3. Gejala Perilaku Umumnya malu bertemu orang lain, suka melakukan kekerasan atau
menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat lain. Kondisi fisik dan psikis sedemikian ini jika tidak bisa dikendalikan oleh
individu sendiri, bahkan juga tidak bisa diperingan dengan bantuan medis dan psikiatri, maka menjadi semakin gawat dan pasti akan memperpendek umur
penderitanya. Berdasarkan teori di atas mengenai gejala post power syndrome yang disebutkan di atas, peneliti menggunakan gejala gejala yang sesuai dengan
pelaksaaan penelitian yaitu gejala post power syndrome dari Kartono bahwa gejala post power syndrome terdiri dari gejala fisik dan, gejala psikis.
2.1.3 Penyebab Post Power Syndrome
Sudah tidak bekerja menganggur, pensiun, tidak menjabat lagi dan lain lain oleh banyak individu dilihat sebagai insentif negatif paling parah dan paling
tidak diinginkan yang dapat menyebabkan post power syndrome. Menurut Kartono 2000: 234 penyebab post power syndrome ialah:
1 Individu merasa terpotong tersisih dari orbit resmi, yang sebenarnya ingin dimiliki dan dikuasai terus menerus
2 Individu merasa sangat kecewa, sedih, sengsara berkepanjangan, seolah olah dunianya lorong lorong buntu yang tidak bisa ditembus lagi.
3 Emosi emosi negatif yang sangat kuat dari kecemasan kecemasan hebat yang berkelanjutan itu langsung menjadi reaksi somatisme yang mengenai sistem
peredaran darah, jantung dan sistem syaraf yang sifatnya serius, yang bisa menyebabkan kematian.
Pengangguran atau kondisi menganggur memang mudah menimbulkan perasaaan “tidak berguna “, tanpa tempat berpijak, tanpa tanah air atau tanpa
rumah yang menyebabkan orang merasa sangat sengsara dan merasa malu sekali. Oleh karena itu para pensiunan yang biasanya energik dan kini menganggur,
mereka lebih suka mencari pekerjaan kesibukan apa saja, sekalipun kualitas pekerjaan dan gajinya tidak sebesar dulu.
Kegiatan tadi khususnya dipakai sebagai kompensasi bagi emosi emosi “kekosongan” dan untuk mendapatkan kelanjutan dari pengakuan status sosialnya.
Sebab setiap orang pasti menginginkan respek dan pengakuan dari lingkungannya. Setiap mantan yang masih merasa sehat dan kuat, juga masih suka
bekerja atau menyibukkan diri. Bekerja dipakai untuk menumbuhkan emosi “masih berguna”, rasa masih diperlukandibutuhkan oleh lingkungan dekatnya;
khususnya untuk menegakkan martabat dirinya. Sebenarnya yang menjadi kriterium pokok dalam kemunculan sindrom
purna kuasa itu bukan situasi dan kondisi kepensiunan atau mengangur itu sendiri, akan tetapi bagaimana caranya seseorang mantan menghayati atau merasakan
keadaan baru itu yaitu dengan perasaan lega, puas, bahagia, karena sudah melakukan semua tugas kenegaraan atau kewajiban kelembagaan dengan upaya
semaksimal mungkin, sehingga dia bisa merasakan kelegaan dan kebebasan. Individu sebaliknya merasakan peristiwa pensiun atau selesai tugas itu
dengan emosi emosi negatif yaitu dengan memberontak di batin sendiri, dengan agresi hebat, eksplosif meledak ledak, tidak bisa menerima keadaan baru, sangat
kecewa, dengan hati yang pedih terluka, dan emosi emosi tidak puas lainnya.
Perasaan perasaan negatif terutama keengganan menerima situasi baru dengan kebesaran jiwa, pasti menimbulkan banyak stress, keresahan batin,
konflik konflik jiwani, ketakutan, kecemasan, rasa inferior, apatis, melankolis, dan depresi serta macam macam ketidak puasasan lainnya. Jika semua itu
berlangsung berlarut larut, kronis berkepanjangan, maka jelas akan menyebabkan proses dementia kemunduran mental yang pesat dengan menyandang kerusakan
kerusakan pada fungsi fungsi organis alatbagian tubuh dan fungsi fungsi kejiwaan yang saling berkaitan dan kita kenal sebagai gejala post power
syndrome. Karakteristik perilaku yang muncul pada individu yang mengalami post
power syndrome adalah individu umumnya malu bertemu dengan orang lain karena merasa dirinya tidak berguna dan muncul perasaan inferior sebab individu
yang bersangkutan telah pensiun, tidak menjabat atau menganggur. Selain itu dapat pula muncul perilaku sebaliknya yaitu suka melakukan kekerasan atau
menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat lain. Setiati dkk, 2006: 18
2.1.4 Optimisme Sebagai Pencegah Penyebab Post Power Syndrome