-tailed Mean Difference 95 Confidence Interval of the Difference Lower Upper Tingkat Kejadian Kasus DBD 6.000 4 .004 2.400 1.29 3.51 Pengelolaan Sanitasi Limbah 6.185 4 .003 18.800 10.36 27.24 67 Berdasarkan penjelasan Lardeux dan Gubler menunjukkan bahwa pengelolaan sampah dan limbah yang tidak saniter dapat menjadi Breeding dan Resting nyamuk. Dari hasil analisis yang terdapat pada Tabel 17 menunjukkan pengelolaan sanitasi limbah mempunya korelasi yang bermakna p α, dengan nilai p = 0,03. Tindakan pencegahan dengan Fogging pengasapan menurut Suhardiono 2002 dapat dilakukan jika ; cara lain tidak efektif, telah menimbulkan kasus yang meningkat pada umur produktif dan populasi nyamuk betina cukup banyak. Tindakan pengasapan sebaiknya menurut Soeroso 2001 hanya sebagai proteksi terhadap kemungkinan adanya TPN tempat perkembangbiakkan yang muncul pada pengelolaan lingkungan yang sudah dilakukan secara optimal. Pada Tabel 18. dijelaskan tindakan Fogging fokus dan Fogging sebelum musim penularan. Tabel 18. Frekuensi pelaksanaan Fogging Fokus dan Fogging sebelum Musim Penularan. Frekuensi Fogging Fokus Frekuensi Fogging Sebelum Musim Penularan No Wilayah Jumlah Jumlah 1 Jakarta Utara 138 13,7 30 11,6 2 Jakarta Pusat 113 11,3 41 15,9 3 Jakarta Barat 155 15,5 56 21,7 4 Jakarta Timur 299 29,8 65 25,4 5 Jakarta Selatan 298 29,7 65 25,4 Total 1003 100 257 100 Pelaksanaan Fogging Fokus dilakukan pada wilayah kelurahan yang dilaporkan adanya penderita DBD, sedangkan Fogging sebelum musim penularan dilakukan pada saat transisi pergantian musim atau pada periode menjelang musim hujan. Dari data yang ada pada Tabel 18 menunjukkan frekuensi Fogging fokus terbanyak dilakukan pada wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan masing- masing 29,8 dan 29,7 . Demikian pula pada Fogging sebelum musim penularan juga terdapat pada wilayah yang sama yaitu 25,4 , frekuensi terendah terdpat diwilayah Jakarta Utara yaitu 11,6 . Pada Tabel 19 dijelaskan keterkaitan Fogging Fokus dengan tingkat kejadian kasus DBD. 68 Tabel 19. Hasil analisis Frekuensi Fogging Fokus dengan Tingkat Kejadian Kasus DBD Januari – Juni 2007. Correlations Jumlah Frekuensi Fogging Fokus Tingkat Kejadian Kasus Jumlah Frekuensi Fogging Fokus Pearson Correlation Sig. 2-tailed 1 0.656 0.229 N 5 5 Tingkat Kejadian Kasus Pearson Correlation Sig. 2-tailed 0.656 0.229 1 N 5 5 Berdasarkan Tabel 19 dapat dinyatakan bahwa Fogging Fokus tidak menunjukkan korelasi yang bermakna terhadap tingkat kejadian kasus DBD, ditandai dengan p α, p = 0,656. Dari hasil tersebut membuktikan bahwa tindakan Fogging Fokus tidak memiliki korelasi terhadap penurunan kasus DBD tanpa dilakukan pengelolaan sanitasi lingkungan, terutama pada tempat penampungan air, pengeloaann sampah dan limbah. Pencegahan yang dilakukan pada transisi musim melalui tindakan Fogging sebelum musim penularan juga tidak akan efektif jika jumlah TPN semakin meningkat. Pada Tabel 20 dijelaskan keterkaitan Fogging sebelum musim penularan dengan tingkat kejadian kasus DBD. Tabel 20. Hasil analisis Frekuensi Fogging Sebelum Musim Penularan dengan Tingkat Kejadian Kasus DBD Januari – Juni 2007. Correlations Jumlah Frekuensi Sebelum Musim Penularan Tingkat Kejadian Kasus Tingkat Kejadian Kasus Pearson Correlation Sig 2-tailed 1 0.939 0.018 N 5 5 Jumlah Frekuensi Fogging sebelum Musim Penularan Pearson Correlation Sig. 2-tailed N 0.939 0.018 5 1 5 Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 20 menunjukkan bahwa frekuensi Fogging sebelum musim penularan tidak terjadi korelasi yang bermakna pada tingkat kejadian kasus DBD, dengan nilai p α, p = 0,939. Hal ini menegaskan bahwa tindakan pencegahan tersebut tidak memberikan pengaruh yang efektif terhadap penurunan kasus DBD jika tidak dilakukan pengelolaan sanitasi 69 lingkungan. Pernyataan ini juga sesuai dengan yang ditegaskan oleh Suhardiono 2002 bahwa tindakan Fogging yang dilakukan tanpa pengelolaan sanitasi lingkungan akan memberikan resistensi kekebalan pada nyamuk Aedes aegypti.

5.1.5 Nilai Kerugian Akibat Kejadian Kasus DBD