dalam beberapa hari Sirait, 2010. Masalah-masalah tersebut memicu berkembangnya monitoring hujan, bukan hanya menggunakan sensor hujan
konvensional tetapi juga menggunakan metode penginderaan jauh remote sensingAs-Syakur et al., 2011. Berdasarkan Aldrian 2003, propinsi Sumatera
Utara termasuk dalam wilayah hujan Australian monsoon yang memiliki 2 puncak musim hujan dan 2 puncak musim kemarau.
2.4.1. Penakar Hujan Rain Gauge
Observasi dengan menggunakan Penakar Hujan konvensional Rain gauge mempunyai akurasi yang tinggi pada titik pengamatan, tetapi pengukuran
konvensional ini memiliki kelemahan secara spasial. Sebagai contoh tidak ada penakar hujan yang dipasang di laut dan wilayah tidak berpenduduk Petty and
Krajewski, 1996. Untuk Kota Medan ada 4 empat stasiun pengamatan curah hujan di bawah tanggungjawab BMKG yaitu Stasiun Sampali, Tuntungan, Belawan
dan Polonia. Namun, sebagian besar penakar hujan terpasang secara menyebar dan tidak proposional pada wilayah tersebut. Selain itu, sebagian besar penakar hujan di
Medan merupakan penakar hujan observasi OBS Gambar 2.1. Penakar hujan jenis ini memerlukan ketelitian dan ketekunan dalam pengamatan karena
pengamatan harus dilakukan setiap hari. Oleh karena sistem penakar hujan yang masih konvensional dan manual, hal tersebut memberi peluang terhadap kesalahan
pengukuran oleh karena faktor manusia human factor.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Penakar Hujan Observasi OBS
2.4.2. Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission TRMM
Satelit TRMM Tropical Rainfall Measuring Mission diluncurkan pada tanggal 27 Nopember 1997 yang membawa 5 sensor utama yaitu PR Precipitation Radar,
TMI TRMM Microwave Imager, VIRS Visible Infrared Scanner, LISLightning Imaging Sensor dan CERES Clouds and Earth’s Radiant Energy System . Satelit
TRMM dapat digunakan untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis termasuk di dalamnya adalah untuk prediksi curah hujan. Satelit TRMM tersebut
merupakan hasil kerjasama dua badan antariksa nasional, yaitu Amerika Serikat NASA : National Aeronautics and Space Administration dan Jepang NASDA :
National Space Development of Japan; sekarang berubah menjadi JAXA : Japan
Universitas Sumatera Utara
Aerospace Exploration Agency, berorbitpolar non-sun-synchronous dengan inklinasi sebesar 35 º terhadap ekuator, berada pada ketinggian orbit 350 km pada
saat-saat awal diluncurkan, dan diubah ketinggian orbitnya menjadi 403 km sejak 24 Agustus 2001 sampai sekarang. Pengoperasian satelit TRMM pada ketinggian
orbit 403 km ini dikenal dengan istilah TRMM boost. Karakteristik umum sensor-sensor satelit TRMM dapat diungkapkan sebagai
berikut. Pertama, sensor VIRS Visible Infrared Scanner terdiri dari 5 kanal, masing-
masing pada panjang gelombang 0,63; 1,6; 3,75, 10,8 dan 12 μm. Sensor VIRS ini terutama digunakan untuk pemantauan liputan awan, jenis awan dan
temperatur puncak awan, dan sensor VIRS TRMM ini memiliki kemiripan dengan sensor AVHRR NOAA Advance Very High Resolution Radiometer, National
Oceanic and Atmospheric Administration. Resolusi spasial dari data yang dihasilkan oleh sensor VIRS ini adalah 2,2 km. Kedua, sensor TRMM Microwave
Imager TMI merupakan suatu multichannel passive microwave radiometer yang beroperasi pada 5 frekuensi yaitu 10,65; 19,35; 37,0; dan 85,5 GHz polarisasi ganda
dan pada 22,235 GHz polarisasi tunggal. Dari sensor TMI ini dapat diekstraksi data- data untuk integrated column precipitation content, air cair dalam awan cloud liquid
water, es awan cloud ice, intensitas hujan rain intensity, tipe hujan rain type misalnya hujan stratiform ataukah hujan konvektif. Sensor TMI ini memiliki
kemiripan dengan sensor SSMI DMSP Special Sensor Microwave Imager, Defense Meteorological Satellite Program. Sensor ketiga adalah sensor
Universitas Sumatera Utara
Precipitation Radar PR. Sensor PR ini merupakan sensor radar untuk pemantauan presipitasi yang pertama di antariksa. Sensor PR ini bekerja pada frekuensi 13,8 GHz
untuk mengukur distribusi presipitasi secara 3 tiga dimensi, baik untuk presipitasi di atas daratan maupun di atas lautan; serta untuk menentukan kedalaman lapisan
presipitasi. Perkembangan baru dari TRMM adalah Tropical Rainfall Measuring Mission
Multi Satellite Precipitation Analysis TMPA. TMPA adalah sebuah satelit multiplatform constellation satellite yang didesain untuk mengkombinasikan estimasi
curah hujan dari beberapa sistem satelit dimana hasil estimasi satelit TRMM sama baiknya seperti estimasi dari penakar hujan terestial Huffman et al., 2007. Produk
satelit TRMM memiliki resolusi spasial 0.25 x 0.25
dan resolusi temporal yaitu setiap 3-jam Huffman et al., 2007. TRMM system didesain untuk menggabungkan
perkiraan hujan dari berbagai satelit sehingga menghasilkan estimasi curah hujan yang sama baiknya dengan penakar hujan Scheel et al., 2011. TRMM adalah satelit
dengan cakupan spasial yang luas dan memungkinkan untuk mengestimasi curah hujan di daerah terpencil dan tidak dihuni manusia Juaeni et al., 2010. Selain itu,
TRMM memiliki tingkat akurasi yang tinggi dalam memetakan kejadian hujan ekstrim misalnya pada saat terjadinya ENSO di lautan pasifik Juaeni et al., 2010.
Universitas Sumatera Utara
III. METODE PENELITIAN 3.1.
Tempat dan waktu
Penelitian ini dilaksanakan di propinsi Sumatera Utara yang terletak pada 1° - 4° LU dan 98° - 100° BT, yang pada tahun 2011 memiliki 25 Kabupaten dan 8 kota,
dan terdiri dari 325 kecamatan, secara keseluruhan Provinsi Sumatera Utara mempunyai 5.456 desa dan kelurahan Pemprovsu,2013.
Gambar 3.1. Lokasi Penelitian
Universitas Sumatera Utara
Secara topografi, wilayah Propinsi Sumatera Utara bagian Timur terdiri dari dataran rendah 100 msl, bagian tengah Propinsi Sumatera terdiri dari wilayah
pegunungan bukit barisan 100 – 2.835 msl, bagian Barat terdiri dari dataran rendah 100 msl. Luas daratan Propinsi Sumatera Utara 72.981,23 km2. Penelitian ini
dilaksanakan mulai tanggal 10 Oktober 2013 hingga selesai.
3.2. Bahan dan Alat