IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI IJIN GANGGUAN DI KABUPATEN KARANGANYAR

(1)

commit to user

i

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI IJIN GANGGUAN

DI KABUPATEN KARANGANYAR

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Hukum

Konsentrasi Hukum dan Kebijakan Publik

Oleh :

ERIKA DEWI SUBANDRIYO S 310409012

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

commit to user

ii

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI IJIN GANGGUAN

DI KABUPATEN KARANGANYAR

DISUSUN OLEH : Erika Dewi Subandriyo

NIM. S 310409012

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing : Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

1. Pembimbing I Prof. Dr. Supanto, SH., M.Hum. ………… ……….

NIP. 196011071986011001

2. Pembimbing II Aminah, SH., MH. …………. .………. NIP. 195105131981032001

Mengetahui :

Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S. NIP. 194405051969021001


(3)

commit to user

iii

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI IJIN GANGGUAN

DI KABUPATEN KARANGANYAR

Disusun Oleh :

ERIKA DEWI SUBANDRIYO NIM : 310409012

Telah Disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua : Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS.

NIP : 194405051969021001 …………... ………..

Sekretaris :Prof. Dr. Hartiwiningsih, SH, M.Hum

NIP : 195702031985032001 ... ... Anggota : 1. Prof. Dr. Supanto, SH, M.Hum

NIP : 196011071986011001 ... ... 2. Aminah, SH, MH

NIP : 195105131981032001 ... ...

Mengetahui :

Ketua Program Studi : Prof. Dr. H. Setiono, SH, MS.

Magister Ilmu Hukum NIP : 194405051969021001 ... ...

Direktur Program : Prof. Dr. Suranto, MSc, PhD.


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

NAMA : ERIKA DEWI SUBANDRIYO NIM : S 310409012

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul :

”Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan di Kabupaten Karanganyar” adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut, diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tersebut tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Februari 2011 Yang membuat pernyataan,


(5)

commit to user

v

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul ”Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan di Kabupaten Karanganyar”. Tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan pendidikan S2 Magister Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan koreksi, saran dan kritikan yang bersifat membangun guna penyempurnaan tesis ini.

Berbagai hambatan penulis hadapi dalam penyusunan tesis ini, namun berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak maka hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu, melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Syamsul Hadi, dr. Sp. KJ(K), selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Prof. Drs. Suranto, MSc., PhD., selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak M. Yamin S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Bapak Prof. Dr. H. Setiono, S.H., M.S., selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 5. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6. Bapak Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, yang


(6)

commit to user

vi

7. Ibu Aminah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah banyak memberikan bimbingan serta pemahaman substansial selama penulisan tesis ini.

8. Para dosen pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan praktis maupun teoritis.

9. Keluarga penulis yang telah memberikan semangat dan motivasi tak ternilai guna selesainya studi penulis.

10.Rekan-rekan mahasiswa S2 angkatan Februari 2009 Konsentrasi Hukum Kebijakan Publik, khususnya Dian, Frangko, Mbak Eni, Mbak Susi dan Teti. 11.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini yang tidak bisa

penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari tesis ini jauh dari sempurna, namun demikian semoga dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengkaji permasalahan Retribusi.

Surakarta, Februari 2011 Penulis


(7)

commit to user

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Landasan Teori ... 10

1. Kebijakan Publik dalam Pemerintah Daerah ... 10

2. Teori Implementasi dan Bekerjanya Hukum ... 17

3. Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Otonomi Daerah ... 22

4. Retribusi Ijin Gangguan sebagai Pemdapatan Daerah ... 30

a. Pengertian Ijin, Lisensi, Konsesi dan Dispensasi ... 30

b. Retribusi Ijin Gangguan/ Hinder ordonnantie (HO) ... 34

c. Pajak dan Retribusi Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah ... 37

B. Penelitian yang Relevan ... 43


(8)

commit to user

viii

BAB III METODE PENELITIAN ... 46

A. Jenis Penelitian ... 46

B. Sifat Penelitian ... 47

C. Bentuk Penelitian ... 48

D. Lokasi Penelitian ... 48

E. Sumber Data ... 49

F. Teknik Pengumpulan Data ... 51

G. Teknik Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 57

A. Hasil Penelitian ... 57

1. Gambaran Umum Keadaan Kabupaten Karanganyar ... 57

2. Kesesuaian Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan dengan Asas Otonomi yang Luas, Nyata dan Bertanggung Jawab ... 75

3. Penyebab Permohonan Ijin Gangguan Tidak Mendapatkan Persetujuan dan Surat Kepemilikan Ijin Usaha ... 86

B. Pembahasan ... 97

1. Kesesuaian Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan dengan Asas Otonomi yang Luas, Nyata dan Bertanggung Jawab ... 97

2. Penyebab Permohonan Ijin Gangguan Tidak Mendapatkan Persetujuan dan Surat Kepemilikan Ijin Usaha ... 112

BAB V PENUTUP ... 121

A.Kesimpulan ... 121

B.Implikasi ... 122

C.Saran ... 122 DAFTAR PUSTAKA


(9)

commit to user

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Gambar 2 Teknik Analisis Data

Gambar 3 Struktur Organisasi Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Karanganyar

Gambar 4 Alur Pelayanan Retribusi Ijin Gangguan Kabupaten Karanganyar

Tabel 1 Pelayanan Perijinan Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Karanganyar


(10)

commit to user

x

ABSTRAK

Erika Dewi Subandriyo. 2010. ”Implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan di Kabupaten Karanganyar”.

Tesis : Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan kesesuaian pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan di Kabupaten Karanganyar dengan asas otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dan untuk mengetahui penyebab permohonan ijin retribusi tidak mendapatkan persetujuan dan surat kepemilikan ijin usaha.

Penelitian ini termasuk penelitian hukum non doktrinal/ sosiologis, dengan konsep hukum yang dipakai adalah konsep hukum yang ke lima yaitu hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial yang tampak sebagai interaksi antar mereka sehingga menggunakan metode kualitatif. Bantuk penelitian yang digunakan adalah evaluatif, karena peneliti ingin mengevaluasi program yang sedang berjalan. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan di Kabupaten Karanganyar telah sesuai dengan asas otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Secara substansi, Perda Nomor 4 Tahun 2007 dapat dikatakan sesuai dengan asas otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Begitu pula dari aspek struktur dan budaya masyarakat, hal tersebut terlihat dari terciptanya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat Kabupaten Karanganyar baik dari segi pelaksanaan pembangunan maupun pemberian pelayanan pemerintah kepada masyarakat Kabupaten Karanganyar. Ada beberapa penyebab permohonan ijin gangguan tidak mendapatkan persetujuan dan surat kepemilikan ijin usaha, dari aspek substansi dan struktur terdapat dua penyebab yaitu berakhirnya jangka waktu penyelesaian ijin dan ketidak sesuaian tempat usaha dengan potensi pembangunan Kabupaten Karanganyar seperti yang telah ditentukan dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karanganyar. Tetapi dari segi budaya masyarakat, selain kedua penyebab tersebut di atas, masyarakat juga mempunyai keterbatasan dalam bidang keuangan.

Perlu diadakannya penyuluhan yang lebih sering dari petugas mengenai pentingnya mempunyai kepemilikan ijin usaha, apabila perlu dilakukan pendekatan secara pribadi kepada masyarakat. Perlunya perubahan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan agar lebih disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Karanganyar saat ini.


(11)

commit to user

xi

ABSTRACT

Erika Dewi Subandriyo. 2010. “The Implementation of Local Regulation Number 4 of 2007 about Interference License Retribution in Karanganyar Regency”. Thesis of Postgraduate Program of Surakarta Sebelas Maret University.

This research aims to describe the compatibility of the implementation of Local Regulation Number 4 of 2007 about Interference License Retribution in Karanganyar Regency with the broad, real and responsible autonomy principle, and to find out the factors causing disapproval of retribution license application and the business license ownership document.

This study belongs to a non-doctrinal/sociological law research, with the fifth law concept used, that is, law as the manifestation of symbolic meanings of social behaviors apparent as interaction among them so that it employs a qualitative method. The format of research was an evaluative one, because the author wants to evaluate the program proceeding. The data collection was done using in-depth interview and documentation.

The result of research shows that the implementation of Local Regulation Number 4 of 2007 about Interference License Retribution in Karanganyar Regency has been compatible with the broad, real and responsible autonomy principle. Substantially, Local Regulation Number 4 of 2007 can be said as compatible with the broad, real and responsible autonomy principle. Similarly, from the aspects of society structure and culture, it can be seen from the establishment of society public orderliness and tranquility in Karanganyar regency both from the development implementation aspect and government’s service giving to the people Karanganyar Regency. There are some factors causing disapproval of interference license application and the business license ownership document. From the substance and structure aspects, there are two factors: the expired date of license accomplishment and incompatibility between the business place and the potential development of Karanganyar Regency as determined in the Local Regulation Number 2 of 1999 about the Layout Design of Karanganyar Regency’s area. Meanwhile, from the society culture aspect, in addition to those two factors above, the society also has limitation in financial sector.

There should be a frequent illumination from the officer about the importance of having business license ownership, and personal approach, if necessary, to the society. There should be an amendment to Local Regulation Number 4 of 2007 about Interference License Retribution in Karanganyar Regency in order to be adjusted with the social-economic condition of Karanganyar Regency’s people currently.


(12)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia sejak merdeka pada tahun 1945 telah mengalami berkali-kali pergantian formulasi Undang-Undang, hal tersebut disebabkan perbedaan sudut pandang dan kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Negara Indonesia sebagai negara kesatuan menganut sistem desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Oleh karena itu sejak formulasi awal undang-undang tentang pemerintahan daerah, telah dipandang perlu untuk mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan konsep otonomi. Hal yang membedakan antara formulasi undang-undang satu dengan yang lain adalah bagaimana mengimplementasikan otonomi daerah tersebut dalam kerangka desentralisasi, sentralisasi maupun dekonsentrasi pemerintahan.

Sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsepsi yang selalu eksis dalam sebuah organisasi modern, baik dalam organisasi publik maupun dalam organisasi non publik. Dalam sebuah sistem negara (baik dalam negara federal maupun negara kesatuan), kedua konsepsi ini bahkan menentukan derajat hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Karena itu, tidak kita temukan sebuah negara yang hidup hanya dengan sentralisasi atau hanya dengan desentralisasi. Meningkatnya kompleksitas kehidupan masyarakat dalam ruang globalisasi tidak menyurutkan peran negara pusat sebagai motor dan moderator antara negara nasional dan negara internasional. Peran negara pusat tersebut tercakup dalam konsepsi sentralisasi.1

1

Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan, Reformasi Birokrasi dan Good Governance : Kasus Best Practise dari Sejumlah Daerah di Indonesia, Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008, hlm.6


(13)

commit to user

Pemberian otonomi yang luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Di samping itu melalui otonomi yang luas, diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, pemerintah daerah mempunyai kewenangan membuat kebijakan daerah untuk pelayanan, peningkatan partisipasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban dan tanggungjawabnya atas dasar kuasa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan daerah yang dirumuskan dalam produk hukum daerah, baik dalam bentuk peraturan daerah maupun keputusan kepala daerah dengan ketentuan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya, tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan daerah lainnya. Pemberian otonomi kepada daerah dan pemberian kewenangan kepada daerah dalam menetapkan produk hukum daerah dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan keleluasaan kepada daerah sesuai dengan kondisi lokalistiknya dan untuk mendekatkan jarak antara pejabat daerah dengan masyarakatnya, sehingga terbangun suasana komunikatif yang intensif dan harmonis.

Dengan demikian keberhasilan suatu penyelenggaraan pembangunan pada era otonomi daerah tidak terlepas dari adanya peran serta masyarakat secara aktif. Masyarakat daerah, baik sebagai kesatuan sistem maupun sebagai individu merupakan bagian integral yang sangat penting dari sistem pemerintahan daerah, karena prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Oleh sebab itu, tanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesungguhnya bukan saja


(14)

commit to user

berada di tangan pemerintah daerah dan aparat pelaksananya, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat daerah yang bersangkutan.

Dengan memperhatikan penyelenggaraan otonomi daerah pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dapat dilihat terdapat perbedaan dengan formulasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemberian otonomi kepada daerah kabupaten dan kota didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

Seperti yang dikatakan Nicole tentang otonomi sebagai berikut ”The Law on government in the Regions of 1974 was replaced in 1999 by the Regional Government Act (RGA). Pursuant to the RGA 1999, the Indonesian government has embarked on a strong decentralization policy in almost every policy sector. To this end, a considerable amount of governance autonomy is granted to the Districs and Municipalities, whice are the third level of government after the States and the Provinces.” 2 Indonesia memberlakukan otonomi daerah mulai diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diterapkan hampir di semua sektor politik.

Pemerintah harus mampu memahami dan mengamati aspirasi dan kebijakan yang berkembang di daerah agar tidak mengarah pada tuntutan yang destruktif dan menggoyahkan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua aspirasi dan kebijakan daerah harus dipandu ke arah aspirasi yang positif guna memberdayakan daerah itu sendiri. Prinsip integrasi bangsa dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 harus tetap

2


(15)

commit to user

dipegang teguh dan dijadikan acuan dalam setiap pengambilan kebijakan, baik di tingkat pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah.3

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah selain merupakan panduan yang nyata dalam pelaksanaan otonomi daerah, juga merupakan politik hukum otonomi daerah. Tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, penegakan keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

Adapun kewenangan yang diberikan merupakan sisa dari semua kewenangan yang dimiliki pemerintah yang dirinci secara tegas dalam peraturan perundang-undangan nasional. Maksud pemberian kewenangan tersebut adalah untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, mendorong prakarsa dan peran serta aktif masyarakat dalam meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu dalam mengisi otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.4 Atas dasar inilah Undang-Undang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah, sehingga memberi peluang kepada Daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah.5

Penerapan otonomi daerah merupakan mekanisme yang memberikan bentuk bagi transformasi sosial, politik dan ekonomi dalam pola yang harus mencerminkan keadilan dan keserasian dua kutub yang berbeda, yaitu pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, tidak heran jika otonomi daerah selalu menjadi topik pembicaraan hangat. Perdebatan serius mengenai kebijakan otonomi daerah terus berlangsung, terutama pada hal yang berkaitan

3

Hari Sabarno, Untaian Pemikiran Otonomi Daerah: Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 3

4

Hari Sabarno, op.cit, hlm. 8

5

Deddy Supriyadi Bratakusumah& Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hlm. 32


(16)

commit to user

dengan konsep pendistribusian kekuasaan yang menitikberatkan pada pusat maupun daerah.6

Tujuan pemberian otonomi luas kepada daerah adalah agar memungkinkan daerah dapat mengatur rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaran pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di samping itu, melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai konsekuensi daerah agar dapat membiayai rumah tangganya sendiri, maka daerah diberi kewenangan untuk menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 7

Berdasarkan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sumber pendapatan daerah terdiri atas :

a. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu : 1) hasil pajak daerah;

2) hasil retribusi daerah;

3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4) lain-lain PAD yang sah;

b. Dana Perimbangan; dan

c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Sumber pendapatan daerah tersebut, khususnya hasil retribusi daerah merupakan salah satu pendukung utama sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Masalah pembangunan di daerah merupakan masalah yang penting karena pada dasarnya pembangunan daerah merupakan suatu proses untuk

6

Ibid, hlm. l61

7

Pipin Syarifin&Dedah Jubaedah, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm. 164


(17)

commit to user

memeratakan pembangunan dan hasil-hasilnya, pemerataan pembangunan antar daerah merupakan upaya untuk mengatasi terjadinya ketimpangan-ketimpangan pembangunan regional selama ini. Pemerintah daerah harus mampu menyusun strategi pembangunan daerahnya. Strategi pembangunan daerah di Kabupaten Karanganyar adalah menciptakan masyarakat yang mandiri serta sejahtera lahir batin, sehingga tercapai masyarakat yang adil makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Disamping itu dalam mengusahakan kesejahteraan serta menciptakan masyarakat adil dan makmur di wilayah Karanganyar dibina pula hubungan antar daerah, terutama daerah yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar guna mencapai keterpaduan dan keserasian pembangunan antar daerah dalam rangka mengisi pembangunan nasional.

Sejalan dengan itu, segala upaya pembangunan di Kabupaten Karanganyar yang dibiayai dengan dana atau dilaksanakan oleh berbagai sumber harus terpadu dan serasi serta sesuai dengan prioritas pembangunan sebagai upaya pemecahan masalah pokok pembangunan daerah guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Sementara di sisi lain kebutuhan pembiayaan pembangunan semakin meningkat, sedangkan kemampuan pembiayaan berasal dari daerah sendiri masih relatif kecil. Dengan otonomi daerah, maka daerah diberi wewenang untuk melaksanakan beberapa kegiatan yang dibebankan kepada daerah. Ini berarti Pemerintah Daerah perlu memiliki wewenang untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah, baik wewenang untuk mengenakan pajak kepada masyarakat, penetapan retribusi atas pelayanan masyarakat yang diadakannya, mendirikan perusahaan-perusahaan daerah yang memiliki keuntungan, serta kewenangan untuk menerima bantuan dari pemerintah pusat.

Pelaksanaan pemungutan retribusi daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan pokok sebagai pedoman kebijaksanaan dan


(18)

commit to user

petunjuk daerah dalam pelaksanaan pungutan pajak dan retribusi sekaligus menetapkan pengaturan secara rinci untuk menjamin penerapan prosedur umum pajak dan retribusi daerah. Oleh karena itu Pemerintah Daerah diharapkan dapat menitikberatkan perhatiannya kepada penggalian jenis-jenis obyek pajak dan retribusi yang potensial, sehingga dapat menunjang dan meningkatkan pendapatan daerah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4139) tentang Retribusi Daearah yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, ijin gangguan ditetapkan menjadi salah satu jenis retribusi perijinan tertentu. Prinsip dan sasaran penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi didasarkan pada tujuan untuk menutup biaya penyelenggaraan pemberian ijin, disamping merupakan sumber pendapatan daerah.

Kabupaten Karanganyar sampai dengan penelitian ini dilaksanakan masih menggunakan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 untuk mengatur masalah Retribusi Ijin Gangguan. Retribusi Ijin Gangguan pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah masuk pada penggolongan Retribusi Perijinan Tertentu, sama dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2000 tentang Retribusi Daerah yang muncul sebagai aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Meskipun demikian, secara material penting untuk meneliti efektifitas implementasi Peraturan Daerah tersebut selama era otonomi daerah ini, sebab Peraturan Daerah tersebut masih berlaku.

Dari uraian tersebut di atas, mendorong penulis untuk meneliti hal-hal yang berkaitan dengan perijinan gangguan khususnya tentang Retribusi Ijin Gangguan. Maka penulis mengajukan usulan penelitian dengan judul :


(19)

commit to user

”IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH NOMOR 4 TAHUN 2007

TENTANG RETRIBUSI IJIN GANGGUAN DI KABUPATEN

KARANGANYAR”.

B. Perumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang tersebut, dalam hubungannya dengan studi hukum dan upaya peningkatan pendapatan asli daerah melalui peningkatan retribusi ijin gangguan, permasalahan yang diteliti adalah :

1. Apakah pelaksanaan ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan telah sesuai dengan prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab ?

2. Mengapa tidak semua permohonan Retribusi Ijin Gangguan di Kabupaten Karanganyar mendapatkan persetujuan dan surat kepemilikan ijin usaha ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penyusunan penelitian hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Umum :

a. Untuk dapat mengetahui dalam pelaksanaan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan di Kabupaten Karanganyar telah sesuai dengan prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

b. Untuk mengetahui penyebab permohonan Retribusi Ijin Gangguan di Kabupaten Karanganyar tidak mendapatkan persetujuan dan surat kepemilikan ijin usaha.

2. Tujuan Khusus :

a. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis dalam penelitian hukum, khususnya dalam bidang hukum kebijakan publik yang berhubungan dengan implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang tentang Retribusi Ijin Gangguan di Kabupaten Karanganyar.

b. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar Magister Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(20)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penyusunan tesis ini dibagi menjadi 2 (dua), adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pengembangan studi ilmu hukum, khususnya pelaksanaan hukum di masyarakat.

b.Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya mengenai implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan masukan untuk penyempurnaan kebijaksanaan penarikan retribusi daerah, khususnya retribusi ijin gangguan dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah di Kabupaten Karanganyar.

b.Sebagai bahan masukan untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Karanganyar untuk mengeluarkan alternatif kebijaksanaan lain dalam kaitannya dengan Retribusi Ijin Gangguan.

c. Sebagai bahan bagi masukan untuk evaluasi Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan.


(21)

commit to user

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Kebijakan Publik dalam Pemerintahan Daerah

Definisi tentang kebijakan (policy) tidak ada pendapat yang tunggal, tetapi menurut konsep demokrasi modern kebijakan negara tidaklah hanya berisi cetusan pikiran atau pendapat para pejabat yang mewakili rakyat. Tetapi opini publik juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk diisikan dalam kebijakan negara, misalnya kebijakan negara yang menaruh harapan banyak agar pelaku kejahatan dapat memberikan pelayanan sebaik-baiknya, dari sisi lain sebagai abdi masyarakat haruslah memperhatikan kepentingan publik.8

Istilah kebijakan atau sebagian orang mengistilahkan kebijakan seringkali disamakan pengertiannya dengan istilah policy, hal ini barangkali dikarenakan sampai saat ini belum diketahui terjemahan yang tepat istilah policy ke dalam Bahasa Indonesia. Kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata bijak, yang berarti selalu menggunakan akal budinya; pandai; mahir; pandai bercakap-cakap, petah lidah.9 Sedangkan kata kebijakan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kepandaian; kemahiran; kebijaksanaan; rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana di pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak.10

Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan memberi arti kebijakan sebagai suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah.11 Lebih rinci James E. Anderson memberi pengertian

8

M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1989, hlm. 10

9

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001, hlm. 142

10

Ibid, hlm. 115

11


(22)

commit to user

kebijakan negara sebagai kebijakan oleh badan-badan pejabat pemerintah yang memiliki 4 (empat) implikasi sebagai berikut :

1) Kebijakan negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi kepada tujuan;

2) Kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat pemerintah;

3) Kebijakan itu merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah, bukan merupakan suatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu; 4) Kebijakan negara itu bisa berupa positif dalam arti merupakan bentuk

tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bisa bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk melakukan sesuatu.12

David Easton mengemukakan bahwa ”Policy is the authoritative allocation of value for the whole society” (pengalokasian nilai-nilai secara paksa dan atau sah pada seluruh anggota masyarakat), dimana melalui proses pembuatan keputusanlah komitmen-komitmen masyarakat yang seringkali masih kabur dan abstrak sebagaimana tampak dalam nilai-nilai dan tujuan-tujuan masyarakat. Diterjemahkan oleh para aktor politik ke dalam komitmen-komitmen yang lebih spesifik menjadi tindakan-tindakan dan tujuan-tujuan yang konkrit.13

Pandangan lainnya dari kebijakan publik, melihat kebijakan publik sebagai keputusan yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu berupa serangkaian instruksi dan pembuatan keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara pencapaian tujuan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soebakti, bahwa kebijakan negara merupakan bagian keputusan politik yang berupa program perilaku untuk mencapai tujuan masyarakat negara.14

12

James Anderson, Public Policy Making, New York : Holt, Rinehart and Winston, Terjemahan Joko Purwono, Surakarta, 1979, hlm. 11-12

13

Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 39

14

Samodro Wibowo, Kebijakan Publik : Suatu Analisa Komparasi, Rafika Aditama, Bandung, 1994, hlm. 190


(23)

commit to user

Pendapat lain dikemukakan oleh James E Anderson, bahwa : ”Publik policy are those policies developed by govermental bodies and officials” (Kebijakan negara adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan atau pejabat-pejabat pemerintah). Menurut Anderson, implikasi dari pengertian kebijakan negara itu adalah.15

1) Kebijakan negara selalu mempunyai tujuan atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan;

2) Kebijakan itu berisi tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah;

3) Kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah;

4) Kebijakan negara itu dapat bersifat dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai sesuatu masalah tertentu atau bersifat dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;

5) Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti positif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa.

Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan mempunyai manfaat positif bagi anggota masyarakat, namun demikian dimungkinkan bahwa kebijakan publik kurang efektif dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena kurangnya peran aktor pelaksana atau badan-badan pemerintah dalam implementasi kebijakan publik. Disamping itu juga karena masih lemahnya mereka dalam menyebarluaskan kebijakan publik baru kepada warga masyarakat.16

Sebagaimana disampaikan oleh Setiono dalam Handout Matrikulasi Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana UNS 17, bahwa hubungan hukum dan kebijakan publik adalah sebagai berikut : ”Tugas

15

M. Irfan Islamy, op. cit, hlm. 19

16

Bambang Sugono, Hukum dan Kebijakan Publik, Sinar Pustaka, Jakarta, 1994, hlm. 143

17

Setiono, Pemahaman terhadap Metode Penelitian Hukum : Kuliah Matrikulasi Progdi Ilmu Hukum Pascasarjana UNS, PPS UNS, Surakarta, 2004


(24)

commit to user

hukum itu adalah mencapai keadilan dan ketertiban (kepastian hukum), dan seiring terjadi benturan dimana terkadan hukum (Undang-Undang) tidak menjamin terpenuhinya keadilan dan sebaliknya, keadilan tidak memiliki kepastian hukum”.

Hukum sebagai peraturan perundang-undangan merupakan instrumen pengendalian masyarakat, dinamika sosial masyarakat dikendalikan oleh masyarakat. Hukum dan segala aspek formal dan legalnya sering membelenggu dinamika masyarakat, sebaliknya masyarakat mengalami dinamika yang berlangsung cepat.

Hubungan hukum dan kebijakan publik dapat dilihat dari handout Hukum dan Kebijakan Publik 18 :

1) Formulasi hukum dan kebijakan publik

Hubungan pembentukan hukum dan kebijakan publik saling memperkuat satu dengan yang lain, sebuah produk hukum tanpa adanya proses kebijakan publik di dalamnya maka akan kehilangan makna substansinya. Begitu pula sebaliknya, sebuah proses kebijakan publik akan lemah pada tatanan operasionalnya tanpa ada legitimasi hukum.

2) Implementasi hukum dan kebijakan publik

Bagaimana penerapan hukum dan implementasi kebijakan Publik dapat saling membantu memperlancar berjalannya hasi-hasil hukum dan kebijakan Publik di lapangan.

3) Evaluasi kebijakan publik

Evaluasi kebijakan publik dibedakan menjadi 3 macam, yaitu : a) Evaluasi administratif, adalah evaluasi kebijakan publik yang

dilakukan di dalam lingkup pemerintahan atau instansi-instansi. Evaluasi ini dilakukan oleh badan-badan pemerintah yang terkait dengan program tertentu, misalnya : Irjen, Bawasda, Konsultan Swasta, dll.

18


(25)

commit to user

b) Evaluasi yudisial, adalah evaluasi terhadap kebijakan publik yang berkaitan dengan objek-objek hukum. Apakah ada pelanggaran hukum atau tidak dari kebijakan yang dievaluasi tersebut, yang melakukan evaluasi adalah lembaga-lembaga hukum seperti pengacara, pengadilan, kejaksaan, PTUN, dsb.

c) Evaluasi politik, adalah evaluasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik baik parlemen maupun parpol. Namun sesungguhnya evaluasi ini juga dapat dilakukan oleh masyarakat secara umum.

Pada penelitian ini, penyusun meneliti bagaimana penerapan (implementasi) Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar yang mengatur tentang Retribusi Ijin Gangguan agar dapat mengoptimalkan pendapatan daerah. Dengan demikian Peraturan Daerah sebagai produk hukum, dalam penerapannya dapat diketahui apakah telah berjalan sesuai dengan maksud yang diharapkan oleh para pembuatnya.

Pada dasarnya di dalam penerapan hukum tergantung pada 4 (empat) unsur19, yaitu :

1) Unsur hukum

Unsur hukum adalah produk atau kalimat, aturan-aturan hukum. Kalimat-kalimat hukum harus ditata sedemikian rupa, sehingga maksud yang diinginkan oleh pembentuk hukum dapat terealisasikan di lapangan yang luas dengan tetap mengacu kepada pemaknaan hukum. Namun bukan berarti pemaknaan yang diberikan oleh pembentuk hukum harus dipaksakan, sehingga di semua tempat harus direalisasikan sama persis dengan apa yang dimaksud oleh para pembentuk hukum. Modifikasi-modifikasi oleh penerap hukum di lapangan diperlukan sebatas semua itu dilakukan untuk menuju pemaknaan ideal dari aturan hukum yang dimaksudkan.

19


(26)

commit to user

2) Unsur struktural

Unsur struktural berkaitan dengan lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang diperlukan dalam penerapan hukum. Terdapat 2 (dua) hal pentingnya unsur struktural pada penerapan hukum, yaitu :

a) Organisasi atau institusi seperti apa yang tepat untuk melaksanakan undang-undang tertentu.

b) Bagaimana organisasi itu dapat menjalankan tugasnya dengan baik. 3) Unsur masyarakat

Unsur ini berkaitan dengan kondisi sosial politik dan sosial ekonomi dari masyarakat yang akan terkena dampak atas diterapkannya sebuah aturan hukum (undang-undang), kondisi masyarakat yang ada harus disesuaikan lebih dulu demi terselenggara dan lancarnya penerapan hukum.

4) Unsur budaya

Dalam kaitannya dengan unsur budaya perlu diperhatikan 2 (dua) hal, yaitu :

a) Sedapat mungkin diupayakan bagaimana agar produk hukum yang dibuat dapat sesuai dengan budaya yang ada dalam masyarakat. b) Bagaimana produk hukum yang tidak sesuai dengan budaya dalam

masyarakat dapat diterima masyarakat.

Menurut Leo Agustino, mengingat banyaknya masalah yang perlu disusun sebagai sebuah kebijakan publik, maka diperlukan proses formulasi kebijakan, yaitu bagaimana para analis kebijakan dapat mengenal masalah-masalah publik yang dibedakan dengan masalah privat. Pada intinya, studi mengenai formulasi kebijakan memberikan perhatian yang sangat dalam pada sifat-sifat (perumusan) masalah publik.20 Dalam hal ini perumusan masalah tersebut akan sangat membantu para analis mendiagnosis penyebaran masalah publik, memetakan tujuan yang

20


(27)

commit to user

memungkinkan, memadukan pandangan yang berseberangan yang merancang peluang kebijakan yang baru.

Sementara itu di dalam kehidupan masyarakat hampir selalu ada perbedaan-perbedaan tertentu antara pola perikelakuan yang nyata dengan pola perikelakuan yang dikehendaki oleh hukum. Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Harry C. Bredemeier bahwa betapa pekerjaan hukum serta hasil-hasilnya tidak hanya merupakan urusan hukum, melainkan merupakan bagian dari proses kemasyarakatan yang lebih besar.21

Dengan kerangka formulasi kebijakan publik inilah hukum mempunyai kedudukan yang sentra, antara hukum dan kebijakan publik mempunyai keterkaitan yang erat. Perbandingan antara proses pembentukan hukum dan proses formulasi kebijakan publik di samping menunjukkan kesamaan diantara keduanya, juga menunjukkan bagaimana diantara keduanya berhubungan dan saling membantu.22

Hubungan antara pemerintah daerah dan kebijakan publik sangat erat, apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuan atau obyeknya. Kebijakan negara itu harus meliputi semua tindakan pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Kebijakan negara itu bisa berupa positif dalam arti merupakan bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu, atau bisa juga bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk melakukan sesuatu.23

Sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pemerintahannya masing-masing. Hal ini merupakan wujud dari salah satu asas pemerintahan daerah yang disebut dengan asas

21

Satjipto Raharjo, Negara Hukum dan Deregulasi Moral, Kompas, Jakarta, 1996, hlm. 145

22

Edi Wibowo, Hukum dan Kebijakan Publik, YPAPI, Yogyakarta, 2004, hlm. 53

23

James Anderson, Public Policy Making, New York : Holt, Rinehart and Winston, Terjemahan Joko Purwono, Surakarta, 1979, hlm. 11-12


(28)

commit to user

otonomi, yang kemudian pemerintah daerah membuat peraturan daerah sebagai kebijakan dalam daerah tersebut. Dalam pelaksanaan kebijakan publik haruslah berhasil, tidak hanya pelaksanaannya saja yang harus berhasil. Akan tetapi tujuan yang terkandung dalam kebijakan publik itu haruslah tercapai, yaitu terpenuhinya kepentingan masyarakat.

2. Teori Implementasi dan Bekerjanya Hukum

Pengertian yang sangat sederhana tentang implementasi sebagaimana yang diungkapkan oleh Charles O. Jones, implementasi diartikan sebagai ”getting the job done” dan ”doing it”. Tetapi dibalik kesederhanaan rumusan yang demikian berarti, bahwa implementasi kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun pada pelaksanaannya, menuntut adanya syarat yang antara lain adanya orang atau pelaksana, uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resource. Lebih lanjut Jones merumuskan batasan implementasi sebagai proses penerimaan sumber daya tambahan, sehingga dapat mempertimbangkan apa yang harus dilakukan.24

Jadi, implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan perencanaan penetapan waktu dan pengawasan. Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier, implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan. Yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasi maupun usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran, tetapi juga memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh pada implementasi kebijakan negara.25

24

Riant Nugroho, op.cit, hlm. 47

25

Solichin Abdul Wahab, Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1991, hlm. 65


(29)

commit to user

Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai berikut : ”Policy implementation encompasses those actions by public and private individuals (and groups) that are directed at the achivement of goals and objectives set forth in prior policy decisions.” Definisi tersebut memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (dan kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.26

Dengan mengacu pada pendapat para ahli di atas, dapat diambil pengertian bahwa sumber-sumber untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuat kebijakan yang di dalamnya mencakup manusia, dana dan kemampuan organisasi yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta (individu maupun kelompok). Implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau perilaku badan alternatif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari target grup, namun lebih dari itu juga berlanjut dengan jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat dan pada akhirnya terdapat dampak yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.

Penerapan atau berlakunya hukum di masyarakat dalam kajian ini erat kaitannya dengan konsep Lawrence M Friedman tentang 3 (tiga) unsur sistem hukum.27 Ketiga unsur sistem hukum yang mempengaruhi bekerjanya hukum yaitu :

a. Struktur Hukum, yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkikan untuk melihat

26

A.G. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hlm. 99

27

Achmad Ali, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, Yarsif Watampone, Jakarta, 1998, hlm. 7-9


(30)

commit to user

bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap bahan-bahan hukum secara teratur. 28 Dalam hal ini merupakan unsur yang berasal dari para pemegang aturan hukum, seperti pemerintah (eksekutif), pembuat peraturan (legislatif) maupun lembaga kehakiman (yudikatif). Para aparat penegak hukum seyogyanya harus bersikap konsisten terhadap apa yang telah disepakatinya, ia tidak boleh melanggar kebijakan-kabijakan hukum yang telah dibuatnya. Secara sederhana, struktur hukum dapat diartikan sebagai kerangka hukum atau wadah dan organisasi dari lembaga-lembaganya.

b. Substansi Hukum, yaitu sebagai output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur dan yang diatur. Substansi merupakan aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum. Komponen substantif sebagai output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur.29 Substansi hukum tidak hanya terbatas pada norma formal saja, tetapi juga meliputi pola perilaku sosial termasuk etika sosial. Idealnya, materi hukum tidak boleh diinterpretasikan secara baku atau sebagaimana adanya seperti yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

c. Budaya Hukum, yaitu terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum atau yang menurut Lawrence M Friedman disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat.30 Jika unsur ini dihilangkan, maka akan menimbulkan kepincangan hukum dan tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya serta cita-cita untuk mewujudkan keadilan akan sirna. Pemerintah dalam menyusun

28

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, 2005, hlm. 30

29

Ibid, hlm. 5

30


(31)

commit to user

peraturan dan menentukan langkah-langkah hukum perlu memperhatikan pula nilai-nilai dalam masyarakat, tidak hanya berdasar pada asumsi belaka. Sesuai atau tidaknya kebijakan hukum dengan tuntutan masyarakat umum, akan sangat menentukan keberhasilan hukum itu sendiri.

Bertolak dari rangkaian pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya hukum mempunyai banyak fungsi dalam usahanya mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu dalam perumusannya, sebagai hukum positif harus dipahami suatu sistem norma. Pemahaman ini penting artinya untuk menghindari terjadinya pertentangan antara norma hukum yang lebih tinggi dengan norma hukum yang lebih rendah kedudukannya. Pemahaman ini semakin penting artinya apabila kita tetap berkeinginan agar keberadaan hukum sebagai suatu sistem dalam menjalankan tugasnya di masyarakat.

Hukum dalam masyarakat Indonesia sangat tertinggal jauh bila dibandingkan dengan negara-negara lain, dimana disebabkan adanya beraneka ragam lingkungan, kondisi dan kebudayaan di Indonesia. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh para ahli sosiologis dari Amerika Serikat yang bernama Edwin M Schur, menyampaikan bahwa seperangkat norma-norma hukum merupakan hasil dari pada suatu proses sosial sebab hukum dibuat dan diubah oleh usaha manusia dan bahwa hukum senantiasa berada di dalam keadaan yang berubah pula.31

Menurut Satjipto Raharjo,32 secara sosiologis terdapat 2 (dua) fungsi utama dari hukum yaitu :

a. Kontrol Sosial (Social Control)

Kontrol sosial merupakan fungsi hukum yang mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup di

31

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Aksara, Bandung, 1990, hlm. 30

32


(32)

commit to user

dalam masyarakat dimana yang termasuk dalam lingkup kontrol sosial antara lain :

1) Perbuatan norma-norma hukum baik yang memberikan peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang; 2) Penyelesaian sengketa di dalam masyarakat;

3) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial.

b. Rekayasa Sosial (Social Engineering)

Rekayasa sosial diharapkan dapat membawa perubahan yang mendasar pada sikap masyarakat dalam berpartisipasi dalam setiap gerak pembangunan.

Menurut Roscoe Pound, hukum yang berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial sebenarnya adalah manifestasi dari digunakannya hukum sebagai alat politik negara guna mewujudkan kepentingan politiknya untuk melindungi kepentingan umum, kepentingan masyarakat dan kepentingan pribadi.33

Selanjutnya menurut Soerjono Soekanto34, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pokok penegakan hukum adalah sebagai berikut :

a. Faktor hukum itu sendiri;

b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk ataupun menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

e. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

33

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum (terjemahan), Bhatara, Jakarta, 1982, hlm. 87

34

Soejono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raya Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 8-9


(33)

commit to user

Kelima faktor diatas saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur dari efektivitas penegakan hukum.

Kecenderungan penulis menggunakan Konsep Three Elements of Legal System dari Lawrence M Freidmen dalam melakukan analisis dan pembahasan hasil penelitian ini didasari oleh pemikiran bahwa pelaksanaan hukum pajak dan retribusi, khususnya yang berkaitan dengan retribusi ijin gangguan sebagai implementasi Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 di Kabupaten Karanganyar tidak terlepas dari lembaga sebagai perencana dan pelaksana program dalam hal ini Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Karanganyar. Muatan program serta budaya dan masyarakat dimana program atau kebijakan tersebut diselenggarakan, sehingga pendekatan konsep tiga unsur sistem hukum dirasa sesuai sebagai sarana untuk membahasnya.

3. Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disahkan dan diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004 (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437), yang terdiri atas 16 Bab dan 240 pasal. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, UU RI Nomor 32 Tahun 2004 merupakan undang-undang pemerintahan daerah yang ke delapan yang dibuat berdasarkan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen.

Asas-asas penyelenggaraan pemerintah bagi pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Menurut Pasal 1 Angka (5), yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/ atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/ atau desa serta


(34)

commit to user

dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Terdapat prinsip-prinsip yang penting bagi pemerintah daerah dalam menjalankan tugasnya menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu:

a. Prinsip otonomi seluas-luasnya

Prinsip otonomi seluas-luasnya mengandung arti bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan daerah yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam undang-undang. Daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

b. Prinsip otonomi nyata

Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian, isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

c. Prinsip otonomi yang bertanggung jawab

Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi,yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. 35

35

Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm. 165-166


(35)

commit to user

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang dititikberatkan pada daerah Kabupaten/ Kota membawa konsekuensi bahwa daerah harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan otonomi daerah. Substansi pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya pemberdayaan masyarakat, upaya menumbuhkan prakarsa, kreativitas, dan peningkatan peran serta masyarakat secara aktif di segala tingkatan dalam segala aspek. Hal ini tidak terlepas dari tuntutan dan keinginan masyarakat untuk memperoleh kualitas kehidupan yang lebih merata, otonom dan terbuka serta tumbuh kembangnya lembaga-lembaga yang dimiliki masyarakat secara berkelanjutan. Secara prinsip tujuan utama otonomi daerah adalah mendekatkan pemerintah kepada masyarakat yang dilayaninya, sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih baik dan kontrol masyarakat kepada pemerintah lebih nyata.

Konsep desentralisasi pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah telah menjadi salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, hanya saja asas ini belum dilaksanakan dengan komitmen politik yang ditunjang dengan kebijakan yang mendukung. Gerakan reformasi pada tahun 1998 mendorong berbagai kajian yang selama muncul sehubungan dengan pelaksanaan pemerintahan daerah untuk diperhatikan dengan serius. Pada akhirnya dengan tekanan dari berbagai daerah dengan munculnya konflik disintegrasi, perumusan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah selesai dan pada masa Pemerintahan Presiden Habibie Undang-Undang ini ditetapkan dan dilaksanakan. Yang kemudian pada Tahun 2004 Undang-Undang tersebut diperbaharui kembali menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Otonomi daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan


(36)

commit to user

mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 36

Otonomi daerah adalah penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Arbi Sanit bahwa otonomi daerah adalah desentralisasi kewenangan dari pusat ke daerah yang menekankan prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan. Otonomi daerah telah mengakibatkan perubahan kewenangan pemerintah pusat dan daerah, yang berimplikasi pada terjadinya perubahan beban tugas dan struktur organisasi yang mewadahinya.37

Berdasarkan definisi tersebut dapat dilihat bahwa penekanan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah kepentingan masyarakat setempat, artinya daerah diberi kesempatan untuk menentukan penyelenggaraan pemerintahannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat yang bersangkutan dengan batasan peraturan perundangan yang ada. Pada Undang-Undang tersebut juga diatur mengenai konsep desentralisasi yang dipahami sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 38

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka penyelenggaraan otonomi daerah dan desentralisasi adalah dalam kerangka pelaksanaan pemerintahan di daerah berdasarkan penyerahan kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk melaksanakan aspirasi masyarakat.

36

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 Angka 5

37

Pujiyono, Struktur Organisasi Birokrasi Daerah yang Ideal Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, Jurnal Yustisia Edisi Nomor 69 Sept-Desember 2006, hlm. 44-45

38


(37)

commit to user

Setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, maka pada hakekatnya tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah semakin meningkat. Tugas dan tanggung jawab tersebut menyangkut penyerapan aspirasi masyarakat dan pelaksanaan kewenangan desentralisasi kepada masyarakat. Otonomi daerah juga mengandung tujuan kemandirian bagi daerah, sehingga pelaksanaan otonomi daerah dapat optimal bagi daerah yang bersangkutan. Salah satu indikatornya adalah kemampuan keuangan daerah. Kemandirian keuangan daerah merupakan indikator kemandirian daerah dalam melaksanakan rumah tangganya sendiri, permasalahan yang timbul adalah rendahnya kemampuan keuangan daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh rendahnya intensifikasi pajak dan retribusi daerah, tidak optimalnya pendapatan asli daerah serta rendahnya penerimaan daerah dari hasil perusahaan daerah.

Daerah otonom harus mandiri dalam pengelolaan pemerintahan secara keseluruhan dengan menempatkan keuangan daerah sebagai pilar utama otonomi. Daerah otonom mempunyai sumber-sumber keuangan sendiri dan dapat mempergunakannya untuk melaksanakan tugasnya dan mempunyai anggaran belanja yang ditetapkan sendiri. 39

Sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsepsi yang selalu eksis dalam sebuah organisasi modern, baik dalam organisasi non publik. Kedua konsepsi ini bahkan menentukan derajat hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Karena itu, tidak kita

39

The Liang Gie, Pertumbuhan Daerah di Negara Republik Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1968, hlm. 25


(38)

commit to user

temukan seuah negara yang hidup hanya dengan sentralisasi atau hanya dengan desentralisasi.40

Agar supaya semua tindakan pemerintah daerah sah dan dapat diterima oleh rakyat di daerahnya, maka semua kebijakan di daerah harus ada dasar pijakan yuridis sehingga memudahkan daerah mengatur dirinya sesuai aspirasi masyarakat antara lain dalam Peraturan daerah (Perda). Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.41

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perahiran Perudang-undangan, yang menggantikan Ketetapan MPR No.1IUMPR/2000, ditegaskan dalam pasal 12 bahwa materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelengaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan (medebewind), dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undanan yang lebih tinggi. Sistem otonomi yang dijalankan sekarang adaIah otonomi nyata (faktor riil masing-masing daerah) dan bertanggung jawab.

Dari cara pembuatannya, kedudukan Peraturan Daerah setara dengan Undang-Undang dalam arti semata-mata merupakan produk hukum lembaga legislatif. Namun dari segi isinya, kedudukan peraturan yang mengatur materi dalan ruang lingkup daerah yang lebih sempit dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dibandingkan peraturan dengan ruang lingkup wilayah yang lebih luas. Jadi, sesuai dengan prinsip hierarkhi peraturan perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi.

40

Eko Prasojo dan Teguh Kurniawan, 2008. Reformasi Birokrasi dan Good Governance : Kasus Best Practices dari Sejumlah Daerah di Indonesia. Jurnal Antropologi Indonesia

41

Pipin Syarifin&Dedah Jubaedah, Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung. 2006, hlm. 27


(39)

commit to user

Menurut Bagir Manan mengingat bahwa Peraturan Daerah dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkungan wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan "pertingkatan", melainkan juga pada "lingkungan wewenangnya" kecuali UUD.42

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis. Adapun jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7 sebagaimana tersebut di bawah ini :

a. UUD Negara Republik Indonesia Talnm 1945

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang c. Peraturan Pemerintah

d. Peraturan Presiden

e. Peraturan Daerah, terdiri dari : 1) Perda Provinsi;

2) Perda Kabupaten/Kota;

3) Perdes/Peraturan yang setingkat.

Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan daerah yang bersangkutan, untuk melaksanakan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya atau dalam rangka menjalankan hugas wewenang dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemerintahan daerah (pimpinan eksekutif daerah). Kepala daerah mempunyai kewenangan membuat ketetapan

42

Huda,2005,Otonomi Daerah ; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika / Ni’matul Huda Pustaka Pelajar, Yogyakarta


(40)

commit to user

(heschikking) dan peraturan kebijaksanaan (beleidsregel atau pseudo-wetgeving) seperti pembuatan Juklak.

Keputusan Kepala Daerah, yang melaksanakan Peraturan Daerah adalah peraturan delegasi, karena itu materi muatannya semata-mata mengenai hal-hal yang diatur dalam Peraturan Daerah bersangkutan. Kepala Daerah dapat membuat keputusan untuk melaksanakan suatu Peraturan Daerah apabila memang diperlukan walaupun tidak ada delegasi yang tegas dalam Peraturan Daerah tersebut43. Dengan demikian Keputusan Kepala Daerah merupakan keputusan yang mengikat secara umum dan dibuat berdasarkan kewenangan adalah termasuk perundang-undangan dalam bidang desentralisasi.

Penulis dalam hal ini menggunakan Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 4 Tahun 2007 untuk meneliti tentang Retribusi Ijin Gangguan di Kabupaten Karanganyar, sebagai pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

4. Retribusi Ijin Gangguan sebagai Pendapatan Daerah a. Pengertian Ijin, Lisensi, Konsesi dan Dispensasi

Pengertian ijin dalam arti luas adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan. Definisi ijin dalam arti sempit adalah sebagai pengikatan aktifitas-aktifitas pada suatu peraturan ijin yang pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk. Ijin adalah salah satu instrumen yang paling

43

Abdul Latif bin Wahab Al Ghomidi; Fisik : Buku kecil, Softcover; 136; Penerbit Pustaka At-Tibyan


(41)

commit to user

banyak digunakan dalam hukum administrasi, sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku masyarakat.44

Berdasarkan definisi ijin yang dikemukakan oleh Philipus M Hadjon tersebut, disimpulkan bahwa ijin adalah alat pemerintah untuk mengemudikan tingkah laku dan sarana pengendalian masyarakat oleh pemerintah untuk menghindarkan dari hal-hal yang buruk yang diberikan berdasarkan suatu aturan tertentu. Definisi ijin yang lain menurut Zamzuri adalah peniadaan larangan yang telah ditentukan oleh peraturan perundangan dengan tetap diikatkan pada syarat-syarat tertentu.45

Pendapat tersebut agak berbeda dengan pandangan Van Der Pot, yang mengatakan bahwa ijin merupakan keputusan yang memperkenankan dilakukannya perbuatan yang pada prinsipnya tidak dilarang oleh pembuat aturan.46 Menurut Prajudi Atmosudirdjo, ijin (vergunning) adalah suatu penetapan yang merupakan dispensasi pada suatu larangan oleh undang-undang. Selanjutnya, larangan tersebut diikuti dengan perincian syarat-syarat, kriteria, dan sebagainya yang perlu dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh dispensasi dari larangan dengan disertai penetapan prosedur dan petunjuk pelaksanaan (juklak) kepada pejabat-pejabat administrasi negara yang bersangkutan.47

Pengertian ijin juga termuat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perijinan Terpadu di Daerah, yaitu diartikan sebagai dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lain yang merupakan bukti legalitas, menyatakan sah atau diperbolehkannya seseorang atau

44

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 124

45

Zamzuri, Tindak Pemerintah, Al Hikmah, Yogyakarta, 1981, hlm. 24

46

Van der Pot dalam Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, cetakan ke delapan, Penerbit danBalai Buku Ichtiar, Jakarta, 1985, hlm. 143

47


(42)

commit to user

badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Pemberian pengertian tersebut menunjukkan adanya penekanan pada ijin yang tertulis yang berbentuk dokumen, sehingga yang disebut sebagai ijin tidak termasuk yang diberikan secara lisan.

Sebagai instrumen kontrol maka pemberian ijin oleh pemerintah harus memenuhi rangkaian persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundangan, sebab ijin gangguan diberikan oleh pemerintah untuk melindungi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan usaha tertentu. Artinya masyarakat di sekitar wilayah tersebut menyetujui adanya usaha tertentu dan tidak keberatan atas adanya kegiatan tersebut, jaminan terhadap perlindungan tersebut diberikan oleh pemerintah dalam bentuk ijin.

Terkait dengan ijin, sebaiknya perlu diketahui pengertian dari lisensi, konsesi dan dispensasi. Menurut Prajudi Atmosudirjdjo, lisensi adalah suatu pengertian khas Indonesia yang di Negeri Belanda tidak ada. Istilah tersebut berasal dari istilah hukum administrasi Amerika Serikat yaitu license, yang dalam Bahasa Belanda adalah vergunning. Istilah lisensi kerap digunakan pada tahun 1950-an ketika perdagangan masih terikat kepada sistem devisa ketat sehingga setiap importir memerlukan lisensi dari Kantor Pusat Urusan Impor yang bekerja sama dengan kantor urusan devisa, yakni Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri untuk dapat mengimpor barang dan jasa. Jadi, lisensi adalah ijin untuk melakukan sesuatu yang bersifat komersial yang mendatangkan keuntungan atau laba. Setelah rezim devisa dihapus, istilah dan pengertian lisensi semakin tidak dikenal orang.48 Menurut Amrah Muslimin, lisensi merupakan ijin yang sebenarnya (de eigenlijke). Dasar pikiran dilakukannya penetapan yang merupakan lisensi ialah bahwa hal-hal yang diliputi oleh lisensi diletakkan di bawah pengawasan pemerintah untuk mengadakan

48


(43)

commit to user

penertiban dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti ijin perusahaan bioskop, ekspor, impor, dan lain-lain.49

Konsesi adalah suatu penetapan administrasi negara yang secara yuridis sangat kompleks karena merupakan seperangkat dispensasi, ijin, lisensi, disertai pemberian semacam wewenang pemerintahan terbatas kepada konsesionaris. Konsesi tidak mudah diberikan karena mengandung banyak bahaya penyelundupan, perusakan bumi dan kekayaan alam negara, dan terkadang merugikan masyarakat setempat yang bersangkutan. Konsesi diberikan atas permohonan dengan prosedur serta syarat-syarat yang terperinci kepada perusahaan-perusahaan yang mengusahakan sesuatu yang cukup besar, baik dalam arti modal, tenaga kerja, maupun lahan atau wilayah usaha, seperti perusahaan minyak bumi, perusahaan perhutanan, perusahaan perikanan, dan perusahaan pertambangan pada umumnya. Pendek kata, semua perusahaan yang mengusahakan sesuatu dengan modal besar, dengan mengurangi kedaulatan atau wewenang pemerintahan pemerintah, dan dengan luas areal atau lahan yang cukup besar sehingga merupakan suatu usaha yang cukup rumit dari segi hukum memerlukan konsesi, tidak cukup hanya dengan ijin biasa.50

Menurut Ateng Syafrudin, konsesi merupakan suatu ijin sehubungan dengan pekerjaan besar yang melibatkan kepentingan umum sehingga sebenarnya pekerjaan tersebut merupakan tugas pemerintah, tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada konsesionaris (pemegang ijin) yang bukan pejabat pemerintah.51 Menurut Utrecht, terkadang pembuatan peraturan beranggapan bahwa suatu perbuatan yang penting bagi umum sebaiknya dapat diadakan oleh suatu subyek hukum patikelir, tetapi

49

Amrah Muslimin, Beberapa Asas-Asas dan Pengertian-Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni Bandung, 1982, hlm. 118

50

Ibid, hlm. 94-95

51

Ateng Syafrudin, Perijinan untuk Berbagai Kegiatan, makalah tidak dipublikasikan, hlm. 1


(44)

commit to user

dengan campur tangan pemerintah. Suatu keputusan administrasi negara yang memperkenankan yang bersangkutan mengadakan perbuatan tersebut memuat suatu konsesi (consesie).52

Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berg, pelepasan atau pembebasan (dispensasi) merupakan terkecualian yang sungguh-sungguh, yakni merupakan kekecualian atas larangan sebagai aturan umum. Pemberian dispensasi berhubungan erat dengan keadaan-keadaan khusus peristiwa.53 Menurut Van der Pot, dispensasi merupakan keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan tersebut.54

Hal serupa dikemukakan oleh Amrah Muslimin, yang mengatakan bahwa dispensasi adalah suatu pengecualian dari suatu ketentuan-ketentuan umum dalam hal pembuat undang-undang sebenarnya pada prinsipnya tidak berniat mengadakan pengecualian. Sebagai contoh penetapan umur kawin bagi seseorang karena keadaan khusus di bawah usia minimum 18 tahun. Mengacu pada pengertian tersebut, maka sebenarnya dispensasi berangkat dari sebuah larangan yang sungguh-sungguh.55

b. Retribusi Ijin Gangguan/ Hinderordonnantie (HO)

Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam menangani gangguan yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha. Pada awal tahun 1926, pemerintah kolonial Belanda menertibkan Undang-Undang Gangguan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) nomor 226 dan kemudian mengubah dan menyempurnakannya melalui Lembaran Negara tahun 1940 nomor 450.

52

Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, hlm. 187

53

N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, disunting dari Philipus M. Hadjon, loc.cit

54

Van der Pot dalam Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, op.cit, hlm. 143

55


(45)

commit to user

Perundang-undangan yang asli berjudul Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie) dan ijin yang dikeluarkannya dikenal dengan nama ”Ijin H.O”. Setelah kemerdekaan, sistem ini dikenal sebagai ”Undang-Undang Gangguan”. 50 tahun kemudian jauh setelah kemerdekaan Indonesia, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Peraturan Nomor 7 Tahun 1993 tentang Ijin Gedung dan Ijin Gangguan bagi Perusahaan-Perusahaan di bidang industri yang kemudian mengubah pendekatan nasional terhadap isu-isu tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu, ijin yang bersifat wajib tersebut disebut sebagai Disturbance Permits dan Nuisance Permits. Pemerintahan kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang Gangguan tersebut dengan tujuan untuk melindungi didirikannya bangunan-bangunan kecil sebagai tempat kerja dan usaha kecil dari gangguan masyarakat umum.

Pada waktu itu Undang-Undang Gangguan dibuat untuk melindungi perusahaan dagang milik Belanda dari penolakan masyarakat dan dari persaingan dengan perusahaan-perusahaan lokal. Namun pada kenyataannya justru sebaliknya, Undang-Undang tersebut terkesan diberlakukan untuk melindungi masyarakat dari dampak-dampak merugikan dari beberapa praktik usaha tertentu dan bukan untuk melindungi industri dari masyarakat. Keinginan untuk melindungi masyarakat dari akibat buruk kegiatan usaha lebih sesuai dengan semangat di era 1920-an dan gerakan reformasi pemerintahan kotamadya yang pada waktu itu sering terjadi.

Kelemahan Undang-Undang Gangguan adalah dikenakannya sanksi karena tidak memperoleh ijin, dan bukan karena menyalahgunakan ijin tersebut atau melanggar ketentuan-ketentuannya. Selanjutnya, pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan AMDAL atau UKL/ UPL tidak ditetapkan secara tegas sebagai pelanggaran terhadap ijin walaupun ketentuan-ketentuan ini dinyatakan sebagai persyaratan untuk memperoleh ijin usaha atau


(1)

commit to user

Hal ini merupakan salah satu unsur dalam menciptakan demokrasi yang stabil dan responsif.

Kedua, suatu sistem yang jelas tentang perlindungan terhadap gangguan akan membantu meningkatkan stabilitas bagi perusahaan. Sebagian besar perusahaan menyadari bahwa kegiatan operasi mereka menimbulkan dampak hingga keluar batas tempat kegiatan mereka, biasanya hal ini terjadi karena meningkatnya arus lalu lintas pasokan, karyawan dan produk. Namun seringkali muncul dalam bentuk kebisingan, cahaya yang menyilaukan, getaran, potensi resiko terhadap keselamatan masyarakat atau meningkatnya permintaan akan utilitas dan layanan yang pasokannya tidak mencukupi. Walaupun banyak perusahaan berharap bahwa dampak tersebut dapat diabaikan, sebagian besar memahami bahwa Pemerintah Kabupaten Karanganyar berkewajiban untuk menanganinya.

Guna membuat keputusan bisnis yang efisien, pelaku usaha perlu memahami secara rinci apakah mereka harus tunduk kepada segala peraturan yang dibuat Pemerintah Kabupaten Karanganyar. Khususnya jenis kegiatan bisnis seperti apa yang dapat didefinisikan sebagai suatu gangguan yang perlu ditangani, jenis penanganan seperti apa yang diperlukan, siapa yang bertanggung jawab, berapa besar biaya yang akan dibebankan dan berapa lama hal ini akan berlangsung.

Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa pada pelaksanaannya, gugurnya permohonan ijin gangguan dipengaruhi oleh 2 faktor. Tidak hanya ketidak sesuaian tempat usaha dengan potensi pembangunan/ Perda Nomor 2 Tahun 1999 Kabupaten Karanganyar, tetapi juga terdapat pemohon yang tidak menyelesaikan/ melanjutkan permohonan ijinnya sampai berakhirnya jangka waktu penyelesaian ijin.


(2)

commit to user

c. Budaya Masyarakat

Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada rakyat merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai pelayan rakyat, oleh karena itu kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan umum sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauh mana pemerintah mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi rakyat sehingga akan menentukan sejauh mana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan pendiriannya.

Sebenarnya, tidak disetujuinya permohonan ijin gangguan di Kabupaten Karanganyar dikarenakan tidak sesuainya tempat usaha dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karanganyar dan juga dikarenakan habisnya jangka waktu penyelesaian ijin. Pada prakteknya, ternyata ada beberapa masyarakat yang tidak dapat mendaftarkan tempat usahanya karena minimnya biaya yang dimiliki.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, aparatur pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari pemerintah karena masyarakat telah memberikan dananya dalam bentuk pembayaran pajak, retribusi dan berbagai pungutan lainnya.

Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Karanganyar harus memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, adanya beberapa warga yang masih belum bisa membayar biaya administrasi pendaftaran ijin gangguan menandakan bahwa kurang sesuainya nominal tersebut dengan keadaan masyarakat di Kabupaten Karanganyar. Apabila diperluakan, hendaknya petugas


(3)

commit to user

mengadakan pendekatan secara langsung kepada masyarakat Kabupaten Karanganyar.

Kualitas pelayanan telah hampir menjadi faktor yang menentukan dalam menjaga keberlangsungan suatu organisasi birokrasi pemerintah maupun organisasi perusahaan, pelayanan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pengguna jasa publik sangat penting dalam upaya mewujudkan kepuasan pengguna jasa publik. Adanya sebuah peraturan daerah pada akhirnya harus dapat memenuhi kebutuhan dan mengakomodasi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, penilaian akhir dari kesuksesan sebuah peraturan daerah adalah pada masyarakatnya.

Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan khususnya mengenai penyebab permohonan ijin gangguan tidak mendapatkan persetujuan dan surat kepemilikan ijin usaha, ternyata hasil temuan di lapangan menyatakan dari aspek budaya masyarakat bahwa tidak disetujuinya permohonan ijin gangguan dipengaruhi oleh 3 faktor. Tidak hanya ketidak sesuaian tempat usaha dengan potensi pembangunan/ Perda Nomor 2 Tahun 1999 Kabupaten Karanganyar dan ketidak disiplinan masyarakat, tetapi juga keterbatasan masyarakat dalam hal keuangan.


(4)

commit to user

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pelaksanaan ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar Nomor 4 Tahun 2007 tentang Retribusi Ijin Gangguan dapat dikatakan belum sesuai dengan asas otonomi yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini dilihat berdasarkan teori Friedman, aspek substansi, struktur dan budaya masyarakat. Apabila ditinjau dari aspek substansi Perda Nomor 4 Tahun 2007 sudah bisa dikatakan sesuai dengan asas otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, hal ini terlihat dari substansi atau muatan dari perda tersebut yang baik dan menguntungkan bagi semua pihak. Tetapi ditinjau dari aspek struktur, Perda tentang Retribusi Ijin Gangguan ini dapat dikatakan belum sesuai dengan asas otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini terlihat dari masih adanya sebagian kecil masyarakat yang keberatan mengenai biaya yang dibebankan dalam pungutan retribusi, hal ini menyebabkan ketidaknyamanan masyarakat Kabupaten Karanganyar. Aspek budaya masyarakat dapat dikatakan telah sesuai dengan prinsip otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana masyarakat telah merasa puas atas pelayanan yang diberikan dan sebagian masyarakat juga merasa pembangunan Pemerintah Kabupaten Karanganyar semakin berkembang. 2. Penyebab permohonan ijin gangguan tidak mendapatkan persetujuan dan

surat kepemilikan ijin usaha di Kabupaten Karanganyar dipengaruhi oleh beberapa faktor, penulis mengkajinya dengan menggunakan teori friedman. Secara substansi penyebab permohonan perijinan gangguan di Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Karanganyar tidak


(5)

commit to user

mendapatkan persetujuan adalah karena adanya bahan pertimbangan dalam pengelolaan pengembangan wilayah yang tertuang dalam Peraturan daerah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karanganyar. Perda ini telah disesuaikan dengan kondisi pembangunan wilayah Kabupaten Karanganyar, dengan mempertimbangkan prioritas pembangunan dan potensi daerah masing-masing di Kabupaten Karanganyar. Dari aspek struktur, hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh ketidak sesuaian tempat usaha dengan potensi pembangunan/ Perda Nomor 2 Tahun 1999 Kabupaten Karanganyar, tetapi juga terdapat pemohon yang tidak menyelesaikan/ melanjutkan permohonan ijinnya sampai berakhirnya jangka waktu penyelesaian ijin. Sedangkan dari aspek budaya masyarakat, permohonan ijin gangguan tidak mendapatkan persetujuan dipengaruhi oleh tiga faktor. Selain ketidak sesuaian tempat usaha dengan potensi pembangunan/ Perda Nomor 2 Tahun 1999 Kabupaten Karanganyar dan ketidak disiplinan masyarakat, terdapat juga keterbatasan masyarakat dalam hal keuangan sebagai penyebab gagalnya tempat usaha dalam mendapatkan ijin.

B. Implikasi

Dengan adanya alur permohonan ijin yang tidak berbelit-belit, banyak masyarakat Kabupaten Karanganyar yang mengajukan permohonan ijin retribusi terhadap tempat usahanya.

C. Saran

1. Kepada Pemerintah Daerah

a. Pemerintah perlu mengadakan penyuluhan yang lebih sering dari petugas mengenai pentingnya mempunyai kepemilikan ijin usaha; b. Pemerintah perlu merubah Peraturan Daerah Nomor 4 ahun 2007

tentang Retribusi Ijin Gangguan agar lebih disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Karanganyar saat ini.


(6)

commit to user

2. Kepada Masyarakat

a. Masyarakat harus mematuhi peraturan tersebut, dengan cara membayar retribusi ijin gangguan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

b. Masyarakat berkewajiban untuk selalu menjaga lingkungan tempat usaha.