Wujud Perlawanan terhadap Kuasa Patriarki dalam Drama Mangir

60 Phallus selain sebagai sebuah penanda alat kelamin laki-laki, juga sebagai simbol kekuasaan. Hal tersebut berdampak pada terjadinya penindasan terhadap perempuan. Dengan kata lain ideologi phallosentris sebagai sebuah ideologi yang didasarkan jenis kelamin mendominasi faktor pedukung kuasa patriarki dalam drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. Adapun faktor kelas muncul sebanyak 20 kali dengan persentase sebesar 39,22. Hal ini terjadi karena latar belakang drama Mangir ini terjadi di wilayah Jawa yang kental dengan feodalisme. Lebih tepatnya tingkatan kelas dalam drama Mangir ini terjadi dalam lingkup keraton Mataram yang menjunjung tinggi norma dan etika kehidupan kelas sosial. Temuan kedua faktor ini menunjukkan bahwa sangat besarnya pengaruh kedua faktor tersebut dalam membangun budaya patriarki. Melalui kedua faktor tersebut tampak jelas bahwa budaya patriarki terjadi sebagai bentuk ketidakadilan gender dalam tataran kehidupan masyarakat.

3. Wujud Perlawanan terhadap Kuasa Patriarki dalam Drama Mangir

Karya Pramoedya Ananta Toer Perlawanan terhadap kuasa patriarki terjadi karena ketidaknyamanan perempuan atas ketidakadilan yang diterimanya. Ditarik dari sudut pandang feminis perlawanan terhadap kuasa patriarki dalam drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer disajikan dalam tabel 3 berikut. Tabel 3 Wujud Perlawanan terhadap Kuasa Patriarki dalam Drama Mangir Karya Pramoedya Ananta Toer. No. Frekuensi Data 61 Dari tabel di atas tampak bahwa wujud perlawanan dengan mengemukakan pendapat lebih sering muncul dari pada wujud perlawanan yang lain dengan jumlah pemunculan sebanyak 26 kali dengan persentase 65. Hal ini disebabkan karena perempuan dalam drama tersebut lebih sering mengemukakan pendapatnya untuk melawan patriarki sebelum akhirnya ia berlindung di bawah nama laki-laki dan berani menantangnya. Perlawanan perempuan dalam drama Mangir ini hanya dilakukan oleh tokoh Putri Pambayun. Sebagai perempuan yang berjuang sendiri dalam menghadapi ketidakadilan gender ia berani mengemukakan pendapat sebagai bentuk perlawanan. Hal tersebut merupakan hal yang paling bisa dilakukan karena posisinya yang berada pada posisi subordinat. Selanjutnya setelah berani mengemukakan pendapat, ia berlindung di bawah nama laki-laki untuk melindunginya dari perlakuan-perlakuan yang tidak ia harapkan. Dengan pemunculan sebanyak enam kali dengan persentase sebesar 15. Kemudia berani menantang laki-laki yang muncul sebanyak lima kali. Selain itu, Pramoedya memberikan gambaran perlawanan dalam diri perempuan melalui monolog tokoh Putri Pambayun yang mengungkapkan Wujud Perlawanan Jumlah Persentase 1. Berani mengemukakan pendapat 26 65 2. Menantang laki-laki 5 12,50 3. Mengungkapkan perasaan 3 7,50 4. Berlindung di bawah nama laki-laki 6 15 Jumlah 40 100 62 perasaan tidak terima atas perlakuan yang diterimanya. Dengan pemunculan sebanyak tiga kali dengan persentase sebesar 7,50.

B. Pembahasan