AKTIVITAS ANTROPOGENIK DI PULAU BARRANGLOMPO DAN BONEBATANG,

Penggunaan bubu sudah lama dilakukan oleh nelayan karena cara pembuatan dan pengoperasiannya mudah, biaya pembuatannya juga relatif murah sehingga sangat membantu nelayan yang bermodal kecil Husni 2009. Sebenarnya bubu termasuk alat tangkap yang cukup ramah lingkungan karena hanya menangkap ikan yang ukurannya sudah cukup besar, namun penempatan alat ini beserta pemberatnya di dasar perairan yang ditumbuhi vegetasi lamun dapat mengganggu bahkan mematikan lamun yang ditutupinya. Gambar 16 Alat perangkap ikan bubu yang dipasang nelayan di daerah padang lamun Pulau Barranglompo Praktek Lapang Mahasiswa Pulau Barranglompo yang merupakan tempat stasiun lapang ilmu kelautan mendapat kunjungan yang cukup intensif dari mahasiswa, dosen maupun peneliti dari berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan bidang kelautan seperti biologi, fisika, kimia, geologi, perikanan, sosial ekonomi, dan antropologi maritim. Kegiatan praktek lapang merupakan aktivitas yang rutin dilaksanakan setiap semester di pulau ini. Mahasiswa yang berkunjung ke pulau ini berasal dari beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta di Kota Makassar dan sekitarnya. Gambar 17 memperlihatkan aktivitas sekelompok mahasiswa yang melakukan kegiatan pengumpulan sampel biota laut di pantai. Aktivitas ini dapat mempengaruhi padang lamun dan biota asosiasinya melalui pengumpulan sampel untuk herbarium dan pengambilan biota ornamen untuk asesori akuarium. Aktivitas ini juga bisa menyebabkan kerusakan fisik terhadap lamun melalui injakan kaki trampling. Gambar 17 Aktivitas praktek lapang mahasiswa di pantai Aktivitas Antropogenik di Pulau Bonebatang Meskipun Pulau Bonebatang tidak berpenghuni, namun setiap saat mendapat kunjungan dari nelayan yang melakukan aktivitas seperti tercantum pada Tabel 7. Tabel 7 Aktivitas antropogenik yang dijumpai di Pulau Bonebatang No. Jenis Aktivitas Dampak terhadap Lamun 1. Persinggahan perahu nelayan Kerusakan fisik lamun oleh jangkar baling-baling, pencemaran perairan oleh tumpahan minyak 2. Pengambilan pasir Meningkatnya kekeruhan akan mengurangi cahaya yang tersedia untuk fotosintesis lamun Persinggahan Perahu Nelayan Pulau Bonebatang biasa disinggahi oleh nelayan yang biasanya mencari ikan atau biota laut lainnya menggunakan perahu jenis jolloro dan katinting. Di pulau ini, nelayan biasanya beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan. Nelayan yang singgah di pulau ini juga kadang mempraktekkan cara penangkapan ikan yang merusak destructive fishing seperti menggunakan bom ataupun sianida, ataupun menangkap biota yang dilindungi seperti kima Tridacna spp. Aktivitas ini sering dijumpai selama penelitian ini. Pengambilan Pasir Aktivitas pengambilan pasir di Pulau Bonebatang marak dilakukan dalam beberapa tahun terakhir. Nelayan yang menambang pasir dari daratan pulau ini berasal dari pulau-pulau sekitarnya terutama dari Pulau Barranglompo . Pasir yang diambil dari pulau ini digunakan sebagai bahan bangunan. Aktivitas ini berlangsung bebas karena tidak adanya penduduk yang mendiami pulau ini. Disamping itu mereka juga berdalih kalau sudah mendapatkan izin dari Kepala Kelurahan Barranglompo yang membawahi Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang. Aktivitas pengambilan pasir ini kemungkinan berkontribusi terhadap tenggelamnya pulau ini, dimana sebelumnya terdapat pohon, namun saat ini sudah hilang. Bila tidak segera dihentikan, Pulau Bonebatang kemungkinan akan tenggelam. Simpulan dan Saran Simpulan 1. Terdapat 9 jenis aktivitas yang teramati dilakukan oleh masyarakat di Pulau Barranglompo yaitu: transportasi kapalperahu, perbaikan kapalperahu, pembuangan sampah, pembuangan limbah cair rumah tangga, MCK, pengambilan batu karang, penimbunan pantai, pemasangan bubu dan kegiatan praktik lapang mahasiswa. 2. Di Pulau Bonebatang dijumpai 2 jenis aktivitas antropogenik yaitu persinggahan perahu nelayan dan pengambilan pasir. 3. Aktivitas-aktivitas yang berlangsung ini potensial mempengaruhi pertumbuhan dan kondisi ekosistem padang lamun di kedua pulau ini. Saran Diperlukan upaya-upaya untuk meminimalisir dampak negatif yang diakibatkan oleh aktivitas penduduk terhadap komunitas lamun dan biota yang berasosiasi dengannya. Misalnya pembuatan tempat pembuangan sampah, pengawasan terhadap aktivitas pengambilan karang dan pasir, maupun pembuatan jalur keluar masuknya perahu ke pantai.

5. DINAMIKA NUTRIEN PADA JARINGAN DAUN LAMUN Enhalus acoroides DAN KOLOM AIR

Abstrak Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk di daerah pesisir, tekanan terhadap ekosistem pantai semakin meningkat pula. Untuk mengetahui dampak dari aktivitas antropogenik terhadap status hara karbon, nitrogen dan fosfor pada lamun telah dilaksanakan penelitian pada dua pulau di Kepulauan Spermonde yakni Pulau Barranglompo dan Bonebatang. Kedua pulau ini mendapat tekanan antropogenik berbeda. Sampel diambil dari daun lamun Enhalus acoroides dan air permukaan pada tiga stasiun dengan jarak berbeda dari garis pantai pada masing-masing pulau. Analisis kandungan karbon pada daun lamun E. acoroides menunjukkan potensi stok karbon jenis ini di Pulau Barranglompo berkisar antara 29.03-61.53 ton, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 2.42-10.84 ton. Sementara itu, hasil pengukuran hara menunjukkan bahwa konsentrasi nitrogen di Pulau Barranglompo jauh lebih tinggi dibandingkan Pulau Bonebatang. Nilai rasio C:N yang lebih rendah dan nilai rasio N:P yang lebih tinggi di Pulau Barranglompo memperkuat hal ini. Perbedaan ini mengindikasikan pengaruh dari pengayaan hara akibat aktivitas antropogenik yang semakin meningkat. Hal ini didukung oleh hasil pengukuran hara pada kolom air dimana konsentrasi nitrat sangat berbeda nyata antara Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang p  0.01. Aktivitas antropogenik yang paling potensial mempengaruhi komposisi hara di Pulau Barranglompo adalah pembuangan sampah rumah tangga dan aliran limbah cair dari rumah penduduk di sekitar pantai. Kata kunci: antropogenik, Barranglompo, Bonebatang, hara, lamun, rasio C:N:P Abstract As human population increase in coastal areas, significant pressure to the coastal ecosystem increase as well. In order to reveal possible impacts of anthropogenic activities to the nutrient status of seagrasses, a study has been done in two small islands within Spermonde Archipelago i.e. Barranglompo and Bonebatang Islands. Currently, these two islands are facing different anthropogenic pressure. Samples of seagrass Enhalus acoroides and surface water were collected from three stations based on their different distances from the shoreline. Analysis of carbon contents of seagrass E. acoroides showed that this species contributed to carbon stocks as much as 29.03-61.53 ton in Barranglompo Island, while in Bonebatang Island, the values ranged between 2.42-10.84 ton. Meanwhile, results of the nutrient measurements showed that nitrogen concentration of Barranglompo Island was significantly higher than that of Bonebatang Island. This was supported by lower C:N and higher N:P ratios of Barranglompo Island and significant different nitrate content of surface water between Barranglompo and Bonebatang Islands p  0.01. These differences indicated the influence of nutrient enrichment due to the increased anthropogenic activities. Potential anthropogenic activities affecting nutrient composition of Barranglompo Island were domestic sewage disposal and liquid household sewage drain. Keywords: anthropogenic, Barranglompo, Bonebatang, C:N:P ratio, nutrient, seagrass Pendahuluan Lingkungan perairan tropis dicirikan oleh kadar nutrien yang rendah Hemminga Duarte 2000. Namun, pengayaan nutrien yang cukup signifikan terjadi secara luas akibat meningkatnya aktivitas antropogenik Lapointe et al. 2004. Sebagai contoh, aktivitas manusia termasuk dari sumber langsung point source seperti limbah perkotaan, pemukiman dan pencemaran industri serta dari sumber tidak langsung non-point source seperti dari pencemaran limbah pertanian telah mengalirkan limbah bahan kaya nutrien ke lingkungan pantai Havens et al. 2001. Secara global, fiksasi nitrogen oleh aktivitas manusia telah meningkat sampai tiga kali lipat sejak 1960 dan pembuangan limbah nitrogen ke aliran sungai telah meningkat dua kali lipat dalam dua abad terakhir Newton et al . 2003; Heck et al. 2006. Hal yang sama terjadi juga pada nutrien fosfor dari sumber pertanian dan detergen yang meningkat sejak tahun 1950an dengan peningkatan yang dramatis dalam dua dekade terakhir Newton et al. 2003. Kadar nutrien pada jaringan daun lamun merupakan hasil dari keseimbangan antara ketersediaan nutrien dan kebutuhan akan nutrien Mellors et al . 2005; Terrados Medina-Pons 2011. Kebutuhan nutrien untuk lamun lebih rendah dibanding organisme akuatik yang lain seperti makroalgae dan fitoplankton Alongi 1998. Diperkirakan bahwa lamun membutuhkan empat kali lebih sedikit nitrogen dan fosfor per bobot tubuh dibandingkan dengan sel-sel fitoplankton, bahkan Romero et al. 2006 menyatakan bahwa lamun membutuhkan 8 -50 kali lebih sedikit nitrogen dan 1.5 – 100 kali lebih sedikit fosfor untuk pertumbuhan hariannya dibanding makroalgae dan fitoplankton. Akses terhadap nutrien baik yang berasal dari kolom air maupun sedimen merupakan adaptasi yang penting yang memungkinkan lamun bertahan dan menyaingi makroalgae Hemminga Duarte 2000; Kaldy 2009. Resorpsi internal N dan P dari daun yang tua dapat memenuhi sebagian kebutuhan nutrien lamun Kaldy 2009. Lebih dari itu, lamun mempunyai kemampuan untuk mendaur ulang nutrien secara efisien de Boer 2007. Hal ini memberi lamun keuntungan untuk tumbuh pada lingkungan yang miskin nutrien dibanding produsen primer lainnya Hemminga Duarte 2000; Romero et al. 2006; Kaldy 2009. Lamun dapat mengambil nutrien baik dari kolom air maupun sedimen, oleh karena itu, kadar nutrien pada jaringan daun lamun dapat menggambarkan ketersediaan nutrien pada lingkungan Alongi 1998; Lee et al. 2004; Evrard et al. 2005. Stoikiometri unsur elememental stoichiometry dan pola spasial pada kadar unsur produsen primer telah terbukti sebagai integrator dan indikator proses-proses ekologis yang baik Fourqurean Zieman 2002. Analisis stoikiometri juga berguna dalam mempelajari interaksi spesies dan hubungan tropik di antara berbagai komponen lingkungan perairan Elser Hassett 1994. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kadar karbon, nitrogen dan fosfor yang tertahan dalam jaringan daun lamun tropis E. acoroides di Pulau Barranglompo dan Bonebatang, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Jenis E. acoroides merupakan lamun yang memiliki ukuran terbesar di antara lamun yang hidup di Indonesia Tomascik et al. 1997 dan memiliki sebaran yang luas. Pulau Barranglompo dan Bonebatang dipilih sebagai lokasi penelitian atas pertimbangan tekanan antropogenik berbeda yang terjadi di kedua pulau kecil ini. Barranglompo saat ini dihuni oleh lebih dari 5000 jiwa, sedangkan Bonebatang merupakan pulau yang tidak berpenghuni. Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober 2010 sampai Mei 2011 pada dua pulau kecil dalam gugus Kepulauan Spermonde di Sulawesi Selatan yakni Pulau Barranglompo 5 o 02’ 44.28‖- 5 o 03’ 05.65‖ S, 119 o 19’ 38.56‖- 119 o 19’ 52.27‖ E dan Pulau Bonebatang 5 o 00’ 47.46‖- 5 o 00’ 51.82 S, 119 o 19’ 35.55‖- 119 o 19’ 36.71‖ E. Sampel daun lamun Enhalus acoroides diambil dari tiga stasiun pada setiap pulau. Stasiun A berlokasi pada daerah pantai yang berdekatan dengan pantai dimana lamun pertama kali dijumpai, stasiun B terletak sekitar 100 m dari garis pantai, dan stasiun C berada sekitar 200 m dari garis pantai dimana lamun terluar dijumpai. Pada setiap stasiun, tiga kuadrat lamun 0.01 m 2 dipasang secara acak. Analisis nutrien dilaksanakan di Laboratorium Kimia Oseanografi, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Pengambilan Sampel dan Pengukuran Nutrien Daun Lamun Sampel daun lamun E. acoroides dipilih dari daun yang lengkap dan sehat. Sampel disimpan dalam cool box yang diisi es batu pada saat pengangkutan ke laboratorium. Di laboratorium, daun lamun disortir lalu dikerik secara perlahan menggunakan scalpel dan dibilas di bawah air kran untuk menghilangkan epifit algae dan hewan kecil yang menempel. Daun-daun tersebut lalu dikeringkan sampai bobotnya konstan selama 24-48 jam pada suhu 60 C dan dihomogenkan dengan menumbuk menjadi bubuk halus. Karbon organik total ditentukan dengan metode Wakley dan Black Schumacher 2002, nitrogen ditentukan menggunakan metode Kjeldahl Amin Flowers 2004, sedangkan fosfor dianalisis menggunakan metode estrak HCl 25 Johengen 1996. Kadar unsur ditentukan berdasarkan bobot kering, sedangkan rasionya dihitung atas dasar mol:mol. Untuk pengukuran klorofil-a, 500 mg potongan daun lamun dimasukkan dalam lumpang. Sebanyak 20 ml aseton 80 ditambahkan ke dalam lumpang dan ditumbuk sekitar 5 menit. Cairan yang telah halus dimasukkan dalam corong Buchner dan disaring melalui kertas saring Whatman no. 1. Kemudian ekstrak disaring menggunakan sedotan. Ampas kembali ditumbuk dan ditambahkan 15 ml aseton 80 . Setelah 5 menit, ekstrak kedua digabung ke dalam labu bersama dengan ekstrak pertama. Untuk memudahkan perhitungan jumlah klorofil yang ada, volume akhir filtrat diatur ke 50 ml dengan menambahkan aseton 80 yang cukup. Prosedur di atas mengikuti Bajracharya 2003. Analisis Klorofil ‐a menggunakan metode Aseton Spectrofotometric,. Kandungan klorofil ‐a dapat diukur dengan menggunakan Spektrofotometer pada panjang gelombang 664, 647, dan 630 nm. Metode ini mengacu pada Clesceri et al. 1998, dengan prosedur analisis sebagai berikut : Hasil saringan dimasukkan pada tabung centrifuge, selanjutnya disentrifugasi pada suhu kamar selama 15 menit. Kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 664, 647, 630 nm. Perhitungan konsentrasi klorofil ‐a dilakukan dengan menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Clesceri et al. 1998. Klorofil ‐ a C = 11.85 E664 – 1.54E647 – 0.08 E 630 mgm 3 Klorofil ‐a = V x10 C xVa Dengan : Va = Volume Aseton; V = Volume air contoh; C = Hasil absorban maksimal pada tiap panjang gelombang; 10 = Ketetapan standar Pengambilan Sampel dan Pengukuran Kadar Nutrien Kolom Air Sampel air laut untuk analisis nitrat dan fosfat diambil langsung menggunakan botol sampel pada kolom air di daerah padang lamun. Botol-botol sampel yang berisi air laut disimpan dalam cool box dan diberi es untuk dibawa ke laboratorium. Penentuan nitrat dalam air laut didasarkan pada metode yang dilakukan dengan metode reduksi asam askorbat Strickland Parsons 1984. Nitrat dalam sampel air laut direduksi terlebih dahulu menjadi nitrit dengan cara mengalirkannya ke dalam kolom gelas berisi butiran kadmium yang telah dicuci dengan larutan tembaga sulfat, nitrit yang terbentuk kemudian didiazotisasikan dengan sulfanilamid dan N-1-naftil-etilen diamin menghasilkan larutan merah diazo yang absorbansinya dapat diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 543 nm menggunakan spektrofotometer shimadzu UV-1201. Penentuan fosfat dalam air laut juga didasarkan pada metode yang dilakukan oleh Strickland dan Parsons 1984. Sampel air laut direaksikan dalam suasana asam dengan reagen yang mengandung ammonium molibdat, asam askorbat dan kalium antomonil-tartrat. Senyawa kompleks yang terbentuk akan direduksi secara in-situ menghasilkan larutan berwarna biru dan absorbansinya diukur secara spektrofotometri pada panjang gelombang 885 nm menggunakan spektrofotometer shimadzu UV-1201. Hasil dan Pembahasan Konsentrasi Nutrien Konsentrasi nutrien rata-rata ± sd pada daun lamun E. acoroides sebagai bobot kering di Pulau Barranglompo adalah 34.77 ± 2.41 karbon C, 2.42 ± 0.22 nitrogen N, dan 0.15 ± 0.02 fosfor P, sedangkan di Pulau Bonebatang adalah 34.62 ± 4.04 karbon, 1.75 ± 0.47 nitrogen, dan 0.14 ± 0.03 fosfor. Kadar karbon di kedua pulau hampir sama, namun di Pulau Bonebatang, nutrien memperlihatkan variabilitas yang sedikit lebih tinggi Gambar 18. Nitrogen adalah satu-satunya nutrien yang secara nyata berbeda di antara kedua pulau p = 0.0017. Gambar 18 Kadar rata-rata ± sd karbon, nitrogen dan fosfor sebagai bobot kering daun lamun E. acoroides pada setiap stasiun. BL = Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun Duarte 1990 mengkompilasi data pustaka dari berbagai spesies lamun dari seluruh dunia dan menemukan bahwa konsentrasi C, N, dan P lamun rata- rata sebagai bobot kering adalah berturut-turut 33.6, 1.92 dan 0.23. C dan N di Pulau Barranglompo dan C di Pulau Bonebatang lebih tinggi dibanding dengan nilai global ini. Tingginya nilai C di kedua pulau ini dipengaruhi oleh jenis sedimen yang menutupi dasar pantai di daerah ini. Menurut Erftemeijer 1994, daerah rataan terumbu intertidal di pulau-pulau ini ditutupi oleh pasir karbonat kasar pecahan karang 93 sampai 100 CaCO 3 yang berketebalan sekitar 30 cm. Sedimen yang kaya karbonat merupakan hal yang umum dijumpai pada daerah pantai tropis dan berasal dari pengikisan terumbu karang dan fragmentasi ataupun akumulasi komponen rangka organisme laut seperti molluska, echinodermata, foraminifera, dan algae berkapur Hemminga Duarte 2000. Bilamana laju pertumbuhan lamun secara potensial cukup tinggi untuk melampaui laju suplai nutrien, maka keterbatasan nutrien nutrient limitation akan terjadi Fourqurean Zieman 2002. Keterbatasan nutrien dapat terjadi pada kadar nitrogen di bawah 1.8 bobot kering dan kadar fosfor kurang dari 0.2 bobot kering Duarte 1990. Berdasarkan standar ini, nilai kadar nutrien yang didapatkan dalam daun E. acoroides Gambar 18 telah mengindikasikan level keterbatasan N ringan di Pulau Bonebatang, dan keterbatasan P di kedua pulau. Rendahnya konsentrasi P di kedua pulau disebabkan oleh sifat sedimen karbonat yang menyusun dasar di kedua pulau tersebut yang mempunyai kapasitas yang besar untuk mengikat P dan oleh karenanya itu menyebabkan keterbatasan P pada lamun di daerah tersebut Butler Jernakoff 1999; Hemminga Duarte 2000. Rasio C:N:P Tabel 8 merangkum nilai rata-rata rasio unsur-unsur pada setiap stasiun di kedua pulau. Nilai C:N dan N:P menunjukkan variabilitas yang signifikan antar stasiun p 0.05. Rasio C:N di Pulau Barranglompo lebih rendah daripada Pulau Bonebatang, sebaliknya, rasio, N:P di Pulau Barranglompo secara signifikan lebih tinggi dibanding Pulau Bonebatang. Tabel 8 Rasio C:N:P rata-rata pada daun lamun E. acoroides dari Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang Lokasi C:N C:P N:P C:N:P Barranglompo BLA 17.2 568 33 568:33:1 BLB 15.9 636 40 636:40:1 BLC 17.5 595 34 595:34:1 Bonebatang BBA 28.6 744 26 744:26:1 BBB 23.0 599 26 599:26:1 BBC 20.5 574 28 574:28:1 Penelitian-penelitian sebelumnya juga memperlihatkan variabilitas rasio C:N:P yang tinggi Tabel 9. Atkinson Smith 1983 mengalkulasi bahwa median rasio atom C:N:P untuk tumbuhan bentik seperti makroalgae dan lamun adalah sekitar 55 0:30:1. Rasio ini dianggap sebagai ―rasio Redfield lamun‖ Johnson et al., 2006 atau rasio Atkinson Baird Middleton 2004, dan nilainya jauh di atas rasio Redfield yang terkenal untuk fitoplankton yaitu 106:16:1. Lamun dan tumbuhan laut bentik lainnya mempunyai jumlah karbon struktural yang besar sehingga menghasilkan rasio yang lebih tinggi dibanding rata-rata fitoplankton Baird Middleton 2004; Johnson et al. 2006. Untuk lamun, rasio N:P di atas 30 dianggap sebagai bukti keterbatasan P dan rasio kurang dari 25-30 dianggap menunjukkan keterbatasan N Duarte 1990; Johnson et al. 2006. Rasio N:P rata-rata pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo berkisar antara 33-40 yang menunjukkan keterbatasan P, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 26-28 yang menunjukkan keterbatasan N ringan. Tabel 9 Komposisi rasio atom daun lamun dari penelitian-penelitian terdahulu pada berbagai lokasi Fourqurean et al. 1992 Spesies Lokasi C:P C:N N:P Referensi Amphibolis griffithii Australia Barat 535 27 20 Atkinson and Smith 1983 Amphibolis antartica Australia Barat 343 24 14 Walker and McComb 1988 Cymodocea nodosa Corsica 408 27 15 Atkinson and Smith 1983 Cymodocea serrulata Queensland 19 Birch 1975 C. serrulata Queensland 638 35 18 Atkinson and Smith 1983 Enhalus acoroides Queensland 16 Birch 1975 E. acoroides Queensland 444 25 18 Atkinson and Smith 1983 Halodule uninervis Queensland 13 Birch 1975 H. uninervis Queensland 623 35 18 Atkinson and Smith 1983 Halodule wrightii Teluk Florida 58 Powell et al. 1989 H. wrightii Texas 18 Pulich 1989 Phyllospadix scouleri California 509 21 24 Atkinson and Smith 1983 Posidonia australis Australia Barat 197 33 6 Walker and McComb 1988 Posidonia oceanica Corsica 956 25 39 Atkinson and Smith 1983 Posidonia ostenfeldia Australia Barat 1070 37 29 Atkinson and Smith 1983 Posidonia sinuosa Australia Barat 512 32 16 Atkinson and Smith 1983 Ruppia maritima Virginia 457 16 29 Atkinson and Smith 1983 R. maritima Texas 18 Pulich 1989 Syringodium isoetifolium Queensland Utara 13 Birch 1975 Syringodium filiforme Bahama 1390 30 47 Short et al. 1985 Thalassia hemprichii Queensland 599 22 27 Atkinson and Smith 1983 Thalassia testudinum Barbados 32 Patriquin 1972 T. testudinum Teluk Florida 44 Powell et al. 1989 Zostera capricornii Queensland 17 Birch 1975 Z. capricorni Queensland 302 34 9 Atkinson and Smith 1983 Zostera marina California 274 7 38 Atkinson and Smith 1983 Z. marina Virginia 584 14 41 Atkinson and Smith 1983 Z. marina Rhode Island 481 18 27 Atkinson and Smith 1983 Kadar N yang secara signifikan lebih tinggi di Pulau Barranglompo dibandingkan dengan Pulau Bonebatang oleh karena itu dapat digunakan sebagai petunjuk dini dari pengayaan nutrien akibat faktor antropogenik seperti yang berasal dari limbah cair dan padat Lapointe et al. 2004. Pengayaan nutrien eutrofikasi dari berbagai sumber seperti limbah rumah tangga, limbah pertanian dan industri, serta urbanisasi zona pantai mengakibatkan ancaman serius terhadap padang lamun di seluruh dunia Short et al. 1995; Alongi 1998; Burkholder et al. 2007. Jadi tidak mengherankan kalau padang lamun telah mengalami penurunan dalam dasawarsa terakhir Short Wyllie-Echeverria 1996. Lamun memiliki kemampuan untuk memodifikasi siklus nutrien musiman dengan menyimpan nitrogen selama periode pertumbuhan dan menyediakan kembali nutrien dari daun lama ke daun baru sebelum mengalami fase senescence Flindt et al. 1999. Dengan demikian konsentrasi nutrien pada jaringan lamun dapat digunakan sebagai alat untuk mengkaji ketersediaan nutrien untuk skala waktu yang cukup lama Fourqurean et al. 1992. Sebagai tambahan, lamun dapat digunakan sebagai indikator yang baik untuk ketersediaan nutrien pada ekosistem laut karena sifatnya yang menetap di substrat, dimana tumbuhan ini sering tumbuh pada daerah perairan yang rendah kadar nutriennya, dan kadar nutrien pada daun-daunnya merefleksikan ketersediaan relatif di lingkungannya Atkinson Smith 1983; Duarte 1990. Potensi Stok Karbon Padang lamun Stok karbon yang dihasilkan lamun jenis E. acoroides pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ditampilkan pada Gambar 19. Jenis lamun E. acoroides di Pulau Barranglompo menghasilkan karbon berkisar 106.15-224.96 gCm 2 , sedangkan di Pulau Bonebatang sebesar 49.15- 220.04 gCm 2 . Stok karbon di kedua pulau tidak berbeda nyata p = 0.2983. 0.0 50.0 100.0 150.0 200.0 250.0 BLA BLB BLC BBA BBB BBC Sto k K a rbo n g Cm 2 Stasiun Gambar 19 Stok karbon rata-rata lamun E. acoroides pada setiap stasiun. BL = Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun Dengan demikian E. acoroides di Pulau Barranglompo yang memiliki luas penutupan relatif rata-rata 46.48 Bab 7, pada area padang lamun seluas 58.85 ha Tahir 2010, maka stok karbon yang dihasilkan E. acoroides berkisar 29.03-61.53 ton atau antara 0.49 – 1.05 tonha. Sementara itu, dari luas padang lamun di Pulau Bonebatang sekitar 32 ha Priosambodo 2011, maka dengan luas penutupan relatif rata-rata jenis E. acoroides sebesar 15.39 Bab 7, diperkirakan memiliki potensi stok karbon berkisar antara 2.42-10.84 ton atau 0.08 – 0.34 tonha. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa lamun terutama jenis E. acoroides memiliki peranan sebagai karbon rosot carbon stock maupun sebagai penyerap karbon carbon sink. Meskipun produktivitas lamun hanya 1 dari produktivitas primer total di laut, tapi lamun berkontribusi sebesar 12 jumlah karbon total yang tersimpan dalam sedimen. Hal ini menunjukkan bahwa lamun memiliki peran penting dalam regulasi siklus karbon global Terrados Borum 2004. Klorofil-a Lamun Gambar 20 Klorofil-a rata-rata lamun E. acoroides pada setiap stasiun. BL = Pulau Barranglompo, BB = Pulau Bonebatang, A,B,C = stasiun 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 BLA BLB BLC BBA BBB BBC K lo ro fil -a m g m 3 Stasiun Nilai klorofil-a pada jaringan daun lamun E. acoroides Gambar 20 berkisar 5.14-17.38 mgm 3 di Pulau Barranglompo, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 3.76-10.03 mgm 3 . Nilai ini tidak berbeda nyata antar pulau p = 0.1125. Klorofil-a merupakan pigmen fotosintetik terpenting pada makrofita Castro Huber 2003. Sebarannya di perairan bervariasi disebabkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien yang terdapat dalam suatu perairan Nybakken 1992. Nilai klorofil-a yang lebih tinggi di Pulau Barranglompo dibandingkan di Pulau Bonebatang kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi nutrien di kedua pulau tersebut. Nitrat dan Fosfat Kolom Air Daerah Padang Lamun Konsentrasi nutrien nitrat dan fosfat pada kolom air daerah padang lamun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang ditampilkan pada Gambar 21. Gambar 21 Konsentrasi nitrat ± sd pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang Nilai konsentrasi nitrat di Pulau Barranglompo berkisar 0.013-0.057 mgl. Nilai konsentrasi nitrat tertinggi di pulau ini dijumpai pada stasiun A. Tingginya nilai nitrat di stasiun A disebabkan oleh banyaknya sampah rumah tangga yang menumpuk di stasiun ini. Di samping itu, stasiun ini juga mendapat pasokan nutrien melalui aliran limbah cair rumah tangga. Aktivitas antropogenik pada daratan meningkatkan pasokan nutrien ke perairan pantai yang dapat mengarah ke 0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 BLA BLB BLC BBA BBB BBC K o ns ent ra si N it ra t m g l Stasiun eutrofikasi pantai Lapointe et al. 1994; Newton et al. 2003. Indikasi ini mulai terlihat dari nilai konsentrasi nitrat di Pulau Barranglompo yang secara signifikan berbeda dengan yang didapatkan di Pulau Bonebatang p = 0.0025. Nilai konsentrasi nitrat di Pulau Bonebatang relatif lebih seragam antar stasiun dengan kisaran 0.011-0.028 mgl. Hal ini disebabkan tidak adanya pasokan dari aktivitas antropogenik di pulau tersebut. Nilai nitrat yang tinggi di Pulau Barranglompo menunjukkan bahwa kolom air di pulau tersebut teroksidasi dengan baik. Melalui proses nitrifikasi, amoniak teroksidasi menghasilkan nitrat Marba et al. 2006. Oksidasi amoniak ini akan menghasilkan nitrat yang tinggi Hemminga Duarte 2000. Gambar 22 Konsentrasi fosfat ± sd pada setiap stasiun di Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang Sementara itu, nilai konsentrasi fosfat di Pulau Barranglompo berkisar 0.011-0.077 mgl, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 0.019-0.039 mgl Gambar 22. Nilai konsentrasi fosfat di kedua pulau ini tidak berbeda secara nyata p = 0.6522. Nilai fosfat yang dijumpai di kedua pulau lebih tinggi dari Baku Mutu Air Laut sesuai SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu sebesar 0.015 mgl. Tingginya fosfat yang didapatkan terkait dengan sifat substrat di daerah tropissubtropis yang didominasi oleh sedimen karbonat. Peningkatan reduksi sulfat dan akumulasi sulfida dalam sedimen akan menurunkan adsorpsi P terhadap Fe dan meningkatkan pelepasan P ke kolom air McGlathery et al. 2007. 0.000 0.010 0.020 0.030 0.040 0.050 0.060 0.070 0.080 BLA BLB BLC BBA BBB BBC K o ns ent ra si F o sf a t m g l Stasiun Simpulan 1. Lamun Enhalus acoroides di Pulau Barranglompo memiliki potensi stok karbon berkisar 0.49-1.05 tonha, sedangkan di Pulau Bonebatang berkisar 0.08-0.34 tonha. 2. Konsentrasi nitrogen, rasio C:N dan N:P, serta nitrat kolom air yang tinggi di Pulau Barranglompo mengindikasikan adanya pengayaan nutrien akibat aktivitas antropogenik.