3.12. Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan data yang terkumpul dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS dengan tingkat kemaknaan P 0.05. Untuk membandingkan
kualitas hidup anak palsi serebral yang mendapat terapi fisik lebih dari 10 bulan dan kurang dari 10 bulan digunakan uji t independen dan uji Mann-
Whitney. Untuk membandingkan tingkat gangguan motorik anak palsi serebral sebelum dan setelah terapi fisik digunakan uji marginal homogeinity.
Universitas Sumatera Utara
BAB 4. HASIL
Sampel diperoleh dari anak penderita palsi serebral yang mendapat terapi fisik di Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP Haji Adam Malik, RSUD dr.
Pirngadi, Yayasan Pendidikan Anak Cacat YPAC Medan. Pada ketiga tempat ini hanya didapatkan 47 anak 16 anak dari RSUP Haji Adam Malik, 4
anak dari RSUD dr.Pirngadi Medan, 27 anak dari YPAC. Untuk memenuhi jumlah sampel, kami melakukan penelitian terhadap anak palsi serebral yang
mendapat terapi fisik di tempat atau klinik swasta lain di Kota Medan seperti Kidcare children therapy center, Althaf home care, pusat rehabilitasi medik
RS dr. Rusdi Medan. Diperoleh sampel 73 anak palsi serebral yang terdiri dari 38 anak yang mendapat terapi fisik lebih dari 10 bulan dan 35 anak yang
mendapat terapi fisik kurang dari 10 bulan. Dari 73 anak palsi serebral, 13 anak dieksklusikan dari penelitian ini
karena 4 anak berusia di bawah 4 tahun, 6 anak berusia di atas 12 tahun, 3 anak mendapat terapi anti spastisitas. Dari 60 anak yang memenuhi kriteria
inklusi dibagi menjadi dua kelompok yaitu: kelompok pertama yang terdiri dari 30 anak penderita palsi serebral yang mendapat terapi fisik 10 bulan atau
lebih dan kelompok kedua yang terdiri dari 30 anak palsi serebral yang mendapat terapi fisik kurang dari 10 bulan Gambar 4.1.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.1. Profil penelitian Rata-rata usia pada kelompok I adalah 9.7 tahun dan pada kelompok
II adalah 6.9 tahun. Responden terbanyak berjenis kelamin laki-laki pada kelompok I yaitu 17 anak 56.7, sedangkan pada kelompok II
perbandingan laki-laki dan perempuan sama. Status gizi dan lingkar kepala terbanyak pada kedua kelompok responden adalah normal. Tingkat
pendidikan orang tua responden yang terbanyak adalah SMA Tabel 4.1.
73 anak palsi serebral yang mendapat terapi fisik
13 anak dieksklusikan : 4 anak berusia 4 tahun
6 anak berusia 12 tahun 3 anak mendapat obat anti
spastisitas
60 anak yang memenuhi kriteria inklusi
Kelompok I Anak palsi serebral yang
mendapat terapi fisik ≥ 10
bulan n=30 Kelompok II
Anak palsi serebral yang mendapat terapi fisik 10
bulan n=30 Orangtua mengisi kuisioner
penilaian kualitas hidup CP QOL-Child
Orangtua mengisi kuisioner penilaian kualitas hidup
CP QOL-Child
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.1 Data demografi sampel penelitian
Karakteristik responden Kelompok I
n = 30 Kelompok II
n = 30
Jenis Kelamin, n Laki-laki
17 56.7 15 50
Perempuan 13 43.3
15 50 Umur tahun, mean SD
9.7 2.45 6.9 1.74
Berat badan kg, mean SD 26 9.11
19.3 4.98 Tinggi badan cm, mean SD
126.0 15.28 110.8 20.09
BBTB , mean SD 95.9 10.48
93.0 6.48 Status Gizi, n
Gizi normal 16 53.3
21 70 Malnutrisi ringan
8 26.7 9 30
Malnutrisi sedang 1 3.3
- Gizi lebih
5 16.7 -
Lingkar kepala cm, mean SD 50.8 2.74
48.9 3.76 Lingkar kepala, n
Normal 18 60
18 60 Mikrosefali
9 30 11 36.7
Makrosefali 3 10
1 3.3 Status imunisasi anak, n
Lengkap 26 86.7
29 96.7 Tidak lengkap
4 13.3 1 3.3
Pendidikan ayah, n SD
3 10 1 3.3
SLTP 1 3.3
1 3.3 SLTA
17 56.7 15 50
S1 9 30
13 43.3 Pendidikan ibu, n
SD 3 10
1 3.3 SLTP
1 3.3 5 16.7
SLTA 18 60
14 46.7 S1
8 26.7 10 33.3
Pekerjaan ayah, n Wiraswasta
21 70 13 43.3
Buruhtani -
2 6.7 PNS
3 10 2 6.7
Pegawai swasta 5 16.7
11 36.7 Profesional
1 3.3 -
TNIPolri -
2 6.7 Pekerjaan ibu, n
Wiraswasta 2 6.7
3 10 PNS
4 13.3 6 20
Pegawai swasta 2 6.7
2 6.7 Profesional
1 3.3 -
Ibu rumah tangga 21 70
19 63.3
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.2 Data neurologi sampel penelitian
Karakteristik responden Kelompok I n =30
Kelompok II n = 30
Klasifikasi fisiologis, n Spastik
22 73.3 23 76.7
Hipotoni 7 23.3
6 20 Atonia
1 3.3 1 3.3
Klasifikasi topografi, n Hemiplegi
- 1 3.3
Diplegi 13 43.3
8 26.7 Tetraplegi kuadriplegi
17 56.7 21 70
Usia pertama kali didiagnosis, n 2 tahun
16 53.3 11 36.7
2 tahun 9 30
15 50 Tidak tahu
5 16.7 4 13.3
Gangguan lain, n Bicara
14 46.7 22 73.3
Bicara melihat 1 3.3
3 10 Bicara mendengar
3 10 4 13.3
Tidak ada 12 40
1 3.3 Memerlukan alat bantu khusus, n
Ya 25 83.3
21 70 Tidak
5 16.7 9 30
Jenis alat bantu khusus, n Tongkat khusus
3 10 -
Kursi roda 8 26.7
2 6.7 Sepatu khusus
5 16.7 7 23.3
Splint 3 10
6 20 Tidak ada
11 36.7 15 50
Tingkatan IQ anak, n Average
1 3.3 -
Low average 6 20
- Borderline mental retardation
5 16.7 -
Mild mental retardation 6 20
- Moderate mental retardation
5 16.7 1 3.3
Tidak dapat diperiksa 7 23.3
29 96.7
Tabel 4.2 menunjukkan data neurologi anak palsi serebral dimana pada kedua kelompok didapatkan: tipe gangguan motorik yang paling banyak
ditemukan adalah spastik tetraplegi kuadriplegi. Selain gangguan fisik, gangguan lain yang paling banyak ditemukan adalah gangguan bicara.
Sekitar 50 responden pada kelompok I diagnosis pertama kali ditegakkan
Universitas Sumatera Utara
pada usia kurang dari 2 tahun dan pada kelompok II pada usia lebih dari 2 tahun. Hasil penelitian menunjukkan 83.3 pada kelompok I dan 70 pada
kelompok II responden memerlukan alat bantu khusus. Tingkatan IQ responden pada kelompok I terbanyak adalah low average dan mild mental
retardation, 20 responden tidak dapat dilakukan pemeriksaan. Sedangkan pada kelompok II hanya 1 anak yang dapat dilakukan pemeriksaan IQ.
Tabel 4.3 Data dasar terapi fisik
Karakteristik responden Kelompok I n =30
Kelompok II n = 30
Lama terapi fisik bulan, mean SD 35.7 19.37
4.2 3.13 Frekuensi terapi fisikminggu, n
1 kali 1 3.3
- 2 kali
3 10 -
3 kali 15 50
22 73.7 4 kali
11 36.7 8 26.7
Motorik sebelum terapi, n GMFCS II
1 3.3 5 16.7
GMFCS III 9 30
9 30 GMFCS IV
15 50 10 33.3
GMFCS V 5 16.7
6 20 Motorik setelah terapi, n
GMFCS I 2 6.7
GMFCS II 19 63.3
9 30 GMFCS III
9 30 10 33.3
GMFCS IV -
6 20
Rata-rata lama terapi fisik pada kelompok I adalah 35.7 bulan dan pada kelompok II adalah 4.2 bulan dengan frekuensi terapi fisik paling sering yaitu
3 kali dalam seminggu pada kedua kelompok sampel. Kemampuan motorik kasar sebelum dilakukan terapi fisik paling banyak adalah GMFCS IV pada
kedua kelompok, sedangkan setelah diberikan terapi fisik kemampuan
Universitas Sumatera Utara
motorik kasar terbanyak adalah GMFCS II pada kelompok I dan GMFCS II dan III pada kelompok II tabel 4.3.
Tabel 4.4 Perbedaan tingkatan motorik sebelum dan setelah terapi pada kelompok I
Tingkatan motorik setelah terapi P
GMFCS I GMFCS II GMFCS III Tingkatan
motorik sebelum
terapi GMFCS II
1 50 0.0001
GMFCS III 1 50
8 42.1 GMFCS IV
9 47.4 6 66.7
GMFCS V 2 10.5
3 33.3
Dengan menggunakan uji marginal homogeneity pada tabel 4.4 ditemukan perbedaan yang signifikan tingkatan motorik anak sebelum dan setelah
terapi fisik P = 0.0001, P 0.05 pada kelompok I. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkatan motorik kasar sebelum terapi terbanyak pada
tingkat IV yaitu sebanyak 15 responden. Namun, setelah diberikan terapi, umumnya tingkatan motorik berada pada tingkat II yaitu sebanyak 19
responden.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.5 Perbedaan tingkatan motorik sebelum dan setelah terapi pada kelompok II
Tingkatan motorik setelah terapi P
GMFCS II
GMFCS III
GMFCS IV
GMFCS V
Tingkatan motorik
sebelum terapi
GMFCS II 5 55.6
0.002 GMFCS III
4 44.4 5 50
GMFCS IV 5 50
5 83.3 GMFCS V
1 16.7 5 100
Dengan menggunakan uji marginal homogeneity pada tabel 4.5 ditemukan perbedaan yang signifikan tingkatan motorik sebelum dan setelah terapi P =
0.02, P 0.05 pada kelompok II. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkatan motorik sebelum terapi kebanyakan pada tingkat III dan IV yaitu
sebanyak 9 dan 10 responden. Namun, setelah diberikan terapi, umumnya tingkat gangguan motorik berada pada tingkat II dan III yaitu sebanyak 9 dan
10 responden.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.6 Perbedaan skor kualitas hidup anak palsi serebral pada kedua kelompok
Skor Kelompok I
n = 30 Kelompok II
n = 30 P
95 CI Kemampuan sosial
dan penerimaan, mean SD
82.5 8.34 52.3 8.46
0.0001
a
25.94 – 34.62
Partisipasi dan kesehatan fisik
80.8 7.52 44.3 10.56
0.0001
a
31.81 – 41.29
Status fungsional 69.3 5.30
42.3 9.37 0.0001
b
- Emosi
82.2 10.51 41.9 16.14
0.0001
b
- Nyeri dan dampak
kecacatan 71.9 9.44
39.1 8.52 0.0001
a
33.32 – 42.62
Akses ke tempat pelayanan kesehatan
81.9 6.03 53.9 8.14
0.0001
b
- Kesehatan keluarga
88.7 6.19 65.3 9.81
0.0001
b
- Total
79.6 5.73 47.7 6.85
0.0001
a
28.66 – 35.18
a
Uji t independent,
b
Uji Mann whitney Tabel 4.6 menampilkan perbedaan skor kualitas hidup anak palsi serebral
pada kedua kelompok responden. Dari uji statistik menggunakan uji t independent dan Mann whitney diperoleh bahwa seluruh komponen kualitas
hidup menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok responden P = 0.0001, P 0.05. Begitu pula untuk skor total kualitas hidup
juga menunjukkan perbedaan yang signifikan P = 0.0001
Universitas Sumatera Utara
BAB 5. PEMBAHASAN
Palsi serebral dijelaskan sebagai gangguan perkembangan motorik dan bentuk tubuh akibat hambatan fungsi yang dikaitkan dengan gangguan non
progresif yang terjadi pada perkembangan otak janin atau anak.
37
Palsi serebral sering diikuti dengan gangguan neurologi yang lain seperti retardasi
mental, gangguan pendengaran, dan gangguan berbicara.
2
Penelitian yang dilakukan oleh Pfeifer dkk terhadap 100 anak palsi serebral di Brasil tahun 2009 didapati tipe palsi serebral secara fisiologi yang
paling banyak adalah spastik 80 dan secara topografi yang terbanyak adalah kuadriplegi tetraplegi 52.
38
Hasil yang sama diperoleh dari penelitian ini dimana lebih dari 70 responden pada kedua kelompok
termasuk dalam tipe spastik kuadriplegi. Sedangkan gangguan penyerta lain yang paling banyak ditemukan adalah gangguan bicara.
Gangguan motorik pada anak palsi serebral merupakan penyebab utama berkurangnya partisipasi dan aktivitas fisik anak.
39
Terapi fisik sebagai salah satu tatalaksana palsi serebral memegang peranan penting dalam
memperbaiki fungsi motorik. Terapi fisik yang diberikan terhadap anak palsi serebral merupakan bagian dari terapi bobath atau yang dikenal juga dengan
neurodevelopmental therapy NDT berupa latihan peregangan, penguatan, dan pengaturan posisi.
40
Dalam suatu review oleh Tsoi dkk dikatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
terapi fisik pada anak palsi serebral dapat berupa latihan kekuatan, latihan olahraga, dan terapi berkuda.
6
Terapi fisik pada anak palsi serebral bertujuan untuk memperbaiki struktur dan fungsi tubuh, sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan
partisipasi anak.
8
Penelitian yang dilakukan oleh The American Physical Therapy Association tahun 2007 menunjukkan bahwa latihan fisik dapat
mengurangi kondisi sekunder atau komplikasi pada anak palsi serebral, dapat membantu memperbaiki postur, tonus otot, dan keseimbangan.
41
Suatu sistematik review yang menganalisis 22 uji klinis intervensi terapi fisik terhadap anak palsi serebral, memperlihatkan efektifitas
menengah beberapa jenis terapi fisik untuk ekstremitas atas yang terbukti memperbaiki range of motion ROM dengan segera.
42
Penelitian yang dilakukan Sorsdahl dkk di Norwegia tahun 2010 terhadap 22 orang anak palsi
serebral yang diberikan terapi fisik secara intensif dengan durasi 3 jam tiap latihan, 5 hari dalam seminggu, selama 3 minggu terbukti dapat memperbaiki
kemampuan motorik dasar, meningkatkan kemandirian anak, dan mengurangi ketergantungan anak terhadap pengasuh dan alat bantu gerak.
8
Penelitian yang dilakukan Virginia Knox dkk di London, UK tahun 2002 terhadap 20 anak palsi serebral usia 2 sampai 12 tahun didapatkan hasil
bahwa pemberian terapi bobath selama 6 minggu efektif memperbaiki fungsi motorik anak.
43
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini memperlihatkan adanya perbaikan motorik kasar anak setelah mendapat terapi fisik. Pada kedua kelompok terjadi perubahan
tingkatan motorik kasar setelah mendapat terapi fisik yaitu dari GMFCS IV menjadi GMFCS II pada kelompok I dan dari GMFCS IV menjadi GMFCS III
pada kelompok II. Terapi fisik pada penelitian ini terbukti secara bermakna memperbaiki fungsi motorik anak palsi serebral.
Kualitas hidup didefinisikan oleh WHO sebagai persepsi subjektif individu terhadap posisi dirinya dalam kehidupan.
12
Penelitian Kualitas hidup anak palsi serebral hampir selalu tidak mungkin melalui laporan langsung dari
anak karena keterbatasan dalam komunikasi dan gangguan kognisi. Penilaian kualitas hidup anak palsi serebral yang berasal dari laporan anak
hasilnya sangat subjektif dan kurang akurat. Kesehatan mental anak menjadi faktor yang penting dalam hal ini.
44
Pada penelitian ini kuisioner diisi oleh orangtua. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan responden untuk
berkomunikasi dan sebagian besar responden mempunyai gangguan motorik yang berat yaitu GMFCS IV pada kedua kelompok yang diteliti.
Penilaian kualitas hidup anak palsi serebral dapat menggunakan beberapa instrumen spesifik antara lain: CP QOL-child, CPCHILD, PedsQL
3.0 CP module.
11,22
Penelitian ini menggunakan kuisioner CP QOL-child terhadap anak palsi serebral usia 4 sampai 12 tahun. Tujuh aspek yang
dinilai pada CP QOL-child yaitu: 1 Fungsi sosial dan penerimaan 2 Partisipasi dan kesehatan fisik 3 Status fungsional 4 Mental 5 Nyeri dan
Universitas Sumatera Utara
dampak kecacatan 6 Akses ke tempat pelayanan kesehatan 7 Kesehatan keluarga.
10,22
Aktivitas fisik diasumsikan mempunyai korelasi positif dengan kualitas hidup dan fungsi psikososial.
39
Penelitian yang dilakukan oleh Janssen dkk di Belanda tahun 2009 menunjukkan kualitas hidup anak palsi serebral lebih
rendah dibandingkan anak normal pada kelompok usia yang sama dikaitkan dengan gangguan motorik dan kesehatan mental yang dialami anak.
12
Namun pada penelitian case control yang dilakukan oleh Jeng dkk di Taiwan tahun 2013 terhadap 23 anak palsi serebral dengan GMFCS I,
dimana 11 anak diberikan terapi fisik secara rutin, dan 12 anak lainnya sebagai kontrol tidak mendapat terapi fisik, didapati hasil adanya perbaikan
daya tahan jantung dan paru, kekuatan otot, fleksibilitas, agilitas, dan keseimbangan yang bermakna pada kelompok kasus, namun tidak terdapat
perbedaan kualitas hidup yang bermakna antara kedua kelompok.
45
Penelitian longitudinal yang dilakukan Prudente dkk di Brasil tahun 2010 menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup dan fungsi motorik anak
palsi serebral setelah melakukan rehabilitasi selama 10 bulan.
13
Pada penelitian ini didapatkan hasil adanya perbedaan kualitas hidup secara bermakna antara kedua kelompok dimana pada kelompok anak palsi
serebral yang mendapat terapi fisik lebih dari 10 bulan kualitas hidup lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok yang mendapat terapi fisik kurang dari
Universitas Sumatera Utara
10 bulan. Perbedaan kualitas hidup tersebut terdapat pada ketujuh aspek yang dinilai dan skor total antara kedua kelompok.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Penelitian ini dilakukan secara cross-sectional sehingga tidak dapat diketahui perkembangan atau
perbaikan motorik kasar anak secara berkala. Tidak dapat diketahui frekuensi terapi fisik yang efektif dalam meningkatkan kualitas hidup anak palsi
serebral. Pemeriksaan IQ tidak dapat dilakukan terhadap seluruh responden penelitian oleh karena sebagian besar sampel termasuk dalam palsi serebral
yang berat sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan tes IQ.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan