Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan Anak

BAB II PROSEDUR PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK MELALUI PENETAPAN HAKIM DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH

A. Gambaran Umum Tentang Pengangkatan Anak

1. Pengertian dan Dasar Hukum Pengangkatan Anak

Dalam hukum Indonesia, terdapat pluralisme atau keragaman mengenai kriteria anak, ini sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara sendiri-sendiri kriteria tentang anak tersebut. Berikut ada beberapa pengertian anak dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain sebagai berikut : a. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 Undang-undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. b. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 angka 2 Undang-undang Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin”. Di Indonesia, lembaga pengangkatan anak sudah berlangsung lama secara adat, yang dilakukan sejak zaman dahulu sampai sekarang ini. Bahkan sudah bagian dari kultur masyarakat yang tentu dengan cara dan tujuan yang berbeda-beda sesuai Universitas Sumatera Utara dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Namun yang jelas pada masa sekarang ini pelaksanaan pengangkatan anak telah jauh berkembang. Hal ini dapat dilihat dari tujuan pelaksanaan pengangkatan anak yang sudah berkembang dari tujuan semula diadakannya pengangkatan anak. Namun bila diperhatikan dari segi apapun juga, pada dasarnya pengangkatan anak mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh keturunan. Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selanjutnya dalam Pasal 6 undang-undang tersebut menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Ketentuan tersebut mendorong perlunya perlindungan anak dalam rangka kesejahteraan anak dan perlakuan yang adil terhadap anak. Perlindungan anak merupakan usaha untuk menciptakan kondisi yang melindungi anak untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Sementara Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang Universitas Sumatera Utara berlaku, sedangkan Pasal 39 ayat 1 menyatakan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengangkatan anak sering juga diistilahkan dengan adopsi. Pengangkatan anak adopsi, tabbani, yaitu suatu pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Anak yang diadopsi disebut “anak angkat”, peristiwa hukumnya disebut “Pengangkatan Anak”. Pengangkatan anak dapat dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum keluarga. Adopsi berasal dari kata Adoptie dalam bahasa Belanda atau adoption dalam bahasa Inggris. Adoption artinya pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut adoption of a child. 43 Dalam bahasa Arab, pengangkatan anak disebut “tabanny” yang menurut Prof. Mahmud Yunius diartikan dengan mengambil anak angkat. Sedangkan dalam Kamus Munjid diartikan “ittikhadzahu”, yaitu menjadikannya sebagai anak. 44 Menurut H.M. Hasballah Thaib, pengertian pengangkatan anak atau adopsi adalah “Suatu usaha atau perbuatan pengambilan anak dari orang yang mempunyai hubungan biologis langsung untuk diangkat dan diakui menjadi anak orang lain. Dalam hal mana anak adopsi itu diberikan fasilitas tertentu, seperti anak kandung 43 Jhon M. Echlas dan Hasan Shadily,Kamus Inggris Indonesia,Gramedia,Jakarta,1981,hal.13. 44 Muderis Zaeni, Op. Cit., hal. 4. Universitas Sumatera Utara sendiri, disamping anak yang diadopsi dapat menimbulkan persaudaraan dan kekerabatan kepada lainnya”. 45 Menurut Iman Jauhari, pengangkatan anak adalah “Suatu perbuatan mengambil anak orang lain ke dalam keluarganya sendiri, sehingga dengan demikian antara orang yang mengambil anak yang diangkat timbul suatu hubungan hukum. 46 Definisi Pengangkatan Anak menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyatakan bahwa “Pengangkatan Anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.” Dengan demikian dalam perbuatan pengangkatan anak, terdapat dua pihak, yaitu anak angkat dan orang tua angkat. Di kalangan masyarakat adat di Indonesia terdapat bermacam-macam istilah yang digunakan untuk tiap-tiap etnis mengenai anak angkat ini. Seperti mupu, mulung atau mungut anak untuk pengangkatan anak di daerah Jawa Barat. 47 Ter Haar memperkenalkan beberapa istilah untuk pengangkatan anak didaerah Bengkulu yaitu Kabupaten Curup Rejang Lebong disebut “anok aket”. 48 45 H. M. Hasballah Thaib, 21 Masalah Aktual dalam Perkembangan Fiqih Islam, Fakultas Tarbiyah Universitas, Medan, 1995, hal. 106. 46 Iman Jauhari, Hak-hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal. 7. 47 B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya Di Kemudian Hari , C.V. Rajawali Press, Jakarta, 1983, hal. 39 48 Ibid., hal. 115 Universitas Sumatera Utara Di daerah Simalungun-Pematang Siantar misalnya, dikenal pengangkatan anak yang disebut “anduhan”, yang dilakukan pada suatu upacara makan bersama dihadiri oleh keluarga, anak bora anak boru senina, beserta saudara-saudara dari ayah dan ibu 49 . Di Batak Toba dikenal anak nantain, yaitu semacam anak angkat yang harus memenuhi syarat-syarat yang mau mengain haruslah tidak mempunyai anak laki-laki; anak yang diangkat tersebut haruslah dari antara anak-anak saudaranya atau keluarga dekat lainnya; dan harus dirajohon, artinya harus dengan upacara adat yang telah ditentukan untuk itu yang dihadiri oleh keluarga dekat “dalihan natolu”, serta pengetua-pengetua dari kampung sekelilingnya raja-raja bius 50 . Istilah lain dari anak angkat di beberapa masyarakat adat seperti “anak kukut” atau “anak pulung” di daerah Singaraja, “anak pupon” di daerah Cilacap, “anak akon” di daerahn Lombok Tengah, “napuluku” atau “wengga” di Kabupaten Pantai Jaya Pura. Di Aceh istilah anak angkat dikenal dengan “aneuk geutueng” Istilah-istilah ini juga terkait dengan perbuatan hukum pengangkatan anak itu. Istilah aneuk geutueng dalam masyarakat Aceh terkait dengan keinginan orang tua angkat. Di sini juga bermakna tergantung pada kehendak dari orang tua angkat. 51 . Istilah lain selain aneuk geutueng untuk anak angkat pada masyarakat Aceh adalah 49 Ibid., hal. 109 50 Ibid., hal. 105 51 A. Hamid Sarong .Op. Cit., hal. 263. Universitas Sumatera Utara “aneuk geu peulihara” , orang Gayo menyebutkan anak angkat dengan istilah “anak angkek” . 52 Menurut Hilman Hadikusuma dalam bukunya “Hukum Perkawinan Adat” bahwa anak angkat, adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga. 53 Selanjutnya pengertian orang tua angkat menurut Pasal 1 butir 4 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyatakan bahwa ”Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang- undangan dan adat kebiasaan”. Undang-undang juga memberikan pengertian terhadap anak angkat yaitu Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyatakan bahwa ”Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tuanya angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”. Di Indonesia pengaturan mengenai pengangkatan anak sampai saat ini belum diatur secara khusus dalam undang-undang, melainkan masih diatur dalam beberapa ketentuan hukum yang masih tersebar, yaitu yang terdapat dalam: 52 Ibid, hal. 100. 53 Hilman Hadikusumah, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung, 1983, hal. 149. Universitas Sumatera Utara 1. Staatsblad 1917 Nomor 129 Pasal 5 sd Pasal 15; Aturan ini telah ada pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yang merupakan aturan yang tersendiri yang mengatur tentang pengangkatan anak. Khusus ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur pengangkatan anak bagi golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah Staatblad 1917 Nomor 129 menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur pengangkatan anak bagi kalangan masyarakat Tionghoa, dan tidak berlaku bagi masyarakat Indonesia Asli. Bagi masyarakat Indonesia asli berlaku hukum adat termasuk di dalamnya adalah ketentuan hukum Islam. 54 Dalam ketentuan Staatblad ini mulai dari Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur tentang siapa-siapa saja yang diperbolehkan melakukan pengangkatan anak, siapa saja yang boleh diangkat sebagai anak angkat, syarat dan tata cara pengangkatan anak serta akibat hukum dari pengangkatan anak. 2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Dalam Undang-undang Kesejahteraan Anak, pengangkatan anak terdapat dalam Pasal 12 ayat 1, 2 dan 3, yang pada intinya pengangkatan anak, baik melalui hukum adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak yang lebih lanjut akan diatur melalui Peraturan Pemerintah. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. 54 Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, Op.Cit., hal. 23. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 12 disebutkan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak dengan orang tuanya dan keluarga orang tuanya berdasarkan hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan. Peraturan Pemerintah yang dimaksudkan antara lain perlu mengatur pencatatan sebagai bukti sah, adanya pengangkatan anak guna pemeliharaan kepentingan kesejahteraan anak yang bersangkutan. 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Diatur dalam Bab VIII, Bagian Kedua tentang Pengangkatan Anak, mulai Pasal 39 sampai dengan Pasal 41. Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa “Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 39 ayat 1, Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya Pasal 39 ayat 2, calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat Pasal 39 ayat 3, pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir Pasal 39 ayat 4, dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat Pasal 39 ayat 5. Selanjutnya dalam Pasal 40 disebutkan bahwa orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya, dimana pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya tersebut Universitas Sumatera Utara dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak. Sedangkan pengawasan pengangkatan anak diatur dalam Pasal 41. 4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Terhadap Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 49 huruf a, angka 20 yang memberi Kewenangan kepada Pengadilan Agama dalam memeriksa dan menetapkan anak angkat, dan selanjutnya undang-undang ini dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tanpa mencabut kewenangan Pengadilan Agama dalam memeriksa dan menetapkan perkara pengangkatan anak. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak; 6. Intruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Buku II Bab I Pasal 171 huruf h dan Pasal 209 tentang Pengertian Anak Angkat dan Tentang Wasiat Wajibah Anak Angkat dan Orang Tua Angkat; 7. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41HUKKEPVII1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak; 8. Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 13HUK1993 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak; 9. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 110HUK2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak; Universitas Sumatera Utara 10. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 37 HUK 2010 tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Pusat; 11. Surat Edaran Mahkamah Agung RI SEMA Nomor 2 Tahun 1979 yang telah disempurnakan dengan SEMA Nomor 6 Tahun 1983, SEMA Nomor 3 Tahun 2005 perihal Pengangkatan Anak; 12. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2009 tentang Kewajiban Melengkapi Permohonan Pengangkatan Anak dengan Akta Kelahiran; dan 13. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung, yaitu : a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 37KSIP1959 tanggal 18 Maret 1959, yang menyebutkan bahwa “seorang anak angkat mendapat bagian harta dari orang tua angkat sebanyak sepertiga bagian. Mahkamah Agung RI dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa pengangkatan anak telah menjadi tradisi dalam masyarakat Indonesia. Di samping itu telah menjadi tradisi pula bahwa anak angkat selalu berdampingan dengan orang tua angkat, dan anak angkat telah memberi bantuan baik besar maupun kecil dalam segala urusan orang tua angkat. b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 210 KSip1873 memperlihatkan bahwa keabsahan seorang anak angkat tergantung kepada upacara adat tanpa menilai secara objektif realita keberadaan anak dalam kehidupan keluarga orang tua angkat. Syarat keabsahan anak angkat yang demikian semakin jelas terlihat dari putusan mahkamah Agung Nomor 912 KSip1975 yang Universitas Sumatera Utara menyatakan tanpa upacara adat tidak sah pengangkatan anak, meskipun sejak kecil dipelihara serta dikawinkan oleh orang yang bersangkutan. c. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1413 KPdt1988 tanggal 18 Mei 1990, apakah seseorang adalah anak angkat atau bukan, tidak semata-mata tergantung pada formalitas-formalitas pengangkatan anak, tetapi dilihat dari kenyataan yang ada, yaitu bahwa ia sejak bayi dipelihara, dikhitankan dan dikawinkan oleh orang tua angkatnya. d. Putusan Mahkamah Agung Nomor 53 KPdt1995 tanggal 18 Maret 1996, bahwa menurut hukum adat di daerah Jawa Barat, seseorang dianggap sebagai anak angkat, bila telah memenuhi syarat-syarat diurus, dikhitankan, disekolahkan dan dikawinkan dimana anak angkat tersebut berasal dari keluarga ibu angkatnya, maka anak angkat tersebut berhak mewarisi harta gono gini orang tua angkatnya. Khusus di Provinsi Aceh, selain ketentuan di atas, persoalan pengangkatan anak juga diatur oleh Qanun Nomor 11 Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak dan Surat Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tanggal 7 Januari 2005 yang ditujukan kepada seluruh WalikotaBupati se-Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam perihal Penanganan Pengungsi Anak yang Telah Kehilangan Orang Tua, dan Surat Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 36038607 tanggal 13 Oktober 2008 perihal Adopsi Anak di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selanjutnya sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Sosial Nomor 37HUK2010 tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Pusat, maka pada tanggal Universitas Sumatera Utara 31 Juni 2011 di Provinsi Aceh telah dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 463.13142011 tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak. Dari berbagai peraturan sebagaimana diuraikan di atas telah memberikan petunjuk tentang berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, tata cara atau prosedur dalam mengajukan permohonan, dan tata cara pemeriksaan dan bentuk putusan permohonan pengangkatan anak. Dengan demikian dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan pengangkatan anak harus mengacu kepada aturan tersebut.

2. AlasanMotivasi Pengangkatan Anak.