93
Putri Pambayun: Untukmu dan Perdikan, Kang, di mana dan kapan saja.
Toer, 2011: 91. Sebagai seorang istri, Putri Pambayun berserah diri kepada suaminya
untuk mengabdi dan setia kepadanya. Hal itu seperti yang dilakukan seorang perempuan yang menjadi korban ketidakadilan gender yang disebabkan adanya
konstruksi budaya masyarakat yang didasarkan atas perbedaan jenis kelamin. Posisi perempuan berada dibawah laki-laki sehingga perempuan mudah tunduk
dan patuh kepada laki-laki.
b. Kelas
Kelas merupakan salah satu faktor pendukung kuasa patriarki di dalam drama Mangir ini. Latar belakang masyarakat sosial Jawa yang kental dengan
feodalisme menjadikan faktor kelas sebagai salah satu faktor yang penting dalam mendukung adanya sistem patriarki. Melalui konsep yang dikemukakan
Koentjaraningrat tentang bendara, priyayi, wong dagang, serta tiyang alit peneliti mencoba menerapkannya dalam drama Mangir ini.
Drama Mangir merupakan sebuah karya yang bercerita tentang masyarakat Jawa yang kental dengan feodalisme. Hal ini dikarenakan pada masa
itu para bangsawan Jawa bendara sangat dihormati oleh kelas yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelas bendara kondisi sosial di dalamnya sangat
terpandang dan selalu menjaga adat istiadat serta tata karma. Begitu pula dengan tata karma seorang perempuan dalam menjalani
kehidupannya. Putri Pambayun adalah seorang yang berasal dari kelas bendara yang dipandang tinggi menjadikan dirinya harus memiliki sikap selayaknya
94
“perempuan bangsawan” dengan mematuhi norma-norma sosial yang telah dibangun.
Putri Pambayun sebagai perempuan bangsawan harus mematuhi perintah Panembahan Senapati sebagai ayahnya, juga sebagai seorang raja di Keraton
Mataram. Hal ini menjadikan pambayun harus rela mengorbankan dirinya untuk mengabdi kepada Panembahan Senapati juga Keraton Mataram. Hal tersebut
menjadi alasan Putri Pambayun bersedia menyamar sebagai waranggana untuk memikat Wanabaya.
Adapun dalam penyamarannya, posisi Putri Pambayun sebagai kelas bendara ikut turun sejajar dengan peran yang ia lakukan yaitu sebagai Adisaroh
seorang waranggana yang berada pada kelas tiyang alit. Ketika Putri Pambayun beserta rombongan berada di Perdikan Mangir, posisi mereka sebagai tiyang alit
berada di bawah posisi para demang dan para tua Perdikan Mangir yang berkelas priyayi.
Pangeran Purbaya: Sejak bayi dalarn penjagaanku, sampai besar tak pernah lepas dari rnataku.
Tumenggung Jagaraga: Sernua pengganggu tunggang-Ianggang oleh lidah, oleh tanganku.
Tumenggung Pringgalaya: Pontang-panting, lintang-pukang oleh sepakan kakiku.
Demang Pandak: Bersahut-sahut seperti burung di pagi-hari. Baru Klinthing: bersilang tangan menghampiri rombongan wiyaga,
menetap mereka seorang demi seorang. Pada Demang Jodog. Laku mereka seperti pedagang ikan, berjualan bangkai berbunga puji.
Toer, 2011: 33. Data tersebut menunjukkan adanya perbedaan kelas yang jadi faktor
pendukung adanya kuasa patriarki. Baru Klinthing sebagai tua perdikan priyayi
95
dengan mudahnya mengatakan bahwa rombongan wiyaga yang ada Putri Pambayun di dalamnya sebagai pedagang ikan. Ikan yang dimaksud adalah
Adisaroh Putri Pambayun yang hendak diperistri Ki Ageng Wanabaya. Pembelaan yang dilakukan rombongan kepada Adisaroh menjadikan Baru
Klinthing mengatakan “seperti pedagang ikan, berjualan bangkai berbunga puji”. Posisi Adisaroh sebagai tiyang alit diperlakukan sebagai orang rendah. Hal
itu ditambah dengan posisinya sebagai perempuan. Selain dikatakan sebagai ikan, ia juga dikatakan sebagai bangkai.
Dialog Baru Klinthing tersebut dilatarbelakangi oleh adanya faktor kelas yang berbeda antara dirinya sebagai priyayi dengan rombongan wiyaga sebagai
tiyang alit. Faktor kelas dalam mendukung patriarki tidak hanya terjadi lintas kelas,
tetapi juga terjadi di dalam kelas yang sama. Putri Pambayun dengan Tumenggung Mandaraka adalah dua orang yang berasal dari kelas yang sama,
yaitu kelas bendara. Putri Pambayun adalah seorang putri permaisuri, sedangkan Tumenggung Mandaraka adalah seorang juru martini paman dari Panembahan
Senapati Raja Mataram. Adanya norma yang mengatur kehidupan bangsawan menjadikan Putri
Pambayun harus menjalani kehidupan selayaknya “putri bangsawan”. Hal tersebut menjadikan dirinya berada di bawah laki-laki, sehingga perlakuan yang ia terima
terkadang tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Tumenggung Mandaraka: memasuki panggung membawa cangkul
kayu dengan mata berlapis ba ja; berdiri pada suatu jarak dihadapan Putri Pambayun; meletakkan cangkul di tanah dengan
96
tangan masih memegangi tangkai; mata cunga ditebarkan ke mana- mana. Cucunda Gusti Putri Pambayun
Putri Pambayun: berubah air muka, waspada. Nenenda Mandaraka Juru Martani.
Tumenggung Mandaraka: Terpaksa nenenda datang kini untuk menagih janji.
Putri Pambayun: Dia datang menagih janji. Tumenggung Mandaraka: Bukankah darah satria tak patut
diperingatkan? Dan janji ditepati seperti matari pada bumi setiap hari?
Toer, 2011:55. Data tersebut menggambarkan adanya pembatasan gerak perempuan yang
terjadi dalam sebuah kelas bendara yang dilakukan Tumenggung Mandaraka terhadap Putri Pambayun. Tumenggung Mandaraka datang memperingatkan Putri
Pambayun untuk menepati janjinya kepada Panembahan Senapati. Meskipun dalam kelas yang sama, namun ketidakadilan gender masih juga terjadi.
Perkataan Tumenggung Mandaraka yang mengatakan “darah satria tak pantut diperingatkan” menunjukkan adanya norma dalam kelas bendara yang
ditujukan kepada Putri Pambayun. Putri Pambayun sebagai putri permaisuri dikatakan sebagai seorang kesatria dengan tanggung Jawab yang telah dilekatkan
padanya. Data lain menunjukkan adanya penindasan yang dilakukan tokoh laki-laki
terhadap perempuan di dalam kelas yang sama. Dalam hal ini Panembahan Senapati serta Tumenggung Mandaraka memaksa Pambayun untuk menuntaskan
tugasnya mengalahkan Mangir. Tumenggung Mandaraka: Bukan dustai sulung permaisuri. Tak ada dusta
dalam mengemban tugas ayahandamu baginda. Semua titah berasal dari
97
tahta, kalis dari dosa bersih dari nista, harus dilaksanakan sebaiknya tak peduli bagaimana caranya Toer, 2011: 57.
Semua perintah Panembahan Senapati sebagai raja harus dilaksanakan. Tumenggung Mandaraka melaksanakan tugasnya untuk mengawasi Putri
Pambayun dalam tujuannya menaklukkan Ki Ageng Wanabaya. Tumenggung Mandaraka menyuruh Putri Pambayun untuk segera memenuhi tanggung Jawab
yang telah diberikannya. Putri Pambayun disuruhnya untuk segera menyerahkan Ki Ageng Wanabaya ke pada Panembahan Senapati secepatnya tanpa bisa
ditawar. Tumenggung Mandaraka tidak mau tahu cara Pambayun untuk membawa Ki Ageng Wanabaya.
Kedua tokoh laki-laki tersebut menjadikan Pembayun merasa tidak merdeka. Panembaha
n Senapati menjadikan Pambayun sebagai “senjata” untuk mengalahkan Mangir. Adapun Tumenggung Mandaraka sebagai Juru Martani
mengatur siasat yang membuat Pambayun menjadi korban untuk memperluas daerah kekuasaan Mataram.
Adapun dalam data di atas Putri Pambayun dituntut untuk segera menuntaskan tugasnya tanpa ada pengertian dari Tumenggung Mandaraka. Posisi
Putri Pambayun sebagai perempuan di dalam kelas yang sama bendara dengan Tumenggung Mandaraka masih terjadi ketidakadilan. Hal ini menunjukkan bahwa
ketidakadilan didalam kelas yang sama juga dipengaruhi oleh gender.
98
3. Wujud Perlawanan Terhadap Kuasa Patriarki dalam Drama Mangir