7. Fase akhir the termination phase, peranan fase pensiun digantikan oleh
peran sebagai pesakitan atau peran tergantung karena individu dewasa lanjut tidak dapat berfungsi secara mandiri lagi dan mencukupi kebutuhannya
sendiri.
2.4 Pengaruh Optimisme Terhadap Post Power Syndrome
Individu yang mengalami gangguan post power syndrome berpandangan bahwa pekerjaan dan bekerja itu merupakan suatu kebutuhan dasar dan
merupakan bagian yang sangat penting dari kebutuhan manusia. Pekerjaan dan bekerja itu memberikan kesenangan dan arti tersendiri bagi kehidupan manusia.
Lingkungan itu sebagai sentrum sosial, sedangkan bekerja merupakan aktivitas sosial yang memberikan kepada individu penghargaan atau respek, status sosial
dan prestise sosial. Bekerja itu selain memberikan ganjaran material dalam bentuk gaji, kekayaan dan bermacam macam fasilitas material, juga memberikan ganjaran
sosial yang nonmaterial yaitu berupa status sosial dan prestise sosial. Sehingga kebanggan dan minat besar terhadap pekerjaan dengan segala pangkat, jabatan,
dan simbol kebesaran merupakan insentif yang kuat untuk mencintai suatu pekerjaan.
Sebaliknya tidak bekerja atau menjadi pengangguran, pensiun, tidak menjabat lagi, yang dialami oleh individu dianggap sebagai shock dan dianggap
sebagai kerugian dan aib yang memberikan rasa malu. “Pengangguran” tadi menimbulkan perasaan perasaan minder, perasaan tidak berguna, tidak
dikehendaki, dilupakan, tersisihkan, tanpa tempat berpijak dan seperti “tanpa rumah”. Ketika masih bekerja, dirinya merasa dihormati, disegani, dielu-elukan,
disanjung, pada waktu itu individu merasa “agung”, merasa berharga dan berguna, merasa dikehendaki dan dibutuhkan; disamping itu, individu masih mendapatkan
bermacam macam fasilitas material. Sekarang individu mengalami kekosongan tanpa arti dan merasa tidak berguna di mana individu sendiri belum siap untuk
menghadapi kenyataan seperti itu. Post power syndrome adalah reaksi somatisasi dalam bentuk sekumpulan
simptom penyakit, luka luka dan kerusakan kerusakan fungsi fungsi jasmani dan mental yang progresif , karena orang yang bersangkutan sudah tidak bekerja,
pensiun, tidak menjabat atau tidak berkuasa lagi. Simptom penyakit ini pada intinya disebabkan oleh banyaknya stress ketegangan, tekanan batin, putus asa,
rasa kecewa dan ketakutan yang menggangu fungsi fungsi organik dan psikis, sehingga mengakibatkan macam macam penyakit, luka luka dan kerusakan yang
progresif terus berkembang meluas Kartono, 2000:233. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Santoso Lestari 2008
berjudul peran serta keluarga pada lansia yang mengalami post power syndrome diketahui
bahwa persepsi
negatif mengakibatkan
lansia mengalami
ketergantungan dan pesimis terhadap diri sendiri dalam menjalani masa tuanya. Diperlukan dorongan dan komunikasi yang dilakukan dari keluarga kepada lansia
sehingga pesepsi negatif dan rasa pesimis terhadap diri sendiri pada lansia dapat dihindari.
Kriterium pokok dalam kemunculan sindrom purna kuasa itu bukan situasi dan kondisi kepensiunan atau pengangguran itu sendiri, akan tetapi bagaimana
caranya seorang pensiunan menghayati atau merasakan keadaan baru itu; yaitu
dengan perasaan lega, puas, dan bahagia. Sebaliknya jika pensiunan merasakan peristiwa pensiun itu dengan emosi emosi negatif, terutama keengganan menerima
situasi baru, pasti menimbulkan banyak stres, ketakutan, kecemasan, rasa inferior, apati, melankoli dan depresi Kartono, 2000:236. Post power syndrome juga
terjadi bukanlah karena situasi pensiun atau menganggur tersebut, melainkan bagaimana cara individu menghayati dan dan merasakan keadaan baru tersebut
Semiun, 2010:502. Erikson mengungkapkan bahwa, perkembangan psikososial manusia
dibagi menjadi 8 tahapan, ketika individu yang telah memasuki masa pensiun dan sudah berada pada kategori dewasa akhir maka dapat digolongkan pada tahapan
perkembangan integritas Ego dan putus asa. Menurut Erikson Salkind, 2009: 206 pada tahap ini individu yang sehat mampu memandang kembali tahun
tahunnya yang telah lalu, apapun hal yang terjadi pada masa masa itu dan ia merasa puas. Individu yang dalam tahap ini tidak bisa memandang hidupnya
sebagai hal yang berarti, dengan rasa putus asa akan mencoba mengejar waktu yang tersisa. Individu seperti itu akhirnya menyadari bahwa kenyataan ternyata
tidak berlangsung seperti yang ia kehendaki dan rasa hampa yang berlangsung pada saat itu pun berlanjut, dalam kasus seperti itu rasa putus asa bisa berkembang
dalam dirinya. Apabila perkembangan psikososial mengarah pada perasaan putus asa
akan berkembang menjadi berbagai macam perasaan seperti kecewa, bingung, kesepian, ragu-ragu, khawatir, takut, putus asa, ketergantungan, kekosongan, dan
kerinduan. Symptom-symptom tadi akan berkembang menjadi post power
syndrome. Dibutuhkan rasa optimisme dalam menjalani masa dewasa akhir, agar dapat menikmati kehidupan di hari ini dengan penuh ketenangan, penuh harapan,
dan bahagia menimati masa istirahatnya setelah menjalani masa kerja selama bertahun tahun. Dibutuhkan sikap optimis yaitu keyakinan bahwa segala hal yang
bersifat negatif yang dialami individu akan segera hilang, dan perasaan positif akan selalu dalam diri individu.
Individu dewasa lanjut yang memiliki penyesuaian diri paling baik terhadap pensiun adalah yang sehat, memiliki pendapatan yang layak, aktif,
berpendidikan baik, memiliki relasi sosial yang luas termasuk diantaranya teman teman keluarga dan biasanya puas dengan kehidupan sebelum pensiun. Palmore,
1985 dalam Santrock, 2002:229. Masa pensiun kaitannya dengan kesehatan indvidu ini dipengaruhi oleh bagaimana individu memandang masa pensiun
dengan pola pikirnya masing masing. Apabila individu menganggap kondisi fisik atau penyakit yang di deritanya itu sebagai hambatan besar dalam menatap hidup
akibat pensiun, maka individu akan mengalami masa pensiun dengan penuh kesulitan Setiati dkk, 2006: 12.
2.5 Kerangka Berpikir