PENDAHULUAN Synecology of seagrass ecosystem due to increased anthropogenic pressure case study in barranglompo and bonebatang islands of spermonde archipelago, South Sulawesi

Kerusakan Ekosistem Padang Lamun Padang lamun berada pada garis terdepan yang menerima dampak dari perubahan pemanfaatan lahan oleh manusia karena kebanyakan pusat pemukiman dibangun di sekitar daerah pantai Waycott et al. 2004. Hal ini mengakibatkan padang lamun mudah mengalami kerusakan Green Short 2003; Warry Hindell 2009. Dalam dua dekade terakhir, daerah padang lamun telah berkurang sekitar 18 dari luasan lamun yang tercatat di seluruh dunia Walker et al. 2006. Kerusakan dan kehilangan yang luas padang lamun telah didokumentasikan dengan baik dan penyebabnya dapat karena bencana alam seperti badai, dan karena aktivitas manusia Poiner et al. 1989; Keough Jenkins 2000; Orth et al. 2006. Aktivitas manusia yang dapat merusak ekosistem padang lamun diantaranya adalah pengerukan dan penimbunanreklamasi di wilayah pesisir sehingga menenggelamkan ekosistem tersebut. Adanya dermaga dan tempat pendaratan kapalperahu, penggunaan jaring pantai beach seine yang ditarik melalui ekosistem padang lamun, perburuan ikan duyung dugong, adanya limbah pertanian dan pertambakan juga ikut berperan dalam merusak ekosistem padang lamun di Asia Tenggara Fortes 1990; Duarte 2002. Pembangunan yang gencar dilaksanakan dapat merubah ekologi pantai dan menyebabkan hilangnya habitat-habitat padang lamun Björk et al. 2008. Berkurangnya areal padang lamun akibat ledakan populasi bulu babi pada padang Posidonia australis di Botany Bay, Australia dilaporkan oleh Larkum West 1990. Peristiwa ini mengakibatkan hilangnya seluruh kanopi lamun pada areal seluas puluhan hektar. Penurunan tutupan padang lamun biasanya disertai dengan fragmentasi padang yang lebih luas menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Akibatnya akan muncul mozaik-mozaik daerah patches tak bervegetasi yang bervariasi ukuran, bentuk dan orientasinya Brooks Bell 2001. Sebagai contoh, Australia yang memiliki spesies lamun terbesar dan padang lamun yang luas telah mengalami penurunan dalam 40 – 50 tahun terakhir Butler Jernakoff 1999. Sekitar 1300 ha lamun yang terdiri atas Zostera capricorni Aschers, Halophila ovalis R.Br Hooker dan Ruppia megacarpa Mason di Tuggerah Lakes telah hilang Shepherd et al . 1989. Ekosistem padang lamun di perairan pesisir Indonesia sendiri telah mengalami kerusakan sekitar 30 - 40. Di pesisir Pulau Jawa kondisi ekosistem padang lamun telah mengalami gangguan yang cukup serius akibat pembuangan limbah dan pertumbuhan penduduk dan diperkirakan sekitar 60 padang lamun telah mengalami kerusakan. Di pesisir Pulau Bali dan Pulau Lombok gangguan bersumber dari penggunaan potasium sianida dan telah berdampak pada penurunan nilai penutupan dan kerapatan spesies lamun Fortes 1994. Sebagaimana terjadi pada kebanyakan ekosistem laut dangkal lainnya, ancaman besar yang terjadi pada ekosistem padang lamun, adalah eutrofikasi, overfishing, kerusakan fisik serta biogenik habitat, introduksi spesies invasif serta perubahan iklim global Duarte et al. 2004; Waycott et al. 2009. Eutrofikasi adalah faktor antropogenik yang paling banyak dilaporkan berpotensi mengakibatkan penurunan populasi lamun Short Wyllie-Echeverria 1996; Ralph et al. 2006. Ancaman-ancaman tersebut menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan utama dalam hal kelimpahan spesies, komposisi spesies keanekaragaman hayati, struktur komunitas bahkan mengancam kepunahan spesies. Hal tersebut selanjutnya berdampak terhadap proses ekosistem dan fungsi dari suatu ekosistem Carlton et al. 1999; Jackson et al. 2001; Smith Smith 2003. Oleh karena itu, meningkatnya kehilangan dan fragmentasi habitat- habitat lamun menjadi keprihatinan utama karena pentingnya ekosistem ini terhadap ekologi dan produktivitas perairan pantai Boström Bonsdorff 2000; Cummins et al. 2004. Interaksi Lamun dan Makroalgae Interaksi merupakan hal penting dalam ekologi spesies. Pada komunitas, terdapat sejumlah faktor biotik dan abiotik yang mempengaruhi penyebaran, kelimpahan dan interaksi spesies Ludwig Reynolds 1988. Pada ekosistem lamun, algae epifit berkontribusi penting terhadap produksi primer dan sekunder, mereka juga berperan terhadap proses biogeokimia dan siklus nutrien termasuk produksi CaCO 3 dan fiksasi nitrogen. Namun, algae epifit dapat juga memberikan efek merugikan terhadap fungsi ekologis ekosistem lamun Jernakoff et al. 1996; Vanderklift Lavery 2000. Eksperimen oleh Irlandi et al. 2004 menggunakan tutupan alga terapung drift algae yang tinggi selama 2-3 bulan menghasilkan pengurangan sekitar 25 biomassa di atas permukaan substrat aboveground biomass dibanding plot- plot yang bebas algae. Biomassa di bawah substrat belowground biomass dan kerapatan tegakan tidak dipengaruhi oleh keberadaan drift algae ini. Grazing Lamun oleh Bulu Babi Di antara semua fauna invertebrata, bulu babi Echinoidea merupakan pemangsa grazer lamun yang paling menonjol. Kadang-kadang populasinya cukup besar untuk mengkonsumsi proporsi lamun yang besar Klumpp et al. 1989. Bulu babi dapat dijumpai sangat melimpah pada padang lamun, dimana mereka memakan daun-daun efifit segar, detritus atau kombinasi dari keduanya. Bulu babi ungu Lythecinus variegatus di Teluk Mexico memotong-motong daun lamun sehingga meninggalkan banyak daerah-daerah gundul Hogarth 2007. Dampak grazing bulu babi terhadap pertumbuhan dan kelimpahan lamun Thalassia testudinum di Florida Keys, Amerika Serikat sangat bervariasi tergantung musim dan kondisi faktor lingkungan Valentine et al. 2000. Grazing oleh bulu babi Tripneustes gratilla terhadap lamun Thalassodendron ciliatum telah diteliti oleh Alcoverro Mariani 2002 di Kenya. Mereka menggunakan penelitian eksperimental dan penelitian lapangan deskriptif untuk menguji pengaruh aggregasi bulu babi yang padat terhadap padang lamun di Lagoon Mombasa. Mereka menemukan bahwa 39 lamun Thalassodendron ciliatum mengalami grazing berat 75 tegakan mati, 23.4 mengalami grazing sedang 50 tegakan mati, dan 38.5 mengalami grazing ringan 19.8 tegakan yang mati. Dari model sederhana yang dibuatnya, mereka mendapatkan waktu pulih lamun ini adalah 44 bulan. Penelitian mengenai grazing bulu babi Tripneustes gratilla pada tiga jenis lamun yaitu Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata di Pulau Bonebatang, kepulauan Spermonde telah dilakukan oleh Vonk et al. 2008. Mereka menemukan bahwa total konsumsi Tripneustes gratilla pada kepadatan 1.55 ± 0.07 bulu babim 2 sekitar 1.28 berat keringm 2 hari setara dengan 26 produksi bersih lamun di atas permukaan substrat. Mereka menyimpulkan bahwa peningkatan grazing Tripneustes gratilla hanya mempengaruhi kerapatan tegakan di atas permukaan substrat untuk Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata saja dan tidak mempengaruhi Thalassia hemprichii . Grazing oleh bulu babi juga memiliki peran ekologis dalam mengontrol ketebalan algae. Hal ini terbukti setelah terjadinya penurunan populasi bulu babi Diadema antillarum di Karibia akibat kematian massal tahun 1983. Pada daerah- daerah yang telah habis bulu babinya, ketebalan pada algae meningkat dari 1-2 mm ke 20-30 mm Karleskint et al. 2010. Respon Lamun terhadap Stres Stres atau cekaman adalah penyimpangan signifikan dari kondisi kehidupan yang optimal dan mengakibatkan perubahan dan respon pada semua tingkatan fungsional organisme Larcher 1995. Stres terjadi akibat perubahan proses- proses fisiologis yang diakibatkan oleh satu atau kombinasi faktor lingkungan dan faktor biologis Hale Orcutt 1987. Tumbuhan yang terpapar terhadap stres lingkungan sering memperlihatkan berbagai gejala atau indikator. Indikator stres adalah tanda-tanda disturbansi, baik yang terlihat seperti pertumbuhan dan modifikasi morfologi, ataupun yang tak terlihat seperti perubahan fisiologis dan biokimia yang terkait dengan upaya perbaikan dan mekanisme resistensi Rachmilevitch et al. 2000. Resistensi atau toleransi terhadap stres adalah kapasitas suatu tumbuhan untuk bertahan dan tumbuh meskipun dihadapkan pada suatu lingkungan yang tidak mendukung, dimana tumbuhan tersebut dapat menahan pengaruh stres tanpa mati atau terserang kerusakan yang tidak dapat dipulihkan Hale Orcutt 1987. Padang lamun sangat rentan mengalami degradasi akibat stres yang diakibatkan oleh aktivitas antropogenik karena mereka tumbuh pada tepi laut dangkal dimana aktivitas manusia terpusat Zieman 1975 diacu Tomascik et al. 1997. Larkum Den Hartog 1989 mengidentifikasi berbagai pemicu stres pada ekosistem padang lamun Tabel 1. Tabel 1 Pemicu stres penting yang membatasi distribusi dan kelimpahan lamun Larkum Den Hartog 1989 Stres Adaptasi Kerentanan Salinitas tinggi Pelepah Sheaths Pompa ion ion pump Disturbansi mekanik dan biologis, Meningkatnya beban respirasi dan menurunnya produktifitas Perubahan suhu Races Perubahan suhu mendadak Aksi gelombang Daun yang kuat Rhizoma di bawah substrat Blow-outs Perpindahan Sedimen Tekanan NA? Gangguan fotosintesis Anaerobiosis Aerenchyma Metabolisme Fermentatif Efifit Air anoksik Keterbatasan Nutrien Absorpsi akar dan daun kurangnya trace elements kekurangan N danatau P Efifit Daun secara kontinu tumbuh dari basal Smothering, shading, anoxia Produktifitas menurun Cahayanaungan Toleransi naungan Produktifitas yang rendah Naungan oleh efifit Infeksi Fenolik dan attack resistance Kematian Die-back atau menurunnya kebugaran fitness herbivora Fenolik Pemindahan bagian-bagian kritis seperti daun dan meristem Monitoring karakteristik fisiologis lamun mempunyai potensi untuk mendeteksi stres pada lamun sebelum penurunan populasi terjadi. Mobilisasi karbon tersimpan starch telah digunakan untuk mengukur stres lamun sebagai akibat ketersediaan cahaya yang kurang Warry Hindell 2009. Metrik fisiologis lamun yang lain yang potensial menggambarkan kesehatan lamun yang dapat digunakan untuk mendeteksi respon terhadap stres akibat sedimentasi dan pengayaan nutrien adalah kadar nitrogen, fosfor serta kandungan klorofil Leoni et al . 2008; Warry Hindell 2009. Resiliensi Ekosistem terhadap Disturbansi Konsep resiliensi di bidang ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Holling 1973. Resiliensi didefinisikannya sebagai hal yang menentukan kelangsungan hubungan dalam suatu sistem dan merupakan ukuran dari kemampuan sistem ini untuk menyerap perubahan. Defenisi resiliensi yang lebih baru dikemukakan oleh Walker et al. 2004 yang mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan dari suatu sistem untuk menyerap disturbansi dan mereorganisasi diri saat mengalami perubahan sehingga tetap mempertahankan fungsi, struktur, identitas dan feedback yang sama. Sedangkan disturbansi adalah segala mekanisme atau proses yang mempengaruhi struktur dan fungsi komunitas Smith Smith 2003; Molles 2008. Pengaruh disturbansi bersifat kompleks dan sulit untuk diukur karena banyak spesies yang mampu untuk membiasakan diri terhadap disturbansi dan memperlihatkan respon yang bervariasi Treweek, 1999. Berdasarkan definisi awal resiliensi dari Holling 1973, Folke et al. 2004 mendefinisikan resiliensi ekosistem sebagai besarnya gangguan atau disturbansi yang dapat diterima oleh suatu sistem sebelum terjadi perubahan menjadi suatu kondisi stabilitas baru yang berbeda struktur dan fungsinya. Resiliensi ekologi berkaitan dengan keseluruhan cakupan faktor-faktor positif dan negatif yang mempengaruhi komunitas seperti ekstraksi sumberdaya, polusi dan spesies invasif Obura Grimsdith 2009. Oleh karena itu assesmen resiliensi meliputi monitoring terhadap faktor lingkungan, kondisi kesehatan populasi dan faktor komunitas.

3. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada dua pulau yaitu Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang yang masuk dalam gugusan Kepulauan Spermonde Provinsi Sulawesi Selatan. Secara administratif kedua pulau ini masuk dalam wilayah pemerintahan Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Kepulauan Spermonde Kepulauan Spermonde terbentuk dan muncul di atas dangkalan Spermonde Spermonde Shelf yang terletak di pesisir barat Provinsi Sulawesi Selatan atau sebelah tenggara Selat Makassar Erftemeijer Middelburg 1993; Tomascik et al. 1997. Kepulauan ini membentang dari utara ke selatan sepanjang kurang lebih 300 km dengan luas 16 000 km 2 . Di kawasan ini bertebaran 120 pulau dengan kisaran luas antara 2 ha Pulau Bone Batang sampai 3328.2 ha Pulau Tanakeke. Secara administratif, kepulauan ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Barru, Kabupaten Pangkajene Kepulauan Pangkep, Kabupaten Maros, Kota Makassar dan Kabupaten Takalar McCarthy 2007. Spermonde merupakan gugus kepulauan yang telah dikenal sejak lama. Para penjelajah Portugis telah mendatangi daerah ini sekitar abad ke-16 dalam upaya mencari sumber rempah-rempah yang perdagannya berpusat di Bandar Pelabuhan Makassar. Bangsa Portugislah yang pertama kali memberi nama kepulauan di pesisir barat Makassar ini dengan nama Kepulauan Spermon. Selanjutnya bangsa Belanda mencapai daerah ini pada abad ke-17 dan menggunakan nama Kepulauan Spermonde dalam peta-peta mereka. Namun, jauh sebelum kedatangan Bangsa Portugis dan Belanda, masyarakat setempat telah memberi nama gugusan pulau ini dengan nama Sangkarang FIKP Unhas Bakosurtanal 2007. Kepulauan Spermonde terbagi menjadi empat zona berdasarkan jarak dari daratan utama Gambar 4. Zona pertama atau zona bagian dalam merupakan zona terdekat dari pantai daratan utama Pulau Sulawesi dengan kedalaman laut