31 Juni 2011 di Provinsi Aceh telah dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 463.13142011 tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak.
Dari berbagai peraturan sebagaimana diuraikan di atas telah memberikan petunjuk tentang berbagai persyaratan yang harus dipenuhi, tata cara atau prosedur
dalam mengajukan permohonan, dan tata cara pemeriksaan dan bentuk putusan permohonan pengangkatan anak. Dengan demikian dalam memeriksa dan mengadili
perkara permohonan pengangkatan anak harus mengacu kepada aturan tersebut.
2. AlasanMotivasi Pengangkatan Anak.
Dalam rangka pelaksanaan perlindungan anak, sangat penting melihat alasanmotivasi pengangkatan anak sehingga sangat perlu diperhatikan, dan harus
dipastikan dilakukan demi kepentingan yang terbaik untuk anak. Motivasi merupakan suatu pengertian yang melingkupi penggerak, alasan-
alasan, dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu. Misalnya seseorang menjadi anggota perkumpulan maka motivasinya antara lain ingin sesuatu yang baru
bersama anggota perkumpulannya tersebut.
55
Dalam kaitannya dengan pengangkatan anak berarti dengan adanya alasan-alasan atau motivasi atau dorongan yang
melatarbelakangi seseorang melakukan perbuatan hukum mengangkat anak. Apabila melihat pada alasanmotivasi serta tujuan pengangkatan anak,
maka akan banyak sekali ragamnya. Akan tetapi menurut Djaja S. Meliala, alasan terutama yang terpenting adalah:
55
W.A. Gerungan Dipl., Psych, Psikologi Sosial Suatu Ringkasan, Cet. V, Eresco,Jakarta, 1977, hal. 142.
Universitas Sumatera Utara
1. Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya.
2. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya di hari tua.
3. Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah maka akan dapat mempunyai anak sendiri.
4. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada. 5. Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja.
6. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan kebahagiaan keluarga.
56
Ada beberapa alternatif yang digunakan sebagai dasar atau alasan dilaksanakan suatu pengangkatan anak antara lain :
1. Dilihat dari sisi adoptant, karena ada alasan sebagai berikut : a. Keinginan mempunyai keturunan atau anak;
b. Keinginan untuk mendapat teman bagi dirinya sendiri atau anaknya; c. Kemauan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain
yang membutuhkan;
d. Adanya ketentuan hukum yang memberi peluang untuk melakukan suatu pengangkatan anak;
e. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu.
56
Djaja S.Meliala, Pengangkatan Anak Adopsi di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1982, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
2. Dilihat dari sisi orang tua anak, karena alasan sebagai berikut : a. Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri;
b. Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada pihak yang ingin mengangkat anaknya;
c. Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak; d. Saran-saran dan nasihat pihak keluarga atau orang lain;
e. Keinginan agar anaknya hidupnya lebih baik dari orang tua kandungnya; f. Ingin agar anaknya terjamin materiil selanjutnya;
g. Masih mempunyai anak beberapa lagi; h. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anaknya sendiri;
i. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat hubungan tidak sah;
j. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak sempurna fisiknya.
57
Dalam kaitannya dengan motivasi pengangkatan anak, menurut Datuk Usman ada berbagai motif dari pengangkatan anak ini antara lain :
1. Tidak mempunyai anak untuk melangsungkan keturunan. 2. Agar ada orang yang mengurus apabila sudah tua nantinya.
3. Untuk melanjutkan dan memelihara harta benda. 4. Untuk pemeliharaan berkala.
5. Untuk memasukkan seseorang kedalam masyarakat hukum.
57
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal.38.
Universitas Sumatera Utara
6. Mengangkat derajat seseorang kepada kedudukan yang lebih tinggi. 7. Karena belas kasihan kepada anak yatim piatu atau orang tuanya tidak mampu.
8. Karena anak-anaknya yang ada hanya laki-lakiperempuan saja, sedangkan ia menginginkan sebaliknya.
9. Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung.
10. Untuk menambah tenaga dalam keluarga. 11. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan.
12. Anak dahulu sering penyakitan atau meninggal, maka anak yang baru lahir diserahkan kepada keluarga lain untuk diadopsi agar anak selalu sehat dan
panjang umur. 13. Mengangkat anak tiri menjadi anak kandung di Rejang disebut Mulang Jurai, di
Kalimantan disebut Ngukup. 14. Mengangkat kedudukan anak perempuan. Biasanya anak perempuan sendiri
dirubah kedudukannya serupa dengan kedudukan anak laki-laki, misalnya di Bali disebut dengan Anak Sentana, di Karo disebut Ilakiken. Berbeda dengan di Bali
Anak Sentana adalah untuk pelanjut keturunan dan menjadi ahli waris, di Karo hanya terbatas dalam penerimaan warisan saja.
15. Mengangkat derajat seorang anak laki-laki dari seorang isteri yang kedudukannya rendah selir menjadi anak dari istri yang lebih tinggi
kedudukannya, misalnya di Bali dan Lampung.
Universitas Sumatera Utara
16. Mengangkat menantu menjadi ahli waris, yaitu mengangkat seorang laki-laki dan dimasukkan kedalam kerabat mertua laki-lakinya, misalnya di Lampung dan
di perbatasan Minangkabau dan Tapanuli. 17. Memasukkan seorang anak dari klan ibu ke klan bapak, misalnya di Rejang.
18. Mendapatkan teman bagi anaknya. 19. Untuk mempertahankan ikatan perkawinankebahagiaan keluarga
20. Untuk dinikahkan dengan anak adoptan.
58
Secara umum pengangkatan anak menurut hukum adalah pengalihan anak kepada orang tua angkat dari orang tua kandung secara keseluruhan dan dilakukan
menurut adat setempat agar sah. Jadi orang tua kandung sudah lepas tangan terhadap
anak itu, dan tanggung jawab beralih kepada orang yang mengangkatnya.
Pada dasarnya Al-Quran dan Al-Hadist tidak membenarkan pengangkatan anak dalam arti memutuskan hubungan nasab dengan ayah dan ibu kandungnya.
Dasar hukumnya adalah Al-Qur’an sebagaimana tertera dalam Surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5, sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, yang dilatarbelakangi
pada saat Nabi Muhammad SAW mengangkat Zaid bin Haritsah, tetapi kemudian tidak dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya Haritsah melainkan diganti dengan
panggilan Zaid bin Muhammad, sehingga kemudian Allah SWT menurunkan surat Al-Ahzab ayat 4-5 serta Ayat 37 dan ayat 40 yang pada intinya melarang
pengangkatan anak dengan akibat hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan saling mewarisi antara anak angkat dan orang tua angkatnya.
58
Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Dipakai dalam Lingkungan Sendiri pada FH-USU, Medan, tanpa tahun, hal 89-92;
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian dalam Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya tanggung jawab untuk memberikan nafkah, mendidik,
memelihara, dan lain-lain dalam konteks beribadah kepada Allah SWT. Konsep pengangkatan anak dalam hukum Islam tidak mengenal
pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak, sedang yang ada hanya diperbolehkan atau suruhan dengan motivasi untuk memelihara dengan tujuan
memperlakukan anak dalam segi kecintaan dan kasih sayang, pemberian nafkah, pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan
sebagai anak kandung nasab. Sedangkan mendidik anak, melayani, dan memenuhi segala kebutuhan yang
dibutuhkan seorang anak adalah bagian dari hadhanah yang sangat dianjurkan oleh Islam.
Perlu ditegaskan, bahwa tujuan pengangkatan anak adalah untuk kesejahteraan anak, bukan untuk kepentingan calon orang tua angkat. Inilah konsep
Islam yang sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Oleh karena dalam syariat Islam dan hukum Islam tidak diberikan hak waris kepada anak angkat ataupun orang tua angkat maka Kompilasi Hukum Islam KHI
memberikan wasiat wajibah maksimal 13 bahagian, itupun dengan mengajukan permohonan dan dengan putusanpenetapan dari Mahkamah Syar’iyah ataupun
Pengadilan Agama.
Universitas Sumatera Utara
B. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dalam Memeriksa
Perkara Pengangkatan Anak
Pembahasan mengenai Mahkamah Syar’iyah tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai Pengadilan Agama, hal ini disebabkan karena Mahkamah
Syar’iyah merupakan perluasan atau pengembangan dari Pengadilan Agama. Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-
undangan yang tersebar di berbagai peraturan, yaitu Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937
Nomor 116 dan 610, Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638
dan 639, dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan AgamaMahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura.
Kemudian baru pada tahun 1989 Pengadilan Agama diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Dalam perkembangannya, undang-undang ini mengalami beberapa kali perubahan sebagai akibat adanya perubahan atau Amandeman Undang-Undang Dasar
1945 dan undang-undang yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dirubah
sebanyak dua kali, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan adanya perubahan undang-
Universitas Sumatera Utara
undang tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama.
59
Pengadilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak Bahasa Belanda, berasal dari kata godsdienst yang berarti agama, ibadat, keagamaan dan kata
rechtspraak berarti peradilan, yaitu daya upaya mencari keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut peraturan-peraturan dan dalam lembaga-
lembaga tertentu dalam pengadilan. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa yang dimaksud Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah peradilan bagi orang-orang
yang beragama Islam. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama adalah
suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan perkara- perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang
berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.
59
http:advosolo.wordpress.com20100515kekuasaan-peradilan-agama
, Tanggal 19 Juni 2011.
Universitas Sumatera Utara
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung adalah badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara. Bagi Provinsi Aceh yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam, istilah
Pengadilan Agama dikembangkan menjadi Mahkamah Syar’iyah, yang juga merupakan bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan Peradilan Agama yang
diresmikan pada tanggal 1 Muharram 1424 H atau 4 Maret 2003 M sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah
Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Pasal 1 ayat 1 Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2003 tersebut menyebutkan bahwa “Pengadilan
Agama yang telah ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syariyah”.
Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat 1 Keputusan Presiden tersebut, menyebutkan bahwa “Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syariyah dan Mahkamah Syariyah
Provinsi adalah kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dalam ibadah dan syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun”.
Universitas Sumatera Utara
Berbagai pertimbangan disepakati untuk tidak membentuk lembaga baru, tapi mengembangkan Pengadilan Agama yang sudah ada menjadi Mahkamah Syar’iyah.
Pilihan ini dapat kita lihat dari bunyi Qanun Nomor 10 Tahun 2002 ayat 3 tentang Peradilan Syar’iat Islam, yang berbunyi “Mahkamah Syar’iyah sebagai mana dimaksud
pada ayat 1 merupakan pengembangan dari Peradilan Agama yang sudah ada”. Untuk pengembangan Mahkamah Syar’iyah yang lebih sempurna sebagai salah
satu alat kelengkapan daerah dalam pelaksanaan otonomi khusus, memerlukan sarana dan prasarana yang melebihi dari kebutuhan Peradilan Agama sebelumnya sesuai dengan
penambahan kewenangan sehingga dalam Pasal 136 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, menyebutkan :
1 Pembinaan teknis Peradilan, organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Syar’iyah dilakukan oleh Mahkamah Agung.
2 Penyediaan sarana dan prasarana serta penyelenggaraan kegiatan Mahkamah Syar’iyah dibiayai dari APBN, APBA, dan APBK.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada sebelumnya. Oleh karena itu sudah
pasti kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Syar’iyah lebih luas dari kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki Pengadilan Agama. Dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ditegaskan bahwa tugas dan wewenang Pengadilan Agama
adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang- orang yang beragama Islam di bidang :
Universitas Sumatera Utara
a. Perkawinan; b. Waris;
c. Wasiat; d. Hibah;
e, Wakaf; f. Infaq;
g. Shadaqah; dan h. Ekonomi Syariah
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah selain meliputi kewenangan Pengadilan Agama juga diatur dalam Pasal 128 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, yang selengkapnya berbunyi : 1 Peradilan Syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem Peradilan Nasional
dalam lingkup Peradilan Agama yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
2 Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.
3 Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah hukum
keluarga, muamalat hukum perdata, dan jinayat hukum pidana yang berdasarkan atas syari’at Islam.
4 Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsiyah hukum keluarga, muamalat
hukum perdata, dan jinayat hukum pidana sebagaimana dimaksud ayat 3 diatur dengan Qanun.
Oleh karena pengangkatan anak bagi yang beragama Islam merupakan kewenangan baru dari Pengadilan Agama, yaitu berkaitan dengan penetapan asal usul
anak dan pengangkatan anak adopsi dengan mana kewenangan itu diatur dalam penjelasan Pasal 49 huruf a angka 20 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, yang
menyebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang mengadili “penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam“. Kewenangan
Pengadilan Agama tersebut tentu saja secara otomatis merupakan kewenangan
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh yang merupakan pengembangan dari Pengadilan Agama.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 terdapat 23 dua puluh tiga perkara permohonan pengangkatan anak yang
diajukan kepada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Mengenai jumlah penetapan pengangkatan anak di Mahkamah Syar’iyah Banda
Aceh dapat dilihat pada tabel berikut ini :
TABEL 1 PERKARA PENGANGKATAN ANAK
PADA MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH
Agama Thn
No. Perkara Umur
Anak Angkat Jenis
Kelamin Orang
Tua Angkat
Anak Angkat
Jlh
2006 -
- -
- -
- 2007
318Pdt.P2008MSy-NA 352Pdt.P2008MSy-BNA
4 th 6 th
Pr Lk
Islam Islam
Islam Islam
2
2008 015Pdt.P2008MSy-BNA
23Pdt.P2008MSy-BNA 30Pdt.P2008MSy-BNA
94Pdt.P2008MSy-BNA 109Pdt.P2008MSy-BNA
130Pdt.P2008MSy-BNA 200Pdt.P2008MSy-BNA
219Pdt.P2008MSy-BNA 11 bulan
13 th 6 th 3 th 2 bulan
11 th 6 th 7 th 9 bulan
11 th, 10 th 8 th 4 th 7 Bulan
15 th Lk
Pr Lk Lk
Pr Lk Lk
Pr., Lk Pr Pr
Pr Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam 9
Universitas Sumatera Utara
Agama Thn
No. Perkara Umur
Anak Angkat Jenis
Kelamin Orang
Tua Angkat
Anak Angkat
Jlh
256Pdt.P2008MSy-BNA 5 th 2 th
Lk Lk Islam
Islam
2009 31Pdt.P2009Msy-Bna
54Pdt.P2009MS-BNA 64Pdt.P2009MS-BNA
109Pdt.P2009MS-BNA 136Pdt.P2009MS-BNA
162Pdt.P2009MS-BNA 320Pdt.P2009MS-BNA
3 th 9 th 8 th
6 th 8 th
5 th 8 th
8 th 2 th Lk
Pr Pr Lk
Pr Pr
Lk Lk Pr
Islam Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam Islam
7
2010 233Pdt.P2010MS-Bna
2 th Pr
Islam Islam
1
2011 16Pdt.P2011MS-BNA
36Pdt.P2011MS-BNA 46Pdt.P2011MS-Bna
74Pdt.P2011MS-BNA 17 th
6 th 5 th
5 th Pr
Lk Pr
Pr Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam Islam
Islam 4
Jumlah
23
Sumber : Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh Keseluruhan perkara pengangkatan anak yang diajukan oleh pemohon melalui
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, sebagaimana telah diuraikan dalam tabel di atas adalah pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia, dimana baik orang tua angkat
maupun anak angkat sama-sama beragama Islam.
Universitas Sumatera Utara
Dari semua permohonan penetapan pengangkatan anak yang diajukan tersebut, kesemuanya dikabulkan oleh Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
60
C. Prosedur Pelaksanaan Pengangkatan Anak Melalui Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
Sebelum membahas lebih lanjut tentang pengangkatan anak melalui Penetapan Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, perlu kiranya diuraikan tentang pengangkatan
anak melalui adat istiadat di Aceh, dimana mayoritas masyarakat Aceh beragama Islam yang tradisi dan adat istiadatnya banyak dipengaruhi ajaran Islam.
Pengangkatan anak dalam tradisi masyarakat muslim Aceh, berbeda dengan tradisi pengangkatan anak dalam masyarakat adat pada umumnya. Tradisi pengangkatan
anak dalam masyarakat muslim Aceh, lebih dominan mendapat pengaruh dari Syari’at Islam, bila dibandingkan dengan pengaruh dari hukum adat. Hukum adat bagi masyarakat
Aceh bersumber pada Syari’at Islam. Adat yang bertentangan dengan Syari’at Islam adalah bukan adat Aceh.
61
Oleh karenanya, bagi masyarakat Aceh Syari’at Islam merupakan standar norma yang mengatur seluruh prilaku kehidupan termasuk
pengangkatan anak. Masyarakat Aceh melakukan pengangkatan anak dalam rangka mewujudkan prinsip ta’awun atau tolong menolong antara sesama muslim. Hal ini
terbukti dengan penggunaan istilah dalam Bahasa Aceh dengan “aneuk geutueng” yang mendekati makna kasih sayang, belas kasihan.
62
60
Wawancara dengan Hambiah, Panitera Muda Bidang Permohonan pada Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Banda Aceh, Tanggal 17 November 2011.
61
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, Pustaka Kautsar, Jakarta, 1998, hal. 143.
62
A. Hamid Sarong, Op.Cit., hal. 301.
Universitas Sumatera Utara
Dalam masyarakat Aceh, pengangkatan anak berjalan seperti biasa, dimana anak yang telah dijadikan anak angkat umumnya berpindah tempat tinggalnya ke rumah orang
tua angkatnya. Biasanya perpindahan tersebut dilakukan melalui prosesi upacara adat yang didahului dengan kenduri hajatan, dimana dalam prosesi tersebut petua adat atau
tengku meunasah imam dan geuchik kepala desa memberikan nasehat-nasehat
sehubungan dengan pengangkatan anak. Prosesi tersebut bukan memutuskan hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Upacara ini semata-mata
dimaksudkan untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT, agar anak angkat dan orang tua angkat dapat menjadi keluarga yang baik dan terbangun hubungan harmonis
antara mereka seolah-olah antara anak dengan orang tua kandungnya. Di samping itu, upacara adat dimaksudkan untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa telah terjadi
pengangkatan anak pada suatu desa gampong. Namun demikian seiring dengan perkembangan aturan hukum tentang
pengangkatan anak dan pemikiran masyarakat tentang perlunya kepastian hukum, maka upacara adat dirasakan tidak cukup, tetapi harus ditambah dengan proses hukum yaitu
dengan mengajukan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengangkatan anak dari pengadilan.
Sebagaimana ketentuan Pasal 39 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Pengangkatan anak hanya dapat
dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan ini kemudian diikuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak, yang dalam Pasal 19 menyebutkan bahwa
“Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan”. Kemudian dalam Pasal 20 ayat 1
disebutkan “Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan”.
Sehubungan dengan pengangkatan anak berdasarkan ketentuan adat istiadat dan peraturan perundang-undangan juga disebutkan dalam Peraturan Menteri Sosial RI
Nomor 110HUK2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak. Menurut ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Menteri Sosial Nomor 110HUK2009 tersebut bahwa :
Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia meliputi: a. Pengangkatan Anak berdasarkan adat kebiasaan setempat; atau
b. Pengangkatan Anak berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya ditambahkan lagi dalam Pasal 17 Peraturan Menteri Sosial Nomor 110
HUK 2009 bahwa : 1Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia yang berdasarkan adat
kebiasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan.
2Kepala Instansi Sosial propinsi dan kabupatenkota berkewajiban melakukan pencatatan dan pendokumentasian terhadap Pengangkatan Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat 1. 3Pengangkatan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dimohonkan
penetapan pengadilan untuk memperoleh status hukum anak dan kepastian hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian sangat penting kiranya memberikan suatu kepastian hukum terhadap peristiwa pengangkatan anak, yaitu melalui penetapan pengadilan dengan cara
Universitas Sumatera Utara
mengajukan permohonan pengangkatan anak kepada pengadilan, dalam hal ini adalah Makamah Syar’iyah.
Untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak melalui Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, maka harus ditempuh mekanisme sebagai berikut :
a. Membuat Surat Permohonan pengangkatan anak yang ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya.
Permohonan yang diajukan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Syarat formil
- Permohonan dapat diajukan secara tertulis atau lisan; - Permohonan dapat diajukan dan ditanda tangani sendiri oleh Pemohon atau
oleh kuasanya. - Jika pemohon menggunakan kuasa hukum, maka diperlukan Surat Kuasa
Khusus yang ditandatangani oleh Pemohon sebagai pemberi kuasa dan Advokat sebagai penerima kuasa serta melampirkan juga photo copy kartu
advokat kuasa hukum yang bersangkutan. - Permohonan harus dibubuhi materai yang cukup;
- Permohonan diajukan kepada Mahkamah Syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal anak yang akan diangkat.
Kesalahan alamat sesuai dengan kompetensi relative mengakibatkan permohonan tidak dapat diterima niet onvankelijke verklaard karena alasan
pengadilan tidak berwenang mengadili. Mahkamah Agung menegaskan dalam SEMA Nomor 6 Tahun 1983 bahwa permohonan pengangkatan anak yang
Universitas Sumatera Utara
tidak diajukan kepada pengadilan dalam wilayah hukum anak tersebut bertempat tinggal dinyatakan tidak dapat diterima atau pemohon dianjurkan
untuk mencabut permohonannya dan mengajukan kembali pada pengadilan yang berwenang.
b. Syarat materil - Posita atau dalil permohonan harus menjelaskan alasanmotivasi faktor yang
melatarbelakangi diajukannya permohonan penetapan pengangkatan anak. - Dalam posita harus nampak jelas bahwa pengangkatan anak dilakukan untuk
kepentingan calon anak angkat yang kemudian didukung dengan uraian yang menggambarkan bahwa calon orang tua angkat benar-benar memiliki
kemampuan dari berbagai aspek sehingga kehidupan hari depan si anak akan lebih baik.
- Petitum harus bersifat tunggal yang hanya meminta “Agar pengangkatan anak yang dilakukan oleh Pemohon terhadap anak A yang bernama B dinyatakan
sah”. Tidak boleh ditambah dengan petitum lain, misalnya menambah petitum dengan meminta agar anak angkat tersebut ditetapkan sebagai ahli waris dari
calon orang tua angkat Pemohon. b. Memenuhi syarat-syarat pengangkatan anak yang ditentukan oleh Pasal 12 dan Pasal
13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 110HUK2009 tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak.
Universitas Sumatera Utara
c. Membayar panjar biaya perkara. Dalam tahap ini, Panitera Muda Permohonan memberikan taksiran biaya perkara
dalam jumlah uang yang dituangkan dalam bentuk Surat Kuasa untuk Membayar SKUM yang nantinya dibuat dalam rangkap 3 tiga, lembar pertama untuk
pemohon, lembar kedua untuk kasir, dan lembar ketiga untuk disertakan dalam berkas perkara.
Berkas perkara permohonan pengangkatan anak yang telah dilengkapi dengan SKUM, diserahkan kepada pemohon atau kuasanya agar membayar sejumlah uang
sebagaimana tertuang dalam SKUM kepada kasir. Kasir kemudian menandatangani dan cap setempel lunas pada SKUM setelah menerima pembayaran.
d. Selanjutnya surat permohonan akan diberi nomor register perkara, dan pemohon kemudian menunggu panggilan atau pemberitahuan surat relas panggilan kepada
pemohon tentang kapan sidang akan dilakukan. e. Pada saat persidangan, maka dalam persidangan Majelis hakim akan memeriksa
tentang bukti-bukti pendukung, baik bukti surat maupun saksi-saksi yang memberi keterangan di bawah sumpah. Bukti-bukti inilah yang nantinya akan dapat
menggambarkan apakah pemohon layak atau tidak menjadi orang tua angkat serta apakah calon anak angkat akan menjadi lebih baik setelah pengangkatan anak.
f. Setelah pemeriksaan selesai, maka hakim akan memberi putusan atau penetapan. a. Penetapan, apabila permohonan pengangkatan anak antara Warga Negara
Indonesia Inter State.
Universitas Sumatera Utara
b. Putusan, apabila permohonan pengangkatan diajukan oleh Warga Negara Indonesia terhadap anak Warga Negara Asing atau oleh Warga Negara Asing
terhadap anak Warga Negara Indonesia Inter Country Adoption.. Pemeriksaan perkara permohonan pengangkatan anak dilakukan sebagaimana
pemeriksaan perkara permohonan lainnya. Perkara harus sudah putus dalam waktu paling lama 6 bulan, jika lebih dari waktu 6 bulan, maka Ketua Majelis harus melaporkan
keterlambatan tersebut kepada Ketua Mahkamah Agung melalui Ketua Mahkamah Syar’iyah dengan menyebutkan alasannya.
63
Dari hasil penelitian terhadap perkara pengangkatan anak yang diperiksa oleh Mahkamah Syar’iyah, maka lamanya waktu yang dibutuhkan sejak tanggal register
perkara sampai dengan adanya penetapan dari Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
TABEL 2 LAMANYA PROSES PEMERIKSAAN PERKARA
PENGANGKATAN ANAK DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH Thn
No. Perkara Tgl. Register
Tgl. Putusan Ket
63
Wawancara dengan Basri, Panitera Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Banda Aceh, tanggal 17 November 2011.
Universitas Sumatera Utara
Thn No. Perkara
Tgl. Register Tgl. Putusan
Ket
2006 -
- -
2007 318Pdt.P2008MSy-BNA
352Pdt.P2008MSy-BNA 30 Oktober 2007
2 November 2007 27 November 2007
26 November 2007 30 hari
24 hari
2008 015Pdt.P2008MSy-BNA
23Pdt.P2008MSy-BNA 30Pdt.P2008MSy-BNA
94Pdt.P2008MSy-BNA 109Pdt.P2008MSy-BNA
130Pdt.P2008MSy-BNA 200Pdt.P2008MSy-BNA
219Pdt.P2008MSy-BNA 256Pdt.P2008MSy-BNA
14 Januari 2008 21 Januari 2008
24 Januari 2008 23 April 2008
14 Mei 2008 2 Juni 2008
25 Juli 2008 13 Agustus 2008
3 November 2008 29 Januari 2008
31 Januari 2008 14 Februari 2008
29 April 2008 19 Juni 2008
19 Juni 2008 5 Agustus 2008
27 Agustus 2008 13 November 2008
15 hari 10 hari
20 hari 6 hari
26 hari 17 hari
11 hari 9 hari
10 hari
2009 31Pdt.P2009Msy-Bna
54Pdt.P2009MS-BNA 64Pdt.P2009MS-BNA
109Pdt.P2009MS-BNA 136Pdt.P2009MS-BNA
162Pdt.P2009MS-BNA 320Pdt.P2009MS-BNA
9 Februari 2009 6 Maret 2009
24 Maret 2009 7 Mei 2009
1 Juni 2009 24 Juni 2009
3 November 2009 25 Februari 2009
16 Maret 2009 7 April 2009
20 Mei 2009 16 Juni 2009
7 Juli 2009 16 November
15 hari 10 hari
17 hari 13 hari
15 hari 13 hari
13 hari 2010 233Pdt.P2010MS-Bna
15 Juli 2010 28 Juli 2010
13 hari
2011 16Pdt.P2011MS-BNA
36Pdt.P2011MS-BNA 46Pdt.P2011MS-Bna
74Pdt.P2011MS-BNA 17 Januari 2011
1 Februari 20111 11 Februari 2011
21 Maret 2011 2 Februari 2011
6 April 2011 23 Februari 2011
29 Maret 2011 15 hari
64 hari 12 hari
8 hari Sumber : Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
Dari tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa lamanya perkara pengangkatan anak yang diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh terhadap 23 perkara
pengangkatan anak sejak tanggal perkara permohonan pengangkatan anak didaftarkan
Universitas Sumatera Utara
sampai dengan adanya penetapan, maka waktu yang paling lama adalah 64 enam puluh empat hari, dan waktu yang paling cepat adalah 6 enam hari. Lamanya waktu rata-rata
yang dibutuhkan dalam memeriksa dan mengadili perkara pengangkatan anak di Mahkamah Syar’iyah adalah 17 hari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa waktu
yang dibutuhkan untuk memeriksa dan mengadili perkara pengangkatan anak relatif cepat. Hal ini sesuai dengan asas peradilan cepat dan biaya ringan, sehingga tidak
menyulitkan bagi masyarakat yang ingin melakukan pengangkatan anak melalui proses peradilan di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
Meskipun prosedur dalam pelaksanaan pengangkatan melalui Mahkamah Syar’iyah kelihatan sulit serta permohonan pengangkatan anak bersifat Voluntair, akan
tetapi pemeriksaannya di persidangan melalui Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh harus dilakukan dengan hati-hati dan seksama, dengan mempertimbangkan segala ketentuan
hukum yang berlaku yang berkaitan dengan pengangkatan anak. Hal ini sangat penting untuk menghindari penyeludupan hukum dalam bentuk melegalisasi perdagangan anak,
perbudakan anak, dan pemaksaan agama terhadap anak, yang pada akhirnya sama sekali tidak membawa kebaikan kepada anak yang diangkat. Padahal tujuan dari pengangkatan
anak itu sendiri adalah untuk memberikan kebaikan kepada anak.
64
D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Melalui Mahkamah Syar’iyah
Anak angkat merupakan seseorang yang bukan keturunan dari orang tua yang mengangkatnya, tetapi ia dipelihara dan diperlakukan sebagai anak, baik dalam segi kasih
64
Wawancara dengan H. Rafiudin, HakimKetua Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, Banda Aceh,
Tanggal 16 November 2011.
Universitas Sumatera Utara
sayang, perhatian, nafkah, jaminan pendidikan, serta pelayanan dalam segala kebutuhan hidupnya. Dengan sahnya suatu pengangkatan anak maka akan menimbulkan hak dan
kewajiban bagi orang tua angkat dan anak angkat. Berikut akan diuraikan tentang hak Anak Angkat serta kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak angkat.
1. Hak dan Kewajiban Anak Angkat