k. Peta Rawan Bencana Kebakaran Hutan bulan November
Pada bulan November tahun 2010 secara umum nilai KBDI di daerah Sumatera Utara berada pada tingkat rendah, kecuali disebagian daerah-daerah tertentu terjadi
tingkat sedang
Gambar 4.48. Peta KBDI Bulan November tahun 2010 Berdasarkan Data satelit TRMM
Universitas Sumatera Utara
Pada bulan November tahun 2011 secara umum nilai KBDI yang terjadi di Sumatera Utara berada pada tingkat rendah sama dengan tahun 2010, kecuali
disebagian daerah sebelah Utara suamtera Utara dan Barat Nias terjadi tingkat sedang.
Gambar 4.49. Peta KBDI Bulan November tahun 2011 Berdasarkan Data satelit TRMM
Universitas Sumatera Utara
Pada bulan November tahun 2012 secara umum nilai KBDI yang terjadi umumnya nilai KBDI di daerah Sumatera Utara berada pada tingkat rendah hampir
sama dengan tahun 2010 dan 2011, kecuali sebagian kecil di daerah-daerah tertentu terjadi pada nilai KBDI tingkat sedang.
Gambar 4.50. Peta KBDI Bulan November tahun 2012 Berdasarkan Data satelit TRMM
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan untuk rataan nilai KBDI bulan November selama 3 tahun yaitu tahun 2010 sampai 2012, nilai KBDI yang terjadi hampir sama dengan nilai KBDI
tahunannya, dimana secara umum nilai KBDI di daerah Sumatera Utara berada pada tingkat rendah, kecuali sebagian kecil di daerah-daerah tertentu terjadi pada tingkat
sedang.
Gambar 4.51. Peta KBDI Rata-Rata Bulan November Berdasarkan Data satelit TRMM
Universitas Sumatera Utara
l. Peta Rawan Bencana Kebakaran Hutan bulan Desember
Pada bulan Desember tahun 2010 secara umum nilai KBDI di daerah Sumatera Utara berada pada tingkat sedang, kecuali sebagian daerah pegunungan dan bagian
Barat pulau Nias berada pada nilai KBDI tingkat rendah sedangkan tingkat tinggi terjadi pada sebagian daerah sebelah Barat Sumatera Utara dan bagian Selatan pulau
Nias.
Gambar 4.52. Peta KBDI Bulan Desember tahun 2010 Berdasarkan Data satelit TRMM
Universitas Sumatera Utara
Pada bulan Desember tahun 2011 secara umum nilai KBDI yang terjadi di Sumatera Utara berada pada kisaran tingkat rendah hingga sedang, kecuali sebagian
kecil daerah di sekitar Nias bagian Selatan terjadi pada tingkat tinggi.
Gambar 4.53. Peta KBDI Bulan Desember tahun 2011 Berdasarkan Data satelit TRMM
Universitas Sumatera Utara
Pada bulan Desember tahun 2012 secara umum nilai KBDI yang terjadi umumnya nilai KBDI di daerah Sumatera Utara berada pada tingkat rendah, kecuali
sebagian kecil di daerah-daerah tertentu terjadi pada tingkat sedang.
Gambar 4.54. Peta KBDI Bulan Desember tahun 2012 Berdasarkan Data satelit TRMM
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan untuk rataan nilai KBDI bulan Desember selama 3 tahun yaitu tahun 2010 sampai 2012, secara umum nilai KBDI di daerah Sumatera Utara berada pada
tingkat sedang, kecuali sebagian daerah pegunungan dan bagian Barat pulau Nias berada pada nilai KBDI tingkat rendah sedangkan tingkat tinggi terjadi pada
sebagian daerah sebelah Barat Sumatera Utara dan Selatan pulau Nias.
Gambar 4.55. Peta KBDI Rata-Rata Bulan Desember Berdasarkan Data satelit TRMM
Universitas Sumatera Utara
4.1.6. Validasi Peta KBDI menggunakan data hotspot satelit AquaTerra
Dari hasil validasi peta KBDI dengan titik-titik hotspot yang terjadi selama 3 tahun pada tahun 2010 hingga 2012 yang mana terdapat 518 buah titik hotspot,
terlihat bahwa sebanyak 66 dari titik hotspot yang ada terjadi pada wilayah yang memiliki nilai KBDI tinggi, 30 data hotspot berada pada wilayah yang memiliki
nilai KBDI sedang dan sebanyak 4 titik hotspot berada pada wilayah dengan nilai indeks KBDI rendah gambar 4.56.
Gambar 4.56 Hasil overlay peta KBDI dengan Data Hotspot tahun 2010-2012
Universitas Sumatera Utara
Selain validasi dengan menggunakan overlay antara titik hotspot dan peta KBDI hasil perhitungan seperti diatas, dalam hal ini dilakukan juga overlay dari titik
hotspot per bulan terhadap peta KBDI dengan menggunakan data hotspot bulan Juli 2011 dan Agustus 2010. Hasil peta overlay bulan Agustus 2010 dan Juli 2011
memperlihatkan bahwa sebagian besar titik hotspot terjadi pada wilayah dengan nilai KBDI tinggi warna ungu muda.
Gambar 4.57. Hasil overlay peta KBDI dengan Data Hotspot Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.58. Hasil validasi peta KBDI dengan Data Hotspot Juli 2011
Universitas Sumatera Utara
4.2. Pembahasan
Hasil korelasi antara data curah hujan observasi dengan data TRMM memperlihatkan dimana nilai koefisien korelasi r bervariasi untuk setiap stasiun
observasi. Perbedaan nilai koefisien korelasi tersebut dikarenakan perbedaaan topografi lokasi stasiun dan juga perbedaan musim yang terjadi didaerah tersebut
baik maju atau mundurnya musim yang berjalan. Dari 4 empat stasiun utama yang dipergunakan, memperlihatkan curah hujan harian dari stasiun observasi di wilayah
pantai Timur memiliki korelasi yang signifikan di bandingkan dengan stasiun di wilayah lainnya. Korelasi terendah antara data curah hujan harian stasiun observasi
dan satelit TRMM berada di stasiun yang berada di wilayah pegunungan. Pola dinamika cuaca dan iklim di Sumatera Utara sangat beragam. Letak
geografis Sumatera Utara sangat unik dimana diapit oleh dua perairan yaitu: Selat Malaka dan Samudera Hindia serta dilalui pegunungan bukit barisan yang
membentang dari utara hingga selatan. Faktor lokal ini yang sangat berpengaruh terhadap pola dinamika cuaca propinsi Sumatera Utara. Pola distribusi curah hujan
di Sumatera Utara sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dan topografi yang ada sehingga menyebabkan variasi iklim di Sumatera Utara sulit diidentifikasi. Selain
faktor lokal, ada beberapa faktor regional dan global yang juga mempengaruhi keadaan klimatologis di Sumatera Utara. Salah satu faktor regional yang
berpengaruh yaitu Angin Musim Angin Monsun. Angin musim berubah arah setiap enam bulan sekali dimana Sumatera Utara dipengaruhi oleh monsun dingin dari Asia
Universitas Sumatera Utara
dan Monsun panas dari Australia Tjasyono, 2006. Selain Angin Musim, terdapat juga Madden Julian Oscilation MJO. Fenomena ini digambarkan dengan konveksi
yang sangat kuat dimulai dari equator lautan Hindia yang bergerak kearah timur Indonesia dengan periodesitas 15 - 45 harian. MJO sangat berpengaruh terhadap
fluktuasi hujan di Sumatera bagian utara, Nangroe Aceh Darussalam dan sebagian Indonesia.
Faktor global juga berpengaruh pada kondisi klimatologis Sumatera Utara misalnya El-Nino Southern Oscillation ENSO. Southern Oscillation Index SOI
merupakan indeks perbedaan tekanan udara antara Tahiti dan Darwin. Nilai SOI tersebut yang dijadikan dasar mengidentifikasi gangguan ENSO yang terjadi di
Indonesia baik fenomena El-Nino atau La-Nina Tjasyono, 2006. Adapun El-Nino adalah sebuah fenomena ENSO berupa terjadinya kekeringan yang panjang di
kawasan Australia dan sebagian Asia tengah. Sebaliknya, La-Nina adalah adalah fenomena cuaca berupa terjadinya hujan lebat yang berkepanjangan di kawasan
Indonesia dan sebagian Asia tengah. Selain ENSO, faktor global yang berpengaruh pada klimatologis Sumatera Utara yaitu Dipole Mode Index DMI. DMI adalah
gejala cuaca yang ditandai adanya perbedaan suhu muka laut antara perairan baratbarat daya Samudera Hindia dengan perairan Afrika Timur. DMI +
mengindikasikan adanya aliran massa uap air dari Indonesia ke Afrika Timur sehingga menambah suplai curah hujan di wilayah Sumatera Bagian Barat dan
sebaliknya.
Universitas Sumatera Utara
Rendahnya tingkat verifikasi antara satelit TRMM dan Curah Hujan observasi sangat dipengaruhi oleh kualitas dari banyaknya energi panas latent yang
dideteksi oleh sensor satelit TRMM sebagai dasar estimasi curah hujan oleh satelit TRMM NASA,2012. Salah satu faktor yang berpengaruh kualitas estimasi curah
hujan oleh satelit TRMM yaitu pengaruh dari gangguan atmosfer seperti awan dan kabut NASA, 2012. Sebagai mana diketahui, pola pegunugan Bukit Barisan
bersifat sebagai penghalang barrier terhadap aliran udara yang berasal dari sebelah barat ataupun sebelah timur Sumatera Utara. Faktor regional seperti MJO dan DMI,
menyebabkan pembentukan awan dominan terjadi di pantai barat Sumatera Utara dan di wilayah pegunungan Sumatera Utara. Hal tersebut memicu banyaknya
kondensasi awan terpusat pada daerah pantai barat dan pegunungan Sumatera Utara. Pola Hujan Orografis merupakan pola hujan yang paling umum terjadi di daerah
Sumatra Utara akibat adanya pegunungan Bukit Barisan Harjupa, 2012.
4.59. Mekanisme Hujan Orografis di Sumatera Harjupa, 2012
Universitas Sumatera Utara
Hujan orografis, yaitu hujan yang terjadi karena angin yang mengandung uap air yang bergerak horisontal dimana angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu
udara menjadi dingin sehingga terjadi kondensasi dan berakibat terjadinya hujan di sekitar pegunungan Tjasyono, 2006. Sebagai akibatnya, maka banyak energi latent
yang terhalang sampai ke sensor satelit TRMM sehingga mempengaruhi kualitas estimasi curah hujan oleh satelit TRMM.
Grafik perbandingan nilai koefisien korelasi r antara 4 empat stasiun utama memperlihatkan sebuah pola dimana korelasi antara data curah hujan harian
observasi dan satelit TRMM akan mengalami trend positif menguat pada bulan- bulan basah Maret, April, Mei; Agustus hingga Desember dan sebaliknya korelasi
antara data curah hujan harian stasiun observasi dan satelit TRMM akan mengalami trend negatif melemah pada bulan-bulan kering ataupun bulan peralihan musim
kemarau ke musim hujan atau sebaliknya Januari, Februari dan Juni, Juli. As- Syakur et al 2011 menjelaskan dimana pada bulan-bulan kering musim kemarau,
sensor satelit TRMM lebih cenderung melakukan estimasi hujan overestimate sehingga terjadi perbedaan data bias yang lebih tinggi antara curah hujan harian
observasi dengan hasil estimasi satelit TRMM pada bulan-bulan musim kemarau. Grafik Curah Hujan Bulanan rata-rata berdasarkan satelit TRMM tahun 2009
– 2012 dari 4 empat stasiun utama memperlihatkan dimana bulan-bulan peralihan terjadi pada bulan Januari, Februari dan Juni, Juli Gambar 4.55. Hal ini signifikan
terhadap pola korelasi antara data satelit TRMM dan data observasi pada Gambar 4.1
Universitas Sumatera Utara
dimana korelasi rendah berada pada bulan-bulan kering tersebut As-Syakur et al, 2011. Sebaliknya curah hujan bulanan rata-rata lebih tinggi pada bulan Maret,
April, Mei; Agustus hingga Desember yang kita sebut sebagai bulan basah. Dan korelasi tinggi juga terjadi pada bulan-bulan basah tersebut sebagaimana ditampilkan
pada Gambar 4.1.
Gambar 4.60. Grafik Curah Hujan Bulanan Rata-Rata Berdasarkan Satelit TRMM Tahun 2009 – 2012
Dari Persamaan regressi linear yang dihasilkan untuk setiap stasiun utama tersebut kemudian dihitung estimasi curah hujan harian dengan basis data yaitu data
curah hujan satelit TRMM. Hasil estimasi curah hujan harian telah dipakai sebagai dasar perhitungan KBDI tahun 2010 s.d. 2012. Berdasarkan peta KBDI dari Januari
2010 hingga Desember 2012, terlihat bahwa untuk Propinsi Sumatra Utara, nilai KBDI tinggi secara umum terjadi pada bulan Februari dan Juni. Namun, nilai KBDI
tinggi juga selalu terlihat pada bulan Januari, Maret, April, Mei, Juli dan Agustus. Nilai KBDI tinggi artinya berkorelasi dengan tingginya resiko kebakaran hutan di
Universitas Sumatera Utara
wilayah tersebut. Dengan nilai KBDI tinggi mengindikasikan bahwa tanah di wilayah tersebut dalam keadaan kering dan mudah terbakar oleh adanya percikan
api. Wilayah yang dominan memiliki nilai KBDI tinggi yaitu Kabupaten Mandailing Natal, Padang Lawas dan Padang Lawas Utara.
Apabila dibandingkan Curah Hujan Bulanan rata-rata berdasarkan satelit TRMM, maka terlihat pola bahwa peristiwa titik panas banyak terlihat pada puncak
kemarau yaitu Februari dan Juni. Namun sulit membuktikan penyebab terjadinya titik panas tersebut secara langsung karena titik panas tersebut belum tentu
berkorelasi positif pada kebakaran hutanlahan Heryalianto, 2006. Dari pola titik panas yang dominan terjadi pada musim kemarau mengindikasikan dua
kemungkinan yaitu : 1.
Terjadinya kebakaran hutanlahan secara alami dipicu oleh kondisi tanah dan lahan yang kering.
2. Pihak-pihak tertentu sengaja melakukan pembakaran hutanlahan pada
bulan-bulan tersebut mengingat kondisi klimatologis yang mendukung banyaknya hari tanpa hujan.
Untuk mengetahui akurasi dari estimasi curah hujan harian berdasarkan data satelit TRMM maka telah dilakukan validasi menggunakan data hotspot dari satelit
AquaTerra. Data hotspot yang digunakan telah difiltering sehingga semua data hotspot yang digunakan memiliki tingkat kepercayaan pada kriteria : “Tinggi”
Confidence level 80 . Dari hasil validasi menggunakan data hotspot
Universitas Sumatera Utara
memperlihatkan bahwa sebanyak 66 hotspot terjadi di atas wilayah yang memiliki KBDI tinggi. Ketika sebuah wilayah memiliki nilai KBDI tinggi maka artinya
wilayah tersebut memang rawan terhadap bencana kebakaran hutan. Hal ini sangat sesuai dengan fakta bahwa hampir keseluruhan titik hotspot berada pada KBDI
dengan nilai tinggi. Selain itu, hasil overlay data hotspot per bulan pada bula Agustus 2010 dan Juli 2011 juga memperlihatkan dimana hampir keseluruhan titik
hotspot berada pada wilayah dengan nilai KBDI tinggi. Meskipun koefisien korelasi r dari tiap stasiun observasi per bulan masih rendah, namun terbukti bahwa hasil
perhitungan KBDI menggunakan data curah hujan harian satelit TRMM dapat digunakan sebagai alternatif perhitungan daerah rawan kebakaran hutan di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut : 1.
Korelasi antara data curah hujan harian stasiun observasi dan curah hujan harian satelit TRMM bervariasi pada setiap bulan, dimana korelasi tertinggi
terdapat pada stasiun di pantai Timur propinsi Sumatera Utara. 2.
Korelasi antara data curah hujan harian stasiun observasi dan curah hujan harian satelit TRMM menguat pada bulan-bulan kering dan bulan peralihan
musim kemarau ke musim hujan dan sebaliknya seperti Januari, Februari, Juli dan Juni.
3. Korelasi antara data curah hujan harian stasiun observasi dan curah hujan
harian satelit TRMM melemah pada bulan-bulan basah Maret,April,Mei; Agustus hingga Desember.
4. Hasil validasi menggunakan data hotspot satelit AquaTeraa Tahun 2010 –
2012 terhadap peta KBDI berdasarkan data hasil curah hujan harian hasil estimasi menunjukan bahwa 66 titik hotspot di Sumatera Utara terjadi pada
wilayah dengan nilai KBDI tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peta KBDI tersebut valid dan dapat dipergunakan sebagai alternatif informasi
daerah rawan kebakaran hutan di Propinsi Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara