DAMPAK AKTIVITAS ANTROPOGENIK TERHADAP

Gambar 32 Sebaran kekeruhan NTU di Pulau Barranglompo Kekeruhan dapat mengurangi cahaya yang diterima lamun sehingga mengganggu aktivitas fotosintesis serta mengakibatkan stres pada lamun sehingga dapat membatasi pertumbuhan lamun Waycott et al. 2004. Sebaliknya, vegetasi lamun dapat meningkatkan laju sedimentasi dan mengurangi laju resuspensi sehingga dapat mengurangi kekeruhan, oleh karena itu dapat memicu pertumbuhan lamun Madsen et al. 2001; De Boer 2007; Hendriks et al. 2009. Gambar 33 Sebaran kekeruhan NTU di Pulau Bonebatang Padatan Tersuspensi TotalTotal Suspended Solid TSS Nilai padatan tersuspensi total TSS di Pulau Barranglompo berkisar 12.64-18.53 mgl, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 6.67-11.11 mgl Gambar 34. Terdapat perbedaan nilai padatan tersuspensi total yang sangat nyata p  0.01 di kedua pulau. Gambar 34 Nilai padatan tersuspensi total ± sd pada setiap stasiun. BL = Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun Sebaran nilai padatan tersuspensi total TSS di Pulau Barranglompo Gambar 35 mengindikasikan bahwa daerah yang memiliki nilai TSS rendah berada di tengah padang lamun. Hal ini menunjukkan peranan lamun sebagai perangkap sedimen dan bahan tersuspensi yang dibawa oleh arus dan memiliki kemampuan untuk mengikat sedimen atau partikel-partikel tersebut Bjork et al. 2008. 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 BLA BLB BLC BBA BBB BBC P a da ta n T er sus pens i to ta l m g l Stasiun Gambar 35 Sebaran padatan tersuspensi total mgl di Pulau Barranglompo Di Pulau Bonebatang, sebaran padatan tersuspensi total Gambar 36 menunjukkan bahwa nilai yang tinggi dijumpai di sekitar pantai. Hal tersebut terkait dengan aktivitas pengambilan pasir yang berlangsung di pulau ini yang mengakibatkan kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lebih jauh dari garis pantai. Gambar 36 Sebaran padatan tersuspensi total mgl di Pulau Bonebatang Nilai TSS yang dijumpai di kedua pulau masih dalam batas nilai yang tidak berpengaruh terhadap biota laut Tabel 11. Hal ini juga sesuai menurut kriteria Baku Mutu Air Laut sebesar 20 mgl untuk habitat lamun Meneg LH 2004. Nilai TSS yang sangat tinggi dapat mengurangi ketersediaan cahaya dalam kolom air yang sangat dibutuhkan untuk fotosintesis lamun De Boer 2007. Tabel 11 Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi total TSS Nilai TSS mgl Pengaruh tehadap kepentingan perikanan 25 Tidak berpengaruh 25 - 80 Sedikit berpengaruh 81 - 400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan 400 Tidak baik bagi kepentingan Perikanan Sumber: Alabaster Lloyd 1982 diacu Effendi 2003 Arah dan Kecepatan Arus Gambar 37 memperlihatkan sebaran nilai kecepatan arus pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Nilai kecepatan arus di Pulau Barranglompo berkisar 0.009-0.130 mdetik, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar antara 0.014-0.126 mdetik. Tidak ada perbedaan kecepatan arus yang signifikan antara kedua pulau p = 0.8438. Gambar 37 Nilai kecepatan arus ± sd pada setiap stasiun. BL = Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun Terdapat kecenderungan bahwa arus semakin kuat dengan semakin jauhnya posisi stasiun dari garis pantai. Arus yang datang dari arah luar pulau akan tertahan oleh lembaran daun lamun sehingga kecepatannya semakin berkurang di bagian dalam. Hal ini memperkuat peranan padang lamun sebagai peredam faktor hidrodinamika Butler Jernakoff 1999; Hemminga Duarte 2000; Verduin Backhaus 2000; Schanz Asmus 2003; Orth et al. 2006; Hendriks et al. 2009. Arus membuat kolom air tercampur dengan baik, mempengaruhi sebaran suhu dan salinitas, membawa ke permukaan nutrien yang berguna untuk pertumbuhan tanaman air dan membawa pasokan oksigen ke perairan yang lebih dalam Tait Dipper 1998. Peralta et al. 2006 mendapatkan bahwa arus secara langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan, rekruitmen, morfometri daun, rhizoma dan akar serta arsitektur Zostera noltii. Namun sebaliknya, arus yang berkurang kecepatannya dapat meningkatkan konsentrasi fitotoksin dalam 0.000 0.010 0.020 0.030 0.040 0.050 0.060 0.070 0.080 0.090 BLA BLB BLC BBA BBB BBC K ec epa ta n Arus m det ik Stasiun sedimen dan peningkatan ketebalan lapisan batas difusi yang dapat membatasi fotosintesis Koch 2001; Brown 2009. Arah datang arus di kedua pulau Gambar 38 dan 39 mengikuti pola umum arus lintas Indonesia Arlindo yang berasal dari Samudera Pasifik Gordon 2005. Selain dipengaruhi oleh arus utama, arus yang ada di sekitar pulau kecil juga dipengaruhi oleh siklus pasang surut. Kecepatan arus yang didapatkan selama penelitian termasuk lemah karena pengukuran dilakukan pada periode Mei-September musim kemarau. Arus yang kuat biasanya terjadi pada musim barat November-Januari. Gambar 38 Sebaran arah dan kecepatan arus mdetik di Pulau Barranglompo Gambar 39 Sebaran arah dan kecepatan arus mdetik di Pulau Bonebatang Hidrodinamika perairan tidak saja merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi lamun dan makroalgae, tapi juga mempengaruhi faktor pembatas lain seperti ketersediaan nutrien, penetrasi cahaya kekeruhan dan stratifikasi suhu dan salinitas Lobban Harrison 1997; Biber 2007. Sebaliknya, kanopi lamun juga dapat mengurangi kecepatan arus. Hal ini teramati dalam penelitian ini, dimana kecepatan arus yang rendah dijumpai pada stasiun A yang berada dekat garis pantai. Tinggi Gelombang Tinggi gelombang selama penelitian di Pulau Barranglompo berkisar 1.82-7.29 cm, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar antara 2.18-6.24 cm Gambar 40. Tinggi gelombang di kedua pulau tidak berbeda secara nyata p = 0.9656. Sama dengan kecepatan arus, tinggi gelombang juga memperlihatkan pola yang sama dimana gelombang rata-rata semakin tinggi dengan semakin jauhnya stasiun dari garis pantai Gambar 41 dan 42. Gambar 40 Tinggi gelombang ± sd pada setiap stasiun. BL = Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun Hubungan antara faktor hidrodinamika seperti kecepatan arus dan paparan gelombang dengan padang lamun bersifat timbal balik yang saling mempengaruhi. Faktor hidrodinamika mempengaruhi penyebaran koloni, bentuk lansekap dan fragmentasi habitat padang lamun Fonseca Bell 1998. Sebaliknya kanopi lamun memiliki peran dalam mengurangi kecepatan aliran air dan pengadukan atau turbulensi Hemminga Duarte 2000; Peterson et al. 2004. 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 BLA BLB BLC BBA BBB BBC T ing g i G elo m ba ng cm Stasiun Gambar 41 Sebaran tinggi gelombang cm di Pulau Barranglompo Gambar 42 Sebaran tinggi gelombang cm di Pulau Bonebatang Pada bulan Juli-Desember terjadi gelombang kuat di perairan Kepulauan Spermonde. Energi gelombang yang kuat ini mengakibatkan penurunan drastis biomassa daun dan rhizoma lamun T. hemprichii masing-masing sebesar 61 dan 37 Stapel et al. 1997. Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Habitat Padang Lamun Hasil analisis PCA terhadap 14 variabel parameter fisika-kimia perairan pada 6 stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang menunjukkan bahwa sebagian besar 70.69 ragam terjelaskan pada dua sumbu utama yaitu faktor 1 dan 2 Gambar 43 44. Gambar 43 Analisis Komponen Utama Principal Component Analysis sebaran karakteristik fisika-kimia padang lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Keterangan: Suh=suhu, Sal=salinitas, Aru=Kecepatan arus, Gel=Tinggi gelombang, Ker=Kerikil, PKa=pasir kasar, PSd=Pasir sedang, Pha=Pasir halus, Lum=Lumpur, TSS=Total suspended solid, Kek=Kekeruhan, Klo=Klorofil-a, Nit=Nitrat, Fos=Fosfat Hasil analisis PCA menghasilkan 3 kelompok penciri karakteristik habitat di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang Tabel 12. Kelompok I terdiri atas stasiun BLA dan BLB yang dicirikan oleh nilai pasir halus, kekeruhan dan klorofil-a yang tinggi, kelompok II yaitu stasiun BBC yang dicirikan oleh pasir kasar, salinitas dan kecepatan arus yang tinggi. Kelompok III yaitu stasiun BLC yang dicirikan oleh fosfat, nitrat, tinggi gelombang, TSS dan lumpur yang tinggi. Gambar 44 Analisis Komponen Utama Principal Component Analysis sebaran stasiun A, B dan C di Pulau Barranglompo BL dan Pulau Bonebatang BB Tabel 12 Kelompok penciri karakteristik lingkungan di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang Kelompok Stasiun Karakteristik Lingkungan I BLA BLB Pasir halus, kekeruhan dan klorofil tinggi II BBC Pasir kasar, salinitas dan kecepatan arus tinggi III BLC Fosfat, nitrat, gelombang, TSS dan lumpur tinggi Simpulan 1. Dari semua parameter kualitas air yang diukur di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang, hanya kekeruhan dan padatan tersuspensi total yang berbeda secara nyata antara kedua pulau. 2. Nilai kekeruhan pada stasiun yang berdekatan dengan garis pantai stasiun A dan B di Pulau Barranglompo telah melampaui nilai baku mutu air laut, sedangkan pada stasiun yang jauh dari garis pantai stasiun C di Pulau Barranglompo dan semua stasiun di Pulau Bonebatang masih di bawah nilai baku tersebut. 3. Nilai padatan tersuspensi total di kedua pulau masih dalam batas yang tidak berpengaruh terhadap biota laut.

7. STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU BARRANGLOMPO DAN PULAU BONEBATANG

Abstrak Komunitas lamun sangat dinamis dan dapat mengalami perubahan dengan cepat baik dalam skala spasial maupun temporal. Penelitian yang bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas padang lamun pada dua pulau yang mengalami tekanan antropogenik berbeda telah dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 hingga Juni 2011 di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Struktur komunitas lamun yang diamati meliputi kerapatan, frekuensi, luas penutupan, morfometri panjang dan lebar daun lamun dan indeks luas daun. Sebanyak 8 spesies lamun teridentifikasi di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang dijumpai 7 spesies. Thalassia hemprichii merupakan spesies yang memiliki nilai indeks nilai penting INP tertinggi baik di Pulau Barranglompo maupun Pulau Bonebatang. Pengukuran morfometri daun lamun menunjukkan bahwa daun Enhalus acoroides , Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium dan Thalassia hemprichii di Pulau Barranglompo lebih panjang dibandingkan dengan spesies yang sama di Pulau Bonebatang, sedangkan daun Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis di Pulau Barranglompo sedikit lebih pendek daripada yang dijumpai di Pulau Bonebatang. Nilai indeks luas daun di Pulau Barranglompo memperlihatkan pola menurun dengan semakin jauhnya stasiun dari garis pantai, sedangkan di Pulau Bonebatang tidak memperlihatkan pola yang jelas. Kata kunci: Barranglompo, Bonebatang, lamun, struktur komunitas Abstract Seagrass community is very dynamic and can change quickly both in spatial and temporal scales. A study was conducted from October 2010 to June 2011 in Barranglompo and Bonebatang Islands to analyze seagrass community structures at two locations with different anthropogenic pressure. The components of observed seagrass community structures were shooth density, occurrence, coverage, seagrass leaf morphometry leaf length and width and leaf area index LAI. There were eight and seven seagrass species identified in Barranglompo and Bonebatang Islands, respectively. Thalassia hemprichii is species with the highest important value index in both islands. The measurement of leaf morphometry showed that the leaves of Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Syringodium isoetifolium and Thalassia hemprichii in Barranglompo Island were longer than those in Bonebatang Island, whereas, leaves of Cymodocea rotundata and Halophila ovalis in Barranglompo Island were slighly shorter than those in Bonebatang. The leaf area index indicate to decrease as the location of seagrass getting farther from the shoreline, while in Bonebatang did not show a discernible pattern. Keywords: Barranglompo, Bonebatang, community structure, seagrass, Pendahuluan Komunitas lamun berkembang di perairan dangkal membentuk habitat bagi berbagai jenis organisme laut. Padang lamun merupakan tempat mencari makan, kawin, bertelur, memijah dan membesarkan anak bagi banyak jenis ikan, udang dan kerang yang bernilai ekonomis tinggi. Selain itu secara fisik lamun juga mampu menstabilkan substrat sedimen, menahan ombak dan menyerap bahan pencemar Fortes 1990; Asmus et al. 2006. Kompleksitas struktural padang lamun mempengaruhi komposisi dan interaksi biota yang berasosiasi. Parameter yang berkontribusi terhadap struktur komunitas lamun antara lain tutupan substrat, biomassa lamun dan arsitektur lamun Warry Hindell 2009. Komunitas lamun sangat dinamis dan dapat mengalami perubahan baik pada skala waktu yang singkat maupun panjang, dan dapat terjadi secara lokal yang mempengaruhi tegakan individu maupun meliputi keseluruhan daerah lamun, bahkan bisa bersifat global Krause-Jensen et al. 2004; Warry Hindell 2009. Perubahan ini bisa disebabkan oleh proses alami atau berbagai aktivitas manusia Keough Jenkins 2000. Faktor antropogenik memberikan ancaman langsung terbesar terhadap lamun dan biota yang berasosiasi dengannya Orth et al . 2006; De Boer 2007. Sejumlah pengukuran dasar digunakan untuk menggambarkan populasi dan komunitas, diantaranya kerapatan, frekuensi, luas penutupan dan biomassa. Dari pengukuran ini, ukuran ekologi yang penting seperti sebaran populasi, keanekaragaman spesies dan produktivitas dapat ditentukan Brower et al. 1998. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas padang lamun pada dua pulau di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan yang mengalami tekanan antropogenik berbeda. Kedua pulau tersebut adalah Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Pulau Barranglompo dengan luas hanya sekitar 20 ha termasuk salah satu pulau terpadat di Kepulauan Spermonde yang saat ini dihuni oleh sekitar 5000 penduduk, sedangkan Pulau Bonebatang tidak berpenghuni. Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 sampai Juni 2011 pada dua pulau kecil dalam gugus Kepulauan Spermonde di Sulawesi Selatan yakni Pulau Barranglompo 5 o 02’ 44.28‖- 5 o 03’ 05.65‖ S, 119 o 19’ 38.56‖- 119 o 19’ 52.27‖ E dan Pulau Bonebatang 5 o 00’ 47.46‖- 5 o 00’ 51.82 S, 119 o 19’ 35.55‖- 119 o 19’ 36.71‖ E. Peta kedua pulau ini dapat dilihat pada Gambar 6 Bab 4. Penentuan Stasiun Penelitian Stasiun penelitian ditentukan berdasarkan kondisi ekosistem yang diteliti sehingga diharapkan dapat mewakili kondisi lokasi pengamatan secara keseluruhan. Untuk mewakili kondisi ekosistem lamun, stasiun pengamatan ditentukan masing-masing: stasiun A diambil pada vegetasi lamun terdekat dengan garis pantai, stasiun B berjarak sekitar 100 m dari garis pantai, dan stasiun C berjarak sekitar 200 m dari garis pantai dimana lamun sudah berbatasan dengan daerah terumbu karang. Sampling pada setiap stasiun dilakukan pada 9 sub stasiun mengelilingi pulau Gambar 45 46. Dengan demikian sampling dilakukan pada setiap sisi pulau kecuali pada sisi timur yang memiliki topografi yang curam. Pengambilan Data Vegetasi Lamun Untuk melihat kondisi padang lamun dilakukan pengamatan di dalam transek kuadrat yang berukuran 50 cm x 50 cm yang disebar acak pada setiap sub stasiun Gambar 47. Pengamatan sebaran, kerapatan, tutupan dan frekuensi kehadiran masing-masing jenis lamun dilakukan di dalam transek kuadrat ini. Jenis lamun yang didapatkan dalam transek kuadrat diidentifikasi berdasarkan Phillips Menez 1988, Short et al. 2004, Waycott et al. 2004. Gambar 45 Sebaran stasiun dan sub-stasiun pengamatan struktur komunitas lamun di Pulau Barranglompo. A,B,C = stasiun Gambar 46 Sebaran stasiun dan sub-stasiun pengamatan struktur komunitas lamun di Pulau Bonebatang. A,B,C = stasiun Gambar 47 Pengamatan komunitas lamun menggunakan transek kuadrat Kerapatan, Penutupan, dan Frekuensi Kehadiran Lamun Kerapatan lamun diamati dengan menggunakan transek kuadrat Phillips McRoy 1990. Pengamatan ini dilakukan dengan menghitung jumlah tegakan masing-masing jenis lamun di dalam transek sehingga jumlah tegakan per satuan luasan dapat diketahui. Pengamatan persentase penutupan lamun dilakukan dengan menggunakan metode dari Saito dan Atobe 1970 diacu English et al. 1997. Pada metode ini dilakukan perhitungan berapa persen setiap jenis lamun menutupi transek kuadrat yang ada dengan melihat proyeksi penutupan daun lamun ke dasar perairan. Frekuensi kehadiran masing-masing jenis lamun diamati dengan melihat rasio antara banyaknya transek kuadrat dimana ditemukan jenis lamun yang diamati dengan total transek yang ada pada setiap stasiun. Morfometrik Daun Lamun Pengukuran morfometrik panjang dan lebar daun lamun dilakukan dengan menggunakan meteran plastik pada semua jenis lamun yang dijumpai di lokasi penelitian. Khusus lamun Syringodium isoetifolium, pengukuran lebarnya menggunakan mistar geser karena bentuknya yang silindris. Indeks Luas Daun Leaf Area Index Indeks Luas Daun atau Leaf Area Index LAI adalah rasio dari total permukaan daun bagian atas dari vegetasi dibagi daerah permukaan substrat dimana vegetasi lamun tumbuh. LAI ditentukan dengan metode langsung Breda 2003. Daun lamun diambil dari dalam transek kuadrat berukuran 10 cm x 10 cm, lalu dimasukkan ke dalam kantong sampel untuk pengukuran lebih lanjut. Sehubungan dengan bentuknya yang umumnya pipih dan lurus, indeks luas daun lamun dapat diestimasi dengan mengukur panjang dan lebar daun yang ada dalam kuadrat. Analisis Struktur Komunitas Lamun Untuk menghitung kerapatan jenis lamun digunakan rumus sebagai berikut Brower et al., 1998: K i = Dimana : K i = kerapatan spesies ke-i jumlah individum 2 N i = Jumlah individu spesies ke-i . A = Luas area m 2 Kerapatan relatif KR i lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut: KR i = Dimana : KR i = Kerapatan relatif spesies ke-i K i = Kerapatan mutlak spesies ke-i ∑K = Jumlah kerapatan mutlak seluruh spesies Frekuensi kemunculan dihitung berdasarkan rumus Brower et al. 1998 sebagai berikut : F i = Dimana F i = Frekuensi spesies ke-i P i = Jumlah petak contoh ditemukannya spesies ke-i . ∑P = Jumlah total petak contoh yang diamati. Frekuensi relatif FR i lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut: FR i = Dimana: FR i = Frekuensi relatif spesies ke-i F i = Frekuensi spesies ke-i ∑F = Jumlah total frekuensi seluruh spesies Analisis data dari persentase penutupan vegetasi lamun menggunakan metode dari Saito dan Atobe 1970 diacu English et al. 1997 sebagai berikut : Pi = Fi MiFi   Dimana : P i = Penutupan spesies ke-i M i = Nilai tengah dari kelas ke-i . F i = Frekuensi spesies ke-i ∑F i = Jumlah total frekuensi spesies ke-i Penutupan relatif PRi lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut: PRi = Dimana: PRi = Penutupan relatif spesies ke-i Pi = Penutupan spesies ke-i ∑P = Jumlah total penutupan seluruh spesies Untuk menentukan kategori persen penutupan lamun dan mendapatkan nilai tengah digunakan kategori klasifikasi tutupan lamun sebagaimana ditampilkan dalam Tabel 13. Tabel 13 Klasifikasi Penutupan Lamun Saito dan Atobe 1970 diacu English et al . 1997 Kelas Bagian yang tertutupi lamun Persentase yang tertutup Nilai tengah Mi 5 12 - semua 50 - 100 75 4 14 - 12 25 - 50 37,5 3 18 – 14 12,5 - 25 18,75 2 116 – 18 6,25 – 12,5 9,3 1 116 6,25 3,13 Tidak ada Persentase penutupan lamun digunakan untuk menentukan status padang lamun di lokasi penelitian. Kriteria status padang lamun menurut Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 200 Tahun 2004 Tabel 14 adalah sebagai berikut: Tabel 14. Status Padang Lamun Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004 Kondisi Penutupan Baik Kayasehat ≥ 60 Rusak Kurang kayakurang sehat 30 – 59,9 Miskin ≤ 29,9 Sedangkan Indeks Nilai Penting INP didapatkan dengan rumus sebagai berikut Brower et al. 1998 : INP i = KR i + FR i + PR i Dimana: INP i = Indeks nilai penting KR i = Kerapatan relatif . FR i = Frekuensi relatif PR i = Penutupan relatif Kondisi padang lamun pada lokasi yang berbeda dianalisis menggunakan uji Correspondence Analysis CA. Hasil dan Pembahasan Struktur Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo dan Bonebatang Komposisi Jenis Komunitas lamun di Pulau Barranglompo tergolong komunitas campuran yang umumnya terdiri dari 2-3 spesies lamun atau lebih. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa kebanyakan padang lamun di daerah tropis dan subtropis bersifat multispesies, sedangkan padang lamun di daerah temperate umumnya bersifat monospesies Hemminga Duarte 2000. Adapun jenis-jenis lamun yang dijumpai di Pulau Barranglompo tersebut dapat dilihat pada Tabel 15 dan Gambar 48 di bawah ini. Tabel 15 Komposisi Jenis Lamun di Pulau Barranglompo Suku Marga dan Spesies Cymodoceaceae Cymodocea rotundata Ehrenberg Hemprich ex Ascherson Halodule pinifolia Miki den Hartog Halodule uninervis Forsskal Ascherson Syringodium isoetifolium Ascherson Dandy Thalassia hemprichii Ehrenberg Ascherson Hydrocharitaceae Enhalus acoroides Linnaeus f. Royle Halophila minor Zollinger den Hartog Halophila ovalis R. Brown Hooker f. Terdapat 8 spesies lamun yang dijumpai di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang terdapat 7 spesies. Berbagai hasil penelitian sebelumnya mendapatkan komposisi jenis lamun yang bervariasi antar berbagai lokasi di perairan Indonesia. Terdapat 4 spesies di Pulau Pari, Kepulauan Seribu Kiswara 1992, 11 spesies di Teluk Gerupuk, Lombok Kiswara Winardi 1999, 9 spesies di Perairan Sulawesi Utara Azkab 2002, 8 spesies di Tanjung Merah, Selat Lembeh, Bitung Susetiono 2004, 6 spesies di Perairan Nusa Dua Bali Suryantara 2005, 7 spesies di Pulau Sabangko, Salemo dan Sagara Arifin Supriadi 2006, 10 spesies di Teluk Kuta, Lombok Susetiono 2007, 7 spesies di Pulau Enggano, Bengkulu Farid et al. 2008, 7 spesies di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur Supriyadi Kuriandewa 2008, dan 7 spesies di Pulau Talise, Sulawesi Utara Takaendengan Azkab 2010. Gambar 48 Spesies lamun yang dijumpai di lokasi penelitian. a Syringodium isoetifolium , b Cymodocea rotundata, c Thalassia hemprichii, d Enhalus acoroides, e Halophila minor, f Halophila ovalis, g Halodule pinifolia, h Halodule uninervis Waycott et al. 2004 Penelitian-penelitian sebelumnya juga mendapatkan bahwa E. acoroides dan T. hemprichii merupakan dua jenis lamun utama yang dijumpai dan tersebar luas di Pulau Barranglompo Erftemeijer Herman 1994; Supriadi 2003. Enhalus dan Thalassia merupakan marga lamun klimaks dalam suksesi pembentukan padang lamun, dimana komunitas yang didominasi oleh kedua marga ini sifatnya lebih stabil dan berusia lebih tua Hemminga Duarte 2000. Berbagai hasil penelitian di berbagai lokasi di perairan Indonesia juga menunjukkan bahwa kedua jenis ini juga merupakan spesies dominan seperti di Teluk Un, Maluku Tenggara Wenno 2004, Pulau Talise, Sulawesi Utara Takaendengan Azkab 2010. E.acoroides merupakan spesies terbesar ukurannya dan tersebar sepanjang Kepulauan Indonesia, ditemukan pada sejumlah lingkungan Tomascik et al. 1997, mulai dari substrat berlumpur hingga pasir kasar, atau pada lokasi dengan bioturbasi yang berat Kuriandewa et al. 2003. Komunitas lamun di Pulau Bonebatang hampir sama dengan Pulau Barranglompo yakni merupakan komunitas campuran yang terdiri dari 2-3 spesies lamun atau lebih. Adapun jenis-jenis lamun tersebut dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah ini. Tabel 16 Komposisi Jenis Lamun di Pulau Bonebatang Suku Marga dan Spesies Cymodoceaceae Cymodocea rotundata Ehrenberg Hemprich ex Ascherson Halodule uninervis Forsskal Ascherson Syringodium isoetifolium Ascherson Dandy Thalassia hemprichii Ehrenberg Ascherson Hydrocharitaceae Enhalus acoroides Linnaeus f. Royle Halophila minor Zollinger den Hartog Halophila ovalis R. Brown Hooker f. Jenis Halodule pinifolia tidak dijumpai dalam kuadrat-kuadrat pengamatan lamun selama penelitian di Pulau Bonebatang. Komposisi jenis lamun yang dijumpai di pulau ini sama dengan yang didapatkan Priosambodo 2011. Komposisi spesies yang sama dengan Pulau Bonebatang didapatkan pula oleh Wimbaningrum 2003 di Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Kerapatan dan Kerapatan Relatif Kerapatan jenis antar stasiun di Pulau Barranglompo Gambar 49 memperlihatkan variasi spesies dominan. Di stasiun A, spesies H. uninervis mempunyai kerapatan tertinggi yaitu 377.78 tegakanm 2 , sedangkan di stasiun B dan C, spesies T. hemprichii mempunyai kerapatan tertinggi masing-masing 291.33 dan 290.22 tegakanm 2 . Gambar 49 Kerapatan relatif Rdi jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo Di pulau Barranglompo terdapat empat jenis lamun yang memiliki kerapatan relatif rata-rata di atas 10 yaitu T. hemprichii 37.63 , H. uninervis 24.66 . C. rotundata 17.88 dan E. acoroides 11.15 . H. uninervis memiliki nilai kerapatan tertinggi dibanding jenis-jenis lamun lain di Pulau Bonebatang Gambar 50. Kerapatan tertinggi jenis ini dijumpai di stasiun B sebesar 742.67 tegakanm 2 . Di Pulau Bonebatang, kerapatan E. acoroides jauh berkurang dibanding yang ditemukan di Pulau Barranglompo. Kerapatan tertinggi jenis ini hanya 56.67 tegakanm 2 yang ditemukan di stasiun A. Gambar 50 Kerapatan relatif Rdi jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau Bonebatang Frekuensi dan Frekuensi Relatif 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 K er a pa ta n Re la tif Spesies Lamun Stasiun A Stasiun B Stasiun C 10 20 30 40 50 K er a pa ta n Rela tif Spesies Lamun Stasiun A Stasiun B Stasiun C Frekuensi dari suatu spesies lamun menunjukkan derajat penyebaran jenis lamun tersebut dalam komunitas. Pola penyebaran lamun sangat bervariasi dan bergantung pada kondisi habitat dan lingkungan Short Coles 2003. Hasil perhitungan frekuensi kehadiran lamun di Pulau Barranglompo Gambar 51 menunjukkan bahwa di stasiun A, jenis E. acoroides dan T. hemprichii mempunyai frekuensi kehadiran yang lebih sering dibanding jenis lainnya. Kedua jenis ini secara berturut-turut mempunyai frekuensi masing-masing sebesar 0.89 dan 0.78. Di stasiun B, kedua jenis ini memiliki frekuensi sebesar 1, yang berarti keduanya ditemukan pada setiap transek kuadrat pengamatan di stasiun ini. Kedua jenis ini kembali mendominasi frekuensi kehadiran spesies di stasiun C dengan nilai masing-masing sebesar 1 dan 0.78. Gambar 51 Frekuensi relatif Rfi jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo Pola yang hampir sama ditemukan di Pulau Bonebatang Gambar 52. T. hemprichii mempunyai nilai frekuensi 1 di stasiun A diikuti tiga jenis lain yaitu C. rotundata , E. acoroides dan H. uninervis yang memiliki frekuensi yang sama yaitu 0.67. E. acoroides mempunyai frekuensi tertinggi di stasiun B sebesar 0.89, diikuti T. hemprichii sebesar 0.78, sedangkan di stasiun C, T. hemprichii mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 0.89 diikuti tiga jenis yaitu C. rotundata, E. acoroides dan H. uninervis yang mempunyai frekuensi yang sama yaitu 0.67. 5 10 15 20 25 30 35 40 45 F re k uens i Rela tif Spesies Lamun Stasiun A Stasiun B Stasiun C Gambar 52 Frekuensi relatif Rfi jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau Bonebatang Nilai frekuensi menunjukkan adanya jenis lamun yang memiliki sebaran yang lebih luas pada suatu daerah. Daerah sebaran lamun yang luas mengindikasikan adanya daya adaptasi yang tinggi sehingga suatu jenis lamun dapat tumbuh dengan baik pada tipe habitat yang berbeda-beda dengan kondisi lingkungan yang berubah-ubah setiap saat Hemminga Duarte 2000. Penutupan dan Penutupan Relatif Nilai penutupan lamun berhubungan erat dengan habitus atau bentuk morfologi dan ukuran suatu jenis lamun. Sebagai contoh, nilai penutupan satu individu atau tegakan E. acoroides lebih besar dibanding dengan satu individu H. uninervis atau S. isoetifolium. Lamun jenis E. acoroides memiliki nilai penutupan tertinggi pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo Gambar 53. Penutupan tertinggi jenis ini didapatkan pada stasiun B dengan tutupan sebesar 24.39 dan penutupan relatif sebesar 51.18 . 5 10 15 20 25 30 F re k u en si Rela tif Spesies Lamun Stasiun A Stasiun B Stasiun C Gambar 53 Penutupan relatif RCi jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo Di Pulau Bonebatang, jenis lamun Thalassia hemprichii mempunyai nilai penutupan terbesar di setiap stasiun. Penutupan terluas di dijumpai pada stasiun A sebesar 25.88 dengan penutupan relatif sebesar 39.23 Gambar 54. Gambar 54 Penutupan relatif RCi jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau Bonebatang Gambar 55 memperlihatkan nilai penutupan total di setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Gambar ini memperlihatkan bahwa rata- rata setiap stasiun di Pulau Bonebatang mempunyai penutupan total yang lebih tinggi dibanding Pulau Barranglompo. Nilai penutupan lamun total tertinggi 10 20 30 40 50 60 P enut upa n R ela tif Spesies Lamun Stasiun A Stasiun B Stasiun C 5 10 15 20 25 30 35 40 45 P enut upa n R ela tif Spesies Lamun Stasiun A Stasiun B Stasiun C