POTENSI GRAZING BULU BABI PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN DI PULAU BARRANGLOMPO DAN

2009. Oleh karena itu, pemantauan populasi bulu babi pada daerah padang lamun perlu dilakukan secara periodik mengingat ledakan populasi bulu babi dapat terjadi bila predatornya berkurang. Gambar 77 Korelasi antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi di Pulau Bonebatang Simpulan 1. Terdapat 6 jenis bulu babi yang dijumpai di daerah padang lamun Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang yaitu Diadema setosum, Echinometra mathaei, Echinothrix calamaris, Echinothrix diadema, Mespilia globulus , dan Tripneustes gratilla. 2. T. gratilla dan D. setosum merupakan jenis bulu babi yang memiliki kepadatan tertinggi di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. 3. Thalassia hemprichii merupakan jenis lamun yang memiliki komposisi terbesar dalam isi lambung bulu babi. 4. Nilai indeks pilihan mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai beberapa jenis lamun terutama T. hemprichii. 5. Populasi bulu babi yang ada saat ini belum merupakan ancaman serius terhadap komunitas lamun di Pulau Barranglompo dan Bonebatang.

10. PEMBAHASAN UMUM

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem penting baik secara ekologi maupun ekonomi. Namun karena posisinya yang berada pada batas antara ekosistem darat dan laut Waycott et al. 2004 maka padang lamun merupakan ekosistem yang mudah mengalami degradasi akibat pengaruh dari kedua ekosistem yang mengapitnya tersebut Green Short 2003; Warry Hindell 2009. Secara global diperkirakan kehilangan areal padang lamun akibat dampak langsung dan tidak langsung aktivitas antropogenik mencapai 33 000 km 2 selama kurun waktu dua dasawarsa terakhir Short Wyllie-Echeverria 1996. Dengan demikian padang lamun yang tersisa saat ini di seluruh dunia diprediksi seluas 177 000 km 2 Green Short 2003. Lamun tropis memiliki interaksi penting dengan mangrove dan terumbu karang Fortes 1990; Green Short 2003; Short et al. 2007. Saat ini, ketiga ekosistem laut tropis ini mengalami degradasi yang intensif akibat disturbansi alami dan antropogenik Short Wyllie-Echeverria 1996. Degradasi atau kehilangan salah satu ekosistem ini akan menyebabkan kerusakan bagi ekosistem di laut secara keseluruhan Fortes 1990. Gambar 78 menunjukkan interaksi utama yang terjadi pada tiga ekosistem utama di daerah tropis. Interaksi tersebut meliputi proses fisika, kimia, biologis maupun dampak antropogenik Ogden Gladfelter 1983. Salah satu interaksi antara ketiga ekosistem ini yang memperlihatkan peningkatan intensitas adalah dampak antropogenik. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di daerah pantai terutama di pulau-pulau kecil, maka pengaruh dari aktivitas antropogenik semakin potensial mempengaruhi ekosistem yang ada di daerah pantai. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dampak aktivitas antropogenik tersebut terhadap kondisi nutrien dan kualitas perairan yang pada akhirnya akan berdampak pada interaksi organisme yang hidup berasosiasi pada daerah padang lamun. Gambar 78 Jenis interaksi utama antara tiga ekosistem laut tropis digambar ulang dari Ogden Gladfelter 1983 Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang dipilih sebagai lokasi penelitian karena kedua pulau yang masuk dalam gugusan Kepulauan Spermonde ini memiliki kondisi antropogenik yang berbeda. Pulau Barranglompo yang memiliki luas hanya 20.64 ha ini telah dihuni oleh sekitar 5000 jiwa, sedangkan Pulau Bonebatang tidak berpenghuni. Penelitian ini mengkaji beberapa aspek meliputi: aktivitas antropogenik yang terjadi di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang Bab 4, dinamika nutrien jaringan lamun dan kolom air Bab 5, dampak aktivitas antropogenik terhadap kualitas perairan Bab 6, struktur komunitas padang lamun Bab 7, interaksi makrofita pada padang lamun Bab 8, dan potensi grazing oleh bulu babi Bab 9. Tabel 44 merangkum hasil-hasil yang diperoleh dalam penelitian ini. Tabel 44 Rangkuman hasil-hasil yang diperoleh selama penelitian Indikator Barranglompo Bonebatang Aktivitas Antropogenik 9 2 Spesies Lamun 8 7 INP Lamun Tertinggi T. hemprichii 89.45, E. acoroides 87.99 T. hemprichii 92.95, H. uninervis 77.63 Indeks Luas Daun Rata-rata 2.62 ± 2.02 3.29 ± 1.26 Spesies Bulu Babi 6 6 Bulu Babi Dominan T. gratilla, D. setosum T. gratilla, D. setosum Spesies Makroalgae 22 20 Lifeform Makroalgae epilithik, epipelik epilithik, epipelik Asosiasi + Makrofita 3 1 Asosiasi - Makrofita 2 5 Status Ekologi Sedang Sangat Bagus C rata-rata BK 34.77 ± 2.41 34.62 ± 4.04 N rata-rata BK 2.42 ± 0.22 1.75 ± 0.47 P rata-rata BK 0.15 ± 0.02 0.14 ± 0.03 Rasio C:N 15.9 – 17.5 20.5 – 28.6 Rasio C:P 568 - 636 574 - 744 Rasio N:P 33 - 40 26 – 28 Stok Karbon E.acoroides tonha 0.49 – 1.05 0.08 – 0.34 Klorofil a mgm 3 5.14 – 17.38 3.76 – 10.03 Nitrat Kolom Air mgl 0.013 – 0.097 0.011 – 0.028 Fosfat Kolom Air mgl 0.011 – 0.077 0.019 – 0.039 Suhu o C 29 - 32 29 - 32 Salinitas o oo 29.5 - 32 29 - 31 Kekeruhan NTU 0.66 – 29.71 0.57 – 2.78 TSS mgl 12.64 – 18.53 6.67 – 11.11 Kec. Arus mdt 0.009 – 0.130 0.014 -0.126 Tinggi Gelombang cm 1.82 – 7.29 2.18 – 6.24 Sebanyak 9 jenis aktivitas masyarakat pulau yang terdapat di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang hanya 2 jenis aktivitas yang ditemukan. Dari sejumlah aktivitas antropogenik yang terjadi di Pulau Barranglompo, pembuangan sampah merupakan problem utama yang muncul seiring meningkatnya jumlah penduduk di pulau kecil. Semakin hari sampah- sampah tersebut akan semakin menumpuk karena banyak di antaranya yang merupakan sampah anorganik yang butuh waktu yang lama untuk terurai. Tait Dipper 1998 memperkirakan waktu yang dibutuhkan oleh berbagai jenis sampah untuk terurai Tabel 45. Tabel 45 Perkiraan skala waktu maksimum untuk penguraian sampah Tait Dipper 1998 Bahan Skala Waktu Penguraian tahun Botol gelas 1 Juta tak tersentuh Botol plastik Waktu tak terbatas Kaleng aluminium 80 - 100 Kaleng timah blek 50 Kulit sepatu 50 Bahan nylon 30 – 40 Kertas film plastik 20 – 30 Kantong plastik 10 - 20 Kertas berplastik 5 Kain wol 1 – 5 Puntung rokok 1 – 5 Kulit jeruk dan pisang 2 Sampah yang menumpuk di pinggir pantai akan menyebabkan matinya lamun yang ada di bawahnya. Hal itu menyebabkan lamun yang berukuran kecil tidak dapat tumbuh dengan baik pada lokasi tersebut. E. acoroides merupakan jenis lamun yang memiliki penutupan yang jauh lebih tinggi di Pulau Barranglompo dibandingkan dengan Pulau Bonebatang. Hal tersebut disebabkan ukuran jenis ini yang lebih besar dan dapat tumbuh pada lokasi dengan bioturbasi yang berat Kuriandewa et al. 2003. Di Pulau Barranglompo terdapat 8 jenis lamun, sedangkan di Pulau Bonebatang dijumpai 7 jenis Bab 7dan Tabel 15. Di antara jenis lamun tersebut, T. hemprichi dan E. acoroides mempunyai nilai indeks nilai penting INP tertinggi di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang, T. hemprichii dan H. uninervis memiliki nilai yang tertinggi. T. hemprichii dan E. acoroides merupakan spesies klimaks Hemminga Duarte 2000. Hasil pengukuran nutrien menunjukkan bahwa konsentrasi nutrien terutama nitrogen di Pulau Barranglompo lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Bonebatang Bab 5 mengindikasikan adanya pengayaan nutrien akibat aktivitas pembuangan limbah baik cair maupun padat ke pantai di Pulau Barranglompo. Bila tidak segera dicarikan solusinya, pengayaan nutrien ini dapat mengarah ke eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan penyebab degradasi padang lamun yang paling banyak dilaporkan dan tentunya akan tetap merupakan ancaman serius terhadap populasi lamun di masa datang Short Wyllie-Echeverria 1996; Alongi 1998; Ralph et al. 2006. Ketersediaan nutrien bisa memiliki korelasi positif dengan biomassa dan produktivitas lamun Short et al 1990, namun banyak penelitian yang mendapatkan bahwa meningkatnya pasokan nutrien pada estuaria dan perairan pantai lebih merusak daripada menguntungkan lamun dan perikanan yang didukungnya Lapointe et al. 1994; Short et al. 1995; Ralph et al. 2006. Peningkatan nutrien akan memicu pertumbuhan produsen primer yang mengarah pada perubahan komposisi spesies Alongi 1998. Padang lamun yang terekspos terhadap eutrofikasi memperlihatkan indikator seperti tutupan algae epifit yang tinggi, kerapatan lamun yang rendah, indeks luas daun yang rendah, dan biomassa yang rendah Tomasko Lapointe 1991; McGlathery 2001, meskipun mekanisme penurunan ini dapat bervariasi baik secara spasial maupun temporal Ralph et al. 2006. Nutrien yang tinggi memicu proliferasi spesies yang berkembang dengan cepat termasuk fitoplankton, epifit dan makroalgae oportunistik Sand-Jensen Borum 1991; McGlathery 2001 yang akan menghalangi penetrasi cahaya ke dalam kolom air sehingga berkompetisi dengan lamun mendapatkan cahaya dan dapat menyebabkan kematian akibat tertutupi oleh kompetitornya Short et al. 1995; Hauxwell et al. 2001; Ralph et al. 2006. Hasil-hasil penelitian ini Bab 7 dan 8 memperlihatkan kecenderungan ke indikator di atas. Hal itu berarti bahwa pengayaan nutrien bisa menjadi penyebab utama penurunan padang lamun di Pulau Barranglompo di masa yang datang. Dampak Aktivitas Antropogenik terhadap Komunitas Makrofita Pengaruh tekanan aktivitas antropogenik terhadap komunitas makrofita bentik disarikan oleh Orfanidis et al. 2001 dari berbagai literatur seperti disajikan pada Tabel 46. Aktivitas antropogenik akan meningkatkan konsentrasi nutrien terutama N yang akan menstimulasi pertumbuhan makroalgae yang pada akhirnya dapat mengurangi luas padang lamun McGlathery 2001. Hal ini sejalan dengan pengamatan Nierhuis 1983 diacu Young 2009 yang mendapatkan bahwa kelimpahan lamun Zostera di barat daya estuaria Belanda menurun 50 antara 1978-1980 yang diakibatkan oleh kompetisi dengan makroalgae yang dipicu oleh meningkatnya deposisi bahan organik di dasar setelah terjadi peningkatan akumulasi nitrogen. Indikasi ini mulai terlihat di Pulau Barranglompo, dimana tutupan lamun di pulau ini lebih rendah dari Pulau Bonebatang Bab 7, namun sebaliknya, makroalgae di Pulau Barranglompo lebih banyak dan memiliki penutupan yang lebih luas dibandingkan dengan Pulau Bonebatang. Disamping itu komposisi makroalgae di kedua pulau yang berbeda Bab 8 menunjukkan bahwa di Pulau Barranglompo telah terjadi perubahan shift makroalgae yang terlihat dari proporsi makroalgae yang bersifat oportunistis ESG II jauh lebih besar dibandingkan dengan yang ada di Pulau Bonebatang. Hal itu merupakan indikasi adanya perubahan komposisi jenis makroalgae akibat tekanan antropogenik Orfanidis et al. 2001; 2003. Tabel 46 Contoh dampak stres antropogenik terhadap komunitas makrofita laut bentik dikompilasi oleh Orfanidis et al. 2001. Stres Antropogenik Makrofita Bentik Dampak Literatur Eutrofikasi Lamun Penurunan luasan padang lamun skala besar dan regional, dominasi oleh makroalga lembaran fleshy Larkum et al. 1989, Hemminga Duarte 2000 Makroalgae Dominansi oleh spesies oportunistik, blooming makroalgae, penurunan keanekaragaman Lazaridou et al. 1997, Schramm 1999, Lotze et al. 1999, Lotze Schramm 2000 Bahan Organik, Siltasi Lamun Penurunan tutupan padang lamun melalui reduksi cahaya dan akumulasi bahan organik sedimen Hemminga Duarte 2000 Makroalgae Reduksi cahaya dan alteration substrat keras mempengaruhi struktur komunitas Lobban Harrison 1994 Logam Berat Lamun Tidak ada dampak langsung yang terdokumentasi Larkum et al. 1989 Makroalgae Penghambatan reproduksi dan perubahan struktur komunitas Lobban Harrison 1994, Coelho et al. 2000, Crowe et al. 2000 Tumpahan Minyak Lamun Tidak ada dampak langsung yang terdokumentasi Makroalgae Reduksi pertumbuhan jangka pendek pada spesies intertidal Lobban Harrison 1994 Pemanasan Global Lamun Perubahan dalam pola distribusi Hemminga Duarte 2000 Makroalgae Perubahan dalam pola distribusi Breeman 1990, Pakker Breeman 1994 Peningkatan Salinitas Lamun Pergantian spesies lamun dominan Kamermans et al. 1999 Makroalgae Ekspansi lebih lanjut pada ekosistem estuaria Lobban Harrison 1994 Perikanan Trawl Lamun Fragmentasi – penurunan tutupan padang lamun Sanchez-Jeres Ramos 1996, Blader et al . 2000 Makroalgae Kerusakan tegakan sublitoral Blader et al. 2000 Status ekologi Pulau Barranglompo yang sudah tergolong kategori sedang menunjukkan bahwa proporsi makroalgae yang bersifat oportunistis sudah meningkat. Berdasarkan model konseptual Gambar 79, status ekologi Pulau Barranglompo yang dikategorikan sedang sudah mengarah ke dominansi bersama lamun dan makroalgae, sedang di Pulau Bonebatang relatif masih didominasi oleh lamun. Gambar 79 Model konseptual perubahan keadaan stabil vegetasi makrofita bentik melalui gradien eutrofikasi status ekologi pada perairan pantai. A. konvensional B. Dinamis Viaroli et al. 2008 Hubungan makrofita dengan kualitas habitat di daerah padang lamun Perubahan komposisi makrofita lamun dan makroalgae dapat mempengaruhi kualitas habitat di daerah padang lamun. Misalnya, adanya perbedaan tinggi, kekakuan dan kerapatan antara lamun dan makroalgae dapat menyebabkan perubahan habitat dengan memodifikasi interaksi dasar laut dengan faktor hidrodinamika yang mempengaruhi proses-proses kunci seperti resuspensi sedimen dan penjebakan partikel Hendriks et al. 2009. Hasil pengukuran parameter kualitas air selama penelitian Bab 6 dan Tabel 44 menunjukkan bahwa nilai padatan tersuspensi total TSS dan kekeruhan antara Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang berbeda secara nyata. Kedua parameter ini memang sangat dipengaruhi oleh input dari daratan pulau akibat aktivitas antropogenik. Sementara parameter lain seperti suhu, salinitas, kecepatan arus dan tinggi gelombang relatif tidak berbeda secara nyata. Parameter-parameter ini memang hanya dipengaruhi oleh faktor yang bersifat lebih global seperti letak geografis, iklim maupun jarak dari sungai dan sebagainya. Sebagai contoh, arus yang didapatkan di kedua pulau mengikuti pola umum arus lintas Indonesia Arlindo yang berasal dari perairan Samudera Pasifik Gordon 2005. Resiliensi padang lamun terhadap disturbansi Meskipun menghadapi berbagai macam tekanan disturbansi, lamun memiliki kemampuan untuk pulih dari tekanan tersebut. Lamun dapat mentolerir disturbansi yang bersifat moderat melalui adaptasi morfologi dan fisiologi tapi bila disturbansi cukup kuat, dapat menyebabkan berkurangnya areal padang lamun. Pengurangan ini bias berupa penipisan padang lamun yang bisa pulih melalui pertumbuhan klonal dari apeks rhizome yang mengelilinginya Hemminga Duarte 2000. Berdasarkan pemodelan diprediksi bahwa waktu pemulihan padang lamun bervariasi tergantung spesies lamun. Waktu pulih untuk spesies yang tumbuh cepat seperti Halophila, Syringodium dan Cymodocea cukup singkat. Bila kebutuhan pertumbuhannya tersedia, spesies ini dapat pulih dalam setahun, sebaliknya, spesies yang memiliki pertumbuhan lambat seperti Posidonia oceanica dapat pulih dalam satu abad Duarte 1995 diacu Hemminga Duarte 2000. Jadi bila disturbansi yang terjadi pada spesies ini frekuensinya kurang dari seabad, padang lamun ini tidak dapat pulih Hemminga Duarte 2000. Biomassa lamun di bawah substrat jauh lebih besar dibandingkan dengan biomassa di atas substrat Duarte Chiscano 1999. Dengan demikian, tidak sama dengan kebanyakan spesies makroalgae dan fitoplankton yang semuanya terekspos terhadap grazer yang memangsanya, lamun memiliki cadangan penyimpanan atau tempat pengambilan nutrien yang berada di bawah substrat yang tidak dijangkau oleh grazer. Hal ini menyebabkan lamun dapat bertahan pada grazing yang intensif dan memungkinkan lamun cepat pulih ke kondisi seperti yang tidak mengalami grazing Valentine Heck 1999. Penelitian menunjukkan bahwa bulu babi berukuran kecil diametet test  30 mm dimangsa oleh predatornya seperti ikan predator dan gastropoda dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan bulu babi yang lebih besar dengan diameter test antara 31-60 mm Heck Valentine 1995. Jadi pada ekosistem padang lamun dapat terjadi keseimbangan antara populasi bulu babi dengan kerapatan lamun karena bulu babi yang lebih muda new recruits dimangsa lebih banyak oleh predatornya sehingga populasi bulu babi berkurang. Hal ini menyebabkan lamun yang telah mengalami grazing dapat pulih kembali. Peningkatan kerapatan lamun yang meningkat akan memberi bulu babi perlindungan struktural dari pemangsanya. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan lagi grazing lamun yang akan kembali mengurangi kerapatan lamun. Grazing berlebih overgrazing lamun oleh bulu babi dapat dipicu oleh berkurangnya predasi oleh ikan akibat penangkapan ikan berlebih overfishing dan eutrofikasi Björk et al. 2008. Eutrofikasi dapat memicu konsumsi lamun oleh hewan herbivora McGlathery 1995. Namun, hasil penelitian untuk melihat potensi grazing oleh bulu babi Bab 9 tidak memperlihatkan hubungan yang kuat antara kerapatan lamun dengan kepadatan bulu babi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan 6 jenis bulu babi di kedua pulau belum merupakan ancaman serius terhadap vegetasi lamun. Keterkaitan Aktivitas Antropogenik dengan Ekosistem Padang Lamun Hasil-hasil yang diperoleh dari penelitian ini memberikan informasi bahwa aktivitas antropogenik Bab 4 yang terjadi pada dua pulau yang sangat padat dan tidak berpenghuni dalam gugus Kepulauan Spermonde, telah menunjukkan kondisi nutrien Bab 5 dan kualitas air terutama kekeruhan dan padatan tersuspensi total Bab 6 yang berbeda. Perbedaan nutrien dan parameter kualitas air ini mengarah ke perubahan komposisi makrofita dominan di kedua pulau. Di Pulau Barranglompo, lamun E. acoroides memiliki nilai INP yang tinggi Bab 7, namun di Pulau Bonebatang, spesies ini memiliki nilai INP yang sangat menurun. Hal ini disebabkan oleh kemampuan lamun E. acoroides untuk hidup pada lingkungan yang mengalami bioturbasi yang berat Kuriandewa et al. 2003. Hal ini terbukti dengan ditemukannya spesies ini pada daerah dekat garis pantai yang dipenuhi oleh tumpukan sampah yang dibuang oleh penduduk pulau Barranglompo. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa komposisi spesies makroalgae Bab 8 di kedua pulau berbeda. Pulau Barranglompo didominasi oleh spesies oportunistik yang bisa hidup pada kondisi lingkungan yang terdegradasi Orfanidis et al. 2001. Indeks Evaluasi Ekologis juga menunjukkan bahwa kondisi Pulau Bonebatang relatif masih alami dengan status ekologi sangat bagus, sedangkan Pulau Barranglompo sudah mengalami perubahan dengan status ekologi sedang. Bab 9 menunjukkan bahwa belum tampak adanya dampak serius dari perbedaan kondisi tekanan antropogenik terhadap tingkat grazing lamun dan makroalgae oleh populasi bulu babi. Hal itu menunjukkan bahwa kepadatan bulu babi di kedua pulau, belum merupakan ancaman bagi padang lamun di lokasi penelitian ini. Berdasarkan keseluruhan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, tampak bahwa aktivitas antropogenik potensial mempengaruhi vegetasi lamun dan biota yang berasosiasi dengannya melalui perubahan konsentrasi nutrien dan nilai kualitas perairan. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk melakukan pemantauan terhadap aktivitas antropogenik yang terjadi terutama pada pulau- pulau kecil yang memiliki keterbatasan lahan. Pemantauan dan sampling secara berkala juga diperlukan untuk memantau populasi biota yang berasosiasi dengan padang lamun, misalnya pemantauan terhadap tutupan makroalgae oportunistik serta populasi bulu babi yang hidup di daerah padang lamun. Meskipun populasi bulu babi belum merupakan ancaman serius terhadap vegetasi lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang, namun perlu terus diadakan pemantauan mengingat populasi bulu babi dapat mengalami ledakan populasi yang bisa menyebabkan intensitas grazing yang tinggi.

11. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 1. Terdapat 9 jenis aktivitas yang teramati dilakukan oleh masyarakat di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang dijumpai 2 jenis aktivitas antropogenik. Aktivitas-aktivitas ini potensial mempengaruhi pertumbuhan dan kondisi ekosistem padang lamun di kedua pulau ini. 2. Lamun Enhalus acoroides di Pulau Barranglompo memiliki potensi stok karbon berkisar 0.49 – 1.05 tonha, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 0.08 – 0.34 tonha. 3. Konsentrasi nitrogen, rasio C:N dan N:P, serta nitrat kolom air yang tinggi di Pulau Barranglompo mengindikasikan adanya pengayaan nutrien akibat aktivitas antropogenik. 4. Dari semua parameter kualitas air yang diukur, hanya kekeruhan dan padatan tersuspensi total yang berbeda secara nyata antara kedua pulau. Nilai kekeruhan di Pulau Barranglompo telah melampaui nilai baku mutu air laut, sedangkan di Pulau Bonebatang masih di bawah nilai baku tersebut. Sementara itu, nilai padatan tersuspensi total di kedua pulau masih dalam batas yang tidak berpengaruh terhadap biota laut. 5. Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides merupakan spesies dominan di Pulau Barranglompo, sedangkan Pulau Bonebatang didominasi oleh T. hemprichii dan Halodule uninervis. 6. Secara umum, daun lamun di Pulau Barranglompo relatif lebih panjang dibandingkan dengan yang ada di Pulau Bonebatang. Hal itu disebabkan karena nutrien di Pulau Barranglompo lebih tinggi akibat aktivitas antropogenik. 7. Di Pulau Barranglompo dijumpai asosiasi positif antara pasangan Cymodocea rotundata -Thalassia hemprichii, Acanthophora spicifera-Laurencia papillosa, dan Dictyota bartayresiana-Laurencia papillosa, sedangkan asosiasi negatif didapatkan pada dua pasangan yaitu Enhalus acoroides-Halodule uninervis dan Thalassia hemprichii-Halodule uninervis. 8. Di Pulau Bonebatang, asosiasi positif dijumpai pada pasangan C. rotundata- H. uninervis saja, sedangkan asosiasi negatif dijumpai pada beberapa pasangan yaitu. C. rotundata-A.spicifera, C. rotundata-Actinoritchia fragilis, E. acoroides-H. uninervis, T. hemprichii-Gracilaria coronopifoli a, dan T. hemprichii-Sargassum crassifolium . 9. Pulau Barranglompo memiliki status ekologi sedang dan Pulau Bonebatang memiliki status ekologi sangat bagus yang menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan shift komposisi makrofita di Pulau Barranglompo akibat meningkatnya aktivitas antropogenik. 10. T. gratilla dan D. setosum merupakan jenis bulu babi yang memiliki kepadatan tertinggi di kedua pulau. 11. Nilai indeks pilihan mengindikasikan bahwa bulu babi menyukai beberapa jenis lamun terutama T. hemprichii. 12. Populasi bulu babi yang ada di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang belum menyebabkan penurunan padang lamun di kedua pulau. Saran Diperlukan upaya-upaya untuk meminimalisir dampak negatif yang diakibatkan oleh aktivitas penduduk terhadap komunitas lamun dan biota yang berasosiasi dengannya, misalnya: 1. pembuatan tempat pembuangan sampah atau instalasi pengolah limbah, 2. pengawasan terhadap aktivitas pengambilan karang dan pasir, 3. pembuatan jalur keluar masuknya perahu ke pantai. 4. transplantasi lamun pada areal yang dulunya pernah ditumbuhi lamun. DAFTAR PUSTAKA Alcoverro T, Mariani S. 2002. Effects of sea urchin grazing on seagrass Thalassodendron ciliatum beds of a Kenyan lagoon. Mar Ecol Prog Ser 226: 255-263. Alongi DM. 1998. Coastal Ecosystem Processes. Boca Raton: CRC Press. Amin M, Flowers TH. 2004. Evaluation of Kjeldahl digestion method. J Res Science Pakistan , 152: 159-179. Arifin, La Nafie YA, Supriadi. 2004. Studi kondisi dan potensi ekosistem padang lamun sebagai daerah asuhan berbagai jenis biota laut di perairan Pulau Barranglompo, Makassar. Torani 145: 241-250. Arifin, Supriadi. 2006. Kondisi padang lamun di perairan Pulau Sabangko, Salemo dan Sagara Kabupaten Pangkep. Torani 162: 99-106. Asmus H et al. 2006. Structure and Function of Tropical Seagrass Ecosystems in the Spermonde Archipelago. Southeast Asia Coastal Governance and Management Forum: Science Meet Policy for Coastal Management and Capacity Building. Bali, 14-16 November 2006. SPICELOICS ATSEFSEACORM. Atkinson MJ, Smith SV. 1983. C:N:P ratios of benthic marine plants. Limnol Oceanogr . 283: 568-574. Atmadja WS. 1996a. Pengenalan jenis algae coklat Phaeophyta. Di dalam: Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar, editor. Pengenalan Jenis- Jenis Rumput Laut Indonesia . Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI. Hal 56- 78. Atmadja WS. 1996b. Pengenalan jenis algae merah Rhodophyta. Di dalam: Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rachmaniar, editor. Pengenalan Jenis- Jenis Rumput Laut Indonesia . Jakarta: Puslitbang Oseanologi-LIPI. Hal 79- 119. Aziz A. 1987. Makanan dan cara makan berbagai jenis bulu babi. Oseana 124: 91-100. Aziz A. 1994. Tingkah laku bulu babi di padang lamun. Oseana 19 4: 35-43. Aziz A. 1999. Biologi pakan: daya grazing, efisiensi asimilasi, preferensi dan peranan bulu babi di padang lamun. Di dalam: Soemodihardjo S, Arinardi OH, Aswandy I, editor. Dinamika Komunitas Biologis pada Ekosistem Lamun di Pulau Lombok, Indonesia . Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, LIPI. Azkab MH. 2002. Kajian sumberdaya lamun di perairan Sulawesi Utara. Di dalam: Ruyitno, Aziz A, Pramudji, editor. Perairan Sulawesi dan Sekitarnya. Biologi, Lingkungan dan Oseanografi. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi. hlm 171-178. Baird ME, Middleton JH. 2004. On relating physical limits to the carbon: nitrogen ratio of unicellular algae and benthic plants. J Mar System 49: 169- 175. Bajracharya D. 2003. Experiments in Plant Physiology, A Laboratory Manual. New Delhi: Narosa Publishing House. Bakus GJ. 2007. Quantitative Analysis of Marine Biological Communities, Field Biology and Environment . New Jersey: John Wiley and Sons, Inc. Balmer O. 2002. Species lists in ecology and conservation: abundance matter. Conser Biol 16: 1160-1161. Beddingfield SD, McClintock JB. 1998. Differential survivorship, reproduction, growth and nutrient allocation in the regular echinoid Lythechinus variegatus Lamarck fed natural diets. J Exp Mar Biol Ecol 226: 195-215. Biber PD. 2007. Transport and persistence of drifting macroalgae Rhodophyta are strongly influenced by flow velocity and substratum complexity in tropical seagrass habitats. Mar Ecol Prog Ser 343:115-122. Björk M, Short F, Mcleod E, Beer S. 2008. Managing Seagrasses for Resilience to Climate Change . Gland, Switzerland: IUCN Global Marine Programme. Bold HC, Wynne MJ. 1985. Introduction to the Algae: Structure and Reproduction . 2 nd Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Boström C, Bonsdorff E. 2000. Zoobenthic community establishment and habitat complexity —the importance of seagrass shoot-density, morphology and physical disturbance for faunal recruitment. Mar Ecol Prog Ser 205:123 – 138. [BPS Makassar] Badan Pusat Statistik Makassar. 2010. Makassar Dalam Angka 2010 . Makassar: BPS Makassar. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi BPS Maret 2011 . Jakarta: BPS. Breda NJJ. 2003. Ground-based measurements of leaf area index: a review of methods, instruments and current controversies. J Exp Bot 54392: 2403- 2417. Brooks RA, Bell SS. 2001. Mobile corridors in marine landscapes: enhancement of faunal exchange at seagrasssand ecotones. J Exp Mar Biol Ecol 264: 67-84 Brower JE, Zar JH, von Ende CN. 1998. Field and Laboratory Methods for General Ecology . 4 th edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Brown CA. 2009. The effects of hydrodynamic factors on seagrasses. Di dalam: Nelson WG, editor. Seagrasses and Protective Criteria: A Review and Assessment of Research Status . Newport: National Health and Environment. hlm 5.1-5.22. Budimawan, Rani C, Amri K. 2008. Preference of fish community to natural and artificial seagrass habitats in Barranglompo waters. Torani 182: 102-111. Burkholder JM, Tomasko DA, Touchette BW. 2007. Seagrasses and eutrophication. J Exp Mar Biol Ecol 350: 46-72. Butler A, Jernakoff P. 1999. Seagrass in Australia. Collingwood, Victoria: CSIRO Publishing. Campbell SJ, McKenzie LJ, Kerville SP. 2006. Photosynthetic responses of seven tropical seagrasses to elevated seawater temperature. J Exp Mar Biol Ecol 330: 455-468. Carlton JT, Geller JB, Reaka-Kudla M, Norse EA. 1999. Historical extinction in the sea. Annu Rev Ecol Syst 30:515-538. Carpenter KE, Niem VH, editor. 1998. The Living Marine Resources of the Western Central Pacific. Volume 1. Seaweeds, Corals, Bivalves and Gastropods . Rome: Food Agriculture Organization FAO, South Pacific Forum Fisheries Agency FFA, Norwegian Agency for International Development NORAD. Castro P, Huber ME. 2007. Marine Biology. 6 th Edition. Boston: McGraw Hill. Christie H, Norderhaug KM, Fredriksen S. 2009. Macrophytes as habitat for fauna. Mar Ecol Prog Ser 396:221-233. Clark AM. 1971. Monograph of Indo-West Pacific Echinoderms. London: British Museum of Natural History. Clarke KR, Warwick RM. 1994. Change in Marine Communities: An Approach to Statistical Analysis and Interpretation . Plymouth: Natural Environment Research Council.