Model of sedimentation control of reservoir due to land erosion and landslide in Bili Bili Dam South Sulawesi

(1)

MODEL PENGENDALIAN SEDIMENTASI WADUK

AKIBAT EROSI LAHAN DAN LONGSORAN

DI WADUK BILI-BILI SULAWESI SELATAN

AHMAD RIFQI ASRIB

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengendalian Sedimentasi akibat Erosi Lahan dan Longsoran di Waduk Bili-Bili Sulawesi Selatan, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2012

Ahmad Rifqi Asrib


(3)

AHMAD RIFQI ASRIB. Model of Sedimentation Control of Reservoir due to Land Erosion and Landslide in Bili-Bili Dam South Sulawesi. Under direction of M. YANUAR JARWADI PURWANTO, SUKANDI SUKARTAATMADJA, and ERIZAL.

The main objective of this research is to design the model of sedimentation control of reservoir that has sustainability oriented to improve miner and farmer incomes without dismissing environmental interests. In particular, the general objective is achieved through several phases with their aims as follows; (1) determine the level of soil erosion in the sub watershed Jeneberang, as well as the impact of land management and information to determine the direction of land management in the watershed, (2) determine the impact of caldera landslide at Jeneberang sub watershed to sedimentation rates in the Bili-Bili dam, and (3) formulate the model of sedimentation control of reservoir due to land erosion and landslide. Research is conducted in Bili-Bili dam, South Sulawesi, from Juli 2009 until Pebruari 2010. First, research has conducted to determine land erosion using MWAGNPS as a model of cell-based rainfall events with the main components were topographic maps, land use and soil type. This model able to determine the source of erosion and the erosion that occurs. Second, research was conducted based on field survey of caldera landslide at upstream and sedimentation rate in the Bili-Bili dam. And the last, design the dynamical model of sedimentation control of reservoir using Stella 9.0.2 program analysis. The Result Showed that Jeneberang sub watershed dominated by steep areas topography is 10.080 ha (26.22%) and the closure of forested land is 12.250 ha (31.87%). Simulation MWAGNPS model showed when watershed Jeneberang has 31.66 mm of rain events with 30-minute rainfall intensity (EI30) can caused erosion 44.81 tons/ha and the sedimentation rate is 2,22 tons/ha. The source of erosion in the sub watershed Jeneberang from farm/moor caused erosion is 29,552.14 tons/ha/year and a total of 4,562,625.84 tons of sediment. Caldera landslide in 2004 caused sediment flow from upstream of Jeneberang watershed was 45,027,954 m3. Sabo dam as a sediment control along the Jeneberang upstream has function effectively. It was seen from the volume flow of sediment that can be controlled up to the year 2008 is 1,915,671 m3. Sedimentation rate before the event of landslide caldera, sediment deposited in Bili-Bili dam cumulatively is 8.376 million m3 (April 2001). Five years after the landslide sediment volume has reached 75.055 million m3 in 2009. Based on Trap efficiency showed that efficiency of Bili-Bili dam was decrease from 90.81% in 1997 to 73.34% in 2005, and then increased in 2007 (92.57%) and in 2008 decrease become 89.79%. Dynamical model simulation of reservoir sedimentation control showed sedimentation in dead storage capacity increase to completed in year of 2022. Moderate and optimistic scenario more effective in decreasing sedimentation in reservoir and increasing community income especially for the miner. Finally, moderate scenario can use of sedimentation control of reservoir in Bili-Bili dam, South Sulawesi.


(4)

AHMAD RIFQI ASRIB. Model Pengendalian Sedimentasi Waduk Akibat Erosi Lahan dan Longsoran di Waduk Bili-Bili Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh M. YANUAR JARWADI PURWANTO, SUKANDI SUKARTAATMADJA, dan ERIZAL.

Waduk Bili-Bili merupakan salah satu waduk terbesar di Propinsi Sulawesi Selatan terletak di bagian tengah DAS Jeneberang mulai diresmikan penggunaannya pada tahun 1999. Secara geografis, Waduk Bili-Bili terletak di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Waduk Bili-Bili memiliki luas tangkapan air sebesar 384,4 km2 dengan perencanaan umur operasi 50 tahun. Waduk serbaguna Bili-Bili dibangun dengan tujuan untuk pengendalian banjir, pemenuhan kebutuhan air irigasi, suplai air baku dan pembangkit listrik tenaga air serta mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air yang ada pada bagian hulu DAS Jeneberang. Namun, dalam perkembangan terakhir terjadi penurunan pemanfaatan fungsi layanan waduk akibat adanya perubahan kondisi daerah tangkapan waduk karena perubahan pemanfaatan lahan dan juga terjadinya longsoran dinding kaldera.

Kerusakan daerah tangkapan air waduk, danau atau embung, seperti halnya daerah aliran sungai, merupakan penyumbang dampak negatif yang sangat signifikan. Jika daerah tangkapan rusak, jelas umur waduk akan berkurang. Pada musim hujan, aliran permukaan (run off) dengan membawa kandungan sedimen yang tinggi masuk ke waduk. Sedang aliran dasar (base flow) yang merupakan cadangan musim kemarau cenderung menurun drastis. Dengan demikian umur waduk hanya ditentukan oleh volume tampungan akhir musim hujan saja.

Selama ini upaya yang telah dilakukan adalah dengan melakukan konservasi areal penangkapan air hujan di sekitar waduk, mencegah erosi yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dalam mengolah tanah agar tidak menimbulkan erosi, menanam pohon atau menghutankan kembali. Selain itu juga dengan mengeruk sedimen di waduk, membangun sabo dam dan sand pocket

sebagai penampung sedimen. Namun demikian untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan suatu kajian model pengendalian yang dapat mensintesis pengetahuan dari sistem dan permasalahan yang ada. Salahsatunya adalah melalui pengembangan model pengendalian sedimentasi waduk yang dapat membantu mengidentifikasi secara cermat permasalahan sebenarnya dan memberikan alternatif penyelesaiannya.

Tujuan penelitian ini adalah membangun model pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili yaitu: (1) mengkaji karakteristik sumber sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk dan tingkat sedimentasi di Waduk Bili-Bili; (2) mengidentifikasi pola pengendalian bangunan pengendali sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili; (3) membangun model sistem dinamik untuk efektifitas pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili.

Lokasi penelitian ini secara fisik terletak dalam sistem DAS Jeneberang. Dalam penelitian ini batasan yang digunakan adalah batasan yang secara fisik mempunyai pengaruh langsung pada daya dukung waduk Bili-Bili, yakni wilayah DAS Jeneberang. Secara administratif daerah kajian Waduk Bili-Bili terletak di Kabupaten Gowa Propinsi Sulawesi Selatan.


(5)

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah memprediksi erosi lahan yang terjadi menggunakan program MWAGNPS. Tahap kedua adalah menganalisis kapasitas bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen akibat longsoran kaldera. Tahap ketiga adalah membangun model dinamik pengendalian erosi dan longsoran terhadap kapasitas waduk menggunakan program Stella 9.0.2.

Hasil penelitian menunjukkan dari keluaran model MWAGNPS dengan nilai masukan curah hujan harian rata-rata yang terbesar selama 5 tahun sebesar 31,66 mm dengan nilai energi intensitas hujan 30 menit (EI30) sebesar 25,89

diperoleh besarnya laju erosi lahan di outlet sebesar 44,81 ton/ha/thn, laju sedimentasi sebesar 2,22 ton/ha/thn dan sedimen total sebesar 203.283,0 ton. Berdasarkan informasi dari setiap grid/sel untuk berbagai penutupan lahan, ditemukan bahwa laju erosi permukaan yang terbesar terdapat di sel dengan penutupan lahan berupa ladang/tegalan sebesar 29.552,14 ton/ha/thn dan semak belukar sebesar 24.545,38 ton/ha/thn. Sedangkan hutan, sawah dan pemukiman mempunyai laju erosi yang cukup kecil. Arahan pengelolaan lahan untuk sub DAS Jeneberang secara umum adalah penerapan teknik konservasi tanah dan air, pengembalian kawasan hutan sebagai fungsi lindung.

Berdasarkan karakteristik sub DAS Jeneberang sebagai daerah tangkapan waduk Bili-Bili didominasi oleh wilayah yang memiliki topografi curam dengan luas 10.080 ha (26,22%) dan dari penutupan lahan didominasi oleh hutan dengan luas 12.250 ha (31,87%). Volume aliran sedimen akibat longsoran di hulu sungai Jeneberang sebesar 45.027.954 m3 terjadi pada tahun 2004. Bangunan sabo dam sebagai pengendali sedimen yang dibangun sepanjang hulu sungai Jeneberang berfungsi efektif pada tahun 2008 menjadi 1.915.671 m3. Adapun volume sedimentasi yang tertampung di waduk Bili-Bili secara kumulatif adalah sebesar 8.376.000 m3 (April 2001). Lima tahun setelah kejadian longsor tersebut (2008) volume sedimen telah mencapai 60.959.000 m3. Trap Efficiency yang diperoleh berdasarkan kurva Brune menunjukkan data kapasitas waduk dan aliran inflow berkurang dari 90,81% (1997) menjadi 73,34% (2005), namun kemudian meningkat kembali 92,57% pada tahun 2007 dan cenderung menurun kembali 89,79% pada tahun 2008.

Model sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili dibangun dengan asumsi desain model berdasarkan pada karakteristik sub DAS Jeneberang, alur kejadian longsoran Kaldera dan bangunan pengendalinya, dan pola pengelolaan kegiatan penambangan berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh. Model ini dibangun dengan menggunakan 4 sub model yaitu: (1) sub model pengendalian longsoran, (2) sub model erosi lahan, (3) sub model sosial ekonomi, dan (4) sub model kapasitas waduk.

Tindakan koreksi yang dilakukan pada model pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili adalah pengelolaan tingkat sedimentasi waduk dan pengelolaan penambangan hasil sedimentasi. Indikator keberhasilan pengendalian sedimentasi waduk diidentifikasi berdasarkan indeks kapasitas waduk dan pendapatan masyarakat serta partisipasi masyarakat. Berdasarkan tindakan koreksi tersebut dilakukan 3 skenario yaitu pesimis, moderat dan optimis. Kriteria pesimis dilakukan untuk keadaan eksisting dimana tidak dilakukan tindakan koreksi apapun terhadap pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk. Kemudian kriteria optimis yaitu dengan melakukan tindakan koreksi yang maksimal untuk


(6)

pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk. Adapun kriteria moderat adalah kriteria dimana dilakukan tindakan koreksi yang dilakukan secara lebih bijak dan memperhatikan kemampuan dalam melakukan pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili.

Skenario moderat pada indikator keberlanjutan waduk memberi hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi eksisting (pesimis). Indeks kapasitas waduk menunjukkan bahwa kapasitas waduk yang terancam akan dapat dikendalikan dengan baik pada tahun 2022. Adapun kondisi eksisting menunjukkan pada tahun 2022 kapasitas tampung sedimentasi waduk akan terlampaui dan terancam tidak akan berfungsi dengan baik. Untuk partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa tenaga kerja yang diserap pada keadaan eksisting masih belum optimal jika dibandingkan dengan keadaan pada skenario moderat. Dengan tindakan koreksi yang moderat diperoleh peningkatan penyerapan tenaga kerja yang lebih tinggi sehingga akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar waduk baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pola Pengendalian sedimen dilakukan berdasarkan 4 bagian yaitu di bagian hulu (upper stream), bagian tengah (middle stream), hilir (down stream) dan area waduk Bili-Bili. Bangunan sabo dam yang berada di hulu sungai Jeneberang mampu mengendalikan sedimen sebesar 29.561.034 m3 atau 35% dari total sedimen yang dikendalikan fasilitas sabo dam. Pada bagian tengah bangunan dam konsolidasi sangat signifikan dalam mengendalikan sedimen sebesar 49.989.195 m3 atau 58% dari total sedimen yang dikendalikan oleh fasilitas bangunan sabo dam. Kemudian bangunan sand pocket pada bagian hilir menampung sedimen dalam volume yang besar sehingga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk melakukan penambangan dengan total volume sedimen yang ditambang adalah 2.190.000 m3 per tahun. Kemudian, pada bagian hulu waduk dilakukan pengerukan (excavation) yang ditampung pada area spoil bank dengan total volume 7.700.000 m3. Selain itu, dengan melakukan tindakan konservasi di hulu DAS Jeneberang seperti pembuatan teras yang dikombinasikan dengan penanaman memotong arah berlereng atau pembuatan saluran drainase dapat mengendalikan tingkat erosi menjadi 36,30 ton/ha dan sedimentasi sebesar 164.659,2 ton.

Berdasarkan hal tersebut disarankan bahwa: (1) perlunya aturan pengendalian sedimen berkaitan dengan pengalokasian dana pemerintah pada program pengendalian baik secara fisik maupun non fisik; aturan yang ketat berkaitan dengan persyaratan dan batasan untuk penambangan material pada areal penambangan yang diizinkan, (2) pada model dengan skenario moderat yang telah dibangun dapat dipertimbangkan untuk diaplikasikan dalam metode pengendalian sedimentasi waduk Bili-Bili melalui pemantauan peningkatan aktifitas penambangan sebesar 30%; menerapkan kriteria Operasional dan Pemeliharaan (OP) berkaitan flushing sedimen di waduk yang mendukung besaran outflow

sedimen 3%.


(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

DI WADUK BILI-BILI SULAWESI SELATAN

AHMAD RIFQI ASRIB

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(9)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. 2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.S.

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Mohamad Hasan, Dipl.HE. 2. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA.


(10)

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini. Rangkaian tahapan penelitian yang berjudul: Model Pengendalian Sedimentasi Waduk Akibat Erosi Lahan dan Longsoran di Waduk Bili-Bili Sulawesi Selatan telah dilaksanakan, mulai dari bulan Juli 2009 hingga Pebruari 2010.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Dr.Ir. M. Yanuar J. Purwanto, M.S., Bapak Prof. Dr. Ir. Sukandi Sukartaatmadja, M.S., Bapak Dr. Ir. Erizal, M.Agr., yang telah memberikan banyak saran dan bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada Ketua Program Studi PSL periode 2007-2010 Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S., Ketua Pelaksana Harian periode 2010 Bapak Dr. drh. Hasim, dan periode 2011 hingga saat ini Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ucapan terima kasih pula disampaikan kepada Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar, Rektor Universitas Negeri Makassar dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang S3 di IPB melalui beasiswa BPPS. Demikian pula ucapan terima kasih disampaikan kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Dirjen DIKTI, Kemendiknas yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Sandwich-Like selama 3 bulan di Tsukuba University, Tsukuba, Japan.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Pemda Kabupaten Gowa, dan Bapak Ir. H. Haeruddin C. Maddi, S.T., M.S. sebagai Pimbagpro PPK Pengendalian Sedimen Bawakaraeng pada Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan - Jeneberang. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pak Bambang, pak Edi dan bu Santi sebagai karyawan Yachio Engineering Co., Ltd., khususnya kepada adik Alfisar dan Kamrullah Ali (Ulla) dan semua pihak yang telah banyak membantu pada saat survey dan pengumpulan data lapangan untuk pelaksanan penelitian ini.


(12)

Penghormatan dan ucapan terima kasih atas doa dan kasih sayang yang tidak pernah putus dari ayahanda dan ibunda (alm.), serta isteri dan putra-putriku tercinta atas pengorbanannya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), khususnya untuk angkatan 2007 atas kebersamaan dan kerjasamanya selama menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada segenap karyawan Program Studi PSL yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama menempuh pendidikan S3 di PSL.

Penulis menyadari bahwa Disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena itu saran dan kritikan yang dapat memberikan perbaikan sangat diharapkan untuk menjadikannya lebih baik dan berkualitas. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi yang membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2012

Ahmad Rifqi Asrib


(13)

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 19 September 1963 sebagai anak ke-2 dari pasangan H. A. Bakry Asrib dan Almh. Hj. Siti Rahmah. Mendapat gelar sarjana Teknik Sipil dari Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar pada tahun 1990. Pada tahun 1995 mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Program Studi Teknik Sipil dan mendapatkan gelar Magister Teknik (MT) pada tahun 1998. Tahun 2007, penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan pendidikan ke program Doktor (S3) di Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL).

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Negeri Makassar (UNM) sejak tahun 1991 hingga sekarang. Mata kuliah yang diasuh terutama berada dalam lingkup Teknik Sipil Keairan Fakultas Teknik Universitas Negeri Makassar. Beberapa mata kuliah yang diasuh adalah Hidrolika, Mekanika Fluida, Metode Numerik dan Drainase.

Artikel ilmiah penulis sebagai bagian dari Disertasi saat ini telah diterima dan dalam proses penerbitan pada Jurnal Biosainstifika Vol. 3 No.1 dengan ISSN 1979-6900 yang berjudul “Analisis Tingkat Erosi Lahan Menggunakan MWAGNPS pada sub DAS Jeneberang Propinsi Sulawesi Selatan”. Artikel lain

yang juga telah diterima dan masih dalam proses penerbitan pada Jurnal Hidrolitan (Jurnal Hidrologi Lingkungan dan Tanah) dengan ISSN 2086-4825 yang berjudul “Analisis Longsoran Kaldera Terhadap Tingkat Sedimentasi Waduk Bili-Bili Propinsi Sulawesi Selatan”.


(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 7

1.3. Perumusan Masalah ... 10

1.4. Tujuan Penelitian ... 11

1.5. Manfaat Penelitian ... 11

1.6. Novelty ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Pengertian Waduk ... 13

2.2. Erosi dan Longsoran ... 15

2.2.1. Erosi ... 15

2.2.2. Longsoran ... 18

2.3. Sedimentasi Waduk ... 23

2.3.1. Laju Sedimen ... 23

2.3.2. Prediksi Sedimentasi Waduk ... 24

2.4. Bangunan Pengendali Sedimen ... 27

2.4.1. Sabo Dam dan Fungsinya ... 27

2.4.2. Bentuk dan Tipe Sabo Dam ... 30

2.5. Upaya Pengendalian Sedimentasi Waduk ... 32

2.5.1. Cara Vegetatif (Non Struktural) ... 33

2.5.2. Cara Mekanik (Struktural) ... 34

2.5.3. Kombinasi Vegetatif dan Mekanik ... 35

2.6. Sistem dan Pendekatan Sistem ... 36

2.6.1. Pemodelan Sistem ... 38

2.6.2. Verifikasi dan Validasi ... 40

2.6.3. Simulasi Model ... 41

2.7. Penelitian Terdahulu yang Terkait ... 41

2.7.1. Penelitian Sedimentasi Waduk di Waduk Bili-Bili ... 41

2.7.2. Penelitian Sedimentasi Waduk di Wilayah Lain ... 42

2.7.3. Penelitian Sedimentasi Waduk dengan Menggunakan Model .. 44

2.74. Posisi Strategis dan Kebaruan Penelitian ... 45

III. KARAKTERISTIK DAERAH TANGKAPAN WADUK BILI-BILI ... 47

3.1. Letak, Luas dan Keadaan Fisik ... 47

3.2. Kelerengan Tanah ... 47

3.3. Penutupan Lahan ... 48

3.4. Geologi dan Jenis Tanah ... 49


(15)

3.6. Curah Hujan ... 55

3.7. Pola Aliran dan Kemiringan Sungai Jeneberang ... 56

3.8. Data Teknis Waduk Bili-Bili ... 57

3.9. Bangunan Pengendali Sedimentasi Waduk Bili-Bili ... 58

3.10. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk ... 59

3.11. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan ... 59

3.12. Mata Pencaharian Penduduk ... 60

IV. METODE PENELITIAN ... 61

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 61

4.2. Bahan dan Alat ... 61

4.3. Rancangan Penelitian ... 62

4.3.1. Analisis Erosi Lahan sub DAS Jeneberang... 62

4.3.2. Analisis Longsoran Kaldera dan Tingkat Sedimentasi Waduk Bili-Bili ... 66

4.3.3. Model sistem dinamik pengendalian Sedimentasi di Waduk Bili-Bili ... 69

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 73

5.1. Karakteristik Sumber Sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk dan Tingkat Sedimentasi di Waduk Bili-Bili ... 73

5.1.1. Analisis Tingkat Erosi Lahan sub DAS Jeneberang ... 73

5.1.2. Analisis Longsoran Kaldera di sub DAS Jeneberang ... 83

5.1.3. Analisis Tingkat Sedimentasi Waduk ... 86

5.1.4. Efisiensi Tangkapan Sedimen (Trap Efficiency) ... 93

5.2. Identifikasi Pola Pengendalian Bangunan Pengendali Sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili ... 95

5.2.1. Kajian Kapasitas Bangunan Pengendali Sedimen ... 95

5.2.2. Pola Pengelolaan Bangunan Pengendali Sedimen ... 103

5.3. Model Dinamik Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili ... 107

5.3.1. Pembuatan Model ... 108

5.3.2. Konseptualisasi Model ... 111

5.3.3. Spesifikasi Model ... 114

5.3.4. Evaluasi Model ... 119

5.3.5. Skenario Model Pengendalian ... 123

5.3.6. Strategi Model Pengendalian ... 129

5.4. Pembahasan Umum ... 131

5.4.1. Arahan dan Rekomendasi Kebijakan ... 134

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 137

6.1. Simpulan ... 137

6.2. Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 139


(16)

Halaman

1. Lokasi bangunan Sabo-Dam dan Sand-Pocket sebagai penampung

sedimen ... 5

2. Dampak Erosi Tanah ... 16

3. Penetapan Nilai Batas Toleransi Erosi (T) ... 17

4. Kejadian dan Penyebab terjadinya Tanah Gerak dan Longsor ... 22

5. Macam dan Fungsi Bangunan Sabo ... 28

6. Posisi Strategis Penelitian yang Dilakukan ... 46

7. Luas wilayah administratif hulu DAS Jeneberang ... 47

8. Kelas Lereng Wilayah sub DAS Jeneberang ... 48

9. Ketinggian Elevasi Wilayah sub DAS Jeneberang ... 48

10. Penggunaan Lahan Wilayah sub DAS Jeneberang ... 49

11. Formasi Geologi Wilayah sub DAS Jeneberang ... 49

12. Jenis Tanah Wilayah sub DAS Jeneberang ... 55

13. Curah hujan bulanan Daerah Aliran Waduk Bili-Bili ... 56

14. Data Teknis Waduk Bili-Bili ... 58

15. Jumlah penduduk di wilayah hulu DAS Jeneberang tahun 2006 – 2009 ... 59

16. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Wilayah hulu DAS Jeneberang ... 60

17. Keluaran sedimen model di outlet sub DAS Jeneberang ... 77

18. Rekapitulasi Laju Erosi dan Sedimen untuk berbagai penutupan lahan ... 78

19. Volume sedimen untuk setiap titik Cross Section tahun 2004-2008 ... 84

20. Volume Aliran Sedimen Tahun 2003-2008 ... 85

21. Volume Sedimentasi per Penampang dari Tahun 1997-2009 ... 87

22. Volume Sedimentasi per Elevasi dari Tahun 1997-2009 ... 88

23. Prosentase total sedimentasi terhadap Kapasitas Waduk ... 90

24. Efisiensi Tangkapan Sedimen 1997-2008 ... 94


(17)

26. Kapasitas Bangunan Pengendali Sabo Dam di Middle Stream ... 99

27. Aktifitas Penambangan pada bangunan Sand Pocket (SP) ... 101

28. Volume Pekerjaan Pengerukan pada Sand Pocket dan Sekitar Waduk ... 103

29. Bangunan Pengendali sedimen di hulu Sungai Jeneberang ... 104

30. Kapasitas Pengendalian Sedimen di hulu Sungai Jeneberang ... 105

31. Jenis Tindakan Pengendalian Erosi Lahan ... 106

32. Analisis kebutuhan Pelaku (stakeholders) ... 108

33. Variabel dan Parameter pada Sub Model Pengendalian Longsoran ... 115

34. Variabel dan Parameter pada Sub Model Erosi Lahan ... 117

35. Variabel dan Parameter pada Sub Model Kapasitas Waduk ... 118

36. Variabel dan Parameter pada Sub Model Sosial Ekonomi ... 119

37. Perbandingan Volume Sedimentasi Waduk Aktual dan Hasil Simulasi Tahun 2004-2009 ... 122


(18)

Halaman

1. Transisi Kapasitas Penampungan pada Waduk Bili-Bili ... 6

2. Kerangka Pemikiran ... 9

3. Jenis Tanah Longsor ... 19

4. Bangunan Sabo Dam Tipe Tertutup ... 31

5. Bangunan Sabo Dam Tipe Terbuka ... 31

6. Tahapan Pendekatan Sistem ... 37

7. Peta Lereng di sub DAS Jeneberang ... 50

8. Peta elevasi Wilayah sub DAS Jeneberang ... 51

9. Peta Penggunaan Lahan Wilayah sub DAS Jeneberang ... 52

10. Peta Geologi Wilayah sub DAS Jeneberang ... 53

11. Peta Jenis Tanah Wilayah sub DAS Jeneberang ... 54

12. Lokasi stasiun Curah Hujan sub DAS Jeneberang ... 56

13. Kemiringan sungai Jeneberang di hulu Waduk Bili-Bili ... 57

14. Lokasi Penelitian ... 61

15. Diagram alir prediksi sedimentasi waduk dengan AGNPS ... 64

16. Ratio Kapasitas Waduk dan Luas DAS terhadap Trap Efficiency ... 69

17. Grafik Curah Hujan Bulanan untuk setiap stasiun ... 74

18. Grafik rerata Curah Hujan Tahunan dari Tahun 2002-2008 ... 75

19. Peta DEM elevasi sub DAS Jeneberang ... 79

20. Peta arah aliran sub DAS Jeneberang berdasarkan grid ... 80

21. Peta penyebaran sedimen total sub DAS Jeneberang ... 81

22. Peta penyebaran laju erosi permukaan sub DAS Jeneberang ... 82

23. Lokasi survey cross section sepanjang S. Jeneberang hulu Waduk Bili-Bili ... 83

24. Grafik Volume aliran Sedimen dari tahun 2004 – 2008 ... 85

25. Lokasi 22 titik cross section Waduk Bili-Bili ... 86

26. Elevasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 1997-2009 ... 88

27. Akumulasi Tingkat Sedimentasi di Waduk Bili-Bili 1997-2009 ... 89


(19)

29. Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 2009 ... 91

30. Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 2004 ... 92

31. Visualisasi sedimentasi di waduk Bili-Bili Tahun 2005 ... 92

32. Grafik Kapasitas waduk dan Efisiensi Tangkapan Sedimen di Waduk Bili-Bili ... 94

33. Lokasi Penempatan Sabo Dam SD 7-1 – SD 7-7 ... 96

34. Sabo dam Tipe Terbuka dan Tipe Tertutup pada bagian tengah sungai Jeneberang ... 98

35. Lokasi Penambangan dan tempat Penampungan Material ... 100

36. Lokasi Pengerukan dan Penampungan sedimen pada spoil bank... 102

37. Tindakan Konservasi Teras Bangku dengan Penanaman rumput ... 106

38. Diagram input-output Model Pengendalian Sedimentasi Waduk ... 110

39. Model Pengendalian Sedimentasi Waduk ... 111

40. Diagram lingkar causal loop model pengendalian ... 112

41. Model Konseptual Sistem Pengendalian Sedimentasi Waduk Bili-Bili .... 113

42. Sub Model Pengendali Sedimen ... 115

43. Sub Model Erosi Lahan ... 116

44. Sub Model Kapasitas Waduk ... 117

45. Sub Model Sosial Ekonomi ... 118

46. Hasil simulasi volume sedimentasi waduk, sedimen longsor dan Sedimentasi lahan ... 120

47. Hasil simulasi volume penambangan, pendapatan dan partisipasi Masyarakat ... 120

48. Volume Sedimentasi Waduk Aktual dan Simulasi Tahun 2004-2009 ... 122

49. Perbandingan simulasi Indeks Kapasitas Waduk ... 125

50. Perbandingan simulasi Tingkat Sedimentasi Waduk ... 126

51. Perbandingan simulasi Tingkat Partisipasi Masyarakat ... 127

52. Perbandingan simulasi Tingkat Pendapatan Masyarakat ... 128


(20)

Halaman

1. Tipikal Sabo Dam Impermeabel ... 145

2. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-1 (SD 7-1) .... 146

3. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-2 (SD 7-2) ... 147

4. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-3 (SD 7-3) ... 148

5. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-4 (SD 7-4) ... 149

6. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam No. 7-5 (SD 7-5) ... 150

7. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-1 ... 151

8. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-2 ... 152

9. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Sabo Dam CD-3 ... 153

10. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Konsolidasi Dam KD-1 ... 154

11. Gambar Teknis dan Spesifikasi bangunan Konsolidasi Dam KD-2 ... 155

12. Biaya dan Waktu Pembangunan Bangunan Pengendali Sedimen Dan Aktifitas Pengerukan ... 156

13. Data Curah Hujan Bulanan untuk setiap stasiun Pengamatan ... 157

14. Output General Cell dari MWAGNPS... 158

15. Output Sediment dari MWAGNPS ... 160


(21)

1.1. Latar Belakang

Waduk adalah bangunan air yang berfungsi untuk menampung air sungai yang dibangun dengan jalan membuat bendungan pada bagian hilirnya. Waduk merupakan salah satu bentuk reservoir tempat menampung aliran sungai dalam satu sistem jaringan sungai dalam suatu sistem Daerah Aliran Sungai (DAS). Pada dasarnya Waduk atau bendungan berfungsi sebagai penampung air dan tanah hanyut akibat erosi yang berasal dari daerah di atasnya untuk mengamankan daerah di bawahnya dari banjir dan erosi. Suatu waduk penampung atau waduk konservasi dapat menahan air kelebihan pada masa-masa aliran air tinggi untuk digunakan selama masa-masa kekeringan (Sukartaatmadja, 2004). Waduk dan bendungan juga bermanfaat sebagai konservasi air. Dengan menahan air lebih lama di darat sebelum mengalir kembali ke laut akan memberikan waktu untuk meresap dan memberikan kontribusi terhadap pengisian kembali air tanah.

Haregeweyn et al. (2006) telah mengkaji karakteristik dan masalah penumpukan sedimen pada beberapa waduk di Tigray (sebelah Utara Ethiopia). Kajian dilakukan dengan mensurvey dan mengevaluasi karakteristik dan masalah umum pada 54 waduk yang baru dibangun, dan mensurvey secara mendetail karakteristik daerah tangkapan pada 10 waduk. Dijelaskan bahwa masalah penumpukan sedimen cukup signifikan. Dari studi tentang waduk, 70% waduk memiliki masalah endapan sehingga umur operasi waduk akan segera berakhir sebelum umur rencana tercapai. Dengan demikian, pengelolaan sedimen di waduk merupakan pendekatan yang nantinya lebih efektif untuk mempertahankan kapasitas penampungan yang ada.

Dari penelitian mengenai tingkat kualitas perairan Danau dan Waduk di Indonesia diperoleh hasil bahwa beberapa danau dan waduk telah mengalami masalah pencemaran, berkurangnya volume, berkurangnya luas dan sedimentasi (berkurangnya kedalaman). Waduk yang sedimentasinya tinggi disebabkan oleh tingkat erosi yang tinggi di DAS-nya. Hal ini disebabkan karena adanya perambahan hutan, sistem pertanian yang kurang memperhatikan konsep-konsep konservasi air dan tanah. Selain faktor tersebut, juga disebabkan oleh perubahan


(22)

tataguna lahan dan tekanan kemiskinan penduduk dan kepadatan penduduk (Puslitbang SDA, 2008).

Terkait dengan ancaman keberlanjutan fungsi waduk, sumber sedimen pada umumnya diakibatkan oleh tingginya tingkat erosi yang terjadi di hulu, akibat maraknya pengalihan fungsi lahan hutan menjadi lahan pemukiman atau areal pertanian baru. Penyebab utama pengurangan kapasitas tampungan bendungan-bendungan di Indonesia adalah tingginya laju sedimentasi (Adzan et al., 2008). Terdapat beberapa waduk yang mengalami tingkat sedimentasi tinggi yaitu Sengguruh dan Karangkates di DAS Kalibrantas Hulu, Waduk Wonogiri di DAS Bengawan Solo, Waduk Mrica di DAS Serayu, Waduk Saguling dan Cirata di DAS Citarum Tengah, serta Waduk Bili-Bili di DAS Jeneberang Sulawesi Selatan (Puslitbang SDA, 2008).

Waduk Bili-Bili yang merupakan salah satu waduk terbesar di Propinsi Sulawesi Selatan terletak di bagian tengah DAS Jeneberang, diresmikan penggunaannya pada tahun 1999. Waduk ini merupakan waduk serbaguna yang dibangun dengan tujuan untuk pengendalian banjir, pemenuhan kebutuhan air irigasi, suplai air baku dan pembangkit listrik tenaga air. Secara geografis, Waduk Bili-Bili terletak di Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan. Waduk Bili-Bili memiliki luas tangkapan air sebesar 384,4 km2 dengan perencanaan umur operasi 50 tahun (JRBDP, 2004). Waduk serbaguna Bili-Bili dibangun dengan maksud untuk pengendalian daya rusak, mengoptimalkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya air yang ada pada bagian hulu DAS Jeneberang. Namun, dalam perkembangan terakhir terjadi penurunan pemanfaatan fungsi layanan waduk akibat adanya perubahan kondisi daerah tangkapan waduk karena perubahan pemanfaatan lahan dan juga terjadinya longsoran dinding kaldera (fitur vulkanik dari gunung).

Dari hasil interpretasi citra landsat tahun 1986/1987, tahun 1995/1996, dan tahun 2000/2001, diketahui bahwa telah terjadi penyusutan luas kawasan berhutan pada DAS Jeneberang selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1986/1987 luas kawasan hutan yang bervegetasi hutan adalah seluas 17.450 ha, sedangkan pada tahun 2003 seluas 13.648 ha, yang berarti telah terjadi penurunan luas kawasan hutan yang bervegetasi hutan sebesar 21,79% atau rata-rata sebesar 1,5%


(23)

per tahun. Kemudian pada tahun 2002 penggunaan lahan kering telah mendominasi wilayah DAS Jeneberang sebesar 69,4%, dimana luas penutupan hutan hanya 4,4% (Supratman, 2003). Hal ini menunjukkan telah terjadi konversi kawasan hutan menjadi permukiman dan kebun campuran, serta penebangan kayu untuk kebutuhan kayu bakar masyarakat.

Hasil penelitian Mappa et al. (1987) mengemukakan bahwa luas lahan kritis di DAS Jeneberang adalah 65.620 ha, dimana 5.250 ha tererosi berat, 37.400 ha tererosi sedang dan 6.563 ha tererosi ringan. Kemudian, berdasarkan hasil penelitian Tangkaisari (1987) tentang tingkat erosi di DAS Jeneberang bagian hulu menunjukkan bahwa total tanah tererosi pada petak pertanaman tanpa konservasi sebesar 80 ton/ha/tahun dan petak pertanaman yang berteras saluran sebesar 9 ton/ha/tahun; keduanya melampaui erosi yang dapat diperbolehkan yaitu 8 ton/ha/tahun. Pada tahun 1993–1994 erosi yang terjadi di hulu DAS Jeneberang yaitu 21,53 ton/ha/tahun, dan tahun 1999 erosi yang terjadi meningkat menjadi 25,00 ton/ha/tahun (Makaheming, 2003).

Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin (2000) menyebutkan bahwa hasil pengukuran angkutan sedimen pada alur sungai Jeneberang yang pernah dilakukan selama rentang waktu 15 tahun, yaitu dari tahun 1986 sampai dengan tahun 2001 menunjukkan kecenderungan peningkatan sedimen rata-rata sebesar 40 ton/ha/tahun dengan laju rata-rata sebesar 2,67% per tahun. Dari hasil penelitian yang dilakukan Fadiah (2006) ternyata pada Daerah Tangkapan Hujan (DTH) Waduk Bili-Bili juga telah mengalami tingkat erosi lahan sebesar 4,25 ton/ha/tahun. Klasifikasi tingkat bahaya erosi sangat berat terjadi pada lahan tegalan sebesar 33,32 ton/ha/tahun. Zubair (2001) membuat simulasi pendugaan laju sedimen pada DAS Jeneberang berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ada saat ini. Laju sedimen tahun 2001 sebesar 2000 m3/km2/tahun dan meningkat 24,2% menjadi 2608 m3/km2/tahun pada tahun 2005, dan sebesar 122,8% atau 4678 m3/km2/tahun pada tahun 2010, lebih tinggi dari pada laju yang diperkenankan (1500 m3/km2/tahun) masuk ke Dead Storage Capacity (DSC) bendungan Bili-Bili. H asi l P e n el i t i an m enunj uk kan j i ka t anpa upa ya pengendalian sedimen, akan berdampak pada berkurangnya umur bendungan dari 50 tahun menjadi 16 tahun.


(24)

Selanjutnya, pada tahun 2004 terjadi bencana berupa runtuhnya dinding kaldera G. Bawakaraeng yang merupakan hulu DAS Jeneberang. Dinding kaldera yang runtuh diidentifikasi sebagai tebing yang termasuk G. Sarongan (Elevasi 2.514 m dpl). Volume massa yang runtuh diperkirakan antara 200 – 300 juta m3 (Hasnawir et al, 2006). Hasil pengukuran echosounding yang dilakukan pada bulan Juni 2004 menunjukkan bahwa volume sedimen yang terendapkan di Waduk Bili-Bili sebesar 4.763.229 m3 (Bapro PSDA, 2004). Peningkatan sedimentasi terjadi pada tahun 2005 dengan masuknya sedimen yang berasal dari longsoran dinding kaldera G. Bawakaraeng yaitu sebesar 22.686.654 m3 (Bapro PSDA, 2005). Zubair (2001) menyatakan bahwa sumber sedimen di waduk Bili-Bili berasal dari erosi tanah (71,22%), erosi akibat longsor dan erosi tebing sungai (28,78%). Potensi sedimen akibat longsoran yang cukup besar akan mengalir ke hilir bila intensitas hujan tinggi sehingga rawan terjadi aliran debris dengan konsentrasi tinggi. Kondisi sungai Jeneberang yang masih kontinyu mengalirkan sedimen pada saat terjadi banjir dan mengendap di sepanjang alur sungai sampai ke Waduk Bili-Bili menyebabkan peningkatan sedimentasi di waduk Bili-Bili sehingga menyebabkan pendangkalan waduk yang pada akhirnya akan mengurangi umur operasi waduk dan mengancam keberlanjutan fungsi waduk.

Menurut Maryono (2005), kerusakan daerah tangkapan air waduk, danau atau embung, seperti halnya daerah aliran sungai, merupakan penyumbang dampak negatif yang sangat signifikan. Jika daerah tangkapan rusak, jelas umur waduk atau danau akan memendek. Pada musim hujan, aliran permukaan (run off) dengan membawa kandungan sedimen yang tinggi masuk ke waduk. Sedang aliran dasar (base flow) yang merupakan cadangan musim kemarau cenderung menurun drastis. Dengan demikian umur waduk hanya ditentukan oleh volume tampungan akhir musim hujan saja.

Upaya yang telah dilakukan selama ini adalah melakukan konservasi areal penangkapan air hujan di sekitar waduk, mencegah erosi yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dalam mengolah tanah agar tidak menimbulkan erosi, menanam pohon atau menghutankan kembali. Selain itu juga dengan mengeruk sedimen di waduk, membangun sabo dam dan cekdam sebagai penampung sedimen. Waduk Bili-Bili memiliki Sabo-Dam dan Sand-Pocket,


(25)

dimana bangunan ini diperuntukkan menjaga kelestarian multifungsi waduk dengan kapasitas penampungan sedimen. Gambaran lokasi bangunan Sabo-Dam dan Sand-Pocket disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Lokasi dan kapasitas bangunan Sabo-Dam dan Sand-Pocket

No Lokasi Jenis Bangunan Kapasitas (m3)

1 S. Jeneberang Sand Pocket No.1 154.000

2 S. Jeneberang Sand Pocket No.2 75.000

3 S. Jeneberang Sand Pocket No.3 108.000

4 S. Jeneberang Hulu Sabo-Dam No.4 105.000

5 S. Malino Sand Pocket No.4 111.000

6 S. Jeneberang Lengese Sand Pocket No.5 87.000

7 S. Malino Sabo-Dam No.6 101.000

8 S. Kunisi Sabo-Dam No.8 86.000

9 S. Kunisi Hulu Sabo-Dam No.9 88.000

Sumber: PPLH UNHAS (2001).

Hasil kalkulasi kapasitas Sabo-Dam dan Sand-Pocket yang ada dengan sedimen yang berasal dari runtuhan dinding kaldera mencapai 300 juta m3, ditambah dengan sedimen yang berasal dari erosi lahan setiap tahun yang mencapai 5200 m3. Hal ini menggambarkan kondisi yang jelas tidak mampu ditampung oleh Sabo-Dam dan Sand-Pocket tersebut sehingga sisa material longsoran dan sedimen yang ada akan bermuara di Waduk Bili-Bili.

Keberadaan dan peran sumberdaya hutan sangat erat dengan kehidupan umat-manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Nilsson (1996) dalam Suhendang (2002) mengelompokkan macam-macam fungsi hutan, yaitu sebagai berikut: (1) menghasilkan kayu industri (industrial wood), untuk papan, kertas, kemasan, dan lain-lain; (2) menghasilkan kayu bakar dan arang (fuel wood and charcoal); (3) menghasilkan hasil hutan bukan kayu (non-wood forest products, NWFPs); (4) menyediakan lahan untuk pemukiman manusia (human settlement); (5) menyediakan lahan untuk pertanian (agriculture land); (6) memberikan perlindungan terhadap siklus air dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) dan pengendalian erosi (watershed protection and erosion control); (7) tempat penyimpanan karbon (carbon storage); (8) pemeliharaan keanekaragaman hayati dan habitat (biodiversity and habitat preservation); dan (9) obyek ekoturisme dan rekreasi alam (ecotourism and recreation).


(26)

Sampai dengan bulan April 2008, akumulasi sedimentasi di waduk telah mencapai 63,96 juta m3 atau 18,5% dari total kapasitas penampungan sedimen sebesar 346 juta m3. Kapasitas penampungan sedimen yang tersisa adalah 285 m3 dan umur rencana waduk menjadi 43 tahun (Hardjosuwarno dan Soewarno, 2008). Posisi kapasitas penampungan sedimen disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Transisi Kapasitas Penampungan pada Waduk Bili-Bili (Hardjosuwarno dan Soewarno, 2008).

Fenomena-fenomena tersebut menunjukkan bahwa sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili semakin menghawatirkan karena dapat mengancam keberlanjutan fungsi waduk. Hal ini merupakan masalah yang perlu segera ditangani secara serius agar tidak semakin parah di kemudian hari. Hal ini juga menjadi penting untuk dikaji mengingat waduk tersebut memiliki peranan yang sangat penting dalam konteks pembangunan sosial ekonomi masyarakat, khususnya bagi penduduk kota Makassar dan Kab. Gowa.

Fenomena tentang sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili menunjukkan permasalahan yang kompleks dan sulit dipahami jika hanya menggunakan satu disiplin keilmuan. Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keragaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen melalui pemahaman secara holistik (menyeluruh) dan utuh, merupakan suatu alternatif pendekatan baru dalam memahami dunia nyata. Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan, sehingga dapat dihasilkan suatu operasi sistem yang efektif


(27)

(Eriyatno dan Sofyar, 2007). Dengan demikian kajian tentang sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili dapat dilakukan dengan pendekatan sistem dalam membangun model pengendalian sedimentasinya sehingga kapasitas waduk dapat dipertahankan dan pemanfaatan fungsi waduk dapat berkesinambungan dengan tetap menjaga kelestarian alam sekitarnya.

1.2. Kerangka Pemikiran

Waduk Bili-Bili merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat baik dari aspek ekonomi, sosial maupun dari aspek ekologi. Waduk Bili-Bili memiliki peranan penting bagi kehidupan masyarakat sekitarnya seperti: pengendalian banjir sungai Jeneberang, penyediaan air minum dan air untuk industri, penyediaan air untuk irigasi, Pembangkit Listrik Tenaga Air, perikanan darat dan daerah wisata. Dalam peranannya untuk pengendalian banjir sungai Jeneberang, Waduk serbaguna Bili-Bili dapat mengurangi banjir kiriman dari Kabupaten Gowa ke Kota Makassar yang berdampak pada berkurangnya jumlah luasan banjir di Kota Makassar.

Namun demikian, salah satu masalah strategis Waduk Bili-Bili adalah menurunnya kapasitas dan fungsi waduk. Laju sedimentasi di sungai Jeneberang terus meningkat, sehingga memerlukan upaya pengendalian sedimen untuk mempertahankan efektifitas waduk agar tidak terus berkurang dan dapat mengancam keberlanjutan fungsi waduk. Walaupun berbagai upaya penanggulangan sedimentasi telah dilakukan oleh pemerintah, seperti program pengendalian sedimentasi di perairan waduk namun sedimentasi tetap saja terus terjadi.

Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan suatu kajian model pengendalian yang menyentuh semua aspek kehidupan masyarakat di daerah aliran waduk. Menurut Jorgensen dan Vollenweider (1989), penggunaan pemodelan dalam pengelolaan danau atau waduk merupakan suatu hal yang bermanfaat. Hal ini disebabkan model dapat mensintesis pengetahuan dari sistem dan permasalahan yang ada.

Untuk mewujudkan agar waduk tetap berkelanjutan perlu melibatkan multistakeholder, yaitu: Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya


(28)

Masyarakat/Yayasan Lingkungan Hidup, Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum. Disamping itu juga ditentukan oleh kualitas Sumber Daya Manusia, organisasi, kelembagaan, regulasi dan infrastruktur. Oleh karena itu permasalahan pengendalian sedimentasi waduk merupakan hal yang sangat penting, kompleks dan dinamis. Penting karena waduk memiliki fungsi ekologi, kompleks karena melibatkan multistakeholders dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat sedimentasi selalu berubah seiring dengan perubahan waktu.

Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa kajian mengenai permasalahan sedimentasi di waduk harus dilakukan dengan suatu pendekatan yang holistik. Permasalahan tersebut berkaitan dengan potensi dan ancaman dalam pemanfaatan waduk oleh masyarakat di sekitarnya. Potensi dan ancaman tersebut dapat diidentifikasi baik secara teknis maupun non teknis. Aspek teknis terdiri dari erosi, sedimentasi, infrastruktur pengendali sedimen maupun berdasarkan aspek non teknis seperti persepsi masyarakat, aturan-aturan dan kelembagaan sesuai kebutuhan stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan waduk. Salah satu pendekatan kesisteman yang memungkinkan teridentifikasinya seluruh variabel terkait, dan memudahkan untuk mengetahui trend/pola pertumbuhan ke depan seiring dengan perubahan waktu adalah dengan model dinamik. Dengan model dinamik juga dapat teridentifikasi faktor pengungkit dalam pengendalian sedimentasi, sehingga kebijakan yang akan diambil akan menjadi lebih efektif.

Pendekatan dengan sistem dinamik merupakan bagian dari pendekatan sistem yang dapat menjadi salah satu alternatif pendekatan dalam masalah pengendalian sedimentasi di waduk, karena pendekatan sistem dinamik dapat merubah cara pandang dan pola berpikir dalam menangani permasalahan dengan menggunakan model yang merupakan penyederhanaan dari sebuah sistem (Hartisari, 2007). Melalui pendekatan sistem dinamik ini seorang pengambil keputusan dapat menggunakan pengalamannya dalam pengambilan keputusan, berdasarkan simulasi model dan perilaku sistem yang dihadapi (Barlas, 2002), sehingga rancangan model pengendalian sedimentasi di waduk yang komprehensif dapat mengakomodasi semua kepentingan pelaku dan kebijakan


(29)

strategis yang perlu dilakukan untuk menciptakan kondisi yang diinginkan dapat diantisipasi lebih dini.

Model pengendalian dapat dibangun dengan cara identifikasi secara mendalam tentang permasalahan yang terjadi di waduk serta membangun sistem dan kontrol untuk mencegah atau meminimalisasi dampak atau kerugian lingkungan. Model yang dibangun didasarkan pada beban sedimentasi dari yang berasal dari berbagai sumber serta karakteristik dari waduk itu sendiri. Model yang dibangun juga diharapkan menjadi dasar untuk memformulasi kebijakan oleh pengelola dan para pengambil keputusan dalam pemanfaatan dan pengelolaan pengendalian sedimentasi waduk. Secara skematis kerangka pemikiran penelitian Model Pengendalian Sedimentasi di Waduk Bili-Bili diilustrasikan pada Gambar 2.

SEDIMENTASI - Erosi lahan - Longsor

Kondisi Eksisting Waduk Bili-Bili: karakteristik Biofisik dan

karakteristik sosek

Pemodelan Sistem Pengendalian Sedimentasi

Waduk

Model Pengendalian Sedimentasi Waduk

Strategi/ Rekomendasi Program

Pengelolaan Waduk

Pendekatan Sistem: - Analisis Kebutuhan - Formulasi Masalah - Identifikasi Sistem

Model Dinamik Pengelolaan Waduk

(UU SDA No.7 thn 2004): Konservasi, Pemanfaatan, Pengendalian daya rusak air.

Alternatif Kebijakan Pengelolaan

Waduk

Gambar 2 Kerangka Pemikiran.

1.3. Perumusan Masalah

Waduk Bili-Bili memiliki potensi yang sangat penting karena dapat dimafaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya. Selain


(30)

itu Waduk Bili-Bili berada pada DAS Jeneberang yang merupakan salah satu DAS Prioritas Nasional yang dalam pengelolaannya perlu mendapat perhatian khusus. Waduk Bili-Bili dibangun untuk memenuhi kepentingan penyediaan air minum bagi penduduk Kota Makassar, Sungguminasa dan sekitarnya, irigasi sawah di bagian hilir, pembangkit tenaga listrik dan juga sebagai sarana rekreasi. Namun demikian, Waduk Bili-Bili seperti halnya waduk lainnya mengalami masalah yang hampir sama yaitu masalah pendangkalan waduk. Apabila tidak ada usaha pencegahan dan pengendalian sedimen dikhawatirkan proses sedimentasi akan terus-menerus berlangsung, yang selanjutnya akan berpengaruh pada menurunnya nilai atau fungsi dari waduk serta berdampak pada kelangsungan fungsi waduk.

Sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili merupakan hasil dari erosi yang berasal dari daerah tangkapan air DAS Jeneberang bagian hulu. Erosi yang tinggi pada daerah tersebut akan terbawa oleh aliran sungai yang pada akhirnya akan mengendap sebagai sedimen di dasar waduk. Selain itu, sedimentasi juga berasal dari longsoran yang terjadi akibat runtuhnya dinding Kaldera Gunung Bawakaraeng. Akumulasi dari erosi dan longsoran yang terjadi terus-menerus akan mengarah pada terjadinya pendangkalan waduk, menurunnya daya tampung sedimen dan penurunan kualitas perairan.

Keberadaan Waduk Bili-Bili yang melintang di tengah Sungai Jeneberang yang sangat dibutuhkan terutama masyarakat bagian hilir harus dapat diselamatkan untuk memenuhi keperluan irigasi, air baku, pengendali banjir, maupun untuk keperluan wisata dan nelayan waduk. Disamping itu aktifitas di daerah hulu juga harus ditata tanpa merugikan petani dari apa yang telah diperolehnya. Termasuk aktifitas pertambangan di daerah Sand-Pocket dan Sabo-Dam juga harus diefektifkan pengelolaannya.

Oleh karena itu dalam upaya pengendalian sedimentasi di waduk Bili-Bili, visi pembangunan berkelanjutan harus dapat diimplementasikan. Pembangunan berkelanjutan secara sederhana dapat diartikan bahwa apapun bentuknya pembangunan harus dapat melindungi lingkungan dimana ataupun di sekitar pembangunan dilaksanakan, tetapi sebaliknya ketika pembangunan sudah berjalan maka lingkungan juga berkewajiban yang sama yaitu harus dapat menyelamatkan


(31)

pembangunan, terutama proses operasionalnya. Demikian pula dengan keberadaan Waduk Bili-Bili disamping menjalankan fungsinya, juga harus dijaga keselamatannya dari gangguan lingkungan baik itu yang bersumber dari aktifitas manusia maupun yang bersumber dari proses alam. Mengingat banyaknya pihak yang harus terlibat dalam penanganan pengendalian sedimentasi di waduk maka dilakukan pendekatan kesisteman dan kebijakan yang diharapkan dapat diterima oleh semua pihak.

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut terlihat bahwa ada keterkaitan fungsi waduk dengan dampak dari sedimentasi yang terjadi di daerah aliran waduk. Oleh karena itu, maka dalam konteks pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili, diajukan beberapa pertanyaan:

1. Bagaimana karakterikstik sumber sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili?

2. Bagaimana tingkat sedimentasi di Waduk Bili-Bili?

3. Bagaimana pola pengendalian bangunan pengendali sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili?

4. Bagaimana model sistem pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili?

1.4. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah membangun model pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili; untuk mencapai tujuan tersebut, maka dijabarkan beberapa tujuan antara penelitian yaitu:

1. Mengkaji karakteristik sumber sedimen Daerah Tangkapan Air Waduk dan tingkat sedimentasi di Waduk Bili-Bili

2. Mengidentifikasi pola pengendalian bangunan pengendali sedimentasi Daerah Tangkapan Air Waduk Bili-Bili

3. Membangun model sistem dinamik untuk efektifitas pengendalian sedimentasi di Waduk Bili-Bili

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh pemangku kepentingan dari hasil penelitian ini adalah:


(32)

1. Bagi pemerintah merupakan bahan pertimbangan dalam memformulasi kebijakan pengendalian sedimentasi yang terjadi di Waduk Bili-Bili

2. Bagi masyarakat sebagai informasi dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya perairan Waduk Bili-Bili

3. Bagi peneliti dan pendidik merupakan stimulus untuk pengembangan ilmu pengetahuan dalam menyelesaikan masalah sedimentasi waduk, khususnya di Waduk Bili-Bili.

1.6. Novelty (Kebaruan Gagasan)

Penelitian ini bersandarkan pada metode pendekatan sistem dengan mengintegrasikan secara menyeluruh kepentingan para pelaku yang terlibat dalam sistem pengendalian sedimentasi. Oleh sebab itu kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah pola pengendalian bangunan pengendali sedimen yang dapat dijabarkan pada:

1. Sistem pendekatan yang terpadu dengan menggunakan model dinamis, menggunakan teknik hard system methodology (kapasitas waduk, erosi dan beban sedimentasi) dan teknik soft system methodology.

2. Rancangan pola pengendalian sedimentasi waduk dengan mengutamakan mekanisme dan koordinasi antara pengelola waduk, masyarakat sekitar waduk dan masyarakat di hulu waduk.


(33)

2.1. Pengertian Waduk

Waduk adalah salah satu sumber air tawar yang menunjang kehidupan semua makhluk hidup dan kegiatan sosial ekonomi manusia. Ketersediaan sumber daya air mempunyai peran yang sangat mendasar untuk menunjang pengembangan ekonomi wilayah. Sumberdaya air yang terbatas di suatu wilayah mempunyai implikasi kepada kegiatan pembangunan yang terbatas dan pada akhirnya kegiatan ekonomipun terbatas sehingga kemakmuran rakyat makin lama tercapai. Air waduk/danau digunakan untuk berbagai pemanfaatan antara lain sumber baku air minum, air irigasi, pembangkit listrik, perikanan dan lain-lain. Hal ini menjadikan pentingnya air tawar yang berasal dari waduk bagi kehidupan.

Waduk sering juga disebut sebagai danau buatan yang besar. Komisi Dam Dunia menyebutkan bahwa bendungan/waduk adalah besar bila tinggi bendungan lebih dari 15 m. Sedangkan embung merupakan waduk kecil dengan tinggi bendungan kurang dari 15 m (Puslitbang SDA, 2008). Sistim tata air waduk berbeda dengan danau alami. Pada waduk komponen tata airnya umumnya telah direncanakan sedemikian rupa sehingga volume, kedalaman, luas, presipitasi, debit inflow/outflow waktu tinggal air diketahui dengan pasti. Pembangunan waduk diperuntukkan berbagai keperluan antara lain pembangkit listrik, irigasi, pengendalian banjir, sumber baku air minum, air industri, perikanan, tempat pariwisata. Saat ini jumlah tenaga listrik yang dihasilkan dari tenaga air yang berasal dari air waduk ada sebanyak 3,4% dari total kebutuhan nasional (Puslitbang SDA, 2008).

Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, terdiri dari 3 komponen utama yaitu konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Waduk yang merupakan sumberdaya air telah banyak mengalami penurunan fungsi dan kerusakan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh karena pengelolaan waduk yang banyak mengalami kendala. Undang-Undang Sumber Daya Air telah mengamanatkan untuk melakukan pengelolaan waduk dengan melakukan konservasi, pemanfaatan dan pengendalian daya rusak air. Selain itu masih ada peraturan lain seperti PP. No.13 tahun 2010, tentang Pengelolaan Lingkungan


(34)

Hidup; PP. No. 32 Tahun 2012, tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, PP. No.82 Tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air; PP. No.32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung; Kepres No.123/2001, tentang Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air pada tingkat Propinsi, Wilayah Sungai, Kabupaten dan Kota serta Keputusan Menteri yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air.

Di dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2010 Tentang Bendungan disebutkan bahwa waduk dibentuk untuk menyimpan air yang berlebih pada saat musim penghujan agar dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air dan daya air pada waktu diperlukan, serta mengendalikan daya rusak air sebagaimana dimaksud pada pasal 22, pasal 34 dan pasal 58 Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Waduk selain dapat difungsikan sebagai penampung air juga dapat dilakukan untuk menampung limbah tambang (tailing) atau menampung lumpur dalam rangka menjaga keamanan serta keselamatan lingkungan hidup.

Selanjutnya disebutkan untuk pembangunan bendungan dan pengelolaan bendungan beserta waduknya meliputi:

- Bendungan dengan tinggi 15 m atau lebih diukur dari dasar pondasi terdalam - Bendungan dengan tinggi 10 m sampai dengan 15 m diukur dari dasar

pondasi terdalam dengan ketentuan:

 panjang puncak bendungan paling sedikit 500 m;  daya tampung waduk paling sedikit 500.000 m3; atau

 debit banjir maksimal yang diperhitungkan paling sedikit 100.000 m3/dtk. atau

- Bendungan yang mempunyai kesulitan khusus pada pondasi atau bendungan yang didisain menggunakan teknologi baru dan/atau bendungan yang mempunyai kelas bahaya tinggi.

Walaupun sudah banyak undang-undang atau peraturan yang diundangkan tentang pengelolaan sumberdaya air dan yang terkait dengan pengelolaan sumber daya air namun konservasi sumberdaya air, pengendalian daya rusak air terhadap sumberdaya air pada waduk, danau, situ, embung dan sungai masih jauh dari harapan baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas airnya.


(35)

2.2. Erosi dan Longsor 2.2.1. Erosi

Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat yang diangkut oleh air atau angin ke tempat lain. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut dan selanjutnya akan diendapkan di tempat lain (Arsyad, 2006). Pada daerah yang beriklim basah menurut Arsyad (2006), faktor iklim yang paling mempengaruhi erosi dan aliran permukaan adalah hujan. Jumlah intensitas dan distribusi hujan menentukan kekuatan tumbukan hujan terhadap tanah, jumlah dan kecepatan aliran permukaan dan kerusakan erosi.

Menurut Asdak (2004), proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan: pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation). Beberapa tipe erosi yang ditemukan untuk daerah tropis adalah:

1. erosi percikan (flash erosion), yaitu proses terkelupasnya partikel-partikel tanah bagian atas oleh tenaga kinetik air hujan bebas atau air lolos.

2. erosi permukaan (sheet erosion), yaitu erosi yang terjadi ketika lapisan tipis permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan air aliran (run off).

3. erosi alur (rill erosion), yaitu pengelupasan yang diikuti dengan pengangkutan partikel-partikel tanah oleh air aliran yang terkonsentrasi di dalam saluran air.

4. erosi parit (gully erosion), yaitu erosi yang membentuk jajaran parit yang lebih dalam dan lebar serta merupakan lanjutan dari erosi alur.

5. erosi tebing (streambank erosion), yaitu pengikisan tanah pada tebing-tebing sungai dan penggerusan dasar sungai oleh aliran air sungai.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya erosi adalah iklim, tanah, topografi, vegetasi dan pengelolaan. Faktor iklim yang besar pengaruhnya adalah hujan yang melalui tenaga kinetiknya menghancurkan partikel-partikel tanah dan kontribusinya terhadap aliran permukaan. Faktor tanah meliputi tekstur, struktur, infiltrasi dan kandungan bahan organik. Faktor topografi umumnya dinyatakan dalam kemiringan dan panjang lereng. Erosi akan meningkat dengan semakin


(36)

besarnya kemiringan dan panjang lereng. Pengaruh vegetasi penutup lahan terhadap erosi adalah melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, menurunkan kecepatan dan volume run off , menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan serasah yang dihasilkan, serta mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air.

Jika intensitas hujan lebih rendah dari kapasitas infiltrasi, maka semua hujan yang mencapai permukaan bumi akan terinfiltrasi. Pada saat intensitas hujan melebihi kapasitas infiltrasi, maka akan terjadi aliran permukaan yang menyebabkan terjadinya erosi. Dampak yang ditimbulkan akibat adanya erosi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Dampak Erosi Tanah

Dampak Dampak di tempat kejadian erosi

Dampak diluar tempat kejadian erosi

Langsung a. Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman

b. Kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah c. Peningkatan penggunaan

energi untuk produksi d. Kemerosotan produktifitas

tanah atu bahkan menjadi tidak dapat dipergunakan untuk berproduksi e. Kerusakan bangunan

konservasi dan bangunan lainnya

f. Pemiskinan petani penggarap/ pemilik tanah

a. Pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya

b. Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan lainnya c. Menghilangkan mata air dan

memburuknya kualitas air d. Kerusakan ekosistem perairan

(tempat bertelur ikan, terumbu karang dan sebagainya) e. Kehilangan nyawa dan harta

oleh banjir

f. Meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan

Tidak langsung

a. Berkurangnya alternatif penggunaan tanah

b. Timbulnya dorongan/tekanan untuk membuka lahan baru c. Timbulnya keperluan akan

perbaikan lahan dan bangunan yang rusak

a. Kerugian oleh berkurangnya umur waduk

b. Meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir

Sumber: Arsyad (2006)

Untuk menentukan kebijakan penggunaan tanah dan tindakan konservasi yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah dan tanah dapat digunakan


(37)

secara produktif, maka perlu diperkirakan laju erosi yang terjadi dan menetapkan laju erosi yang dapat ditoleransi. Apabila jumlah tanah yang tererosi lebih besar dari jumlah tanah tererosi yang dapat ditoleransikan maka akan terjadi degradasi lahan, tetapi apabila jumlah tanah yang tererosi sama atau lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan maka tidak terjadi degradasi erosif.

Prediksi erosi adalah alat bantu untuk mengetahui besarnya erosi yang akan terjadi pada suatu penggunaan lahan dengan pengelolaan tertentu dan untuk mengambil keputusan dalam perencanaan konservasi tanah. Batas Toleransi Erosi adalah nilai laju erosi terbesar yang masih dapat ditoleransikan agar tetap terpelihara suatu kedalaman tanah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman sehingga memungkinkan tercapainya produktifitas yang tinggi. Nilai Batas Toleransi Erosi (T) ditentukan oleh kedalaman tanah, batuan pembentuk tanah, iklim dan sifat-sifat tanah yang mempengaruhi pertumbuhan akar tanaman. Selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Penetapan Nilai Batas Toleransi Erosi (T)

No. Sifat Tanah dan Substratum Nilai T

(ton/ha/tahun) mm/tahun

1. Tanah dangkal di atas batuan 1,12 0,112 2. Tanah dalam, di atas batuan 2,24 0,224 3. Tanah dengan lapisan bawah padat, di atas

substrata yang telah mengalami pelapukan

4,48 0,448

4. Tanah dengan lapisan bawahnya

berpermeabilitas sedang, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi

8,96 0,896

5. Tanah dengan lapisan bawahnya

berpermeabilitas sedang, di atas bahan yang tidak terkonsolidasi

11,21 1,121

6. Tanah dengan lapisan bawahnya permeabel (agak cepat), di atas bahan yang tidak terkonsolidasi

13,45 1,345

Sumber: Arsyad (2006)

Besarnya erosi aktual yang terjadi dapat memberikan gambaran apakah tingkat erosi yang terjadi pada suatu DAS sudah dalam tingkatan yang membahayakan atau tidak. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) adalah perkiraan kehilangan tanah maksimum dibandingkan dengan tebal solum tanahnya pada setiap unit lahan bila teknik pengelolaan tanaman dan konservasi tidak mengalami


(38)

perubahan. Penentuan TBE menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang telah ada dan besarnya erosi sebagai dasarnya. Semakin dangkal solum tanahnya berarti semakin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga tingkat bahaya erosinya sudah cukup besar, meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar.

2.2.2. Longsor

Salah satu jenis tanah yang sering dijumpai di Indonesia adalah hasil letusan gunung api. Tanah ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Tanah yang berada diatas batuan kedap air pada perbukitan/punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi mengakibatkan tanah longsor pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi. Longsoran (slide) merupakan gerakan material pembentuk lereng diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser, di sepanjang satu atau lebih bidang longsor. Massa tanah yang bergerak bisa menyatu atau terpecah-pecah. Perpindahan material total sebelum longsoran bergantung pada besarnya regangan untuk mencapai kuat geser puncaknya dan pada tebal zona longsornya (Hardiyatmo, 2006).

Longsor adalah suatu bentuk erosi yang pengangkutan atau pemindahan atau gerakan tanah terjadi pada saat bersamaan dalam volume yang besar. Berbeda dengan bentuk erosi, pada tanah longsor pengangkutan tanah dalam volume besar terjadi sekaligus. Akan terjadi longsor jika terpenuhi tiga keadaan, yaitu: (1) lereng yang cukup curam sehingga volume dapat bergerak atau meluncur kebawah, (2) terdapat lapisan kedap air dan lunak di bawah permukaan tanah yang merupakan bidang luncur, (3) terdapat cukup air dalam tanah sehingga lapisan tanah tepat di atas lapisan kedap air menjadi jenuh (Arsyad, 2006).

Menurut Kementrian ESDM (2008), jenis tanah longsor dibedakan atas 6 jenis, yaitu longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batu, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan.

Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir yang berbentuk rata atau landai, adapun longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang yang cekung. Jika longsoran


(39)

terjadi karena perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata disebut longsoran pergerakan blok, dan jika bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas disebut runtuhan batu.

Longsoran rayapan tanah adalah jenis longsoran yang bergerak lambat sehingga hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon atau rumah menjadi miring ke bawah. Jenis tanah longsor akibat aliran bahan rombakan terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak. Untuk lebih jelasnya beberapa gambar jenis tanah longsor dapat dilihat pada Gambar 3.

Longsoran translasi Longsoran rotasi

Longsoran pergerakan blok Longsoran runtuhan batu

Longsoran rayapan tanah Longsoran aliran bahan rombakan


(40)

Menurut Hardiyatmo (2006) terdapat banyak faktor penyebab terjadinya longsoran seperti kondisi geologi dan hidrologi, topografi, iklim dan perubahan cuaca dapat mempengaruhi stabilitas lereng. Longsoran jarang terjadi hanya oleh satu sebab saja. Adapun sebab-sebab longsoran lereng alam yang sering terjadi menurut Kementrian ESDM (2008) dijelaskan antara lain:

1. Hujan

Ancaman tanah longsor biasanya dimulai pada bulan November (awal musim hujan) karena meningkatnya intensitas curah hujan. Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air di permukaan tanah dalam jumlah besar. Hal itu mengakibatkan munculnya pori-pori atau rongga tanah hingga terjadi retakan dan merekahnya tanah permukaan. Ketika hujan, air akan menyusup ke bagian yang retak sehingga tanah dengan cepat mengembang kembali. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor, karena melalui tanah yang merekah air akan masuk dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga menimbulkan gerakan lateral. Bila ada pepohonan di permukaannya, tanah longsor dapat dicegah karena air akan diserap oleh tumbuhan. Akar tumbuhan juga akan berfungsi mengikat tanah.

2. Lereng Terjal

Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut lereng yang menyebabkan longsor adalah 1800 apabila ujung lerengnya terjal dan bidang longsorannya mendatar.

3. Tanah yang Kurang Padat dan Tebal

Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5 m dan sudut lereng lebih dari 220. Tanah jenis ini memiliki potensi untuk terjadinya tanah longsor terutama bila terjadi hujan. Selain itu tanah ini sangat rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa terlalu panas.


(41)

4. Batuan yang Kurang Kuat

Batuan endapan gunung api dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi tanah bila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor bila terdapat pada lereng yang terjal. 5. Jenis Tata Guna Lahan

Tanah longsor banyak terjadi di daerah penggunaan lahan persawahan, perladangan, dan adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan akarnya kurang kuat untuk mengikat butir tanah dan membuat tanah

menjadi lembek dan jenuh dengan air sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk daerah perladangan penyebabnya adalah karena akar pohonnya tidak dapat menembus bidang longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.

6. Getaran

Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin, dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, badan jalan, lantai, dan dinding rumah menjadi retak.

7. Adanya Material Timbunan pada Tebing

Untuk mengembangkan dan memperluas lahan pemukiman, umumnya dilakukan pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut belum terpadatkan sempurna seperti tanah asli yang berada di bawahnya. Sehingga apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.

8. Susut Muka Air Danau atau Bendungan

Akibat susutnya muka air yang cepat di danau, maka gaya penahan lereng menjadi hilang, dengan sudut kemiringan waduk 2200 mudah terjadi longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.

9. Bekas Longsoran Lama

Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau sesudah terjadi patahan kulit bumi. Bekas longsoran lama memiliki ciri: adanya tebing terjal yang panjang melengkung membentuk tapal kuda, umumnya dijumpai mata


(42)

air, pepohonan yang relatif tebal karena tanahnya gembur dan subur, daerah badan longsor bagian atas umumnya relatif landai, adanya longsoran kecil terutama pada tebing lembah, adanya tebing-tebing relatif terjal yang merupakan bekas longsoran kecil pada longsoran lama, alur lembah dan pada tebingnya memiliki retakan dan longsoran kecil.

Masalah stabilitas lereng baik yang secara alami maupun disebabkan oleh penggalian tanah, telah muncul di berbagai bidang kegiatan manusia, yang manakala stabilitas lereng terganggu, berbagai pergerakan tanah akan terjadi. Menurut Suparman et al. (2009) pergerakan tanah secara garis besar terdiri dari tanah gerak (landslide), tanah longsor (slope failure) dan aliran runtuhan (debris flow). Kejadian dan penyebab dari tanah gerak (landslide) dan tanah longsor (slope failure) dapat dibedakan berdasarkan berbagai kondisi melalui pengamatan yang cermat. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kejadian dan Penyebab terjadinya Tanah Gerak dan Longsor

No Uraian Tanah Gerak

(landslide)

Tanah Longsor (slope failure)

1 Kondisi Lahan Seringkali terjadi di tempat-tempat

yang kondisi geologisnya spesifik

Tidak banyak berhubungan dengan geologi

2 Karakteristik

tanah

Luncuran terjadi dengan bidang luncur terutama pada tanah lempung

Sering terjadi pada tanah berpasir (decomposed granite, tanah atau vulkanis)

3 Topografi Terjadi pada lereng landai dengan

sudut 50-200 dan sangat sering

membentuk suatu bidang datar seperti topografi di bagian hulu

Sering terjadi pada lereng curam dengan sudut

kemiringan > 200

4 Kegiatan

luncuran

Menerus dan berulang kali terjadi Terjadi mendadak

5 Kecepatan

perpindahan/ luncuran

Biasanya kecepatannya rendah 0,001 s/d 10 mm/hari

Kecepatan tinggi 10 mm/hari

6 Massa tanah Perubahan massa tanah kecil,

seringkali bergerak sambil mempertahankan bentuk aslinya

Massa tanah berubah bentuk

7 Penyebab

longsoran

Pengaruh dari air tanah sangat besar Disebabkan terutama oleh

intensitas curah hujan

8 Ukuran

longsoran

Ukurannya besar 1-100 ha Kurang dari 1 ha

9 Indikasi Perkembangan kejadian mulai dari

retakan, penurunan, timbulnya air tanah dapat diamati sebelum longsoran

Terjadi mendadak dengan tanda-tanda yang tidak jelas


(43)

2.3. Sedimentasi Waduk 2.3.1. Laju Sedimen

Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi secara umum disebut sedimen. Sebagian saja dari sedimen yang akan sampai dan masuk ke dalam sungai dan terbawa keluar daerah tampung atau daerah aliran sungai. Nisbah jumlah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah yang tererosi dari daerah tersebut, dinamakan Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) atau Sediment Delivered Ratio

(SDR). Nilai NPS yang mendekati satu artinya semua tanah yang tererosi masuk ke dalam sungai hanya mungkin terjadi pada daerah aliran sungai kecil dan yang tidak mempunyai daerah-daerah datar atau yang memiliki lereng-lereng curam, banyak butir-butir tanah halus yang terangkut, kerapatan drainase yang tinggi, atau secara umum dikatakan tidak memiliki sifat yang cenderung menghambat pengendapan sedimen di dalam daerah aliran (Arsyad, 2006).

Sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh suatu aliran akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti. Proses ini yang dikenal dengan sedimentasi atau pengendapan, atau proses yang menyebabkan terbentuknya dataran-dataran aluvial yang luas yang pada banyak tempat di dunia merupakan pendukung perkembangan pertanian. Namun demikian, sedimen yang dihasilkan oleh tererosinya tanah yang salah dalam pengelolaannya akan menimbulkan masalah.

Sedimentasi adalah proses pengendapan sedimen hasil proses erosi, baik berupa erosi permukaan, erosi parit atau erosi tanah lainnya yang terjadi di dasar-dasar waduk, sungai, muara sungai dan laut. Sedimen yang terbawa sampai masuk ke dalam waduk atau danau sebagian akan terendap dalam waduk atau danau tersebut dan sebagian akan terbawa oleh air yang mengalir keluar. Bagian dari sedimen yang mengendap di dalam waduk menunjukkan efisiensi waduk dalam menangkap sedimen. Kemampuan waduk untuk menahan dan mengendapkan sedimen tersebut disebut keefisienan perangkap atau trap efficiency, yang dinyatakan dalam persen terhadap banyaknya sedimen yang terbawa aliran masuk. Efisiensi perangkap tergantung pada sifat-sifat sedimen (distribusi ukuran butir) dan laju aliran melalui waduk (Arsyad, 2006).


(1)

1441000 0,16 1,01 1,63 0,2 0,26 3,26 10,22 95 1442000 14,31 88,7 143,07 17,17 22,89 286,13 4934,62 73

1443000 0,9 5,59 9,01 1,08 1,44 18,02 5475,12 14

1444000 0,73 4,55 7,34 0,88 1,17 14,67 5284,07 13

1445000 0,83 5,16 8,32 1 1,33 16,64 6622 15

1446000 0,37 2,29 3,7 0,44 0,59 7,4 6752,4 27

1447000 10,01 62,08 100,13 12,02 16,02 200,26 8618,1 69

1448000 0,25 1,56 2,52 0,3 0,4 5,05 15,49 95

1449000 0,15 0,9 1,46 0,17 0,23 2,91 9,2 95

1450000 3,96 24,53 39,57 4,75 6,33 79,13 315,09 94 1451000 6,14 38,08 61,43 7,37 9,83 122,85 1432,8 82

1452000 0,13 0,79 1,27 0,15 0,2 2,53 189,88 41

1453000 0,03 0,2 0,32 0,04 0,05 0,65 164,73 22

1454000 0,08 0,53 0,85 0,1 0,14 1,69 170,53 35

1455000 0,02 0,12 0,19 0,02 0,03 0,38 158,8 25

1456000 0,02 0,11 0,18 0,02 0,03 0,37 187,19 30

1457000 2,74 16,99 27,41 3,29 4,39 54,82 243,09 93 1458000 3,85 23,87 38,5 4,62 6,16 77,01 517,16 89

1459000 0,91 5,61 9,05 1,09 1,45 18,11 100,19 91

1460000 0,1 0,65 1,05 0,13 0,17 2,09 6,82 95

1461000 0,11 0,69 1,12 0,13 0,18 2,24 26,24 83

1462000 0,17 1,05 1,69 0,2 0,27 3,38 10,55 95

1463000 6,73 41,7 67,25 8,07 10,76 134,51 852,93 90 1464000 3,66 22,66 36,56 4,39 5,85 73,11 1944,53 67 1465000 1,26 7,81 12,6 1,51 2,02 25,19 5188,45 47 1466000 1,54 9,52 15,36 1,84 2,46 30,71 922,91 66 1467000 2,3 14,28 23,03 2,76 3,69 46,07 160,79 94 1468000 3,02 18,71 30,18 3,62 4,83 60,36 192,38 95

1469000 0,04 0,26 0,42 0,05 0,07 0,84 3,26 94

1470000 0,12 0,77 1,25 0,15 0,2 2,5 8 95

1471000 0,33 2,02 3,26 0,39 0,52 6,53 45,23 89

1472000 15,01 93,07 150,11 18,01 24,02 300,23 1273,7 93 1473000 16,25 100,73 162,46 19,5 25,99 324,93 5374,88 75 1474000 1,39 8,63 13,91 1,67 2,23 27,83 805,76 67

1475000 0,61 3,77 6,08 0,73 0,97 12,17 37,14 95

1476000 0,2 1,25 2,02 0,24 0,32 4,03 12,49 95

1477000 19,18 118,93 191,83 23,02 30,69 383,66 1646,91 93 1478000 8,96 55,57 89,62 10,75 14,34 179,25 738,46 93


(2)

Lampiran 16. Output equation model dari STELLA

sub model erosi lahan

Erosi(t) = Erosi(t - dt) + (Laju_erosi) * dtINIT Erosi = 1000 INFLOWS:

Laju_erosi =

Faktor_Erodibilitas*Faktor_Erosivitas*Faktor_Konservasi*Faktor__Topografi*Vegetasi Sedimentasi_Lahan(t) = Sedimentasi_Lahan(t - dt) + (laju__sendimentasi) * dtINIT Sedimentasi_Lahan = 10370

INFLOWS:

laju__sendimentasi = Erosi*SDR Bahan_Organik = (0.35*1.724)/100 Curah_Hujan = 26.15

Curah_Hujan_Max = 64.8 Debu = 35.6

Energi_Kinetik_Ch = 6.119*((Curah_Hujan^1.21)-(HH_per_bulan^-0.47)-(Curah_Hujan_Max^0.53))

Faktor_Erodibilitas =

(2.713*(Ukuran__Struktur_Tanah^1.14)*(10^-4)*(12- Bahan_Organik)+3.25*(Kode_Struktur_Tanah-2)+2.5*(Kelas_Permeabilitas_Profil-3))/100

Faktor_Erosivitas = Energi_Kinetik_Ch*12

Faktor_Konservasi = Faktor__Bertanam_Baris*Faktor_Sedimentasi_Teras*Kontur Faktor_Sedimentasi_Teras = 1

Faktor__Bertanam_Baris = 0.5 Faktor__Topografi =


(3)

HH_per_bulan = 12

Kelas_Permeabilitas_Profil = 1 Kode_Struktur_Tanah = 4

Kontur = IF(Slope =1 - 2) Then (0.6)Else IF(Slope= 3 - 5)Then(0.5)Else IF(Slope=6-8)then(0.5) Else IF (Slope=9-12)Then(0.6)Else If(Slope=13-16)Then(0.7)Else IF(17-20)Then (0.8)else(0.9)

Liat = 13.3

Panjang_Lereng = 8 Pasir = 10.6

SDR = 0.25 Slope = 20

Ukuran__Struktur_Tanah = (Debu+Pasir)*(100-Liat) Vegetasi = 0.3

CH = GRAPH(TIME)

(2001, 467), (2002, 253), (2003, 250), (2004, 260), (2005, 427), (2006, 289), (2007, 297), (2008, 188), (2009, 209), (2010, 324), (2011, 357), (2012, 367), (2013, 278), (2014, 467), (2015, 253), (2016, 250), (2017, 260), (2018, 427), (2019, 289), (2020, 297), (2021, 188), (2022, 209), (2023, 324), (2024, 357), (2025, 367), (2026, 278), (2027, 278), (2028, 278), (2029, 278), (2030, 278), (2031, 278), (2032, 278), (2033, 278), (2034, 278), (2035, 278), (2036, 278), (2037, 278), (2038, 278), (2039, 278), (2040, 278), (2041, 278), (2042, 278), (2043, 278), (2044, 278), (2045, 278), (2046, 278), (2047, 278), (2048, 278), (2049, 278)

sub model sosial ekonomi

Partisipasi_Masyarakat(t) = Partisipasi_Masyarakat(t - dt) + (Laju__Penambangan) * dtINIT Partisipasi_Masyarakat = 0

INFLOWS:

Laju__Penambangan = Volume_penambangan*Fraksi_Penambang

Pendapatan(t) = Pendapatan(t - dt) + (Pendapatan_kotor - Pengeluaran) * dtINIT Pendapatan = 0

INFLOWS:

laju_pend__penambang =

(Volume__penambangan*0.5*harga_pasir__per_m3)+(Volume__penambangan*0.3*Har ga_Batu_pecah__per_m3)

Pendapatan__Petani(t) = Pendapatan__Petani(t - dt) + (Laju_Pendapatan) * dtINIT Pendapatan__Petani = 0

INFLOWS: Laju_Pendapatan =

(((HS_Bawang+Kelas_Erosi)*SL_bawang)+((HS_Durian+Kelas_Erosi)*SL_Durian)+(H S_Jeruk+Kelas_Erosi)*SL_Jeruk)+((HS_Kentang+Kelas_Erosi)*SL_Kentang)+((HS_ku bis+Kelas_Erosi)*SL_Kubis)+((HS_Mangga+Kelas_Erosi)*SL_Mangga)+((HS_markisa +Kelas_Erosi)*SL_Markisa)+((HS_Pisang+Kelas_Erosi)*SL_Pisang)+((HS_Rambutan+ Kelas_Erosi)*SL_Rambutan)+((HS_sawi+Kelas_Erosi)*SL_sawi)+((HS_wortel+Kelas_ Erosi)*SL_Wortel)*Luas_lahan*Produktivitas*(Inflasi+1)

Volume__penambangan(t) = Volume__penambangan(t - dt) + (laju_penambangan) * dtINIT Volume__penambangan = 0


(4)

INFLOWS:

laju_penambangan = Sand_mining Fraksi_Penambang = 1/500000

Harga_Batu_pecah__per_m3 = 135000 harga_pasir__per_m3 = 50000

HS_Bawang = 2000 HS_Durian = 10000 HS_Jeruk = 5000 HS_Kentang = 4000 HS_kubis = 2000 HS_Mangga = 5500 HS_markisa = 4000 HS_Pisang = 5000 HS_Rambutan = 7500 HS_sawi = 2000 HS_wortel = 2000 Inflasi = 0.02

Kelas_Erosi = If Erosi <=4000 then (1000) Else If Erosi > 4000 < 6500 then (500) Else

If Erosi > 6500 < 11000 then (-500) Else (-1000) Luas_lahan = 9348

Pajak = Pendapatan*0.15 Produktivitas = 100 SL_bawang = 2/28 SL_Durian = 2/28 SL_Jeruk = 1/28 SL_Kentang = 6/28 SL_Kubis = 7/28 SL_Mangga = 1/28 SL_Markisa = 1/28 SL_Pisang = 1/28 SL_Rambutan = 3/28 SL_sawi = 1/28 SL_Wortel = 3/28 OUTFLOWS: Pengeluaran = Pajak

Volume_penambangan(t) = Volume_penambangan(t - dt) + (laju_penambangan) * dtINIT Volume_penambangan = 0

sub model Pengendali Sedimen

Massa__tanah_Longsoran(t) = Massa__tanah_Longsoran(t - dt) + (Laju_Massa_tanah__Longsor) * dtINIT Massa__tanah_Longsoran = 0 INFLOWS:

Laju_Massa_tanah__Longsor = fraksi_Longsoran*(Potensi_massa__tanah_longsoran-Massa__tanah_Longsoran)

Sabo_konsolidasi(t) = Sabo_konsolidasi(t - dt) + (Laju_sedimen__konsolidasi) * dtINIT Sabo_konsolidasi = 0


(5)

INFLOWS:

Laju_sedimen__konsolidasi = ((Massa__tanah_Longsoran-Sabo_Penahan)- (Massa__tanah_Longsoran-Sabo_Penahan)*Kapasitas_sabo_dam_konsolidasi)-Sabo_konsolidasi

Sabo_Penahan(t) = Sabo_Penahan(t - dt) + (Laju_sendimen_Penahan) * dtINIT Sabo_Penahan = 0

INFLOWS:

Laju_sendimen_Penahan = Massa__tanah_Longsoran*kapasitas_sabodam_penahan-Sabo_Penahan

sandpocket(t) = sandpocket(t - dt) + (Laju_sedimen_sandpocket) * dtINIT sandpocket = 0 INFLOWS:

Laju_sedimen_sandpocket = ((Massa__tanah_Longsoran-Sabo_konsolidasi-

Sabo_Penahan)-(Massa__tanah_Longsoran-Sabo_konsolidasi-Sabo_Penahan)*Kapasitas_kendali_sand_pocket)-sandpocket

Sand_mining(t) = Sand_mining(t - dt) + (laju_Sand_mining) * dtINIT Sand_mining = 0 INFLOWS:

laju_Sand_mining = ((EOR+SP1+SP2+SP3+SP4+SP5)*365)*skenario_sandmining Sedimen_longsor(t) = Sedimen_longsor(t - dt) + (Laju_sedimentasi__Longsoran - Laju) * dtINIT Sedimen_longsor = 0

INFLOWS:

Laju_sedimentasi__Longsoran = sandpocket-Sand_mining- (exacavation*skenario_excavasi)

OUTFLOWS:

Laju = Sedimen_longsor EOR = 3000

exacavation = 7700000

fraksi_Longsoran = if TIME=2000 then (0.28) else if time>2000 then (0.15)

else (0)

Kapasitas_kendali_sand_pocket = 0.21*0.36*0.19 kapasitas_sabodam_penahan = 0.21*0.36*0.35 Kapasitas_sabo_dam_konsolidasi = 0.21*0.36*0.46 Potensi_massa__tanah_longsoran = 300000000 intervensi__excavasi = 1

intervensi__sandmining = 1 SP1 = 100

SP2 = 10 SP3 = 656 SP4 = 900 SP5 = 1000

sub model Waduk

Sedimentasi_Waduk(t) = Sedimentasi_Waduk(t - dt) + (laju_sedimentasi_waduk - outflow_sediment) * dtINIT Sedimentasi_Waduk = 0


(6)

INFLOWS:

laju_sedimentasi_waduk =

(Sedimentasi_Lahan+Sedimen_longsor)*koefisien__kapasitas_tampung OUTFLOWS:

outflow_sediment = Q__outflow*skenario_outflow fraksi_outflow = if TIME=2001 then (0.3)

else if time=2005 then (0.25) else if time=2006 then (0.35) else if time=2007 then (0.35) else if time=2008 then (0.25) else (0.005)

Indek_keberlanjutan_waduk = Sedimentasi_Waduk/Kapasitas_waduk Kapasitas_waduk = 29000000

koefisien__kapasitas_tampung = 0.21

Q__outflow = Sedimentasi_Waduk*fraksi_outflow intervensi_outflow = 1