hari dan paling tinggi pada sore hari, cuaca sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap dan organisasi apa yang memberikan data tersebut tidak
terdapat standar ambang batas temperatur atau suhu untuk mengidentifikasikan titik panas Fire FightSouth East Asia, 2002.
Titik panas hotspot hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Kelompok titik panas hotspot dan atau titik
panas hotspot yang berjumlah besar dan berlangsung secara terus menerus adalah indikator yang baik untuk kebakaran titik api. Data titik panas hotspot
bermanfaat apabila dikombinasikan dengan informasi-informasi seperti mengenai penggunaan lahan, penutupan tanaman, habitat binatang atau peta-peta lainnya.
Kesalahan bias atau geografi dari sebuah titik panas hotspot dapat sampai sejauh 3 km Fire Fight South East Asia, 2002. Areal-areal Hotspot meliputi sebagai berikut
Heryalianto, 2006 : a.
Areal dengan deforestasi yang baru terjadi atau tengah terjadi sekarang menghubungkan kombinasi kecepatan atau intensitas yang berbeda dari
perubahan penutupan hutan tinggi, sedang dan rendah dan keadaan penutupan hutan yang berbeda rapat, terpecah-pecah dan kerapatan rendah.
b. Areal-areal yang memiliki resiko perubahan penutupan lahan yang tinggi.
2.3. Keetch and Byram Drought Index KBDI
Indeks kekeringan adalah nilai yang mewakili pengaruh bersih net evapotranspirasi dan presipitasi dalam menghasilkan defisiensi kelembaban
Universitas Sumatera Utara
kumulatif pada serasah tebal atau lapisan tanah bagian atas. Indeks kekeringan merupakan jumlah yang berkaitan dengan daya nyala flammability bahan-bahan
organik pada tanah Deeming,1995. Sistem bahaya kebakaran ini dikembangkan oleh John E. Deeming tahun 1995 yang didasarkan pada indeks musim kemarau
Keetch-Byram. Sistem ini dikembangkan di Amerika Serikat tahun 1968 sampai sekarang, tetapi KBDI telah diterapkan pula dengan beberapa modifikasi oleh orang-
orang Australia dan negara lain yang sebagian besar beriklim tropis Deeming, 1995. Untuk menghitung KBDI pada daerah tertentu harus dimulai pada posisi
tertentu harus dimulai pada posisi nol, yaitu pada saat satu hari setelah masa hujan dengan curah hujan sebanyak 150 – 200 mm dalam seminggu. Dari kemungkinan
KBDI menunjukkan kemungkinan terjadinya kebakaran yang diekspresikan melalui nilai indeks yang berkisar dari 0 – 2000 Keetch dan Byram, 1988 dalam
Heryalianto, 2006. Kisaran nilai KBDI 2000 tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kategori dengan pembagian sebagai berikut :
Tabel 2.1. Kriteria Kerawanan Kebakaran Berdasarkan Keetch-Byram Drought Index
Interval kelas Kategori Rawan
0 – 999 Rendah
1000 – 1499 Sedang
1500 – 2000 Tinggi
Universitas Sumatera Utara
2.4. Curah Hujan Rainfall
Deposisi precipitation didefinisikan sebagai bentuk cairan dan air padat es yang jatuh ke permukaan bumi Tjasyono, 1999. Hujan adalah bentuk umum dari
deposisi yang terjadi di Indonesia. Curah hujan adalah salah satu komponen iklim di Indonesia yang memiliki keragaman dalam skala ruang dan waktu. Jumlah curah
hujan yang terjadi sebuah lokasi diasumsikan sama dengan jumlah curah hujan di sekitar stasiun curah hujan, tetapi luasan curah hujan sangat bergantung pada
homogenitas area dan kondisi cuaca lainnya. Di Indonesia, variabilitas curah hujan sangat tinggi dalam skala ruang dan waktu. Berdasarkan skala ruang, variabilitas
curah hujan secara garis besar dipengaruhi oleh faktor geografi lokasi dari lautan dan benua, topografi, elevasi dan arah angin. Dalam skala waktu, variasi curah
hujan dibagi ke dalam curah hujan harian, bulanan dan tahunan. Curah hujan merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pertanian di suatu
daerah. Data rata-rata curah hujan bulanan dapat memberikan gambaran tentang gejala dari suatu pola iklim daerah tertentu, seperti kekeringan atau kebasahan
daerah. Data curah hujan bulanan hanya berguna sebagai alat untuk menentukan iklim suatu daerah.
Informasi tentang curah hujan sangat berguna untuk memprediksi area yang berpotensi bencana. Wilayah Kota Medan merupakan wilayah yang sangat
terpengaruh dengan perubahan musim. Kota Medan memiliki potensi bencana banjir yang tinggi pada musim hujan terutama ketika hujan terjadi secara berturut-turut
Universitas Sumatera Utara
dalam beberapa hari Sirait, 2010. Masalah-masalah tersebut memicu berkembangnya monitoring hujan, bukan hanya menggunakan sensor hujan
konvensional tetapi juga menggunakan metode penginderaan jauh remote sensingAs-Syakur et al., 2011. Berdasarkan Aldrian 2003, propinsi Sumatera
Utara termasuk dalam wilayah hujan Australian monsoon yang memiliki 2 puncak musim hujan dan 2 puncak musim kemarau.
2.4.1. Penakar Hujan Rain Gauge
Observasi dengan menggunakan Penakar Hujan konvensional Rain gauge mempunyai akurasi yang tinggi pada titik pengamatan, tetapi pengukuran
konvensional ini memiliki kelemahan secara spasial. Sebagai contoh tidak ada penakar hujan yang dipasang di laut dan wilayah tidak berpenduduk Petty and
Krajewski, 1996. Untuk Kota Medan ada 4 empat stasiun pengamatan curah hujan di bawah tanggungjawab BMKG yaitu Stasiun Sampali, Tuntungan, Belawan
dan Polonia. Namun, sebagian besar penakar hujan terpasang secara menyebar dan tidak proposional pada wilayah tersebut. Selain itu, sebagian besar penakar hujan di
Medan merupakan penakar hujan observasi OBS Gambar 2.1. Penakar hujan jenis ini memerlukan ketelitian dan ketekunan dalam pengamatan karena
pengamatan harus dilakukan setiap hari. Oleh karena sistem penakar hujan yang masih konvensional dan manual, hal tersebut memberi peluang terhadap kesalahan
pengukuran oleh karena faktor manusia human factor.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Penakar Hujan Observasi OBS
2.4.2. Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission TRMM
Satelit TRMM Tropical Rainfall Measuring Mission diluncurkan pada tanggal 27 Nopember 1997 yang membawa 5 sensor utama yaitu PR Precipitation Radar,
TMI TRMM Microwave Imager, VIRS Visible Infrared Scanner, LISLightning Imaging Sensor dan CERES Clouds and Earth’s Radiant Energy System . Satelit
TRMM dapat digunakan untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis termasuk di dalamnya adalah untuk prediksi curah hujan. Satelit TRMM tersebut
merupakan hasil kerjasama dua badan antariksa nasional, yaitu Amerika Serikat NASA : National Aeronautics and Space Administration dan Jepang NASDA :
National Space Development of Japan; sekarang berubah menjadi JAXA : Japan
Universitas Sumatera Utara
Aerospace Exploration Agency, berorbitpolar non-sun-synchronous dengan inklinasi sebesar 35 º terhadap ekuator, berada pada ketinggian orbit 350 km pada
saat-saat awal diluncurkan, dan diubah ketinggian orbitnya menjadi 403 km sejak 24 Agustus 2001 sampai sekarang. Pengoperasian satelit TRMM pada ketinggian
orbit 403 km ini dikenal dengan istilah TRMM boost. Karakteristik umum sensor-sensor satelit TRMM dapat diungkapkan sebagai
berikut. Pertama, sensor VIRS Visible Infrared Scanner terdiri dari 5 kanal, masing-
masing pada panjang gelombang 0,63; 1,6; 3,75, 10,8 dan 12 μm. Sensor VIRS ini terutama digunakan untuk pemantauan liputan awan, jenis awan dan
temperatur puncak awan, dan sensor VIRS TRMM ini memiliki kemiripan dengan sensor AVHRR NOAA Advance Very High Resolution Radiometer, National
Oceanic and Atmospheric Administration. Resolusi spasial dari data yang dihasilkan oleh sensor VIRS ini adalah 2,2 km. Kedua, sensor TRMM Microwave
Imager TMI merupakan suatu multichannel passive microwave radiometer yang beroperasi pada 5 frekuensi yaitu 10,65; 19,35; 37,0; dan 85,5 GHz polarisasi ganda
dan pada 22,235 GHz polarisasi tunggal. Dari sensor TMI ini dapat diekstraksi data- data untuk integrated column precipitation content, air cair dalam awan cloud liquid
water, es awan cloud ice, intensitas hujan rain intensity, tipe hujan rain type misalnya hujan stratiform ataukah hujan konvektif. Sensor TMI ini memiliki
kemiripan dengan sensor SSMI DMSP Special Sensor Microwave Imager, Defense Meteorological Satellite Program. Sensor ketiga adalah sensor
Universitas Sumatera Utara
Precipitation Radar PR. Sensor PR ini merupakan sensor radar untuk pemantauan presipitasi yang pertama di antariksa. Sensor PR ini bekerja pada frekuensi 13,8 GHz
untuk mengukur distribusi presipitasi secara 3 tiga dimensi, baik untuk presipitasi di atas daratan maupun di atas lautan; serta untuk menentukan kedalaman lapisan
presipitasi. Perkembangan baru dari TRMM adalah Tropical Rainfall Measuring Mission
Multi Satellite Precipitation Analysis TMPA. TMPA adalah sebuah satelit multiplatform constellation satellite yang didesain untuk mengkombinasikan estimasi
curah hujan dari beberapa sistem satelit dimana hasil estimasi satelit TRMM sama baiknya seperti estimasi dari penakar hujan terestial Huffman et al., 2007. Produk
satelit TRMM memiliki resolusi spasial 0.25 x 0.25
dan resolusi temporal yaitu setiap 3-jam Huffman et al., 2007. TRMM system didesain untuk menggabungkan
perkiraan hujan dari berbagai satelit sehingga menghasilkan estimasi curah hujan yang sama baiknya dengan penakar hujan Scheel et al., 2011. TRMM adalah satelit
dengan cakupan spasial yang luas dan memungkinkan untuk mengestimasi curah hujan di daerah terpencil dan tidak dihuni manusia Juaeni et al., 2010. Selain itu,
TRMM memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam memetakan kejadian hujan ekstrim misalnya pada saat terjadinya ENSO di lautan pasifik Juaeni et al., 2010.
Universitas Sumatera Utara
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Tempat dan waktu
Penelitian ini dilaksanakan di propinsi Sumatera Utara yang terletak pada 1° - 4° LU dan 98° - 100° BT, yang pada tahun 2011 memiliki 25 Kabupaten dan 8 kota,
dan terdiri dari 325 kecamatan, secara keseluruhan Provinsi Sumatera Utara mempunyai 5.456 desa dan kelurahan Pemprovsu,2013.
Gambar 3.1. Lokasi Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Secara topografi, wilayah Propinsi Sumatera Utara bagian Timur terdiri dari dataran rendah 100 msl, bagian tengah Propinsi Sumatera terdiri dari wilayah
pegunungan bukit barisan 100 – 2.835 msl, bagian Barat terdiri dari dataran rendah 100 msl. Luas daratan Propinsi Sumatera Utara 72.981,23 km2. Penelitian ini
dilaksanakan mulai tanggal 10 Oktober 2013 hingga selesai.
3.2. Bahan dan Alat
3.2.1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan dan suhu udara harian selama 3 tahun yaitu tahun 2010 hingga 2012 dari 4 stasiun BMKG
yang ada di propinsi Sumatera Utara. Data curah hujan dari satelit TRMM dan data titik panas hotspot juga pada tahun yang sama. Adapun bahan-bahan yang
digunakan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Data curah hujan harian dari alat penakar hujan OBS
Data curah hujan harian diperoleh dari 4 alat penakar hujan yang dioperasikan Balai Besar BMKG Regional I Medan untuk period 1 Januari 2010 s.d. 31 Desember
2012. Pemilihan stasiun penakar hujan berdasarkan pada ketersediaan data secara kontinue dan lokasi. Propinsi Sumatera Utara dibagi menjadi 3 wilayah yaitu pantai
Timur, pantai Barat dan pegunungan, pembagian wilayah ini sering digunakan oleh balai besar BMKG regional I karena kekurangan stasiun pengamatan cuaca yang ada
di propinsi Sumatera Utara. Untuk lebih memahami karakteristik data TRMM
Universitas Sumatera Utara
terhadap kondisi lokal di tiap wilayah, maka dipilih beberapa stasiun yang terletak pada topografi yang berbeda-beda. Adapun stasiun yang datanya akan digunakan
dalam penelitian ini adalah sbb : Tabel 3.1. Koordinat dari alat penakar hujan yang dipergunakan
Wilayah Stasiun Utama
Lat Long
Elevasi msl
Pantai Timur Polonia
3.57 98.68
28 Tuntungan
3.50 98.56
79 Pegunungan
Parapat 2.70
98.93 1337
Pantai Barat Gunung Sitoli
1.23 97.64
131
Sebelum data digunakan, maka dilakukan proses filtering untuk meningkatkan kualitas data. Salah satu masalah yang mungkin terjadi dalam data adalah adanya
pencilan Outliers. Metode yang akan dipergunakan dalam penelitian ini yaitu : Metode Grub’s test. Salah satu tehnik yang dapat digunakan dalam mendeteksi
keberadaan data pencilan outliers yaitu Grubbs’ test. Grubbs test juga disebut sebagai metode ESD Extreme Studentized Deviate Barnett and Lewis, 1994.
Secara prinsip Grub’s test dilakukan dengan berdasarkan analisa rasio Z. Apabila suatu data memiiki nilai Z yang besar maka data tersebut memiliki perbedaan yang
besar dari yang lain. Nilai Z diperoleh dari perbandingan perbedaan antara outlier dan rata-rata data terhadap Standar Deviasi SD data Barnett and Lewis, 1994.
Satu hal yang menjadi perhatian dalam metode ini bahwa hasil dari perhitungan rata-
Universitas Sumatera Utara
rata dan standar deviasi melibatkan outlier termasuk dalam perhitungan rata-rata dan standar deviasi.
.................................................................persamaan 1 dimana ;
= Rata-rata curah hujan bulanan dalam bulan i dan tahun i. = Curah hujan bulanan dalam bulan i dan tahun i.
SD
i
= Standar deviasi curah hujan dalam bulan i dan tahun i. Perhitungan standar deviasi dilakukan berdasarkan seluruh data sehingga
keberadaan outlier akan meningkatkan perhitungan standar deviasi SD tapi karena numerator
dan denominator SD juga meningkat maka harga Z tidak akan mencapai nilai sangat tinggi. Nilai Z tidak dapat lebih tinggi dari N-1
√N N = jumlah data. Dalam penelitian ini. Dengan N=13, Z harus selalu kurang dari 1.46
dengan confidence level 90 GRAPHAD, 2005.
b. Data curah hujan harian dari satelit TRMM 3B42RT