Gambar 32 Sebaran kekeruhan NTU di Pulau Barranglompo Kekeruhan  dapat  mengurangi  cahaya  yang  diterima  lamun  sehingga
mengganggu aktivitas fotosintesis serta mengakibatkan stres pada lamun sehingga dapat membatasi pertumbuhan lamun Waycott et al. 2004.  Sebaliknya, vegetasi
lamun  dapat  meningkatkan  laju  sedimentasi  dan  mengurangi  laju  resuspensi sehingga  dapat  mengurangi  kekeruhan,  oleh  karena  itu  dapat  memicu
pertumbuhan lamun Madsen et al. 2001; De Boer 2007; Hendriks et al. 2009.
Gambar 33 Sebaran kekeruhan NTU di Pulau Bonebatang Padatan Tersuspensi TotalTotal Suspended Solid TSS
Nilai  padatan  tersuspensi  total  TSS  di  Pulau  Barranglompo  berkisar 12.64-18.53  mgl,  sedangkan  di  Pulau  Bonebatang  berkisar  6.67-11.11  mgl
Gambar  34.    Terdapat  perbedaan  nilai  padatan  tersuspensi  total  yang  sangat nyata p
 0.01 di kedua pulau.
Gambar 34 Nilai padatan tersuspensi total ± sd pada setiap stasiun. BL = Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
Sebaran  nilai  padatan  tersuspensi  total  TSS  di  Pulau  Barranglompo Gambar  35  mengindikasikan  bahwa  daerah  yang  memiliki  nilai  TSS  rendah
berada  di  tengah  padang  lamun.    Hal  ini  menunjukkan  peranan  lamun  sebagai perangkap  sedimen  dan  bahan  tersuspensi  yang  dibawa  oleh  arus  dan  memiliki
kemampuan untuk mengikat sedimen atau partikel-partikel tersebut Bjork et al. 2008.
0.00 2.00
4.00 6.00
8.00 10.00
12.00 14.00
16.00 18.00
20.00
BLA BLB
BLC BBA
BBB BBC
P a
da ta
n T
er sus
pens i
to ta
l m
g l
Stasiun
Gambar 35 Sebaran padatan tersuspensi total mgl di Pulau Barranglompo Di  Pulau  Bonebatang,  sebaran  padatan  tersuspensi  total  Gambar  36
menunjukkan  bahwa  nilai  yang  tinggi  dijumpai  di  sekitar  pantai.    Hal  tersebut terkait  dengan  aktivitas  pengambilan  pasir  yang  berlangsung  di  pulau  ini  yang
mengakibatkan  kekeruhan  yang  lebih  tinggi  dibandingkan  dengan  lokasi  yang lebih jauh dari garis pantai.
Gambar 36 Sebaran padatan tersuspensi total mgl di Pulau Bonebatang Nilai  TSS  yang  dijumpai  di  kedua  pulau  masih  dalam  batas  nilai  yang
tidak  berpengaruh  terhadap  biota  laut  Tabel  11.    Hal  ini  juga  sesuai  menurut kriteria  Baku  Mutu  Air  Laut  sebesar  20  mgl  untuk  habitat  lamun  Meneg  LH
2004.    Nilai  TSS  yang  sangat  tinggi  dapat  mengurangi  ketersediaan  cahaya dalam  kolom  air  yang  sangat  dibutuhkan  untuk  fotosintesis  lamun  De  Boer
2007.
Tabel  11  Kesesuaian  perairan  untuk  kepentingan  perikanan  berdasarkan  nilai padatan tersuspensi total TSS
Nilai TSS mgl Pengaruh tehadap kepentingan perikanan
25 Tidak berpengaruh
25 - 80 Sedikit berpengaruh
81 - 400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan
400 Tidak baik bagi kepentingan Perikanan
Sumber: Alabaster  Lloyd 1982 diacu Effendi 2003
Arah dan Kecepatan Arus
Gambar  37  memperlihatkan  sebaran  nilai  kecepatan  arus  pada  setiap stasiun  di  Pulau  Barranglompo  dan  Pulau  Bonebatang.    Nilai  kecepatan  arus  di
Pulau  Barranglompo  berkisar  0.009-0.130  mdetik,  sedangkan  di  Pulau Bonebatang berkisar antara 0.014-0.126 mdetik.  Tidak ada perbedaan kecepatan
arus yang signifikan  antara kedua pulau p = 0.8438.
Gambar  37  Nilai  kecepatan  arus  ±  sd  pada  setiap  stasiun.    BL  =  Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
Terdapat  kecenderungan  bahwa  arus  semakin  kuat  dengan  semakin jauhnya  posisi  stasiun  dari  garis  pantai.  Arus  yang  datang  dari  arah  luar  pulau
akan  tertahan  oleh  lembaran  daun  lamun  sehingga  kecepatannya  semakin berkurang  di  bagian  dalam.  Hal  ini  memperkuat  peranan  padang  lamun  sebagai
peredam  faktor  hidrodinamika  Butler    Jernakoff  1999;  Hemminga    Duarte 2000;  Verduin    Backhaus  2000;  Schanz    Asmus  2003;  Orth  et  al.  2006;
Hendriks et al. 2009. Arus membuat kolom air tercampur dengan baik, mempengaruhi sebaran
suhu  dan  salinitas,  membawa  ke  permukaan  nutrien  yang  berguna  untuk pertumbuhan tanaman air dan membawa pasokan oksigen ke perairan yang lebih
dalam  Tait    Dipper  1998.    Peralta  et  al.  2006  mendapatkan  bahwa  arus secara  langsung  berpengaruh  terhadap  pertumbuhan,  rekruitmen,  morfometri
daun,  rhizoma  dan  akar  serta  arsitektur  Zostera  noltii.  Namun  sebaliknya,  arus yang  berkurang  kecepatannya  dapat  meningkatkan  konsentrasi  fitotoksin  dalam
0.000 0.010
0.020 0.030
0.040 0.050
0.060 0.070
0.080 0.090
BLA BLB
BLC BBA
BBB BBC
K ec
epa ta
n Arus
m det
ik
Stasiun
sedimen  dan  peningkatan  ketebalan  lapisan  batas  difusi  yang  dapat  membatasi fotosintesis Koch 2001; Brown 2009.
Arah  datang  arus  di  kedua  pulau  Gambar  38  dan  39  mengikuti  pola umum  arus  lintas  Indonesia  Arlindo  yang  berasal  dari  Samudera  Pasifik
Gordon  2005.    Selain  dipengaruhi  oleh  arus  utama,  arus  yang  ada  di  sekitar pulau  kecil  juga  dipengaruhi  oleh  siklus  pasang  surut.    Kecepatan  arus  yang
didapatkan selama penelitian termasuk lemah karena pengukuran dilakukan pada periode Mei-September musim kemarau. Arus yang kuat biasanya terjadi pada
musim barat November-Januari.
Gambar 38  Sebaran arah dan kecepatan arus mdetik di Pulau Barranglompo
Gambar 39 Sebaran arah dan kecepatan arus mdetik di Pulau Bonebatang Hidrodinamika perairan tidak saja merupakan faktor yang secara langsung
mempengaruhi lamun dan makroalgae, tapi juga mempengaruhi faktor pembatas lain  seperti  ketersediaan  nutrien,  penetrasi  cahaya  kekeruhan  dan  stratifikasi
suhu  dan  salinitas  Lobban    Harrison  1997;  Biber  2007.    Sebaliknya,  kanopi lamun juga dapat mengurangi kecepatan arus.  Hal ini teramati dalam penelitian
ini,  dimana  kecepatan  arus  yang  rendah  dijumpai  pada  stasiun  A  yang  berada dekat garis pantai.
Tinggi Gelombang
Tinggi  gelombang  selama  penelitian  di  Pulau  Barranglompo  berkisar 1.82-7.29  cm,  sedangkan  di  Pulau  Bonebatang  berkisar  antara  2.18-6.24  cm
Gambar 40.  Tinggi gelombang di kedua pulau tidak berbeda secara nyata p = 0.9656.    Sama  dengan  kecepatan  arus,  tinggi  gelombang  juga  memperlihatkan
pola  yang  sama  dimana  gelombang  rata-rata  semakin  tinggi  dengan  semakin jauhnya stasiun dari garis pantai Gambar 41 dan 42.
Gambar  40  Tinggi  gelombang  ±  sd  pada  setiap  stasiun.    BL  =  Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun
Hubungan antara faktor hidrodinamika seperti kecepatan arus dan paparan gelombang  dengan  padang  lamun  bersifat  timbal  balik  yang  saling
mempengaruhi.  Faktor hidrodinamika mempengaruhi penyebaran koloni, bentuk lansekap  dan  fragmentasi  habitat  padang  lamun  Fonseca    Bell  1998.
Sebaliknya kanopi lamun memiliki peran dalam mengurangi kecepatan aliran air dan  pengadukan  atau  turbulensi  Hemminga    Duarte  2000;  Peterson  et  al.
2004.
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00 7.00
8.00
BLA BLB
BLC BBA
BBB BBC
T ing
g i G
elo m
ba ng
cm
Stasiun
Gambar 41 Sebaran tinggi gelombang cm di Pulau Barranglompo
Gambar 42 Sebaran tinggi gelombang cm di Pulau Bonebatang
Pada bulan Juli-Desember terjadi  gelombang kuat di perairan Kepulauan Spermonde.    Energi  gelombang  yang  kuat  ini  mengakibatkan  penurunan  drastis
biomassa daun dan rhizoma lamun T. hemprichii masing-masing sebesar 61 dan 37 Stapel et al. 1997.
Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Habitat Padang Lamun
Hasil  analisis  PCA  terhadap  14  variabel  parameter  fisika-kimia  perairan pada  6  stasiun  di  Pulau  Barranglompo  dan  Pulau  Bonebatang  menunjukkan
bahwa  sebagian  besar  70.69  ragam  terjelaskan  pada  dua  sumbu  utama  yaitu faktor 1 dan 2 Gambar 43  44.
Gambar 43 Analisis Komponen Utama Principal Component Analysis sebaran karakteristik fisika-kimia padang lamun di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang.
Keterangan:  Suh=suhu,  Sal=salinitas,  Aru=Kecepatan  arus,  Gel=Tinggi gelombang,  Ker=Kerikil,  PKa=pasir  kasar,  PSd=Pasir  sedang,  Pha=Pasir  halus,
Lum=Lumpur,  TSS=Total  suspended  solid,  Kek=Kekeruhan,  Klo=Klorofil-a, Nit=Nitrat, Fos=Fosfat
Hasil analisis PCA menghasilkan 3 kelompok penciri karakteristik habitat di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang Tabel 12. Kelompok I terdiri atas
stasiun  BLA  dan  BLB  yang  dicirikan  oleh  nilai  pasir  halus,  kekeruhan  dan klorofil-a yang tinggi,  kelompok II yaitu stasiun BBC yang dicirikan oleh pasir
kasar, salinitas dan kecepatan arus yang tinggi. Kelompok III yaitu stasiun BLC yang dicirikan oleh fosfat, nitrat, tinggi gelombang, TSS dan lumpur yang tinggi.
Gambar 44 Analisis Komponen Utama Principal Component Analysis sebaran stasiun  A,  B  dan  C  di  Pulau  Barranglompo  BL  dan  Pulau
Bonebatang BB Tabel 12 Kelompok penciri karakteristik lingkungan di Pulau Barranglompo dan
Pulau Bonebatang
Kelompok Stasiun
Karakteristik Lingkungan
I BLA  BLB
Pasir  halus,  kekeruhan  dan  klorofil tinggi
II BBC
Pasir  kasar,  salinitas  dan  kecepatan arus tinggi
III BLC
Fosfat,  nitrat,  gelombang,  TSS  dan lumpur tinggi
Simpulan
1. Dari semua parameter kualitas air yang diukur di Pulau Barranglompo dan
Pulau  Bonebatang,  hanya  kekeruhan  dan  padatan  tersuspensi  total  yang berbeda secara nyata antara kedua pulau.
2. Nilai kekeruhan pada stasiun yang berdekatan dengan garis pantai stasiun
A  dan  B  di  Pulau  Barranglompo  telah  melampaui  nilai  baku  mutu  air
laut,  sedangkan  pada  stasiun  yang  jauh  dari  garis  pantai  stasiun  C  di Pulau  Barranglompo  dan  semua  stasiun  di  Pulau  Bonebatang  masih  di
bawah nilai baku tersebut. 3.
Nilai  padatan  tersuspensi  total  di  kedua  pulau  masih  dalam  batas  yang tidak berpengaruh terhadap biota laut.
7.  STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU BARRANGLOMPO DAN PULAU BONEBATANG
Abstrak
Komunitas lamun sangat dinamis dan dapat mengalami perubahan dengan cepat baik dalam skala spasial maupun temporal.  Penelitian yang bertujuan untuk
mengkaji  struktur  komunitas  padang  lamun  pada  dua  pulau  yang  mengalami tekanan antropogenik berbeda telah dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 hingga
Juni  2011  di  Pulau  Barranglompo  dan  Pulau  Bonebatang.    Struktur  komunitas lamun  yang  diamati  meliputi  kerapatan,  frekuensi,  luas  penutupan,  morfometri
panjang dan lebar daun lamun dan indeks luas daun.  Sebanyak 8 spesies lamun teridentifikasi di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang dijumpai
7  spesies.    Thalassia  hemprichii  merupakan  spesies  yang  memiliki  nilai  indeks nilai  penting  INP  tertinggi  baik  di  Pulau  Barranglompo  maupun  Pulau
Bonebatang.    Pengukuran  morfometri  daun  lamun  menunjukkan  bahwa  daun Enhalus  acoroides
,  Halodule  uninervis,  Syringodium  isoetifolium  dan  Thalassia hemprichii
di  Pulau  Barranglompo  lebih  panjang  dibandingkan  dengan  spesies yang  sama  di  Pulau  Bonebatang,  sedangkan  daun  Cymodocea  rotundata  dan
Halophila  ovalis di  Pulau  Barranglompo  sedikit  lebih  pendek  daripada  yang
dijumpai  di  Pulau  Bonebatang.  Nilai  indeks  luas  daun  di  Pulau  Barranglompo memperlihatkan pola menurun dengan semakin jauhnya stasiun dari garis pantai,
sedangkan di Pulau Bonebatang tidak memperlihatkan pola yang jelas. Kata kunci: Barranglompo, Bonebatang, lamun, struktur komunitas
Abstract
Seagrass  community  is  very  dynamic  and  can  change  quickly  both  in spatial and temporal scales.  A study was conducted from October 2010 to June
2011  in  Barranglompo  and  Bonebatang  Islands  to  analyze  seagrass  community structures  at  two  locations  with  different  anthropogenic  pressure.    The
components  of  observed  seagrass  community  structures  were  shooth  density, occurrence, coverage, seagrass leaf morphometry leaf length and width and leaf
area  index  LAI.  There  were  eight  and  seven  seagrass  species  identified  in Barranglompo  and  Bonebatang  Islands,  respectively.  Thalassia  hemprichii  is
species with the highest important value index in both islands.  The measurement of  leaf  morphometry  showed  that  the  leaves  of  Enhalus  acoroides,  Halodule
uninervis,  Syringodium  isoetifolium
and  Thalassia  hemprichii  in  Barranglompo Island  were  longer  than  those  in  Bonebatang  Island,  whereas,  leaves  of
Cymodocea rotundata and Halophila ovalis in Barranglompo Island were slighly
shorter than those in Bonebatang.  The leaf area index indicate to decrease as the location of seagrass  getting  farther  from  the shoreline, while in  Bonebatang  did
not show a discernible pattern. Keywords: Barranglompo, Bonebatang, community structure, seagrass,
Pendahuluan
Komunitas  lamun  berkembang  di  perairan  dangkal  membentuk  habitat bagi  berbagai  jenis  organisme  laut.    Padang  lamun  merupakan  tempat  mencari
makan, kawin, bertelur, memijah dan membesarkan anak bagi banyak jenis ikan, udang  dan  kerang  yang  bernilai  ekonomis  tinggi.    Selain  itu  secara  fisik  lamun
juga  mampu  menstabilkan  substrat  sedimen,  menahan  ombak  dan  menyerap bahan pencemar Fortes 1990; Asmus et al. 2006.
Kompleksitas  struktural  padang  lamun  mempengaruhi  komposisi  dan interaksi biota yang berasosiasi.  Parameter yang berkontribusi terhadap struktur
komunitas  lamun  antara  lain  tutupan  substrat,  biomassa  lamun  dan  arsitektur lamun Warry  Hindell 2009.
Komunitas  lamun  sangat  dinamis  dan  dapat  mengalami  perubahan  baik pada  skala  waktu  yang  singkat  maupun  panjang,  dan  dapat  terjadi  secara  lokal
yang  mempengaruhi  tegakan  individu  maupun  meliputi  keseluruhan  daerah lamun, bahkan bisa bersifat global Krause-Jensen et al. 2004; Warry  Hindell
2009.  Perubahan  ini  bisa  disebabkan  oleh  proses  alami  atau  berbagai  aktivitas manusia  Keough    Jenkins  2000.  Faktor  antropogenik  memberikan  ancaman
langsung terbesar terhadap lamun dan biota yang berasosiasi dengannya Orth et al
. 2006; De Boer 2007. Sejumlah  pengukuran  dasar  digunakan  untuk  menggambarkan  populasi
dan  komunitas,  diantaranya  kerapatan,  frekuensi,  luas  penutupan  dan  biomassa. Dari  pengukuran  ini,  ukuran  ekologi  yang  penting  seperti  sebaran  populasi,
keanekaragaman spesies dan produktivitas dapat ditentukan Brower et al. 1998. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas padang lamun
pada  dua  pulau  di  Kepulauan  Spermonde  Sulawesi  Selatan  yang  mengalami tekanan antropogenik berbeda.  Kedua pulau tersebut adalah Pulau Barranglompo
dan  Pulau  Bonebatang.    Pulau  Barranglompo  dengan  luas  hanya  sekitar  20  ha termasuk salah satu pulau terpadat di Kepulauan Spermonde yang saat ini dihuni
oleh sekitar 5000 penduduk, sedangkan Pulau Bonebatang tidak berpenghuni.
Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian  ini  dilaksanakan  dari  bulan  Oktober  2010  sampai  Juni  2011 pada  dua  pulau  kecil  dalam  gugus  Kepulauan  Spermonde  di  Sulawesi  Selatan
yakni Pulau Barranglompo 5
o
02’ 44.28‖- 5
o
03’ 05.65‖ S, 119
o
19’ 38.56‖- 119
o
19’  52.27‖  E  dan  Pulau  Bonebatang  5
o
00’  47.46‖-  5
o
00’  51.82  S,  119
o
19’ 35.55‖-  119
o
19’  36.71‖  E.  Peta  kedua  pulau  ini  dapat  dilihat  pada  Gambar  6 Bab 4.
Penentuan Stasiun Penelitian
Stasiun  penelitian  ditentukan  berdasarkan  kondisi  ekosistem  yang  diteliti sehingga  diharapkan  dapat  mewakili  kondisi  lokasi  pengamatan  secara
keseluruhan.    Untuk  mewakili  kondisi  ekosistem  lamun,  stasiun  pengamatan ditentukan  masing-masing:  stasiun  A  diambil  pada  vegetasi  lamun  terdekat
dengan garis pantai, stasiun B berjarak sekitar 100 m dari garis pantai, dan stasiun C berjarak sekitar 200 m dari garis pantai dimana lamun sudah berbatasan dengan
daerah  terumbu  karang.    Sampling  pada  setiap  stasiun  dilakukan  pada  9  sub stasiun  mengelilingi  pulau  Gambar  45    46.    Dengan  demikian  sampling
dilakukan pada setiap sisi pulau kecuali pada sisi timur yang memiliki topografi yang curam.
Pengambilan Data Vegetasi Lamun
Untuk  melihat  kondisi  padang  lamun  dilakukan  pengamatan  di  dalam transek kuadrat yang berukuran 50 cm x 50 cm yang disebar acak pada setiap sub
stasiun  Gambar  47.    Pengamatan  sebaran,  kerapatan,  tutupan  dan  frekuensi kehadiran  masing-masing  jenis  lamun  dilakukan  di  dalam  transek  kuadrat  ini.
Jenis  lamun  yang  didapatkan  dalam  transek  kuadrat  diidentifikasi  berdasarkan
Phillips  Menez 1988, Short et al. 2004, Waycott et al. 2004.
Gambar  45    Sebaran    stasiun  dan  sub-stasiun  pengamatan  struktur komunitas lamun di Pulau Barranglompo. A,B,C = stasiun
Gambar  46    Sebaran    stasiun  dan  sub-stasiun  pengamatan  struktur komunitas lamun di Pulau Bonebatang. A,B,C = stasiun
Gambar 47 Pengamatan komunitas lamun menggunakan transek kuadrat
Kerapatan, Penutupan, dan Frekuensi Kehadiran Lamun
Kerapatan lamun diamati dengan menggunakan transek kuadrat Phillips McRoy  1990.    Pengamatan  ini  dilakukan  dengan  menghitung  jumlah  tegakan
masing-masing jenis lamun di dalam transek sehingga jumlah tegakan per satuan luasan dapat diketahui.
Pengamatan  persentase  penutupan  lamun  dilakukan  dengan  menggunakan metode dari Saito dan Atobe 1970 diacu English et al. 1997.  Pada metode ini
dilakukan perhitungan berapa persen setiap jenis lamun menutupi transek kuadrat yang ada dengan melihat proyeksi penutupan daun lamun ke dasar perairan.
Frekuensi  kehadiran  masing-masing  jenis  lamun  diamati  dengan  melihat rasio  antara  banyaknya  transek  kuadrat  dimana  ditemukan  jenis  lamun  yang
diamati dengan total transek yang ada pada setiap stasiun.
Morfometrik Daun Lamun
Pengukuran  morfometrik  panjang  dan  lebar  daun  lamun  dilakukan dengan menggunakan meteran plastik pada semua jenis lamun yang dijumpai di
lokasi penelitian.  Khusus lamun Syringodium isoetifolium, pengukuran lebarnya menggunakan mistar geser karena bentuknya yang silindris.
Indeks Luas Daun Leaf Area Index
Indeks  Luas  Daun  atau  Leaf  Area  Index  LAI  adalah  rasio  dari  total permukaan  daun  bagian  atas  dari  vegetasi  dibagi  daerah  permukaan  substrat
dimana vegetasi lamun tumbuh.  LAI ditentukan dengan metode langsung Breda 2003.    Daun  lamun  diambil  dari  dalam  transek  kuadrat  berukuran  10  cm  x  10
cm,  lalu  dimasukkan  ke  dalam  kantong  sampel  untuk  pengukuran  lebih  lanjut. Sehubungan dengan bentuknya yang umumnya pipih dan lurus, indeks luas daun
lamun dapat diestimasi dengan mengukur panjang dan lebar daun yang ada dalam kuadrat.
Analisis Struktur Komunitas Lamun
Untuk menghitung kerapatan jenis lamun digunakan rumus sebagai berikut Brower et al., 1998:
K
i
=
Dimana : K
i
=  kerapatan spesies ke-i jumlah individum
2
N
i
=  Jumlah individu spesies ke-i .                 A    =  Luas area m
2
Kerapatan relatif KR
i
lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut: KR
i
= Dimana :
KR
i
=  Kerapatan relatif spesies ke-i K
i
=  Kerapatan mutlak spesies ke-i ∑K
=  Jumlah kerapatan mutlak seluruh spesies
Frekuensi  kemunculan  dihitung  berdasarkan  rumus  Brower  et  al.  1998 sebagai berikut :
F
i
= Dimana
F
i
=  Frekuensi spesies ke-i
P
i
=  Jumlah petak contoh ditemukannya spesies ke-i .
∑P    =  Jumlah total petak contoh yang diamati.
Frekuensi relatif FR
i
lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut: FR
i
= Dimana:
FR
i
=  Frekuensi relatif spesies ke-i F
i
=  Frekuensi spesies ke-i ∑F  =  Jumlah total frekuensi  seluruh spesies
Analisis  data  dari  persentase  penutupan  vegetasi  lamun  menggunakan metode dari Saito dan Atobe 1970 diacu English et al. 1997 sebagai berikut :
Pi =
Fi MiFi
 
Dimana :
P
i
=  Penutupan spesies ke-i M
i
=  Nilai tengah dari kelas ke-i .               F
i
=  Frekuensi spesies ke-i ∑F
i
=  Jumlah total frekuensi spesies ke-i
Penutupan relatif PRi lamun dihitung dengan rumus sebagai berikut:
PRi = Dimana:
PRi  =  Penutupan relatif spesies ke-i Pi    =  Penutupan spesies ke-i
∑P  =  Jumlah total penutupan seluruh spesies
Untuk menentukan kategori persen penutupan lamun dan mendapatkan nilai tengah  digunakan  kategori  klasifikasi  tutupan  lamun  sebagaimana  ditampilkan
dalam Tabel 13. Tabel 13 Klasifikasi Penutupan Lamun Saito dan Atobe 1970 diacu English et
al . 1997
Kelas Bagian yang
tertutupi lamun Persentase yang
tertutup Nilai tengah  Mi
5 12
- semua 50 - 100
75 4
14 - 12 25 - 50
37,5 3
18 – 14
12,5 - 25 18,75
2 116
– 18 6,25
– 12,5 9,3
1 116
6,25 3,13
Tidak ada Persentase penutupan lamun  digunakan untuk menentukan status  padang
lamun  di  lokasi  penelitian.    Kriteria  status  padang  lamun    menurut  Surat Keputusan  Menteri  Negara  Lingkungan  Hidup  No.  200  Tahun  2004  Tabel  14
adalah sebagai berikut: Tabel 14. Status Padang Lamun Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004
Kondisi Penutupan
Baik Kayasehat
≥ 60 Rusak
Kurang kayakurang sehat 30
– 59,9 Miskin
≤ 29,9
Sedangkan  Indeks  Nilai  Penting  INP  didapatkan  dengan  rumus  sebagai berikut Brower et al. 1998 :
INP
i
= KR
i
+ FR
i
+ PR
i
Dimana: INP
i
=  Indeks nilai penting KR
i
=  Kerapatan relatif .               FR
i
=  Frekuensi relatif PR
i
=  Penutupan relatif
Kondisi padang lamun pada lokasi yang berbeda dianalisis menggunakan uji Correspondence Analysis CA.
Hasil dan Pembahasan Struktur Komunitas Lamun di Pulau Barranglompo dan Bonebatang
Komposisi Jenis
Komunitas lamun di Pulau Barranglompo tergolong komunitas campuran yang umumnya terdiri dari 2-3 spesies lamun atau lebih.  Hal ini sesuai dengan
kenyataan  bahwa  kebanyakan  padang  lamun  di  daerah  tropis  dan  subtropis bersifat  multispesies,  sedangkan  padang  lamun  di  daerah  temperate  umumnya
bersifat  monospesies  Hemminga    Duarte  2000.  Adapun  jenis-jenis  lamun yang  dijumpai  di  Pulau  Barranglompo  tersebut  dapat  dilihat  pada  Tabel  15  dan
Gambar 48 di bawah ini. Tabel 15 Komposisi Jenis Lamun di Pulau Barranglompo
Suku Marga dan Spesies
Cymodoceaceae Cymodocea rotundata
Ehrenberg  Hemprich ex Ascherson Halodule pinifolia
Miki den Hartog Halodule uninervis
Forsskal Ascherson Syringodium isoetifolium
Ascherson Dandy Thalassia hemprichii
Ehrenberg Ascherson Hydrocharitaceae
Enhalus acoroides Linnaeus f. Royle
Halophila minor Zollinger den Hartog
Halophila ovalis R. Brown Hooker f.
Terdapat  8  spesies  lamun  yang  dijumpai  di  Pulau  Barranglompo, sedangkan  di  Pulau  Bonebatang  terdapat  7  spesies.    Berbagai  hasil  penelitian
sebelumnya  mendapatkan  komposisi  jenis  lamun  yang  bervariasi  antar  berbagai lokasi di perairan Indonesia. Terdapat 4 spesies di Pulau Pari, Kepulauan Seribu
Kiswara  1992,  11  spesies  di  Teluk  Gerupuk,  Lombok  Kiswara    Winardi 1999, 9 spesies di Perairan Sulawesi Utara Azkab 2002, 8 spesies di Tanjung
Merah, Selat Lembeh, Bitung Susetiono 2004, 6 spesies di Perairan Nusa Dua Bali Suryantara 2005, 7 spesies di Pulau Sabangko, Salemo dan Sagara Arifin
Supriadi 2006, 10 spesies di Teluk Kuta, Lombok Susetiono 2007, 7 spesies di Pulau Enggano, Bengkulu Farid et al. 2008, 7 spesies di Kepulauan Derawan,
Kalimantan Timur Supriyadi  Kuriandewa 2008, dan 7 spesies di Pulau Talise, Sulawesi Utara Takaendengan  Azkab 2010.
Gambar    48  Spesies  lamun  yang  dijumpai  di  lokasi  penelitian.  a  Syringodium isoetifolium
,  b  Cymodocea  rotundata,  c  Thalassia  hemprichii, d  Enhalus  acoroides,  e  Halophila  minor,  f  Halophila  ovalis,
g Halodule pinifolia, h Halodule uninervis Waycott et al. 2004
Penelitian-penelitian  sebelumnya  juga  mendapatkan  bahwa  E.  acoroides dan T. hemprichii merupakan dua jenis lamun utama yang dijumpai dan tersebar
luas  di  Pulau  Barranglompo  Erftemeijer    Herman  1994;  Supriadi  2003. Enhalus
dan  Thalassia  merupakan  marga  lamun  klimaks  dalam  suksesi pembentukan  padang  lamun,  dimana  komunitas  yang  didominasi  oleh  kedua
marga ini sifatnya lebih stabil dan berusia lebih tua Hemminga  Duarte 2000. Berbagai  hasil  penelitian  di  berbagai  lokasi  di  perairan  Indonesia  juga
menunjukkan bahwa kedua jenis ini juga merupakan spesies dominan seperti di Teluk  Un,  Maluku  Tenggara  Wenno  2004,  Pulau  Talise,  Sulawesi  Utara
Takaendengan    Azkab  2010.  E.acoroides  merupakan  spesies  terbesar ukurannya  dan  tersebar  sepanjang  Kepulauan  Indonesia,  ditemukan  pada
sejumlah  lingkungan  Tomascik  et  al.  1997,  mulai  dari  substrat  berlumpur hingga pasir kasar, atau pada lokasi dengan bioturbasi yang berat Kuriandewa et
al. 2003.
Komunitas  lamun  di  Pulau  Bonebatang  hampir  sama  dengan  Pulau Barranglompo yakni merupakan komunitas campuran yang terdiri dari 2-3 spesies
lamun atau lebih.  Adapun jenis-jenis lamun tersebut dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah ini.
Tabel 16  Komposisi Jenis Lamun di Pulau Bonebatang
Suku Marga dan Spesies
Cymodoceaceae  Cymodocea rotundata Ehrenberg  Hemprich ex Ascherson Halodule uninervis
Forsskal Ascherson Syringodium isoetifolium
Ascherson Dandy Thalassia hemprichii
Ehrenberg Ascherson Hydrocharitaceae   Enhalus acoroides Linnaeus f. Royle
Halophila minor Zollinger den Hartog
Halophila ovalis R. Brown Hooker f.
Jenis  Halodule  pinifolia  tidak  dijumpai  dalam  kuadrat-kuadrat pengamatan  lamun  selama  penelitian  di  Pulau  Bonebatang.    Komposisi  jenis
lamun  yang  dijumpai  di  pulau  ini  sama  dengan  yang  didapatkan  Priosambodo 2011.  Komposisi spesies yang sama dengan Pulau Bonebatang didapatkan pula
oleh  Wimbaningrum  2003  di  Pantai  Bama,  Taman  Nasional  Baluran,  Jawa Timur.
Kerapatan dan Kerapatan Relatif
Kerapatan  jenis  antar  stasiun  di  Pulau  Barranglompo  Gambar  49 memperlihatkan  variasi  spesies  dominan.    Di  stasiun  A,  spesies  H.  uninervis
mempunyai  kerapatan tertinggi yaitu 377.78 tegakanm
2
, sedangkan di stasiun B dan  C,  spesies  T.  hemprichii  mempunyai  kerapatan  tertinggi  masing-masing
291.33 dan 290.22 tegakanm
2
.
Gambar 49 Kerapatan relatif Rdi jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo
Di  pulau  Barranglompo  terdapat  empat  jenis  lamun  yang  memiliki kerapatan relatif rata-rata di atas 10  yaitu T. hemprichii 37.63 , H. uninervis
24.66  .  C.  rotundata  17.88    dan  E.  acoroides  11.15  .  H.  uninervis memiliki  nilai  kerapatan  tertinggi  dibanding  jenis-jenis  lamun  lain  di  Pulau
Bonebatang  Gambar  50.  Kerapatan  tertinggi  jenis  ini  dijumpai  di  stasiun  B sebesar  742.67  tegakanm
2
.    Di  Pulau  Bonebatang,  kerapatan  E.  acoroides  jauh berkurang  dibanding  yang  ditemukan  di  Pulau  Barranglompo.    Kerapatan
tertinggi jenis ini hanya 56.67 tegakanm
2
yang ditemukan di stasiun A.
Gambar 50 Kerapatan relatif Rdi jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau Bonebatang
Frekuensi dan Frekuensi Relatif
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
K er
a pa
ta n
Re la
tif
Spesies Lamun
Stasiun A Stasiun B
Stasiun C
10 20
30 40
50
K er
a pa
ta n
Rela tif
Spesies Lamun
Stasiun A Stasiun B
Stasiun C
Frekuensi dari suatu spesies lamun menunjukkan derajat penyebaran jenis lamun  tersebut  dalam  komunitas.  Pola  penyebaran  lamun  sangat  bervariasi  dan
bergantung  pada  kondisi  habitat  dan  lingkungan  Short    Coles  2003.    Hasil perhitungan  frekuensi  kehadiran  lamun  di  Pulau  Barranglompo  Gambar  51
menunjukkan  bahwa  di  stasiun  A,  jenis  E.  acoroides  dan  T.  hemprichii mempunyai  frekuensi  kehadiran  yang  lebih  sering  dibanding  jenis  lainnya.
Kedua  jenis  ini  secara  berturut-turut  mempunyai  frekuensi  masing-masing sebesar 0.89 dan 0.78.  Di stasiun B, kedua jenis ini memiliki frekuensi sebesar 1,
yang  berarti  keduanya  ditemukan  pada  setiap  transek  kuadrat  pengamatan  di stasiun ini.  Kedua jenis ini kembali mendominasi frekuensi kehadiran spesies di
stasiun C dengan nilai masing-masing sebesar 1 dan 0.78.
Gambar 51 Frekuensi relatif Rfi jenis-jenis lamun pada setiap  stasiun di Pulau Barranglompo
Pola yang hampir sama ditemukan di Pulau Bonebatang Gambar 52. T. hemprichii
mempunyai nilai frekuensi 1 di stasiun A diikuti tiga jenis lain yaitu C. rotundata
, E. acoroides dan H. uninervis yang memiliki frekuensi yang sama yaitu 0.67. E. acoroides mempunyai frekuensi tertinggi di stasiun B sebesar 0.89,
diikuti  T.  hemprichii  sebesar  0.78,  sedangkan  di  stasiun  C,  T.  hemprichii mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 0.89 diikuti tiga jenis yaitu C. rotundata,
E. acoroides dan H. uninervis yang mempunyai frekuensi yang sama yaitu 0.67.
5 10
15 20
25 30
35 40
45
F re
k uens
i Rela
tif
Spesies Lamun
Stasiun A Stasiun B
Stasiun C
Gambar 52 Frekuensi relatif  Rfi  jenis-jenis  lamun pada setiap stasiun di Pulau Bonebatang
Nilai  frekuensi  menunjukkan  adanya  jenis  lamun  yang  memiliki  sebaran yang  lebih  luas  pada  suatu  daerah.    Daerah  sebaran  lamun  yang  luas
mengindikasikan  adanya  daya  adaptasi  yang  tinggi  sehingga  suatu  jenis  lamun dapat  tumbuh  dengan  baik  pada  tipe  habitat  yang  berbeda-beda  dengan  kondisi
lingkungan yang berubah-ubah setiap saat Hemminga  Duarte 2000.
Penutupan dan Penutupan Relatif
Nilai  penutupan  lamun  berhubungan  erat  dengan  habitus  atau  bentuk morfologi  dan  ukuran  suatu  jenis  lamun.    Sebagai  contoh,  nilai  penutupan  satu
individu atau tegakan E. acoroides lebih besar dibanding dengan satu individu H. uninervis
atau S. isoetifolium. Lamun  jenis  E. acoroides memiliki nilai  penutupan tertinggi  pada setiap
stasiun  di  Pulau  Barranglompo  Gambar  53.    Penutupan  tertinggi  jenis  ini didapatkan pada stasiun B dengan tutupan sebesar 24.39  dan penutupan relatif
sebesar 51.18 .
5 10
15 20
25 30
F re
k u
en si
Rela tif
Spesies
Lamun
Stasiun A Stasiun B
Stasiun C
Gambar 53 Penutupan relatif RCi jenis-jenis lamun pada  setiap stasiun di Pulau Barranglompo
Di Pulau Bonebatang, jenis lamun Thalassia hemprichii mempunyai nilai penutupan terbesar di setiap stasiun. Penutupan terluas di dijumpai pada stasiun A
sebesar 25.88  dengan penutupan relatif sebesar 39.23  Gambar 54.
Gambar  54 Penutupan relatif RCi jenis-jenis lamun pada setiap stasiun di Pulau Bonebatang
Gambar 55 memperlihatkan nilai penutupan total di setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang.  Gambar ini memperlihatkan bahwa rata-
rata  setiap  stasiun  di  Pulau  Bonebatang  mempunyai  penutupan  total  yang  lebih tinggi  dibanding  Pulau  Barranglompo.  Nilai  penutupan  lamun  total  tertinggi
10 20
30 40
50 60
P enut
upa n
R ela
tif
Spesies Lamun
Stasiun A Stasiun B
Stasiun C
5 10
15 20
25 30
35 40
45
P enut
upa n
R ela
tif
Spesies Lamun
Stasiun A Stasiun B
Stasiun C